Malam itu, seorang lelaki keluar dari
rumahnya dan menengadahkan tangan ke angkasa. Sesekali dari mulutnya
terdengar kalimah istighfar. Dia bertutur lirih, Allahuma Barikli al-Maut,
Tuhanku berkatilah aku dengan kematian. Dialah Ali Bin Abi Thalib. Ali
bergegas menuju masjid untuk menunaikan shalat Subuh. Ia menunaikan
beberapa rakaat shalat sunah. Kemudian mengumandangkan azan Subuh yang
biasa dikumandangkan Bilal. Ali lalu memimpin shalat shubuh berjamaah.
Sesuai dengan ketentuan shalat jemaah, para
makmummengikuti segala gerakan shalat Imam. Para makmum melakukan ruku,
ketika Imam ruku dan bersujud ketika imam sujud. Ketika sampai sujud
itu, seseorang yang berada di belakang Imam Ali tampak belum menjatuhkan
kepalanya untuk sujud. Tangannya disembunyikan di balik pakaiannya.
Seketika, tampak kilauan cahaya berkelebat di dinding. Imam Ali masih
tenggelam dalam suasana ubudiyah. Cahaya itu adalah kilauan pedang yang
kemudian terangkat, dan tanpa diduga pedang itu menghujam ke arah kepala
Imam Ali. Beliau tersungkur. Dahinya pecah bersimbah darah.
Pedang itu dihujamkan oleh Ibnu Muljam,
lelaki yang dibangunkan Imam Ali di masjid dari tidurnya. Ibnu Muljam
mengayunkan pedang yang sudah dilumuri racun. Pukulan itu bukan hanya
melukai Ali, tapi juga melukai umat Islam dari sumber keutamaan ilmu dan
amal itu. Dua hari kemudian Imam Ali menemui kesyahidannya pada tanggal
21 Ramadhan.
Entah sudah berapa ribu buku yang ditulis
para ilmuwan dan penyair mengenai keutamaan Imam Ali as. Ibn Abil Hadid
dalam Syarah Nahjul Balaghah menjelaskan keutamaan, kesempurnaan, dan
keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib. Mengenai keluasan ilmu Imam Ali,
Abil Hadid berkata, "Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata air ilmu.
Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama."
Salah satu ilmunya yang paling mulia adalah
ilmu kalam yang bersumber dari ucapan Imam Ali. Mazhab Mu'tazilah
mengembangkan pemikiran Washil bin Atha'. Dia adalah murid Abu Hasyim,
dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi yang memperoleh ilmu
dari ayahnya Ali bin Abi Thalib.
Dalam ilmu fikih, Ali merupakan sumber ilmu
dan mata air kebijaksanaan. Semua ahli fikih adalah murid beliau secara
langsung maupun tidak. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf,
Muhammad, dan yang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi'i
juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi'i, pada
akhirnya, juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga
belajar dari Jakfar bin Muhammad yang berujung kepada Imam Ali bin Abi
Thalib.
Malik bin Anas merupakan murid Rabiah
ar-Ra'yu. Sedangkan Rabiah sendiri adalah murid Akramah. Yang merupakan
murid Abdullah bin Abbas, sementara Ibnu Abbas adalah murid Ali bin Abi
Thalib.
Ilmu tafsir juga berujung kepada Imam Ali
bin Abi Thalib. Apabila kita membaca kitab-kitab tafsir, kita akan
melihat bahwa sebagian besar persoalan dikutip dari beliau atau dari
Ibnu Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada ibnu Abbas,
"Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali." Dia berkata,
"Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan samudra."
Ilmu tarekat, hakikat, dan irfan juga
berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Ulama irfan di semua negeri Islam
menisbatkan dirinya kepada Imam Ali, seperti Syibli, Junaid, Abu Yazid
Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi. Mereka
menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya
kepada Imam Ali bin Abi Thalib.
Ilmu nahwu (tata bahasa) dan bahasa Arab
juga dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali-lah yang
mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada Abul Aswad
Ad-Duwali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abul Aswad mengenai
kalam (kata) terbagi menjadi tiga: ism (kata benda), fi'il (kata kerja),
dan huruf (preposisi). Beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah
(definitive) atau nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan
bahwa i'rab ada empat macam: rafa', nashab, jar, dan jazam.
Salah satu karakteristik terpenting Imam
Ali as adalah komitmennya membentuk masyarakat yang berkeadilan.
Kekhususan sifat mulia Ali ini membuat banyak orang terkagum-kagum.
Bahkan ahli makrifat berharap terlahir lagi orang seperti Ali ke dunia
ini. Kami mengajak anda menyimak sifat mulia Ali dan komitmennya
membentuk pemerintahan yang adil.
Pandangan Imam Ali terhadap pemerintahan
sangat berbeda kontras dengan sikap para politisi yang haus kekuasaan.
Metode politik dan pemerintahan Imam Ali berpijak pada prinsip-prinsip
yang mendorong masyarakat yang mencapai kesempurnaan secara material dan
spiritual. Dalam pandangan Imam Ali, kezaliman dan ketidakadilan
menghalangi manusia mencapai kesempurnaan.
Mengenai urgensi keadilan, Imam Ali as
berkata, keadilan adalah salah satu prinsip yang harus berdiri tegak di
alam semesta. Beliau juga menuturkan, tidak ada yang menyamai keadilan,
karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi makmur. Menurut
Imam Ali, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari prinsip
keimanan sendiri.
Imam Ali memegang tampuk kekuasaan untuk
mewujudkan keadilan di tengah masyarakat dan memenuhi hak mereka. Di
mata Imam Ali, kinerja terpenting pemerintahan adalah menciptakan
keadilan. Poros upaya hal tersebut adalah terpenuhinya hak orang-orang
yang terzalimi. Dalam pemerintahan Imam Ali, keadilan bukan hanya slogan
belaka, tapi sebuah program praktis yang membumi. Sebab, keadilan
adalah inti politik Imam Ali.
sumber:http://www.erfan.ir/53052.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar