Menurut penelitian pakar sejarah dan ahli nasab di Aceh, ahlul bayt atau keturunan Nabi saw angkatan pertama yang tiba di Asia Tenggara, tepatnya di Aceh-Sumatra adalah Abdullah bin Hasan Mutsanna bin Hasan bin Ali atau cicit Nabi Muhammad saw. Beliau hijrah ke kepulauan Nusantara ini setelah singgah dan menetap di pelabuhan Chambia (Kambei) India untuk mengembangkan misi perjuangan keluarga Rasulullah saw. Sejarah tidak mencatat, apakah beliau meninggal di wilayah ini atau kembali ke tanah Arab.
Nama Abdullah disebut dalam ikhtisar Radja Jeumpa oleh Ibrahim Abduh yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa. Tersebutlah sebelum kedatangan Islam di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah. Tibalah seorang saudagar muslim keturunan Arab bernama Abdullah di sana pada awal abad ke 8 Masehi. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan putri Raja bernama Ratna Kumala. Akhirnya Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya.
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam, Kesultanan Sulu-Mindanao, Tarsilah Sultan Kelantan-Trengganu, Silsilah Raja-Raja Aceh dan lainnya, menyebutkan tentang Kerajaan Jeumpa pada sekitar 156 H (780 M) yang dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan anak Raja Jeumpa bernama Mayang Seuladang. Menurut sebagian peneliti, sang putri adalah anak dari Raja Jeumpa pertama Maulana Abdullah. Syahriansyah Salman memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibunda dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak.
Sampai saat ini, peneliti belum menemukan silsilah Pangeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah tersebut tidak disebutkan. Namun menurut pengamatan pakar sejarah, sebagaimana disebutkan naskah Idhar al-haqq fi Mamlakat Ferlah wal Fasi karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi dan Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, beliau termasuk keturunan Sayyidina Husein ra, karena memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya. Ini jelas menunjuk kepada moyang perempuannya, istri Sayyidina Husein yang bernama Syahribanun. Beliau juga mengawinkan anak perempuannya dengan Maulana Ali atau cucu Imam Ja’far Sadiq. Selain itu, anaknya, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan nakhoda khalifah.
Ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk memperkuat dinasti ahlul bayt atau keturunan Nabi saw yang mulai berkembang di kepulauan Sumatra setelah mendapat pukulan di Arab maupun Parsia. Para peneliti memperkirakan Salman adalah salah seorang keturunan dari Imam Musa al-Kazhim cicit Sayyidina Husein dari perkawinannya dengan putri bangsawan di sekitar Champia di India.
Syahriansyah Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nuwi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Maulana Muhammad al-Diba’i bergelar Nakhoda Khalifah. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Maulana Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Maulana Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M, dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar