Ali bin Abi Thalib dan Tasawuf
Caner K. Dagli
“Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya,” (Nabi saw)
Tidak ada satu tokoh dalam sejarah Islam awal, selain Nabi sendiri, yang menjadi pusat kontroversi dan perdebatan seperti Ali bin Abi Thalib. Kontroversi ini muncul pada lebih dari satu tataran, mulai dari persoalan-persoalan politik dan sejarah hingga masalah-masalah di bidang teologi dan metafisika. Keluasan intelektual dan kedalam spiritual Ali telah mengilhami seluruh penjuru dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’i, dan sekalipun banyak konflik di antara kedua mazhab besar Islam ini yang berpusat pada pribadi Ali, satu pihak tidak pernah bisa menuduh yang lain kurang memiliki kecintaan dan penghormatan kepadanya. Dalam hal ini, secara paradoks, Ali menyatukan kaum Muslim dalam kecintaan mereka kepadanya, tetapi sentralitasnya dalam sudut pandang yang berlawanan menjadikannya sumber perselisihan yang serius.
Lebih jauh, kita temukan dalam dunia Sunni perdebatan dengan Ali pada pusatnya, dan ini merupakan persoalan esoterisme dalam Islam, yang manifestasi utamanya adalah tasawuf. Kaum Sufi mengakui dua jenis otoritas, berkaitan dengan dua jenis ilmu. Dalam konteks otoritas politis, posisi ortodoks Sunni sangat dikenal. Sekalipun Nabi saw tidak meninggalkan perintah-perintah tegas berkaitan dengan yang akan menggantikan beliau secara politis, sebagian besar (?) komunitas Islam menyetujui Abu Bakar Shiddiq, sahabat lama Nabi dan tokoh terhormat di antara para sahabat, sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia menunjuk Umar bin Khaththab, yang dirinya sendiri menyusun sebuah komisi yang beranggotakan enam orang sahabat yang pada gilirannya komisi ini memilih Utsman bin Affan. Pasca pembunuhan Utsman, Ali menjadi khalifah keempat.
Tak seorang Sunni pun menolak bahwa, dalam konteks ortoritas temporal, ini merupakan sebuah peristiwa yang biasa. Dalam dunia Sunni, sekalipun tidak ada pemisahan antara gereja dan negara (baca: agama dan politik), khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah. Otoritas khalifah dinilai sebagai berasal dari Tuhan. Namun dalam dunia Sunni, terutama setelah generasi pertama, adalah kelompok ulama, yang bertanggung jawab atas pengalihan pengetahuan keagamaan dan spiritual dan yang berperan sebagai otoritas final mengenai persoalan-persoalan agama.
Sultan, khalifah, fukaha, dan umumnya kelas masyarakat terpelajar merepresentasikan otoritas eksoteris dalam Islam Sunni. Akan tetapi, kaum Sufi mengetahui rantai otoritas spiritual yang secara relatif terlepas dari otoritas eksoteris dan secara prinsip, lebih utama atasnya. Kita katakan terlepas atau independen bukan dalam arti bahwa tasawuf secara inheren antinomian; lawannya adalah benar. Namun keputusan ulama eksoteris (ulama zahir) tak akan pernah, bagi kaum Sufi, mengatasi ajaran-ajaran dari seorang guru spiritual otentik, seorang ulama batin. Ini disebabkan yang zahir, yang aturannya dijalankan dengan syariah atau hukum Tuhan, ada sebagai pendukung kehidupan batin, yang pertumbuhannya dijalankankan melalui thariqah atau jalan spiritual.
Penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima baik oleh Sufi-sufi Sunni1 dan Syi’i, namun mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaum Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Akan tetapi, sementara dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar, kaum Sufi puas mempraktikkan jalan mereka dalam bingkai yang ditetapkan oleh otoritas eksoteris. Inilah mengapa, mereka mengakui Ali sebagai pengalih utama rahasia-rahasia batin (ada yang lain seperti Abu Bakar) tanpa ada suatu kontradiksi penting dengan seorang otorita eksoteris yang tidak memiliki rahasia-rahasia (batin) ini. Dengan kata lain, hierarki vertikal dan horizontal tidak perlu bercampur. Dari perspektif Sufi, misteri-misteri paling dakhil tidak ditujukan bagi setiap orang, dan mengajarkan misteri-misteri kepada mayoritas orang mukmin akan lebih banyak merusak ketimbang maslahatnya, demarkasi yang lebih jelas antara dimensi eksoteris dan esoteris memiliki faedah-faedah berupa menghindari bahaya-bahaya tersebut.
Dari apa yang telah diutarakan, kita bisa simpulkan bahwa cara terbaik untuk memahami konflik yang berpusat pada Ali adalah dengan melihat pertikaian ”horizontal” antara Syi’ah dan Sunnah sebagai bentuk proyeksi dari perbedaan vertikal esoterisme dan eksoterisme. Hal ini semakin jelas ada ketika orang menguji persamaan mendalam antara tasawuf dan Syi’isme. Para Imam dari Syi’ah Dua Belas Imam juga merupakan guru-guru spiritual dalam rantai transmisi Sufi atau silsilah.
Apabila orang mengesampingkan syariat dan juga fungsi kosmis dari Imam, fungsi inisiatori dan peran sebagai pembimbing ruhani dari Imam adalah persis sama dengan peran dan fungsi guru Sufi. Pada dasarnya, sebagaimana dalam tasawuf setiap guru berkomunikasi dengan kutub di zamannya, maka dalam Syi’isme seluruh fungsi keruhanian di setiap zaman secara batiniah terkait dengan Imam. Gagasan Imam sebagai kutub alam semesta dan konsep quthb dalam tasawuf nyaris identik.2
Perbedaan utamanya adalah sejauh mana otoritas spiritual mesti terentang luas ke dalam ranah temporal. Dalam kasus Ali, ia menggabungkan dua aspek tersebut hingga ke tingkatan yang paling tinggi, baik sebagai penerima utama ajaran batiniah Nabi maupun pemimpin pemerintahan Islam. Mendiskusikan perdebatan seputar suksesi bukan menjadi bahasan kita di sini. Namun kiranya penting untuk mengingat bahwa persoalan yang paling mendalam adalah salah satunya perbedaan esoteris/eksoteris, dan bukan perbedaan mesin politik dan perjuangan-perjuangan kekuasaan. Tidak ada diskusi yang cerdas akan peran keruhanian Ali yang mungkin tanpa memahami butir ini.3
***
Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Nabi, Abi Thalib. Ketika Nabi menerima wahyu pertamanya, Ali baru berusia 10 tahun. Dari sejak kanak-kanak, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Nabi, karena kesulitan finansial di rumah ayahnya sendiri, dan tetap dekat dengan Nabi sampai kewafatan Nabi 23 tahun kemudian. Selama kurun waktu tersebut, klaim Sufi, bahwa Nabi menyampaikan ajaran-ajaran batin dari agama baru itu kepada Ali. Sekalipun orang bisa saja mengatakan bahwa semua anggota komunitas apostolik awal di Mekkah adalah para wali,4 bukan hanya persoalan kesucian namun juga persoalan kualifikasi intelektual. Tidak setiap metafisikawan itu seorang wali, dan sebaliknya juga, tidak setiap wali adalah metafisikawan besar. Ali menghimpun dalam dirinya sendiri kesempurnaan vertikal yang kita sebut kesucian dengan kedalaman dan keluasan yang luar biasa pada tataran horizontal. Tradisi Islam mengingat Ali sebagai ksatria agung di zamannya, tak pernah terkalahkan dalam peperangan dan selalu lembut kepada musuh-musuhnya. Kebajikannya di medan perang sama terkenalnya. Di lingkungan Dunia Muslim, Ali dikenal sebagai bentuk pelindung kaum miskin dan sebuah model dari apa yang disebut dunia Barat keksatriaan, futuwwah Islam. Yang lebih penting, ia dikenal di zamannya sendiri dan hingga sampai masa kita sebagai orang yang memiliki inteligensi yang memukau dan kebijakan yang mendalam, baik sebagai guru besar juga pembicara fasih bahasa Arab.5 Di dunia Syi’ah, kekhususan tersebut diberikan kepada Ali begitu terkenal.
Di antara kaum Sunni, kaum Sufi memandangnya sebagai penerus utama ajaran keruhanian Nabi, dan seluruh tarekat Sufi, kecuali satu, asal-usulnya bermuara kepadanya.6 Demikian juga, orang menemukan pengecualian khusus yang terwujud ketika namanya disebutkan: untuk para sahabat lain, pencantuman radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) lazim dipakai, namun dalam kasus Ali oran acap mendengar frase karram Allahu wajhah yang secara harfiah berarti “semoga Allah memuliakan wajahnya”. Belakangan kita akan melihat bagaimana formula ini berkaitan dengan fungsi spiritual Ali di dunia Islam. Seluruh keturunan Nabi, yang diagungkan di dunia Syi’ah maupun Sunni, mendapatkan garis keturunan mereka kepada pernikahan Ali dengan Fathimah, putri Nabi. Melalui Ali dan anak keturunannya, otoritas spiritual Nabi terus berlangsung hingga sekarang, dan bersamanya Zaman Keemasan Islam, periode Madinah awal, mulai pudar.
Tujuan kami dalam esai pendek ini adalah melihat sumber-sumber orisinal dalam tasawuf untuk mengetahui bagaimana ajaran-ajaran keruhanian Islam terkait dengan Ali. Kita dapat mengatakan bahwa esoterisme Islam, alih-alih sekadar tasawuf karena Nahj al-Balâghah dan sebuah ulasan atas sejumlah pasasenya oleh ulama Syi’ah, Allamah Thabathaba’i juga digunakan sebagai sumber-sumber. Tanpa memasuki perdebatan seputar autentisitas Nahj al-Balâghah, cukuplah untuk menyatakan bahwa bahkan dari perspektif Sunni, ada banyak dalam buku ini yang bersumber dari Ali, dan bahwa konflik Syi’ah-Sunni telah menghasilkan fenomena tidak menguntungkan berupa “pelemparan bayi dari air mandi”. Banyak kaum Sunni cenderung meragukan laporan-laporan Syi’ah tentang Ali, karena concernpada “melebih-lebihkan kesalehan tertentu” dari pihak Syi’ah, dan tentu saja, terputus dari banyak hadis yang autentik. Karena itu, kami rasa tepat untuk menggunakan sejumlah pasase yang termasyhur dan paling penting dari Nahj al-Balâghah sebagaimana diseleksi oleh Thabathaba’i, yang tak satu pun darinya bisa dikhususkan sebagai “Syi’ah” sebagaimana yang dilabeli oleh Sunni. Dalam peristiwa apa pun, sebagaimana dinyatakan di atas, adalah dalam tasawuf dan aspek yang paling esoteris dari Syi’isme konsensus itu dapat diraih menyangkut Ali.
Naasnya, ada sebuah karya sedikit serius dalam kesarjanaan Barat yang terfokus pada Ali, selain dari terjemahan-terjemahan yang kurang akurat dari sumber-sumber Arab dan sejumlah buku yang ditulis dalam bahasa Inggris berupa watak polemis dari India dan Pakistan, namun ada juga terjemahan luar biasa dari sejumlah cuplikan Nahj al-Balâghah7 yang dialihbahasakan oleh Thomas Cleary bertajuk Living and Dying with Grace. Kekurangan materi ini adalah fenomena yang aneh, dengan mempertimbangkan arti penting Ali, dan mempertimbangkan bahwa jilid-jilid yang telah ditulis mengenai tokoh-tokoh politik dan historis belakangan dalam sejarah Islam. Di antara Nabi dan para tokoh terpandang belakangan ada sebuah jurang dalam kesarjanaan modern. Kita harap untuk menggunakan beberapa hadis menyangkut Ali, dan, dari tulisan-tulisan belakangan Matsnawi-nya Rumi, melihat apa yang bisa mereka katakan kepada kita tentang Ali dan tasawuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar