Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii]
membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu
bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan
poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan
burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir
terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.
Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang
ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana
orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin
yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat
matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya
mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di
kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang
pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu
Khaththab sesudah dirinya.
Kemudian ia mengutip syair al-‘A’sya':
Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)
Sementara ada hari-hari (kemudahan)
Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]
Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari
kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah
matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada
puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini
menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana
ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan
banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah
seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya
akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar.
Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan,
kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar
walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi
pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada
suatu kelompok[iv]
dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa
hubungan saya dengan “musyawarah” ini? Di manakah ada suatu keraguan
tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya
sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap
merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang
tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan
yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan
karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri
dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya
sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.
Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain
kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu
tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju
bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan
kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok
memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya
mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang
mengatakan, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang
tidak in gin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini.
Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. ”
(QS. 28:83)
Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya,
tetapi dunia nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda
mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan
menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya,
dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada
perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam
keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan
sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang
terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan
melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari
bersin seekor kambing.
Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini
dalam khotbahnya, seorang lelaki dari ‘Iraq berdiri dan menyerahkan
kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan
ketika itu juga Ibn ‘Abbas –semoga Allah meridai keduanya– berkata, “Ya
Amirul Mukminin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda
telah memutuskannya.”
Atasnya ia menjawab,
“Wahai Ibn ‘Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda.”
Ibn ‘Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu
ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak
dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.
Sayid Radhi mencatat: Kata-kata dalam
khotbah, “seperti penunggang unta” bermaksud menyampaikan bahwa bilamana
seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan
sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia
melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan melemparkannya
di suatu tempat dan akan lepas kendali. Asynaq an-nāqah digunakan
bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam
pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-nāqah. Ibnu Sikkit
telah menyebutkannya dalam Islāhul Manthiq. Amirul Mukminin telah
mengatakan asynaqa lahā sebagai ganti asynaqaha, karena ia
menggunakannya seirama dengan aslasa lahā dan keselarasan hanya dapat
dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama.
Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lahā seakan-akan sebagai ganti
in rafa’a lahā ra’sahā, yakni “apabila ia menghentikannya dengan
menarik kekang”.•
[i]
Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang
sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin yang paling masyhur. Khotbah
ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang
menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan mengatakan bahwa
itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi) namun para ulama
pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. Tidak ada pula dasar
untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Ali a.s. dalam hal
kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan semacam
itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang
telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan
sejarah yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat.
Apabila peristiwa-peristiwa yang sama yang bertaian dengan sejarah
dikatakan kembali oleh Amirul Mukminin maka manakah alasan untuk
menyangkalinya? Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak
menyenangkan segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya,
tidaklah hal itu harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai
prestise tokoh-tokoh tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan
kepada mereka. Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan
menolak khotbah ini sebagai ucapan Amirul Mukminin, kecuali apabila
peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dianalisa dan kebenarannya
diungkapkan. Apabila tidak demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan
Amirul Mukminin karena mengandung peremehan terhadap individu-individu
tertentu, tidaklah berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan
oleh sejarawan lain pula. Maka, (Abu ‘Utsman) ‘Amr Ibnu Bahr Al-Jāhizh
telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah Amirul Mukminin,
dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah
Asy-Syiqsyiqiyyah.
Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti
gagak yang keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila
kedua sayapnya terputus dan kepalanya terlepas.
Alhasil, gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Radhi
adalah jauh dari kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap
memihak. Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian,
haruslah dikernukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi
penuh hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan
argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak
setuju dan tak senang.
Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan
ahli periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul
Mukminin, supaya pentingnya secara historis diketahui. Di antara para
ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Radhi, sebagian semasa
dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan
melalui isnad mereka sendiri-sendiri.
(1) Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair
Mushaddiq Ibnu Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia
mendengar khotbah ini dari Syeikh Abu Muhammad ‘Abdullah Ibnu Ahmad
Al-Baghdadi (m. 567 H.) yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan
ketika ia sampai di mana Ibnu ‘Abbas menyampaikan kesedihannya karena
khotbah ini tertinggal tak lengkap, Ibnu
Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih Ibnu ‘Abbas itu, pastilah ia sudah menanyakan kepadanya apakah ada yang tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang hendak diucapkannya.
Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab, “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya katakan bahwa
sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, “Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yang
terkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”
Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih Ibnu ‘Abbas itu, pastilah ia sudah menanyakan kepadanya apakah ada yang tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang hendak diucapkannya.
Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab, “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya katakan bahwa
sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, “Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yang
terkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”
(2) Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat
khotbah ini dalam kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim (‘Abdullah Ibnu
Ahmad) al-Balkhi (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu’tazilah dalam masa
pemerintahan Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya
Sayid Radhi.
(3) la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini
dalam buku Inshāf karya Ibnu Qibah (Abu Ja’far Muhammad Ibnu
‘Abdur-Rahman). la murid Abul Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi’ah
Imamiah. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 205-206).
(4) Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam
syarahnya bahwa ia telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah
ditulis oleh menteri Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu
Al-Furat (m. 312 H.) (Syarh al-Balāghah, I, h. 252-253).
(5) Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan
isnad berikut tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin
ar-Rawandi, Minhājul Barā ‘ah fī Syarh Nahjul Balāghah:
“Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim
menyampaikan kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa’ Muhammad Ibnu Badi’,
al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu Badi’ dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad
Ibnu ‘Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr
(Ahmad Ibnu Musa) Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari
al-Hafizh Abul Qasim Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan
dia dari Ahmad Ibnu Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa’id Abu
Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari Khulaid Ibnu Da’laj dan dia dari Atha’
Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Biharul Anwār, edisi pertama,
jilid VIII, h. 160-161).
(6) Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa
khotbah ini juga termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu ‘Abdul
Wahhab) al-Jubba’i (m. 303 H.).
(7) Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi menulis:
“Qadhi ‘Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.),
seorang Mu’tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari
khotbah ini dalam buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah
itu tidak menyerang para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak
menolak bahwa itu komposisi Amirul Mukminin.” (Ibid., h. 161).
(8) Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis:
“Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan
kepada kami bahwa ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.)
mengatakan kepadanya bahwa Abu ‘Abdullah Ahmad Ibnu ‘Ammar Ibnu Khalid
mengatakan kepadanya bahwa Yahya Ibnu ‘Abdul Hamid al-Himmani (m. 228
H.) mengatakan kepadanya bahwa ‘Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini
dari Ali Ibnu Hudzaifah, dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu
‘Abbas.” (Ilal asy-Syarā’i, bab XXII, h. 360-361).
(9) Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut:
“Muhammad Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini
kepada kami, dan ia mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim,
dia dari Ahmad Ibnu Abi ‘Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan
dia dari ayahnya dan dia dari Muhammad Ibnu Abi ‘UMalr dan dia dari Aban
Ibnu ‘Utsman dan dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari ‘Ikrimah dan
dia dari Ibnu ‘Abbas. (‘Ial asy-Syarā’i’, I, bab 122, h. 146; Ma’am
al-Akhbar, bab 22, h. 361).
(10) Abu Ahmad al-Hasan Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sa’id
al-‘Askari (m. 382 H.), yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis
syarah dan penjelasan tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu
Babawaih dalam. ‘Ial asy-Syard’i dan Ma ‘dni al-Akhbār.
(11) Sayid Ni’matullah al-Jaza’iri menulis:
“Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad
ats-Tsaqafi al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui
rangkaian sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari
Selasa, 13 Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi
lahir. la lebih tua dari saudaranya Sayid RadhT.” (Anwar an-Nu
‘māniyyah, h. 37).
(12) Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu
Thawus al-Husaini al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini
dari Kitab al-Ghārāt dengan rangkaian sanad berikut:
“Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu
Yusuf, yang meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu ‘Abdul Karim
az-Za’farani, dan ia (meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya
al-Ghallabi, dan dia dari Ya’qub Ibnu Ja’far Ibnu Sulaiman, dan dia dari
ayahnya, dan dia dari kakek-nya, dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (terjemahan
Ath-Thara’if, h. 202)
(13) Syeikh ath-Tha’ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me
nulis:
nulis:
“(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja’far) al-Haffar
meriwayatkan khotbah ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim
(Isma’il Ibnu Ali Ibnu Ali) ad-Di’bili, dan dia dari ayahnya, dan dia
dari saudaranya Di’bil (Ibnu Ali al-Kuza’i), dan dia dari Muhammad Ibnu
Salamah asy-Syami, dan dia dari Zurarah Ibnu A’yan dan dia dari Abu
Ja’far Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu
‘Abbas.” (Al-Amali, h. 137)
(13) Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu’man,
m. 413 H.), guru Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah
ini:
“Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai isnad.” (Al-Irsyād, h. 135)
(15) ‘Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.
(16) Abu Manshur ath-Thabarsi menulis:
“Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini
dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai sanad. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ia
bersama Amirul Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada
kekhalifahan dan mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah,
Amirul Mukminin menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah
ini.” (Al-Ihtijaj)
(17) Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu ‘Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654 H.) menulis:
“Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah
ini kepada kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu
‘Abbas, yang mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul
Mukminin sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang
laki-laki dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu
Amirul Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini.” (Tadzkirat
Khawashsh al-Ummah, h. 73)
(18) Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian dengan keasliannya:
“Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra),
‘Aneh, selama hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya,
tetapi ia memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'”
(Syarh Durrat al-Ghawwash, h. 17)
(19) Syeikh ‘Ala ad-Daulah as-Simnani menulis:
“Amirul Mukminin SayyidAl-‘Arifin Ali a.s. telah menyatakan
dalam satu khotbahnya yang cemerlang, “Ini syiqsyiqah yang menyembur
keluar”. (al-‘Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di
Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India)
(20) Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan kata syiqsyiqah:
“Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah
asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta).” (Majma’ al-Amtsāl, jilid I, h.
369)
(21) Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara
menerangkan kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa’adat Mubarak Ibnu
Muhammad, Ibnu al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai
ucapan Amirul Mukminin.
(22) Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan
kata-kata itu dalam Majma’ al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini
dari Amirul Mukminin dengan kata-kata, “Ali mengatakan demikian.”
(23) Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya
sebagai ucapan Amirul Mukminin, dalam Lisan al-‘Arab, jilid XII, h. 54,
dengan mengatakan, “Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian
mereda.”
(24) Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251):
“Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena
ketika Ibnu ‘Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia
telah me-ninggalkannya, ia berkata, “Wahai, Ibnu ‘Abbas! Itu busa unta (syiqsyiqah) yang mencetus keluar lalu mereda.”
(25) Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan:
“Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu).”
(26) Syeikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya
sebagai ucapan Amirul Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam
bukunya Syarh Nahjul Baldghah.
(27) Muhammad Muhyiddm ‘Abdul Hamid, guru besar pada
Fakultas Bahasa Arab, Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi
tentang Nahjul Baldghah dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui
semua khotbah yang mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam
itu sebagai
ucapan Amirul Mukminin.
ucapan Amirul Mukminin.
Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak
tersangkal ini, tidak ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu
bukan dari Amirul Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.
[ii] Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagai berbusana dengan itu.
Ini kiasan biasa. Maka, ketika ‘Utsman diminta untuk menyerahkan
kekhalifahan, ia menjawab, “Saya tidak akan menanggalkan busana yang
telah dipakaikan Allah kepadaku ini.” Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin
tidak mengatributkan “baju kekhalifahan” ini kepada Allah, melainkan
kepada Abu Bakar sendiri, karena menurut pandangan ijmak,
kekhalifahannya bukanlah dari Allah melainkan urusannya sendiri. Itulah
sebabnya Amirul Mukminin mengatakan bahwa Abu Bakar membusanai dirinya
sendiri dengan kekhalifahan. la mengetahui bahwa busana ini telah
dijahit untuk badannya sendiri, sedang kedudukannya sendiri sehubungan
dengan kekhalifahan adalah kedudukan poros pada penggiling yang dapat
mempertahankan posisi pusatnya dan tak ada gunanya tanpa itu. Seperti
itu pula, ia berpendapat, “Saya adalah sumbu pusat kekhalifahan; bila
saya tidak di sana, seluruh sistemnya akan tersesat dari pusatnya.
Sayalah yang bertindak sebagai pengawal bagi organisasi dan
ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai kesulitan. Arus
pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada semua sisi.
Kedudukan saya tinggi di atas ima-jinasi, tetapi pencari keserakahan
duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya, dan saya
harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang membutakan
merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda menjadi tua
dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung sabar ini tak
mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya penjarahan atas
warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari satu tangan ke
tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat menghentikan
kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana.”
Perlunya Khalifah dan Cara Pengangkatannya
Setelah Nabi Muhammad (saw) wafat, dibutuhkan adanya
pribadi yang mampu mencegah perpecahan umat dan mengawal hukum Islam
dari perubahan, pengubahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang
hendak memenuhi hawa nafsunya. Bila kebutuhan mendesak ini disangkal
maka mengapa suksesi Nabi dianggap begitu penting sehingga pertemuan di
Saqifah Bani Sa’idah dipandang lebih utama daripada penguburan Nabi?
Bila kebutuhan ini diakui, maka timbul pertanyaan apakah Nabi juga
menyadarinya atau tidak. Bila kita anggap beliau tidak menyadarinya dan
tidak dapat menilai ada atau tiadanya kebutuhan tersebut, maka hal ini
akan merupakan bukti yang sangat kuat untuk menganggap bahwa Nabi tidak
memikirkan cara menyetop kejahatan-kejahatan bidah dan hojatan; padahal
beliau telah memberikan peringatan-peringatan tentang masaalah ini.
Apabila dikatakan bahwa beliau menyadari kebutuhan akan
adanya pribadi tersebut tetapi tidak membereskannya, karena melihat
adanya manfaat dengan membiarkannya, maka beliau tidak akan
mendiamkannya tanpa menunjukkan manfaat itu dengan jelas; apabila tidak
demikian maka mendiamkan masalah tersebut tanpa tujuan merupakan
pelanggaran dalam pelaksanaan tugas Kenabian. Apabila ada halangan,
haruslah pula diungkapkan. Karena Nabi tidak meninggalkan masalah agama
dalam keadaan tidak sempurna maka beliau tidak akan membiarkan masalah
ini terbengkalai, melainkan akan mengajukan jalan pemecahan untuk
mengamankan agama dari campur tangan orang lain.
Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya pengambilan
keputusan pada masa awal tersebut dan apa yang akan dilakukan. Bila
keputusan itu berdasarkan konsensus umat maka hal itu tidak mungkin
terjadi, karena pada konsensus semacam itu diperlukan adanya persetujuan
tiap individu; tetapi mengingat perbedaan temperamen manusia, maka
mustahil mereka akan sepakat. Tak ada contoh di masa itu di mana
keputusan dapat diambil dengan mufakat tanpa satu pun yang menolak. Maka
bagaimana mungkin kebutuhan mendasar semacam itu digantungkan pada
terjadinya peristiwa yang mustahil seperti itu, sedangkan kebutuhan itu
menyangkut masa depan Islam dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu maka
akal sehat tidak dapat menerima tolok ukur ini. Tidak ada pula sunah
yang selaras dengannya sebagaimana ditulis oleh Qadhi ‘AdhuddTn al-‘Ijlt
dalam Syarh al-Mawāqif:
“Anda seharusnya tahu bahwa kekhalifahan tidak dapat
bergantung pada ijmak pemilihan, karena tidak ada argumen yang logis
atau sunah yang dapat dijadikan sandaran.”
Kenyataannya, tatkala para pembela pemilihan dalam
pelaksanaannya sukar mencapai aklamasi, mereka lalu menempuh persetujuan
mayoritas dengan mengabaikan minoritas.
Dalam hal semacam ini sering juga terjadi kekuatan jujur
ataupun palsu, cara benar atau tidak, mengubah arus pendapat mayoritas
dan mengabaikan keutamaan individu dan kebajikan pribadi. Akibatnya,
orang yang mampu dan jujur ter-sembunyi, dan yang tidak kompeten maju ke
depan. Bila orang berkemampuan tersisih, terhalang oleh ambisi-ambisi
pribadi, lalu bagaimana mengharapkan adanya pemilihan orang yang tepat?
Sekalipun, misalnya, semua pemberi suara punya kebebasan dan tidak
memihak, lidaklah mesti keputusan mayoritas harus benar dan tak
tersesat. Pengalaman menunjukkan bahwa setelah keputusan dijalankan,
mayoritas lalu berpendapat bahwa keputusannya sendiri ternyata salah.
Bila setiap keputusan mayoritas benar, maka keputusannya yang pertama
adalah salah, karena keputusan yang menganggapnya salah adalah juga dari
mayoritas.
Tentang pendapat bahwa untuk menghindari kekacauan maka
tokoh-tokoh umat dibiarkan memilih siapa saja yang mereka sukai, di sini
pun pergesekan dan pertengkaran akan merajalela. Karena, di sini juga
pemusatan watak manusia untuk satu persetujuan tidaklah mesti, dan tidak
dapat juga dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi tujuan-tujuan pribadi
mereka. Dalam kenyataannya di sini konflik dan benturan akan lebih
kuat. Karena, kalau tidak semua, sekurang-kurangnya kebanyakan dari
mereka ingin menjadi calon dan akan berusaha dengan segala daya untuk
mengalahkan lawannya, dan membuka jalan yang sebaik-baiknya untuk
dirinya. Akibat yang tidak dapat dihindarkan ialah pergumulan dan
pergolakan.
Kesimpulannya, tidak mungkin menyingkirkan bencana dengan
cara ini, dan ketimbang menemukan tokoh yang tepat, umat hanya akan jadi
alat untuk me-menuhi ambisi pribadi orang lain. Lagi pula, bagaimana
seharusnya tolok ukur orang yang akan memegang tampuk kekuasaan ini?
Sebagaimana biasa, siapa saja yang dapat mengumpul beberapa pendukung
dan mampu membuat geger dan ribut-ribut dalam suatu pertemuan dengan
menggunakan kata-kata keras maka dialah yang dianggap paling tepat
sebagai penguasa. Ataukah kemampuan seseorang juga akan dinilai? Bila
penilaian kemampuan seseorang ditentukan juga dengan cara pemilihan umum
seperti ini, maka kerumitan dan kekacauan serupa akan muncul. Bila ada
patokan lain, maka sebagai ganti menilai para pemberi suara seperti itu,
mengapa tidak menilai orang yang dipandang pantas untuk kedudukan itu?
Selanjutnya berapa banyak tokoh yang dianggap cukup untuk mengambil
keputusan? Jelas bahwa sekali patokan ini diambil maka hal ini akan jadi
preseden, teladan dan contoh di masa mendatang, dan jumlah orang yang
berwenang mengambil keputusan akan jadi patokan juga di masa depan.
Qadhi al-‘Ajali menulis:
“Malah satu atau dua orang telah cukup menentukan
terpilihnya pemimpin, karena kita tahu bahwa para ulama yang tegas dalam
agama menganggap cukup pengangkatan Abu Bakar oleh ‘Umar dan
pengangkatan ‘Utsman oleh ‘Abdur-Rahman.” (Syarh al-Mawaqif, h. 351)
Beginilah riwayat “Pemilihan secara mufakat” di Saqifah
Bani Sa’idah dan kegiatan Syura dalam pemilihan ‘Utsman: tindakan satu
orang telah diberi nama “pemilihan secara mufakat”, dan perbuatan satu
orang dinamakan majelis syura. Abu Bakar telah memahami kenyataan bahwa
pemilihan berarti hanya satu atau dua suara yang akan diatributkan pada
rakyat umum yang sederhana. Itulah sebabnya ia mengabaikan tuntutan
dengan suara bulat, suara mayoritas atau metode pemilihan melalui
majelis yang dipilih, dan ia sendiri mengangkat ‘Umar. ‘A’isyah pun
memandang bahwa membiarkan masalah kekhalifahan pada suara beberapa
individu berarti mengundang kekacauan dan kesulitan. la mengirimkan
pesan kepada ‘Umar menjelang matinya:
“Jangan biarkan umat Islam tanpa pemimpin. Angkatlah
seorang khalifah untuk itu dan jangan Anda tinggalkan umat tanpa
pewenang, karena apabila tidak demikian saya melihat kekacauan dan
kesulitan.”
Ketika pemilihan oleh orang yang berwenang terbukti gagal,
hal itu ditinggalkan, dan hanya “kekuatan adalah kebenaran” yang menjadi
ukurannya—yakni siapa saja yang menundukkan dan menguasai orang lain,
diterima sebagai khalifah Nabi dan pelanjutnya yang sebenarnya. Ini
prinsip buatan sendiri, padahal ada serangkaian hadis Nabi yang
disampaikan pada “Pertemuan ‘Asyirah”, pada ma-lam Hijrah, pada Perang
Tabuk, pada kesempatan menyampaikan surah al-Bara’ah (at-Taubah) dan di
Ghadlr Khum. Yang aneh, setiap orang dari khalifah itu di-dasarkan pada
pilihan individu, sementara pilihan Nabi sendiri ditolak! Padahal,
penunjukan oleh Nabi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri
perselisihan, yakni bahwa Nabi sendiri yang semestinya menyelesaikan dan
menyelamatkan umat dari kekacauan-kekacauan di masa depan dan
menghindarkan pengambilan keputusan di tangan orang-orang yang terlibat
dalam tujuan dan maksud-maksud pribadi. Ini prosedur yang tepat yang
sesuai dengan nalar dan juga mendapat dukungan hadis-hadis Nabi yang
tegas.
[iii]
Hayyan Ibnu Samin al-Hanafi al-Yamamah adalah kepala suku Bani Hanifah
dan penguasa benteng dan tentara. Jabir adalah nama adiknya, sedang
A’sya, yang nama sesungguhnya Malmun Ibnu Qais Ibnu Jandal, adalah
sahabat karib dan hidup pantas dan bahagia atas kemurahannya. Dalam
bait syair ini ia membandingkan kehidupannya sekarang ini dengan yang
sebelumnya, yakni masa ketika ia berkelana mencari nafkah, dengan masa
hidup berbahagia bersama Hayyan. Pada umumnya dianggap bahwa Amirul
Mukminin mengutip bait ini untuk membandingkan masanya yang kesusahan
dengan masa-masa daMal yang dilaluinya dalam asuhan dan perlindungan
Nabi, ketika ia bebas dari segala kerisauan dan menikmati kedaMalan
mental. Tetapi, mengingat peristiwa ia membuat perbandingan ini, serta
pokok bait syair itu, bukanlah penjelasan yang dicari-cari apabila itu
dianggap menunjukkan perbedaan antara kedudukan yang tak penting dari
orang-orang yang sekarang sedang berkuasa, di masa kehidupan Nabi, dan
wewenang dan kekuasaan mereka sesudahnya; yakni, pada masa Nabi tiada
perhatian diberikan kepada mereka, karena kepribadian Ali; tetapi,
sekarang waktu telah berubah demikian rupa sehingga orang-orang itu
menjadi penguasa dunia Islam.
[iv] Ketika ‘Umar terluka oleh Abu Lu’lu’ah
dan ia melihat bahwa sulit baginya untuk hidup lebih lama lagi, karena
luka yang parah itu, ia membentuk suatu komite musyawarah (Syura) dan
menunjuk Ali Ibnu Abt Thalib, ‘Utsman Ibnu ‘Affan, ‘Abdur-Rahman Ibnu
‘Auf, Zubair Ibnu ‘Awwam, Sa’id Ibnu Abi Waqqash dan Talhah Ibnu
‘Ubaidillah, seraya mengikat mereka dengan ketentuan bahwa setelah tiga
hari sesudah kematiannya, mereka harus memilih salah seorang di antara
mereka sendiri sebagai khalifah, sementara untuk tiga hari itu Shuhaib
akan bertindak sebagai khalifah sementara.
Ketika menerima instruksi ini, beberapa orang bertanya
kepadanya bagaimana pikirannya tentang setiap orang dari mereka itu,
untuk memungkinkan mereka berlaku sesuai dengan sorotannya. Karenanya,
‘Umar mengungkapkan pandangannya sendiri tentang setiap individu itu. Ia
mengatakan bahwa Sa’d bertempramen kasar dan berkepala panas;
‘Abdurrahman adalah Fir’aunnya umat; Zubair, apabila disenangkan, adalah
seorang mukmin yang sebenarnya, tetapi apabila tidak disenangkan adalah
seorang kafir; Thalhah adalah pengejawantahan kebanggaan dan
kesombongan, yang apabila dijadikan khalifah ia akan memasang cincin
kekhalifahan di jari istrinya, sedang ‘Utsman tidak melihat melampaui
keluarga-nya. Mengenai Ali, ia terpikat kekhalifahan, walalupun saya
tahu hanya ia sendiri yang dapat melaksanakannya pada garis yang benar.
Walaupun demikian pengakuannya, ia menganggap perlu untuk
membentuk Syura itu, dan dalam memilih para anggotanya dan meletakkan
prosedur kerjanya, ia meyakinkan bahwa kekhalifahan akan mengarah ke
mana ia menginginkannya. Maka, seorang yang berkebijaksanaan biasa dapat
mengambil kesimpulan bahwa semua faktor keberhasilan ‘Utsman terdapat
di dalamnya.
Apabila kita perhatikan para anggotanya, kita lihat bahwa,
pertama, ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf adalah suami saudara perempuan ‘Utsman;
berikutnya, Sa’d Ibnu AbT Waqqash, selain menaruh dengki terhadap Ali,
adalah teman dan keluarga ‘Abdur-Rahman; keduanya tak dapat diharapkan
akan menentang ‘Utsman.
Yang ketiga, Thalhah Ibnu ‘Ubaidillah yang tentangnya Muhammad ‘Abduh menulis dalam anotasinya mengenai Nahjul Balaghah:
“Thalhah cenderung kapada ‘Utsman, dan sebabnya adalah tak
kurang dari ia menentang Ali, karena ia sendiri seorang anggota suku
Taim, dan naiknya Abu Bakar pada kekhalifahan telah menciptakan
perseteruan antara Bani Taim dan Bani Hasyim.”
Mengenai Zubair, sekiranyapun ia memilih Ali, apa gunanya
satu suara ini? Menurut pernyataan Thabari, Thalhah tidak hadir di
Madinah pada waktu itu, tetapi absennya tidak menghalangi keberhasilan
‘Utsman. Malah, sekiranyapun ia hadir, sebagaimana ia akhirnya datang ke
Syura itu, dan ia dianggap pendukung Ali, tetap tidak akan meragukan
keberhasilan ‘Utsman, karena pikiran ‘Umar yang cerdik telah menetapkan
prosedur bahwa:
“Apabila dua orang menyetujui yang satu, sedang yang dua
orang lagi me-nyetujui seorang lainnya, maka ‘Abdullah Ibnu ‘Umar akan
bertindak sebagai penengah. Kelompok yang diperintahkannya harus mamilih
khalifah di antara mereka sendiri. Apabila mereka tidak menerima
keputusan ‘Abdullah Ibnu ‘Dinar, maka dukungan harus diberikan kepada
kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf; tetapi, apabila yang
lain-lainnya tidak menyetujuinya maka mereka harus dipancung kepalanya
karena menentang keputusan ini.” (Thabari, I, h. 2779-2780; Ibnu Atsir,
III, h. 67)
Di sini ketidaksepakatan dengan keputusan ‘Abdullah Ibnu
‘Umar tidak berarti apa-apa, karena ia diarahkan untuk mendukung
kelompok yang meliputi ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. la telah memerintahkan
anaknya ‘Abdullah, dan Shuhaib, bahwa:
“Apabila orang-orang itu berselisih, Anda harus memihak
kepada mayoritas; tetapi apabila ada tiga di antara mereka di satu sisi
dan tiga di sisi lainnya, Anda harus memihak pada kelompok di mana
termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf.” (Thabari, jilid I, h. 2725, 2780;
Ibnu AtsTr, jilid II, h. 51, 67)
Dalam instruksi ini persetujuan mayoritas juga berarti
mendukung ‘Abdur-Rahman, sebab mayoritas tak mungkin memihak pada siapa
pun lainnya, karena lima puluh pedang haus darah telah disiapkan
terhadap kelompok lawan, dengan perintah untuk memancung kepala mereka
atas keputusan ‘Abdur-Rahman. Mata Amirul Mukminin telah membaca pada
saat itu juga bahwa kekhalifahan akan berpindah kepada ‘Utsman,
sebagaimana nampak pada kata-kata berikut ini, yang disampaikannya
kepada ‘Abbas Ibnu ‘Abdul Muththalib:
“Kekhalifahan telah disingkirkan dari kami.” ‘Abbas
bertanya bagaimana ia mengetahuinya. Lalu ia menjawab, ‘”Utsman juga
telah disetarakan dengan saya, dan telah diatur bahwa mayoritas harus
didukung; tetapi, apabila dua orang menyetujui yang satu, dan dua lagi
menyetujui yang lain, maka dukungan harus diberikan kepada kelompok di
mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. Nah, Sa’d akan mendukung saudara
sepupunya ‘Abdur-Rahman yang tentu saja adalah suami saudara perempuan
‘Utsman.” (ibid)
Alhasil, setelah wafatnya ‘Umar, pertemuan ini berlangsung
di rumah ‘A’isyah. Di pintunya berdiri Abu Thalhah al-Anshari dengan
lima puluh orang yang telah menghunus pedang di tangannya. Thalhah
memulai acara, dan seraya mengundang semua yang lain-lainnya untuk
menyaksikan, ia berkata bahwa ia memberikan hak pilihnya kepada ‘Utsman.
Ini menyinggung harga diri Zubair karena ibunya Safiyyah putri ‘Abdul
Muthtalib adalah saudara perempuan ayah Nabi. Maka ia memberikan hak
suaranya kepada Ali. Sesudah itu Sa’d Ibnu Abi Waqqash memberikan hak
suaranya kepada ‘Abdur-Rahman. Tinggal tiga anggota Syura yang belum
memilih, di antaranya ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf yang mengatakan ia mau
melepaskan haknya sendiri untuk dipilih apabila Ali a.s. dan ‘Utsman
memberikan hak kepadanya untuk memilih seseorang di antara mereka, atau
salah satu di antara kedua orang ini harus mendapatkan hak memilih
dengan jalan menarik diri dari pencalonan. Ini perangkap di mana Ali
telah dilibat dari semua sisi, yakni ia harus meninggalkan haknya
sendiri atau mengizinkan ‘Abdur-Rahman bertindak semaunya. Yang pertama
tak mungkin baginya, yakni melepaskan haknya dan memilih ‘Utsman atau
‘Abdur-Rahman. Maka, ia berpegang pada haknya, sementara ‘Abdur-Rahman
melepaskan diri dari pencalonan itu lalu me-megang kekuasaan ini seraya
berkata kepada Amirul Mukminin, “Saya membaiat Anda dengan syarat Anda
mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan perilaku kedua Syeikh (Abu Bakar
dan ‘Umar).” Ali menjawab, “Akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan
pendapat saya.” Ketika ia memberikan jawaban yang sama seka-lipun
pertanyaan itu telah diulang tiga kali, ‘Abdur-Rahman berpaling kepada
‘Utsman seraya berkata, “Apakah Anda menerima persyaratan ini?” ‘Utsman
tidak beralasan untuk menolak; maka ia menyetujui persyaratan itu, dan
baiat pun dilakukan baginya. Ketika Amirul Mukminin melihat haknya
terpijak-pijak demikian, ia berkata:
“Ini bukan hari pertama Anda berlaku menentang kami. Saya
hanya harus bersabar. Allah adalah Penolong terhadap segala yang Anda
katakan. Demi Allah, Anda tidak membuat ‘Utsman menjadi khalifah
melainkan dengan harapan bahwa ia akan mengembalikan kekhalifahan kepada
Anda.”
Setelah mencatat peristiwa Syura (komite musyawarah
pengangkatan ‘Utsman itu), Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ketika
pembaiatan telah dilakukan kepada ‘Utsman, Ali menegur ‘Utsman dan
‘Abdur-Rahman dengan mengatakan, “Semoga Allah menaburkan benih
perselisihan di antara Anda,” dan demikian terjadinya sehingga keduanya
bermusuhan sengit, dan ‘Abdur-Rahman tak pernah lagi berbicara dengan
‘Utsman hingga matinya. Bahkan di ranjang kematiannya ia memalingkan
muka ketika melihat ‘Utsman.
Melihat peristiwa ini timbul pertanyaan, apakah Syura
bermaksud membatasi urusan kepada enam orang, kemudian kepada tiga
orang, dan akhirnya hanya pada satu orang saja? Juga, apakah syarat
untuk mengikuti perilaku kedua Syeikh untuk kekhalifahan ditetapkan oleh
‘Umar, atau hanya sekadar halangan yang diletakkan oleh ‘Abdur-Rahman
antara Ali a.s. dan kekhalifahan; khalifah yang pertama tidak
meletakkan syarat pada waktu mengangkat khalifah yang kedua, yakni bahwa
ia harus mengikuti langkah-langkah khalifah yang pertama. Maka, apakah
alasan untuk syarat itu di sini?
Namun, Amirul Mukminin telah menyetujui untuk turut serta
dalam Syura itu untuk menjauhkan bencana dan untuk menghentikan orang
menggunakannya sebagai dalih, sehingga orang-orang lain dibungkamkan dan
tak akan dapat meng-aku bahwa mereka sebenarnya akan memilih dia dan
bahwa ia sendiri meng-elakkan komite musyawarah itu dan tidak memberikan
kesempatan kepada mereka memilihnya.
[v] Tentang pemerintahan khalifah yang ketiga itu, Arnirul Mukminin mengatakan bahwa scgera setelah
ia berkuasa, Ban? Umayyah mendapatkan lahan dan mulai menjarahi Baitul
Mal (perbendaharaan negara), dan seperti ternak melihat rumput hijau
setelah musim kemarau, dengan sembrono mereka mcnyerbu uang milik Allah
lalu melahapnya. Akhirnya keserakahan dan nepotisme ini membawanya ke
tahap di mana rakyat mengepung rumahnya, membunuhnya dan membuatnya
memuntahkan semua yang telah ditelannya.
Malakelola pemerintahan yang terjadi dalam masa ini
sedemikian rupa sehingga tiada seorang Muslim yang tak tergugah melihat
para sahabat berkcdudukan tinggi dibiarkan terlantar, dilanda
kemiskinan dan dikepung kemelaratan, sementara kekuasaan atas Baitul Mal
berada di tangan Bani
Umayyah, jabatan pemerintahan diduduki
orang-orang muda mereka yang tak berpengalaman, hak-hak khusus kaum
Muslim mereka kuasai, padang penggembalaan hanya untuk ternak mereka,
rumah-rumah dibangun hanya untuk mereka, dan kebun-kebun hanya bagi
mereka saja. Apabila ada seseorang merasa belas kasihan kepada orang
lain lalu berbicara tentang pelanggaran batas-batas ini, ia diusir dari
kota. Penggunaan zakat dan sedekah yang dimaksudkan untuk fakir miskin,
dan Baitul Mal yang merupakan hak umum kaum Muslim, dapat dilihat pada
gambaran berikut:
(1) Hakam Ibnu Abil ‘Ash yang telah diusir oleh Nabi dari
Madinah, diizinkan kembali ke kota itu, bukan saja bertentangan dengan
sunah Nabi tetapi juga bertentangan dengan perilaku kedua khalifah
sebelumnya; ia bahkan diberi tiga ratus ribu dirham dari Baitul Mal.
(Ansāb al-Asyrāf, V, h. 27, 28, 125)
(2) Walid Ibnu ‘Uqbah yang telah dinaMal munafik dalam
Qur’an, dibayari seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Al-‘Iqd al-Farid,
III, h. 94)
(3) Khalifah itu mengawinkan anak perempunnya Umm Aban
dengan Marwan Ibnu Hakam dan memberikan kepada Marwan seratus ribu
dirham dari Baitul Mal. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 194-199)
(4) la mengawinkan anaknya ‘A’isyah dengan Harits Ibnu
Hakam dan memberikan kapada Harits seratus ribu dirham dari Baitul Mal.
(ibid)
(5) ‘Abdullah Ibnu Khalid diberi empat ratus ribu dirham. (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’ārif, h. 84)
(6) la memberikan hak atas khums (pajak keagamaan) dari Afrika, sejumlah lima ratus ribu dinar, kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(6) Kebun Fadak yang tidak diserahkan kepada putri
Rasulullah Fathimah az-Zahra’ berdasarkan alasan bahwa itu merupakan
sedekah umum, diberikan sebagai hadiah kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(7) Mahzur, suatu tempat di area perdagangan Madinah, yang
telah dimaklumkan sebagai milik umum oleh Nabi, dihadiahkan kepada Hants
Ibnu Hakam. (ibid)
(8) Di padang-padang sekitar Madinah, lak ada unta selain
milik Bani Umayyah yang digembalakan. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 199)
(10) Setelah meninggalnya (‘Utsman), seratus lima puluh
ribu dinar (mala uang mas) dan satu juta dirham (mata uang perak)
terdapat di rumahnya. Tak ada batas tanah-tanah yang bebas pajak; dan
nilai total harta perkebunan yang dimilikinya di Wadi al-Qura dan Hunain
adalah seratus ribu dinar. Di sana terdapat unta dan kuda yang tak
terhitung banyaknya. (Muruj adz-Dzahab,I, h. 435)
(11) Famili-famili khalifah memerintah semua kota penting.
Di Kuf’ah, Walid Ibnu ‘Uqbah adalah gubernurnya. Tetapi ketika dalam
keadaan mabuk anggur ia mengimami salat Subuh empat rakaat, bukannya
dua, dan rakyat menggugat, la pun dipindahkan. Tetapi, khalifah
menggantikkannya dengan seorang munafik, Sa’id bin al-‘Ash. Di Mesir
‘Abdullah Ibnu Sa’d Ibnu AbT Sarh, di
Suriah Mu’awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah ‘Abdullah Ibnu ‘Amir.
Suriah Mu’awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah ‘Abdullah Ibnu ‘Amir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar