Di antara
para pemuda keturunan Rasulullah SAW yang brilian adalah Ali bin Husain
yang biasa disebut Ali Akbar, putra Imam Husain yang kedua. Pada
peristiwa tragedi Karbala, Ali Akbar masih sangat muda. Wajahnya
bercahaya. Caranya berbicara amat mempesona. Perilakunya luhur persis
seperti ayah dan kakeknya.
Pada Hari
Asyura, Ali Akbar baru berusia delapan belas tahun. Ibunya seorang
wanita terhormat bernama Laila. Laila adalah wanita keturunan Urwah bin
Mas’ud Tsaqafi, salah seorang pendekar dari empat pendekar bangsa Arab
yang paling berani pada masa pra-Islam. Imam Husain memberi nama Ali,
nama ayah beliau, kepada semua putra beliau. Karena nama ketiga putra
Imam Husain adalah Ali, maka masing-masingnya dipanggil dengan sebutan
yang berbeda, seperti Ali Zainal Abidin (Ali yang pertama dan paling
tua), Ali Akbar (Ali yang kedua), Ali Ashgar (Ali yang bungsu dan paling
muda).
Kecerdasan,
keberanian, kepribadian serta cirri-ciri fisik Ali Akbar sangan mirip
dengan Imam Ali. Sedangkan cara Ali Akbar berjalan dan berbicara sangat
mirip dengan kakek buyutnya, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Menurut
beberapa sumber, Ali Akbar adalah pemuda pertama Bani Hasyim yang maju
menyerang pasukan Yazid. Dia menyerang dengan semangat jihad hingga
syahid karena membela ayahnya, Imam Husain.
Sebelum maju
ke medan laga, Ali Akbar terlebih dahulu meminta izin kepada Imam
Husain. Mendengar permintaan izin Ali Akbar, Imam Husain memandang
sejenak kearah 30.000 pasukan Yazid dan kemudian kembali menatap pilu
Ali Akbar, meyakinkan dirinya bahwa putranya harus berperang melawan
ribuan pasukan itu seorang diri. Akhirnya Imam Husain mengizinkan Ali
Akbar untuk maju ke medan laga seorang diri.
Sebelum melepas putranya meraih syahadah, Imam Husain berkata “Putraku,
Ali Akbar, ucapkan salam perpisahan kepada bibimu, ibumu dan
saudara-saudara perempuanmu, kemudian pergilah dia menuju medan laga.”
Ali Akbar
pun masuk ke tenda menemui para wanita Ahlul Bait. Ada kesedihan di
sana. Ada ratap pilu di sana. Ada salam perpisahan di sana. Para wanita
memeluknya erat-erat. Seorang wanita putri Rasulullah berkata
terisak-isak, “Aduhai kenangan Rasulullah SAW, kasihanilah keterasingan dan kehormatan kami. Kami tak akan mampu hidup tanpamu.”
Meski sedih
merajam sukma dan haru mendendang irama kalbu, Ali Akbar tetap
menjunjung kehormatan dirinya sebagai lelaki yang menyaksikan ayahnya
dikepung ribuan serigala berwajah manusia. Dihadapannya, pasukan musuh
yang beringas siap untuk membunuh ayahnya, cucu kesayangan Rasulullah
SAW. Bagaimana mungkin Ali Akbar muda yang kuat tega membiarkan ayahnya
tersiksa. Ali Akbar tidak bisa membiarkan kehormatan Rasulullah SAW
diinjak-injak. Setelah mengucapkan salam, Ali Akbar berangkat menyerang
pasukan musuh.
Hingga beberapa depa, Imam Husain mengantar kepergian Ali Akbar melawan musuh. Lalu Imam Husain menengadah ke langit dan berdoa,
“Ya Tuhanku, Jadilah saksi bahwa cara berjalan dan berbicara, wajah dan
kepribadian orang yang maju ke medan perang saat ini menyerupai
nabi-Mu. Jadi kami, Ahlul Bait, rindu untuk melihat Rasulullah SAW, kami
selalu memandang Ali Akbar dan terobatilah kerinduan kami. Ya Tuhanku,
hilangkanlah karunia duniawi atas para tentara itu dan jadikanlah mereka
ling-lung dan mendapat bencana, sehingga mereka tidak dapat menguasai
kami. Mereka telah mengundang kami untuk datang kemari, namun mereka
juga memusuhi kami dan siap untuk membantai dan membunuh kami.”
Kemudian Imam Husain yang teraniaya di Karbala menyebut nama putra sa’d dan berkata, “Semoga
Allah memangkas keturunanmu dan semoga kamu tak pernah mendapat apa
yang kamu inginkan. Semoga Allah memberi kekuatan kepada penguasa zalim
yang menguasaimu ketika dia memenggal kepalamu saat kamu sedang tidur
pulas. Karena kesyahidan pemuda elok ini, kamu telah memangkas
keturunanku yang seharusnya lahir dari garis keturunannya beberapa orang
anak. Betapa kamu sama sekali tak memandang hubunganku dengan kakekku
(Rasulullah SAW).”
Ali Akbar menjelang laga. Di medan perang dia bersyair dengan semangat jihad berapi-api, “Akulah
Ali putra Husain yang kakeknya adalah Rasulullah SAW. Demi Allah, kami
adalah yang berhak dan layak menjadi wakil pemimpin Allah. Demi Tuhan,
keturunan-keturunan yang hina tak akan bisa menguasai kami. Aku akan
berperang dengan kalian hingga tetes darah penghabisan. Sekalipun
sebilah pedang ini patah, aku tetap akan berperang dengan tonggat hingga
tonggat ini pun patah, hingga kalian tahu kekuatan pemuda Bani
Hasyim!.”
Segera
setelah itu, Ali Akbar menerjang barisan musuh. Para kurcaci kekuasaan
illegal itu porak-poranda. Satu-persatu tubuh-tubuh yang telah
kehilangan kehormatan itu tersungkur dari punggung kudanya. Tak ada yang
dapat mengelak dari tetakan pedang putra Husain itu.
Kemudian Ali
Akbar kembali ketempatnya semula sejenak dan kembali menghunuskan
pedangnya. Setiap peleton pasukan musuh yang dihalaunya kacau balau.
Mereka tak menyangka akan menerima serangan pemuda yang lihai menarikan
pedang itu.
Setiap musuh
yang diterjangnya, pasti tak akan selamat. Tersungkur dan mampus.
Seratus Dua Puluh nyawa penjahat dilayangkan olehnya. Serigala-serigala
berwujud manusia itu lari tunggang langgang tak tentu arah,
berteriak-teriak meminta pertolongan seperti serombongan serigala yang
berhamburan dihalau singa padang pasir.
Tercermin
lagi pribadi Ali bin Abi Thalib di laga Badar, Uhud dan Khandaq.
Terlihat lagi kegigihan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ketika
menjebol benteng Kahibar.
Keringatnya
bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal. Terik matahari Karbala membuatnya
tak kuasa menahan dahaga. Ali Akbar kembali ke tenda Imam Husain dan
berkata, “Ayah, dahaga mencekik leherku. Jika setetes air membasahi rongga leherku, niscaya aku akan memenangkan pertempuran ini.”
Mendengar
putranya berseru, mata Imam Husain sembab. Seperti Ali Akbar, beliau
telah berhari-hari tak mendapatkan seteguk air pun di sahara gersang
Karbala. Imam Husain memeluk putranya itu dan memasukkan lidah beliau ke
mulut Ali Akbar. Ali Akbar dapat menghisap kelembaban suwarga. Ali
Akbar berkata, “Ayah, Lidahmu lebih kering dari lidahku!.”
Ali Akbar
kini kembali ke medan perang dalam kehausan yang mematikan. Pasukan
musuh kali ini serentak mengepungnya dan menyerangnya dari segala
penjuruh. Serangan bertubi-tubi menghujam dan menyambar tubuh Ali Akbar.
Tebasan pedang-pedang laknat menorehkan luka di sekujur tubuhnya.
Ketika anak
panah menancap tepat di dada dan perutnya, saat itu pula Ali Akbar
membentur bumi. Berguling-guling bermandikan pasir panas Karbala. Ali
Akbar syahid di medan juang.
Menurut
salah satu riwayat, Imam Husain mendekati Ali Akbar yang syahid
tercincang-cincang. Imam Husain meletakkan kepala jasad Ali Akbar di
pangkuannya dan menyuarakan pujian, “Putraku, Engkau telah terpisah
dengan dunia. Engaku telah terbebas dari duka dan kesedihan dunia, kini
ayahmu seorang diri menanti kesyahidan. Wahai para pemuda, bawalah
jenazah saudaramu ke perkemahan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar