Di
antara ksatria-ksatria perang Imam Husain yang tetap dikenang namanya
disepanjang sejarah adalah putra dari Imam Hasan, yakni Qasim bin Hasan.
Menurut banyak riwayat usia Qasim bin Hasan ketika tragedi Karbala
terjadi, belum genap dewasa. Sebagian besar riwayat menyatakan bahwa
Qasim bin Hasan berusia tiga belas Tahun.
Qasim bin
Hasan yang gagah perkasa adalah cinderamata Islam dari ayah beliau, Imam
Hasan. Dia turut serta ke Padang Karbala bersama pamannya, Imam Husain.
Pada hari Asyura, yakni Hari kesepuluh, Muharram 61 H, Qasim melihat
para pemuda Bani Hasyim yang masih hidup membawa sisa-sisa tubuh Ali
Akbar dari medan perang ke perkemahan Imam Husain dan menjaganya ke
dekat tenda-tenda mereka. Saat itulah Qasim bin Hasan kehilangan
nafsunya akan kehidupan duniawi. Dia pun melihat dengan jelas bahwa
tragedi yang menimpa Ali Akbar telah mengubah raut wajah Imam Husain.
Qasim bin Hasan pun tak sanggup lagi untuk berdiam diri.
Qasim bin
Hasan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan Imam Ali bin Abi Thalib,
mewarisi segala keberanian, kecerdasan, pemahaman, pemikiran dan
kemampuan dari Rasulullah SAW dan Imam Ali. Dia memutuskan untuk tidak
lagi peduli dengan kehidupan dunia dan memohon izin kepada pamannya ke
medan perang memerangi musuh-musuh laknat.
Imam Husain
sangat menyayangi Qasim bin Hasan, keponakan beliau yang telah yatim
saat Imam Hasan syahid. Karenanya, Imam Husain tak ingin melepaskan
keponakan tersayangnya untuk maju ke medan laga melawan ribuan pasukan
musuh yang sadis dan keji. Namun karena Qasim bin Hasan sangat teguh
pendiriannya untuk berperang melawan pasukan zalim dan rela syahid di
medan perang, Imam Husain pun mengizinkannya.
Menyadari
detik-detik perpisahannya dengan putra kakaknya, Imam Husain memeluk
kasih seakan enggan untuk berpisah. Mereka berdua menangis dan seolah
tak sanggup menanggung beban perpisahan dan merelakannya menjadi korban
manusia-manusia laknat pendukung Yazid.
Orang-orang
pendukung Yazid adalah para pemuja berhala harta dan nafsu duniawi.
Mereka memilih mengkhianati keluarga Rasulullah SAW untuk menjilat
kerajaan yazid bin Muawiyah. Mereka lebih memilih tanpa moral, daripada
mati terhormat menyongsong agama Muhammad SAW.
Tanpa akhlak, apa beda manusia dengan binatang. Satu-satunya pilihan pada saat itu
Adalah terus
memerangi manusia-manusia biadab, pengkhianat Nabi Muhammad SAW,
pengkhianat Islam, sampai titik darah penghabisan. Inilah pilihan dan
tradisi Rasulullah SAW.
Setelah
mendapat izin dari pamannya untuk maju ke medan perang, Qasim segera
melesat menerjang lawan sambil memacu kudanya, dia bersyair, “Mungkin
kalian tak mengenalku. Akulah putra Hasan cucu Rasulullah SAW. Pamanku
Husain dikepung bak tawanan. Semoga beliau tak memberikan karunianya
kepada kalian semua.”
Pasukan
Yazid sempat porak-poranda dihalaunya. Banyak musuh yang terbunuh akibat
tebasan pedang Qasim bin Hasan. Hamid bin muslim, yang ditunjuk Yazid
sebagai pencatat peristiwa-peristiwa peperangan Karbala berkata, “Aku
melihat seorang anak remaja yang wajahnya bersinar seperti bulan
purnama. Dia mengenakan pakaian dan celana serta sandal yang salah satu
talinya terputus. Anak muda itu berlari ke arahku. Jika aku tak salah
tali sandal sebelah kirinyalah yang putus. Sa’d Asdi berkata kepadaku,
“Biar aku serang dia. Aku berkata, “Kemenangan atas Tuhan. Apa yang
engkau inginkan dengan melakukan itu? Tinggalkan dia. Satu saja keluarga
Husain mati, itu sudah cukup untuk dijadikan alasan balas dendam
kepadamu atas kematiannya”. Tapi dia memaksa, “Demi Tuhan, biarkan aku
menyerangnya”. Maka dia menyerang anak muda itu dan tak kembali hingga
menghantam kepala anak muda itu dengan pedangnya dan membelahnya menjadi
dua. Sebelum terjatuh dari kudanya, anak itu berseru, “oh pamanku”.
Melihat
tragedi meremukkan hati itu, Imam Husain secepat kilat menyambar bak
elang, menyerang bak singa garang dan menyabet Umar bin Sa’d dengan
pedang beliau. Umar bin Sa’d mencoba untuk menangkis sambaran pedang
Imam Husain dengan tangannya, tapi tangan Umar bin Sa’d malah tertebas
oleh pedang imam Husain. Lalu Imam Husain, sang singa yang marah,
membawa jasad-jasad Qasim keperkemahan dan membaringkannya disamping
jenasah Ali Akbar dan para syuhadah lainnya.
Kesetiaan
dan pengorbanan Qasim untuk agama Allah telah membuka lembaran baru
sejarah Islam. Keturunan Rasulullah SAW adalah para pemuda-pemuda
peletak batu pertama bangunan heroisme dan pembelaan umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar