Kamis, 13 November 2014

Sejarah ilmu Tajwid, Asal Usul dan Akar ilmu Tajwid

Sejarah ilmu Tajwid, Asal Usul dan Akar ilmu Tajwid, Asal Kata Tajwid yaitu dari kata Bahasa Arab jawwada- yujawwidu- tajwiidan mengikuti wazan taf’iilyang berarti membuat sesuatu menjadi bagus. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan bahwa Istilah ini muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang berbunyi:
ورتل القرأن ترتيلا

Beliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf yang berarti membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan shifat) dan tahu tempat-tempat waqaf.

Selama ini memang belum ditemukan musnad tentang perkataan beliau mengenai hal di atas, dan kisah ini hanya terdapat dalam kitab tajwid. Akan tetapi para ulama’ bersepakat bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf.

Pengertian tajwid
Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qiraat, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid. Pendapat sebagaian ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda namun pada intinya sama. sebagaimana yang dikutip Hasanuddin. AF.
Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan makhrajnya menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.

Sebagian ulama yang lain medefinisikan tajwid sebagai berikut:
“Tajwid ialah mengucapkan huruf(al-Quran) dengan tertib menurut yang semestinya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta melembutkan bacaannya sesempurna mungkin tanpa belebihan ataupun dibuat-buat”.

Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Quran itu diturunkan kepada Rasulullah SAW . Ini kerana Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca al-Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam ayat 4, surah al-Muzammil:
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا ……
“…..Bacalah al-Quran itu dengan tartil(perlahan-lahan).” Kemudian baginda Saw mengajar ayat-ayat tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil.
Sayyidina Ali r.a apabila ditanya tentang apakah maksud bacaan al-Quran secara tartil itu, maka beliau menjawab” adalah membaguskan sebutan atau pelafalan bacaan pada setiap huruf dan berhenti pada tempat yang betul”.

Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil dari Ijtihad (fatwa) para ulama’ yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus) melalui riwayat dari sumbernya yang asal yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah Saw.

Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah apabila bermulanya kesedaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya baris-baris bagi setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, apabila pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mula melakukan-kesalaha dalam bacaan.

Ini karena semasa Utsman menyiapkan Mushaf al-Quran dalam enam atau tujuh buah itu, beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya kerana memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah s.a.w sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam.

Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun pertama dan kedua Hijrah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Quran.

Maka al-Quran Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada huruf-hurufnya bagi Karangan ilmu Qiraat yang paling awal sepakat apa yang diketahui oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu ‘Ubaid Al-Qasim Ibnu Salam dalam kitabnya “Al-Qiraat” pada kurun ke-3 Hijrah. Tetapi ada yang mengatakan apa yang telah disusun oleh Abu ‘Umar Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qiraat adalah lebih awal.

Pada kurun ke-4 Hijrah pula, lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya “Kitabus Sab’ah”, dimana beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qiraat kepada tujuh imam bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh naskah kesemuanya pada masa itu karangan ilmu Tajwid yang paling awal, barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk Qasidah (puisi) ilmu Tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijrah adalah yang terulung.

Selepas itu lahirlah para ulama yang tampil memelihara kedua-dua ilmu ini dengan karangan-karangan mereka dari masa ke masa seperti Abu ‘Amr Ad-Dani dengan kitabnya At-Taysir, Imam Asy-Syatibi Tahani dengan kitabnya “Hirzul Amani wa Wajhut Tahani” yang menjadi tonggak kepada karangan-karangan tokoh-tokoh lain yang sezaman dan yang setelah mereka. Tetapi yang jelas dari karangan-karangan mereka ialah ilmu Tajwid dan ilmu Qiraat senantiasa bergandengan, ditulis dalam satu kitab tanpa dipisahkan pembahasannya. Penulisan ini juga diajarkan kepada murid-murid mereka.

Kemudian lahir pula seorang tokoh yang amat penting dalam ilmu Tajwid dan Qiraat yaitu Imam (ulama) yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jazari dengan karangan beliau yang masyhur yaitu “An-Nasyr”, “Toyyibatun Nasyr” dan “Ad-Durratul Mudhiyyah” yang mengatakan ilmu Qiraat adalah sepuluh sebagai pelengkap bagi apa yang telah dinaytakan Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya “Hirzul Amani” sebagai Qiraat tujuh. Imam Al-Jazari juga telah mengarang karangan yang berasingan bagi ilmu Tajwid dalam kitabnya “At-Tamhid” dan puisi beliau yang lebih terkenal dengan nama “Matan Al-Jazariah”. Imam Al-Jazari telah mewariskan karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya sekali yang kemudiannya telah menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu Tajwid dan Qiraat serta bacaan al-Quran hingga ke hari ini.

Rabu, 12 November 2014

HIDUP DAN KARYA MURTADHA MUTHAHHARI

Ayatullah Murtadha Mutahhari, salah seorang arsitek utama kasadaran baru Islam di Iran, lahir pada 2 Februari 1920 di Fariman, sebuah dusun-kini sebuah kotapraja-yang terletak 60 km dari Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum Syi?ah yang besar di Iran Timur1). Ayatullah Muhammad Husein Muthahhari, seorang ulama cukup terkemuka yang belajar di Najaf dan menghabiskan beberapa tahun di Mesir dan hijaz sebelum kembali ke Fariman. Sang ayah berbeda pola pemikiran dengan sang anak, yang ternyata lebih cemerlang.
HIDUP DAN KARYA MURTADHA MUTHAHHARI 
Sang ayah menekuni karya-karya tradisionalis terkemuka, Mulla Baqir Majlisi; sedangkan hero besar sang anak di antara para ulama masa lalu adalah ahli teosofi Mulla Sadra. Sungguh pun demikian, Ayatullah Muthahhari tetap menghormati dan sangat mencintai ayahnya yang juga guru pertamanya. Ia mempersembahkan pada ayahnya salah satu karya termasyhurnya, Dastan-i Rastan (Epik Sang Saleh).2)

Tamasya Intelektualnya
 
Pada usia duabelas tahun, Muthahhari mulai belajar agama secara formal di lembaga pengajaran di Masyhad, yang pada waktu itu sedang mengalami kemunduran, sebagian karena alasan-alasan intern, dan sebagian-karena alasan-alasan ekstern, yaitu tekanan-tekana dari Reza Khan, otokrat pertama Pahlevi, terhadap semua lembaga keislaman.
Tetapi, di Masyhad Muthahhari menemukan kecintaan besarnya kepada filsafat, teologi dan tasawuf (?irfan). Kecintaan ini berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan membentuk pandangan menyeluruhnya tentang agama:
?Dapat kuingat, ketika aku mulai belajar di Masyhad dan mempelajari dasar-dasar bahasa Arab, para filosof, ahli irfan dan ahli teologi jauh lebih mengesankanku daripada para terpelajar dan ilmuwan lain, seperti para penemu dan penjajah. Memang, aku belum mengenal gagasan mereka, tetapi mereka kupandang sebagi pahlawan-pahlawan di panggung pemikiran.”” 3)
Karena itu, figure di Masyhad yang mendapat curahan perhatian terbesar Muthahhari adalah Mirza Mahdi Syahidi Razavi, seorang guru filsafat. Namun, Razavi wafat pada 1936, ketika Muthahhari belum cukup umur untuk mengikuti kuliah-kuliahnya. Ia meninggalkan Masyhad pada tahun berikutnya, sebagian karena alasan ini, untuk belajar di lembaga pengajaran di qum yang diminati oleh kian banyak siswa.
Berkat pengelolaan-cakap Syaikh Abdul Karim Ha?iri, Qum menjadi pusat spiritual dan intelektual Iran, dan tempat ini Muthahhari memperoleh manfaat dari pengajaran sejumlah besar ulama.
Ia belajar fiqh dan ushul-mata pelajaran-mata pelajaran pokok kurikulum tradisional-Ayatullah Hujjat Kuhkamari, Ayatullah Sayyid Muhammad Damad, Sayyid Muhammad Riza Gulpayagani, dan Haji Sayyid Sadr ad-Din Sadr. Tetapi, yang lebih penting di antar mereka ini adalah Ayatullah Burujerdi, pangganti ha?iri sebagai direktur (za?im) lembaga pengjaran di Qum. Muthahhari mengikuti kuliah-kuliahnya (mengenai filsafat dan irfan-penerjemah) semenjak kedatangannya di Qum pada 1944 sampai keberangkatannya di Teheran pada 1952. Muthahhari sangat hormat kepadanya.4)
Perhatian besar dan hubungan dekat mencirikan hubungan Muthahhari dengan guru utamanya di Qum. Dialah Imam Ruhullah Khomeini. Ketika Muthahhari tiba di Qum, sang Imam adlah seorang pengajar (mudarris) muda yang menonjol karena kedalaman dan keluasan wawasan keislamannya dan kemampuan menyampaikannya kepad orang lain.
Kualitas-kualitas ini termanifestasikan dalam kuliah-kuliahnya tentang etika yang muali diberikannya di qum pada awal 1930-an. Kuliah-kuliah tersebut menarik banyak orang dari luar maupun dalam lembaga pengajaran keagmaan, dan berpengaruh skali atas mereka. Di sini Muthahhari mengenal Imam Khomeini, sebagaimana dipaparkannya:
?Ketika di Qum, aku menemukan pribadi yang kudambakan, yang memiliki semua sifat Mirza Mahdi Syahidi Razavi, selain sifat-sifat lain yang khas pada dirinya. Kusadari bahwa dahaga jiwaku akan terpuasi oleh mata air murni pribadi itu. Meskipun aku belum menyelesaikan tahap-tahap awal belajarku, dan belum memadai untuk mempelajari ilmu-ilmu rasional (ma?qulat), kuliah-kuliah etika yang diberikan oleh pribadi tercinta itu pada setiap Kamis dan Jum?ayang tidak terbats pada etika dalam arti akademis yng kering, namun juga menyangkut irfan dan pelajaran spiritual-mengepayangkanku.
Dapat kukatakan, tanpa berlebih-lebihan, bahwa kuliah-kuliah itu menimbulkan ekstase pada diriku, yang pengaruh-pengaruhnya kurasakan samapi Senin atau Selasa berikutnya. Sebagian kepribadian intelektual dan spiritualku terbentuk oleh pengaruh kuliah-kuliah itu dan kuliah-kuliah lain yang kuikuti selama dua belas tahun adri guru spiritual (ustad-i ilahi) itu.5)
Pada sekitar tahun 1946, Imam Khomeini mulai memberikan kuliah kepada sekelompok kecil siswa, yang mencakup Muthahhari dan teman sekelasnya di madrasah Faiziya, Ayatullah Muntazeri, mengenai dua teks utama filsafat, Asfar al Arba?ah-nya Mulla Sadra dan Syarh-i Manzuma-nya Mulla Hadi Sabzavari. Keikutsertaan Muthahhari dalam kelompok ini, sampai sekiatr tahun 1951, membuatnya dapat membina hubungan-hubungan lebih dekat dengan Imam Khomeini.
Juga, pada 1946, atas desakan Muthahhari dan Muntazeri, Imam Khomeini memberikan kuliah resmi pertamnya mengenai Figh dan ushul, yang teksnya adalah bab hujah-hujah rasional dari jilid kedua Kifayat al-Ushul-nya Akhund Khurasani. Denagn tekun Muthahhari mengikuti kuliah darinya, sembari tetap belajar fiqh dari Burujerdi.
Pada dua dasawarsa pertama setelah perang, Imam Khomeini mendidik banyak siswa di qum yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin Revolusi Islam dan Republik Islam, sehingga melalui mereka (ataupun secara langsung), warna kepribadiannya tampak dalam semua perkembangan penting darsawarsa silam.
Tetapi, di antara semua muridnya, Muthahhari yang paling dekat hubungannya dengannya, yang mengenai hal ini imam endiri bersaksi. Kedua murid dan guru itu sama-sama amat menekuni semua segi ilmu pengetahuan tradisional, tanpa terjebak di dalamnya; suatu wawasan luas Islam sebagi suatu system menyeluruh kehidupan dan keimanan, dengan penekanan pada segi-segi filosofis dan mistikalnya; suatu kesetiaan penuh kepada pranata keagamaan, yang diwarnai oleh suatu kesadaran akan perlunya pembaruan; suatu keinginan akan perubahan sosial dan polotik yang menyeluruh, disertai oleh kesadaran (sense) akan strategi dan waktu; dan suatu kemampuan untuk menggapai ke luar lingkup kaum religius tradisional dan memperoleh perhatian serta kesetian dari kaum berpendidikan sekular.
Akhirnya, di antara para guru yang berpengaruh pasda Muthahhari di Qum adalah mufasir besar Al-Qur’an dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad husein Thabathaba?i. Muthahhari mengikuti kuliah-kuliah Thabathaba?I mengenal Asy-Syifa?-nya Ibnu Sina dari tahun 1950-1953, maupun pertemuan-pertemuan Kamis malam di bawah bimbingannya. Materi pertemuan-pertemuan ini adalah filsafat materialis, yang menjadi pilihan sekelompok ulama tradisional.
Muthahhari dan Filsafat
Muthahhari sendiri mulai menaruh minat kepada filsafat materialis, khususnya Marxisme, tak lama setelah mempelajari seara resmi ilmu-ilmu rasional. Menurut hematnya, ia mulai pada sekitar 1946, mempelajari terjemahan-terjemahan Persia literature Marxis yang diterbitkan oleh partai Tudeh, organisasi Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan penting di arena politik. Selain itu, ia membaca tulisan-tulisan Taqi Arani, teoritisi uatama partai Tudeh, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasa Arab yang berasal dari Mesir.
Mulanya, ia agak sulit memahami teks-teks ini, sebab ia belum mengenal terminology filsafat modern. Dengan terus menerus berupaya keras-termasuk, dengan menyusun synopsis buku ElementaryPrinciples of Philosophy karya Georges Pulitzer- akhirnya ia menguasai seluruh masalah filsafat materialis. Penguasaan ini menjadikannya penyumbang penting bagi jamaah (circle) thabathaba?i dan kemudian, setelah kepindahannya ke Teheran, seorang pejuang gigih dalam perang ideologis dalam melawan Marxisme dan interpretasi-interpretasi yang dipengaruhi oleh Marxisme mengenai Islam.
Sejumlah besar penolakan terhadap Maexisme telah di-esei-kan di dunia Islam, baik di Iran maupun di Lain tempat, namun hamper semuanya tak lebih dari berkisar pada ketidaksesuaian-nyata Marxisme dengan keyakinan keagamaan serta ketidakkonsistenan dan kegagalan politis partai-partai politik Marxis. Tetapi Muthahhari menembus sampai ke akar-akar filosofis masalah dan memaparkan dengan logika kuat tentang sifat kontradiktif dan hipotetik sewenang-wenang prinsip-prinsip pokok Marxisme.
Polemic-polemiknya lebih diwarnai oleh kekuatan intelektual, daripada retorikal maupun emosional.
Namun demikian, bagi Muthahhari filsafat jauh lebih daripada sekadar alat polemic atau disiplin intelektual; ia merupakan suatu pola tertentu religiusitas, suatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam. Muthahhari, memang bagian dari tradisi perhatian Syi?ah terhadap filsafat, yang setidaknya bermula pada Nasir-ad-Din Tusi, salah satu hero pribadi Muthahhari. Untuk mengatakan bahwa pandangan Muthahhari mengenai Islam bersifat filosofis, tidak berarti menyiratkan bahwa ia tidak memiliki spiritualitas, atau ia menafsirkan dogmasamawi secara filosofis, atau ia menerapkan terminology filosofis pada semua wilayah masalah keagamaan.
Tetapi, ia memandang peraihan ilmu pengetahuan dan pemahaman sebagi tujuan dan manfaat utama agama, dank arena alasan itu ia memberikan keutamaaan tertentu kepada filsafat di antara disiplin-disiplin yang dikaji di lembaga keagamaan. Karena itu ia berbeda dengan banyak ulama yang menjadikan fiqh segala-galanya dari kurikulum, dan dengan kaum modernis yang memandang filsafat sebagai cermin pengacauan Helenis ke dalam dunia Islam, serta dengan mereka yang semangat revolusionernya membuat tidak sabar terhdap pemikiran filosofis.6)
Mazhab filsafat yang diikuti oleh Muthahhari adalah mazhab filsafat Mulla Sadra, ?Filsafat Sublim? (hikmat-i muta?aliya) yang berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritual dengan metode-metode deduksi filosofis.
Muthahhari adalah seorang yang berpenampilan tenang dan teduh, baik dalam sikap maupun tulisan-tulisannya. Bahkan dalam berpolemik, ia selalu sopan dan tidak menggunakan kata-kata emosional dan ironis. Ia setia terhadap pemikiran-pemikiran Mulla Sadra, dan akan membelanya dengan penuh semangat terhadap kritik ringan dan incidental sekalipun. Ia menamakan cucu pertamanya, dan juga penerbitnya, Sadra.
Mengenai upaya-upaya mazhab filsafat Sadra untuk melebur metode-metode pencerahan (illumination) ruhani dan perenungan intelektual, tidak mengherankan bila ia menjadi subyek berbagai interpretasi mereka yang lebih condong kepada satu metode, daripada lainnya.7) Dalam menilai tulisan-tulisannya, Muthahhari termasuk di antara mereka yang mengutamakan dimensi intelektual mazhab Sadra; hamper tidak ditemukan nada mistikal atau nyata-nyata spiritual pada eksponen-eksponen lain pemikiran Sadra- barangkali karena Muhahhari memandang pengalaman-pengalaman ruhaninya sendiri sebagai tidak relevan dengan tugas pengajaran yang digelutinya, atau bahkan sebagai rahasia batin yang harus disembunyikan.
Namun demikian, lebih mungkin kegemaran kepada dimensi filosofis ?Filsafat sublime? ini merupakan suatu ungkapan temperamen dan kejeniusan Muthahhari sendiri. Dalam hubungan ini, ia amat berbeda dengan guru agungnya, Imam Khomeini, yang banyak pernyataan politiknya diselubungi dengan bahasa dan kepentingan-kepentingan (concern) irfan dan spiritualitas.
Aktivitas-aktivitasnya: Antara Intelektualisme dan Politik
Pada 1952, Muthahhari meninggalkan Qum menuju Teheran. Di sana ia menikah dengan putri Ayatullah Ruhani, dan mulai mengajar filsafat di Madrasa-yi Marvi, salah sebuah lembaga utama pengetahuan keagamaan di ibu kota.ini bukanlah awal karir mengajarnya, sebab di Qum ia sudah mulai mengajar pelajaran-pelajara tertentu-logika, filsafat, teologi dan fiqh-ketika masih menjadi siswa.
Tetapi, tampaknya Muthahhari tidak betah berada dalam suasana (atmosphere) yang agak terbatas di Qum, dengan kekelompokan (factionalism) mewarnai sebagian siswa dan guru-guru mereka, dan dengan keterasingan dari masalah-masalah kemasyarakatn. Prospek-prospek masa depannya sendiri juga tak menentu. Di Teheran Muthahhari menemukan suatu bidang keagamaan, pendidikan dan puncaknya, kepolitikan, yang lebih luas dan memuaskan. Pada 1954, ia diminta untuk mengajar filsafat di Fakultas Teologi dan Ilmu-ilmu Keislaman, Universitas Teheran.
Ia mengajar di san selama dua puluh dua tahun. Pertama, ketetapan pengangkatannya dan promosinya ke professor tertunda oleh kecemburuan sementara koleganya, dan oleh pertimbangan-pertimbangan politis (karena kedekatan Muthahhari dengan Imam Khomeini sudah diketahui luas). Tetapi, kehadiran figure semacam Muthahhari di Universitas secular berarti penting dan efektif. Benyak orang berlatarbelakang madrasah mengajar di universitas-universitas, dan mereka sering kali berpengetahuan luas. Namun hamper tanpa kecuali, mereka mencampakkan pandangan dunia Islam, sorban dan jubah mereka.
Tetapi, Muthahhari tidak seperti mereka. Ia dating ke universitas sebagai satu figure yang ahli dan mantap, yang memiliki ilmu dan kebijakan Islam, hamper sebagi utusan lembaga keagamaan ke kaum berpendidikan secular. Banyak orang menyambutnya ketika kekuatan-kekuatan pedagogical, yang pernah ditunjukkan di Qum, kini sepenuhnya dipaparkan.
Selain membina reputasinya sebagai pengajar masyhur dan efektif di universitas, Muthahhari ikut ambil bagian dalam aktivitas-aktivitas banyak organisasi (anjumanha) keislaman professional yang berada di bawah pengawasan Mahdi Bazargan dan Ayatullah Taleqani. Organisasi ini menyelenggarakan kuliah-kuliah kepada anggota-anggota mereka-dokter, insinyur, guru- dan membantu mengkoodinasikan pekerjaan mereka. Sejumlah buku Muthahhari terdiri atas tulisan-tulisan ter-revisi tentang rangkaian-rangkaian kuliannya di organisasi-organisasi keislaman ini.
Keinginan-keinginan Muthahhari untuk penyebaran lebih luas pengetahuan keislaman di tengah-tengah masyarakat, dan keterlibatan lebih efektif para ulama dalam urusan-urusan sosial, membuatnya juga, pada 1960, memegang kepemimpinan sekelompok ulama Teheran, yang dikenal dengan Masyarakat Keagmaan Bulanan (Anjuman-i Mahana-yi Dini). Para anggota kelompok ini, yang mencakup almarhum Ayatullah Behesyti, teman kuliah Muthahhari di Qum, mengorganisasikan kuliah-kuliah umum bulanan yang dirancang secara serempak untuk memaparkan relevansi Islam dengan masalah-masalah kontemporer, dan untuk menstimulasikan pemikiran reformis di kalangan ulama.
Kuliah-kuliah dicetak dengan judul Guftar-i Mah (Kuliah Bulanan) dan terbukti sangat popular, tetapi pemerintah melarang penyebarannya pada Maret 1963 ketika Imam Khomeini melancarkan pengutukan umum terhadap rezim Pahlevi.
Suatu langkah serupa yang jauh lebih penting adalah pendirian Husainiya-yi Irsyad, sebuah lembaga di Teheran utara yang dimaksudkan untuk memperoleh kesetiaan kaum muda berpendidikan secular kepada Islam, pada 1965. muthahhari termasuk salah satu anggota badan pengarah (directing board); ia juga memberikan kuliah di Husainiya-yi Irsyad, menyunting dan menyumbang bagi beberapa penerbitannya. Lembaga tersebut memperoleh dukungan banyak orang.
Keberhasilan ini-yang tak pelak lagi melibihi harapan para pendirinya-dibayang-bayangi oleh sejumlah masalah intern. Salah satunya adalah konteks politis aktivitas-aktivitas lembaga, yang menimbulkan perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya aktivitas lembaga masuk ke dalam kancah konfrontasi politik (praktis). Sebuah masalah lebih radikal dimunculkan oleh adanya konsep-konsep dan interpretasi-interpretasi saling bertentangan di dalam Husainiya-Yi Irsyad mengenai Islam dan misi sosial-kulturalnya. Diungkapkan sear lebih sederhana, (di dalam lembaga ini) ada kepribadian mencolok Ali Syariati dan kontroversi-kontroversi yang dilahirkannya.
Hubungan antara Muthahhari dan Syariati merupakan suatu masalah yang musykil, penuh dengan implikasi-implikasi politis dan diperumit oleh kenyataan bahwa keduanya kini telah tiada dan tak dapat menjelaskan sikap masing-masing unsure-unsur yang menentang republik Islam yang menyatakan diri sebagai pengikut-pengikut Syariati dan pendukung-pendukung suatu ?Islam Progresif?, menyatakan bahwa permusuhan-permusuhan tertentu telah mempertentangkan duo rang itu, dan menempatkan Muthahhari sebagai antitesis hero mereka.
Tetapi, para pendukung orde baru di Iran cenderung meniadakan perbedaan-perbedaan antara dua figure utama ini dalam sejarah intelektual Iran saat ini, sementara dengan jelas menunjukkan kelebihsukaan pada karya Muthahhari daripada karya Syariati, mereka ingin melestarikan, demi kepentingan Republik Islam, sumbangan yang dipersembahkan oleh daya tarik Syariati.8)
Dugaan bahwa ada kepahitan atau pertentangan pribadi dalam hubungan antara kedua orang itu harus dihilangkan. Rujukan-rujukan ke Muthahhari dalam karya-karya Syariati bersifat hormat dan akrab. Adalah Muthahhari yang meminta agar Syariati menyumbang bagi Muhammad, Khatam-i Payambayan (Muhammad, Penutup Para Rasul) yang kemudian diterbitkan secara terpisah dengan judul Az Hijrat ta Vafat (Dari Hijrah sampai Wafat). Bila Muthahhari mengkritik, dalam tulisan-tulisannya, teori-teori Syariati yang dianggapnya keliru, ia melakukannya dengan sopan, hati-hati dan bijaksana, serta berusaha untuk tidakl menyebut nama Syariati. Kedua orang itu dengan jelas memiliki tujuan-tujuan penting: reorientasi kaum muda berpendidikan ke Islam dan transformasi masyarakat Islam secar Islami.
Keduanya wafat dalam memperjuangkan tujuan ini: Syariati meninggal dalam pembuangan di Inggris, sedang Muthahhari dibunuh di Iran.
Namun, memang terdapat perbedaan-perbedaan pandangan yang mendalam antara kedua orang itu. Muthahhari berakar dalam pada pengetahuan tradisional dan terpikat oleh eksponen-eksponennya. Pengenalan Syariati terhadap warisan pengetahuan Islam adalah kurang mendalam dan kurang takzim. Muthahhari adalah seorang pemikir sistematis dan sepenuhnya mengenyam pendidikan filsafat.
Syariati tidak betah dengan kelezatan-kelezatan filsafat dan teologi. Ia lebih cenderung pada rumusan-rumusan baru yang lebih efektif seara retorikal dan emosional daripada intelektual. Pemikiran Muthahhari adalah satu dan konsisten; Syariati merupakan suatu proses eksplorasi dan revisi tiada henti. Keduanya akrab dengan pemikiran Barat (Muthahhari nampaknya mengenal hanya melalui terjemahan-terjemahan Arab dan Persia), dan keduanya berupaya mengatakan bahwa Islam mengungguli pemikiran Barat.
Dalam menghadapi pemikiran Barat, Muthahhari menggunakan senjata tradisi filsafat Islam; sedang Syariati sering menggunakan terminology dan konsep-konsep yang dipinjam dari musuh. Yang paling penting, barangkali Muthahhari amat percaya pada peranan bimbingan para ulama (sementara sadar mengenai kebutuhan mereka akan pembaruan); sedang Syariati kadangkala mengemukakan tesis amat penting mengenai keharusan sebuah (Islam minus akhund (?kyai?)? dan ingin menyerahkan kepemimpinan masyarakat kepada intelektual Muslim.
Akibat perbedaan-perbedaan ini, secara bertahap Muthahari menarik diri dari Husaniya-yi Irshad, sementara terus memberikan kuliah di tempat lain dan menghindari konflik terbuka dengan Syariati, yang akan merusak perkembangan gerakan Islam dan memenuhi maksud-maksud rezim Syah.9)
Pada umumnya uncapan memainkan peranan lebih efektif dan segera dalam meniptakan perubahan revolusioner daripada tulisan, dan bisa mengubah suatu antologi khutbah, eramah dan kuliah penting yang telah menciptakan Revolusi Islam. Tetapi, penjelasan tentang kandungan ideology revolusi dan bedanya dengan mazhab-mazhab pemikiran lain tentu bergantung pada tulisan, pada susunan karya penjelas doktrin Islam yang sistematis, dan dengan perhatian kepada masalah-masalah kontemporer, khususnya. Dalam hal ini sumbangan Muthahhari bersifat unik, baik dalam volume maupun ruang lingkupnya. Dengan tekun Muthahhari terus menulis, sejak ketika menjadi siswa di Qum sampai 1979, tahun syahadah-nya.
Banyak gagasannya diwarnai oleh nada dan tekanan-tekanan filosofis, dan barangkali ia memandang Usul-i Falsafa va Ravish-i Ri?alism (Prinsip-Prinsip Filsafat Dan Metode Realisme), karya komentar atas rekaman kuliah-kuliah Thabathaba?I di jamaah (circle) Kamis malam di Qum, sebagai karya terpentingnya. Topik-topik yang ia pilih untuk buku-bukunya adalah sesuai dengan pandangannya tentang kebutuhan (umat), bukan kepentingan pribadinya. Bila sebuah buku tidak memuat topic penting tertentu mengenai masalah Islam kontemporer, Muthahhari berupaya mengisinya. Secara sendirian ia membina unsure-unsur utama sebuah kepustakaan Islam kotemporer.
Buku-buku seperti ?Adl-i Ilahi (Keadilan Ilahi), Nizam-i Huquqi Zan dar Islam (Sistem Hak-Hak Wanita dalam Islam), Mas?ala-yi Hijab (Masalah Hijab), Ashna?i ba ?Ulum-i Islami (Pengantar ke Ilmu-Ilmu Islam), dan Muqaddima bar Jahanbini-yi Islami (Mukadimah Pandangan Dunia Islam), dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan menyumbang bagi pemahaman sistematis dan tepat terhadap Islam dan masalah-masalah masyarakat Islam.10)
Buku-buku ini bisa dianggap sebagai sumbangan terakhir dan terpenting Muthahhari bagi kelahiran kembali Iran Islam. Aktivitasnya mengandung dimensi politik yang, meskipun mesti diakui bukan yang paling utama, tak bisa diabaikan. Ketika masih menjadi siswa dan guru muda di Qum, ia berupaya memasukkan sedikit demi sedikit kesadaran politik kepada rekan-rekannya, dan dekat terutama dengan beberapa anggota Fida?iyan-i Islam-sebuah organisasi militant yang didirikan pada 1945 oleh Navab Safavi.
Markas-markas Fida?iyan di Qum adalah Madrasa-yi Faiziya, dan di sinilah Muthahari berada. Ia tak berhasil mencegah mereka pindah dari madrasah Burujerdi yang dengan tegas menentang semua konfrontasi politik terhadap seriz Syah. Selama perjuangan menasionalisasikan industri minyak Iran, Muthahhari menaruh simpati kepada upaya-upaya Ayatullah Kasyani dan Dr. Muhammad Musaddiq, meskipun ia mengkritik Musaddiq karena sikap nasionalisme sekularnya. Setelah di Teheran; Muthahhari bekerja sama dengan gerakan kemerdekaan Bazargan dan Taleqani, namun ia tak pernah menjadi tokoh dalam kelompok ini.
Konfrontasi serius pertamanya terhadap rezim Syah terjadi selama kebangkitan Khurdad 6 Juni 1963, ketika ia menunjukkan diri secara politis maupun intelektual sebagai pengikut Imam Khomeini, dengan membagi-bagikan pernyataannya dan mendesak orang agar mendukungnya dalam khutbah-khutbahnya.11) Karena itu, ia ditahan selama 43 hari. Setelah dibebaskan, ia aktif dalam berbagai organisasi yang ada untuk mempertahankan momentum yang diciptakan oleh kebangkitan itu. Organisasi yang terpenting yang dimasukinya adalah Jam?iyah Ulama Militan (Jami?ayi Ruhaniyat-i Mubariz).
Pada November 1964, Imam Khomeini memasuki empat belas tahun pembuangannya, pertama di Turki dan kemudian di Najaf. Selama masa ini Muthahhari tetap berhubungan dengannya, baik secara langsung-dengan kunjungan-kunjungan ke Najaf-maupun tak langsung. Ketika Revolusi Islam mendekati klimaks kemenangannya, pada musim dingin 1978, dan Imam Khomeini meninggalkan Najaf menuju Paris, Muthahhari termasuk di antara mereka yang pergi ke Paris untuk bertemu dan berkonsultasi dengannya. Kedekatannya dengan Imam Khomeini dikukuhkan dengan ditunjuknya ia sebagai anggota Dewan Revolusi Islam, yang keberadaannya dipermaklumkan pada 12 Januari 1979.
Syahadahnya
Pengabdian Muthahhari kepada Revolusi Islam dihentikan secara brutal oleh pembunuhan atas dirinya pada 1 Mei 1979 oleh kelompok Furqan, yang menyatakan diri sebagai pendukung suatu ?Islam Progresif?, yang bebas dari apa yang mereka sebut ?pengaruh-menyimpang ulama.? Meskipun ketika dibunuh Muthahhari adalah ketua Dewan Revolusi Islam, namun yang syahid adalah seorang pemikur dan penulis.12)
Riwayat tragedy ini bermula pada 1972, Muthahhari menerbitkan sebuah buku berjudul ?Ilal-i Girayish ba maddigari (Alasan-alasan Berpaling ke Materialisme), sebuah karya penting yang menganalisis latar belakang historis materialisme di Eropa dan Iran.
Selama revolusi, ia menulis pengantar bagi edisi ke delapan buku itu, yang menyerang penyimpangan-penyimpangan atas pemikiran Hafiz dan Hallaj yang terjadi dalam beberapa golongan masyarakat Iran, dan menolak interpretasi-interpretasi materialistic terhadap Al-Qur’an. Sumber interpretasi-interpretasi itu adalah kelompok Furqan, yang berupaya menyangkal konsep-konsep asasi Al-Qur’an, seperti transendensi ilahiah dan realitas akhirat.
Dalam kasus-kasus semacam itu, nada Muthahhari selalu bersifat persuasive pengimbau, tidak berang ataupun mengutuk. Ia malah mengajak Furqan dan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan untuk menanggapi tulisannya. Tanggapan mereka atas tulisannya tak lain adalah penembakan atas dirinya itulah.
Ancaman untuk membunuh semua yang menentang mereka termaktub dalam penerbitan Furqan. Setelah terbitnya edisi baru ?Ilal-i Girayish ba Maddigari, Muthahhari tampaknya telah melihat alamat-alamat kesyahidan dirinya. Menurut kesaksian putranya, Mujtaba, Muthahhari tampak berlepas dari masalah-masalah duniawi pada saat menjelang tragedi itu. Ia kian memperbanyak salat malam dan membaca Al-Qur’an. Ia pun bermimpi menghadap Rasulullah s.a.w. bersama Imam Khomeini.
Selasa, 1 Mei 1979. Muthahhari pergi ke rumah Dr. Yadullah Sahabi, bersama anggota-anggota lain Dewan Revolusi Islam. Pada sekitar pukul 10.30 malam, Ia dan peserta lain pertemuan, Ir. Katira?i, meninggalkan rumah Sahabi.
Berjalan sendirian menuju jalan kecil terdekat, tempat parker mobil yang akan membawanya pulang, Muthahhari tiba-tiba mendengar suara asing memanggilnya. Ketika menengok kea rah suara itu, sebuah peluru menembus kepalanya. Masuk di bawah cuping telinga kanan dan keluar di atas alis mata kiri.
Ia meninggal hampir seketika. Meski sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun tak ada lagi yang bisa dilakukan selain berdukaita atsnya.13) Pada hari berikutnya, jasadnya disemayamkan di rumah sakit, dan pada Kamis, di tengah-tengah perkabungan luas, jasadnya di bawa untuk disalatkan, pertama, ke Universitas Teheran, dan kemudian ke Qum untuk dimakamkan, di sebelah makam Syaikh Abdul Karim Ha’iri.
Imam Khomeini tak menyembunyikan tangisnya ketika Muthahhari dimakamkan di Qum, dan ia menggambarkannya sebagai ?putra tercinta?nya, sebagai ?buah hidupku?, sebagai ?sebagian dagingku?. Tetapi dalam sambutan perkabungannya, Imam Khomeini juga menunjukkan bahwa kepergian Muthahhari tidak menghilangkan pribadinya, tidak pula mengganggu jalannya revolusi:
?Ketahuilah, wahai mereka yang berkehendak buruk! Walaupun Muthahhari telah pergi, namun kepribadian Islaminya, filsafat dan ilmu pengetahuannya tetap bersama kita. Pembunuhan tak kan dapat sedikit pun menghanurkan kepribadian Islami putra agung Islam ini?. Islam tumbuh melalui pengorbanan dan kesyahidan putra-putra tercintanya. Sejak pertama diwahyukan hingga kini, Islam selalui diwarnai syahadah dan heroisme.?14)
Ketokohan dan warisan Ayatullah Muthahhari takkan terlupakan. Kehadiran anumertanya hamper semengesankan prestasi-prestasinya di kala hidup. Syahadah-nya senantiasa diperingati, dan potretnya ada di mana-mana di seantero Iran. Banyak tulisannya yang belum diterbitkan, kini untuk pertama kalinya diterbitkan, dan ditelaah secara ekstensif.
Catatan:
1. Sketsa kehidupan dan karya Ayatullah Muthahhari ini didasarkan terutama pada Muhammad Va?izzada Khurasani, ?Sayri dar Zindagi-yi ?Ilmi va Inqilabi-yi Ustad-i Syahid Murtadha Muthahhari.? dalamYadnama-yi Ustad-i Syahid Murtadhja Muthahhari, suntingan Abdul karim Surush, Theran, 1981, hh. 319-380, sebuah artikel yang kaya informasi tentang banyak aspek sejarah terakhir Iran Islam. Yang menjadi rujukan juga Mujtaba Muthahhari, ??Zindagi-yi Pidaram,? dalam Harakat (jurnal mahasiswa Fakultas Teologi Teheran), no. 1 (t.t.), hh. 5-16; M. Hoda, Mengenang asy-Syahid Muthahhari, sebuah pamphlet terbitan Kementerian Bimbingan Islam, Teheran, April 1982; dan mukadimah otobiografis Ayatullah Muthahhari pada edisi ke-delapan ?Ilal-i Girayish ba Maddigari, Qum, 1978, hh. 7 dan seterusnya.
2. Dastan-i Rastan, yang pertama diterbitkan pada 1960, terpilih sbagi buku tahun ini oleh Komisi Nasional Iran untuk UNESO pada 1965.
3. Ilal-i Girayish ba Maddigari, h. 8.
4. Lihat artikel Muthahhari, ?Mazaya va Khadamat-i Marhum Ayatullah Burujirdi,? dalam Bahsi dar Bara-yi Marja?iyat va Ruhaniyat, edisi kedua, Teheran, t.t., hh. 233-249.
5. ?Ilal-i Girayish ba Maddigari, h. 9.
6. Pernyataan berwenang tentang pandangan ini dibuat oleh Sayyid Quthb dalam Khasa?is al-Tashawwur al-Islami wa muqawwimatuhu, Kairo, berbagai edisi, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan agak berpengaruh pada pandangan-pandangan terhadap filsafat (di Iran)
7. Lihat pernyataan-pernyataan William Morris dalam pengantarnya untuk terjemahannya atas Wisdom and the Throne karya Sadra, Princeton, 1982.
8. Di Iran Muthahhari kini disebut Ustad-i syahid; sedangkan Syariati, mu?allim-i syahid.
9. Dikatakan pula bahwa Muthahhari mengkritik kecenderungan-kecenderungan Syariati mewarnai aktivitas-aktivitas Husainiya-yi Irsyad dengan segi revolusioner pradini. lihatShahrough Akhavi, Agama dan politik di Iran Kontemporer, Albany, N.Y., 1980, h. 144, yang mengutip sebuah wawancara dengan Muthahhari pada Oktober 1975.
Meski begitu, dalam pidato pujian (eulogy)-nya untuk Muthahhari, Taleqani mengatakan, tentang perbedaan-perbedaan antara pandangan Muthahhari dan pandangan Syariati, bahwa keduanya memiliki visi yang sama, walaupun perspektif keduanya berbeda-penyunting.
10. Untuk bibliografi lengkap tulisan Muthahhari, baik yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan, lihat anonim, ?Fihrist-i Asar-i Ustad-i Syahid Murtadha Muthahhari, hh. 435-552.
11. Nama Muthahhari berada di urutan kesembilan dalam daftar ulama yang ditahan, yang dipersiapkan oleh kantor oditur militer pada Juni 1963. Lihat salinan daftar tersebut dalam Dihnavi, Qiyam-i Khunin-i 15 Khurdad 42 va Rivayat-i Asnad, Teheran, 1981, h. 77.
12. Lihat Sayyid Husain Ta?ib, Tahlili az Tirur-i Mutafakkir-i Syahid Ustad Muthahhari, Teheran, t.t., h. 1.
13. Rinian-rincian diambil dari Mujtaba Muthahhari, ?Zindagi-yi Pidaram.? hh. 15-16.
14. Teks sambutan perkabungan Imam Khomeini dalam Yadnama-yi Ustad-i Syahid Murtadha Muthahhari, hh. 3-5.
Oleh: Prof. Hamid Algar, Dikutip dari Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, Yayasan Muthhhari Bandung, 1988.

Minggu, 02 November 2014

Waktu Sunni taksub mazhab, waktu Syiah taksub marja’



Lumrah manusia, memang tidak akan sependapat dalam hal apa pun,dari sekecil-kecil hal sehinggalah ke sebesar-besar hal. Manusia tidak akan dapat bersatu dalam berpendapat, kerana mereka masing-masing mempunyai cara berfikir yang berbeza.
 
Manusia memang ditakdirkan bersikap berpuak-puak, dan dalam setiap puak tu pulak akan wujud lagi puak-puak mikro, dan inilah realiti kehidupan. Bagaimanapun, Allah swt melalui Rasulnya telah mengajarkan kepada kita bagaimana untuk kita dapat hidup bersama manusia lain yang tidak sependapat dengan kita. Saya rumuskan dalam satu perkataan, yakni, bersederhana.
 
Tidak mengapa kalau kita mempunyai pendapat yang berbeza, tetapi jangan sesekali kita memaksakan pendapat kita terhadap manusia lain. Bersederhanalah dalam menyuarakan pendapat dan menerima pendapat.
 
Saya masih baru dalam mazhab ini, baru hampir 3 tahun, tetapi oleh kerana saya sangat taksub dengan mazhab ini, saya suka mengkaji sehingga ke akar umbi apa sahaja yang berkaitan dengan Syiah, tak kiralah bab pengikutnya ke, bab tenteranya, politiknya dan apa sahaja, saya sangat berminat untuk mengetahui. Dan oleh kerana banyak sangat yang saya teringin nak tahu, maka banyaklah benda baru yang saya jumpa, samada positif atau negatif.
 
Saya meyakini bahawa Syiah adalah jalan kebenaran dan kebahagian dunia akhirat. Sebagaimana kita telah ketahui, Syiah ialah satu lagi mikro puak dalam satu puak yang bernama Islam. Di dalam Syiah ni pulak masih ada lagi mikro puak sesama mereka, dan di zaman kita ini, puak-puak ini lebih terdiri antara 2 puak yang bertentangan pendapat, iaitu yang menyokong Revolusi Islam Sayyid Khomeini dan visi beliau tentang Wilayah al Faqih, serta pewaris beliau, yakni Sayyid Khamenei, manakala di satu puak lagi ialah mereka yang tidak besetuju dengan revolusi dan prinsipnya.
 
Masing masing dianggotai oleh ulamanya, ahli politik, para akademik dan orang-orang biasa dengan pemahaman dan motif mereka masing-masing. Mulai dari sini, saya akan referkan kedua puak ini sebagai pro WF(wali al faqih) dan anti WF.
Di pihak Pro WF, antara para ulamak yang menyokongnya adalah seperti Makarem Shirazi, Saafi Gulpaygani, Noori Hamadani dan ramai lagi, tidak perlu saya nyatakan kesemuanya, kerana ia bukan motif artikel ini. Mungkin ada di antara mereka yang tidak 100% sokong, tetapi mereka lebih berpihak dan meredhai institusi pasca revolusi ini. Kebanyakan manusia yang menerima doktrin proWF ini ialah para pelajar agama lepasan dari Qom, yang mana ramai dari mereka bersetuju dan menyokong penuh kepimpinan ulama Iran, seperti yang mana kita dapat lihat di Malaysia ini. Setahu saya, majoriti dari para pemuka Syiah di Malaysia, semuaya adalah mukallid Ayatollah al Uzma Sayyid Ali Khamenei(semoga Allah membantu beliau).
 
Di pihak anti WF pula, kita dapat melihat ramai juga marja’ e Taqlid yang menyerlah dalam puak ini. Antara yang paling prominent, dapat kita lihat ialah Ayatollah al Uzma Syeikh Wahid Khurasani dan Ayatollah al Uzma Sayyid Sadiq Shirazi serta ramai juga Marja’ dari hauzah Najaf al Asyraf.
 
Saya tak mahu pergi lebih jauh tentang hal ini. Saya menghormati semua mereka, dan saya telah dengar hujah dari kedua-dua belah pihak, masing-masing mempunyai hujah yang meyakinkan, maka selebihnya terpualanglah kepada kita untuk membuat keputusan, kepada siapa kita mahu bertaqlid.
 
Yang menjadi masalahnya ialah apabila adanya puak-puak taksub dari kedua belah pihak ini yang memburukkan keadaan. Saya teringat lagi ketika saya Sunni, ada golongan yang fanatik mazhab, yakni yang berpendapat mazhab dia sorang je yang betul, lalu menolak dan mengkafirkan mazhab yang lain.
 
Begitu jugaklah dengan golongan fanatik marja’ dalam Syiah ini. Sentiasa memburukkan keadaan yang sudah teruk. Perselisihan antara ulama sudah agak menyumbang kesan negatif kepada kesatuan Syiah, para pengikut taksub menambah dengan membawa perselisihan ini ke satu tahap yang baru.
 
Ada di kalangan mereka yang sampai ke tahap melaknat para ulama dari puak yang berbeza berserta dengan mukallid mereka sekali, ini selalu dilakukan oleh puak antiWF, yang menganggap Sayyid Khamenei sebagai sseorang diktator, hilang sifat adilnya dan tidak a’lam untuk posisi samada sebagai marja’ atau Wali Al Faqih. Golongan mereka ini sentiasa anti dengan apa sahaja yang berkaitan dengan perkara berikut:
  • Iran sebagai sebuah negara Islam
  • Status Khamenei sebagai marja
  • Segala fatwa yang dikeluarkan oleh beliau, walaupun fatwa itu diendorse oleh marja’ lain.
  • Para ulama lain yang menyokong beliau juga kan turut dilabel dengan bermacam-macam nama, contohnya Ayatollah Behjat Foumani dan Ayatollah Fadlullah
  • Segala sesuatu yang disokong oleh Iran juga akan turut menerima saham laknat mereka, antaranya Hizbullah dan Sayyid Nasrallah
  • Orang-orang yang menyokong konsep WF akan dilabel sebagai orang yang di brainwash dengan propaganda, dan para talabeh yang membawa konsep ini selalunya akan dicop sebagai balachi,agen atau anjing kerajaan Iran.
  • Dan banyak lagi.
Bagi pihak yang taksub kepada WF pulak, mereka ada karenah mereka yang tersendiri jugak. Antaranya:
  • Taksub kepada kerajaan Iran sehingga menyamakan apa sahaja polisi dan tindakan mereka sebagai sebahagian atau selari dengan ajaran Syiah Ahlulbait.
  • Sentiasa mempromote Ayatollah Khamenei sebagai Al Khurasani, yakni seorang yang akan menyerahkan panji hitam kepada Imam Al Mahdi(as). Saya tidak mengatakan ia tidak mungkin, tetapi lemas dan sesak nafas apabila ini dijadikan satu-satunya sandaran untuk memilih marja’, sedangkan masih terdapat kebarangkalian untuk salah.
  • Menentang perintah rahbar adalah seperti menentang perintah Imam Al Mahdi(as).
  • Menilai beliau sebagai pemimpin dunia Syiah, sedangkan bukan semua orang mengangkat beliau sebagai pemimpin.
  • Dan ada la lagi sikit karenah yang tidak sedap mata memandang.
Saya sangat-sangat pening dengan karenah mereka.  Syiah sudah pun menjadi minoriti dalam dunia Islam, dengan perpecahan ini, maka ia mengurangkan lagi kekuatan kita di hadapan musuh kita.
 
Kalian nak ikut marja’ mana pun ikut lah, tak ada siapa yang halang. Yang menjadi masalahnya apabila kalian membuatkan marja kalian sebagai objek pertandingan yang mana diorang sendiri tidak masuk pertandingan tu. Siapa lebih a’lam, siapa lebih pandai, siapa lebih layak, to the hell la dengan semua tu. Perbincangan berkaitan ini hanya membawa kepada perdebatan yang sia-sia.
 
Lagi satu, respek/hormat kepada pendapat saudara Syiah kita yang lain sangat-sangat membantu dalam pross kesatuan. Ya, katakan kalian memandang Sayyid Khamenei sebagai diktator, tetapi ingat, masih ramai lagi yang tak tahu beliau ini diktator(katakanlah) maka lebih baik suarakan pendapat dengan cara yang lembut, atau simpan sahaja pendapat itu, kerana masing-masing mempunyai hujah dan sebab atas sokongan yang mereka berikan itu.
 
Zuhur Imam makin hampir, tetapi hairan, makin dekat kezuhuran beliau, makin kerap kalian buat taik terhadap ummah ini.
 
Hanya sekadar luahan pendapat dan perasaan, mungkin benar mungkin salah. Wallahualam