Kamis, 26 Maret 2015

Detik-detik Terakhir Kehidupan Sy. Fatimah Az-Zahra as.



“Wahai Asma’, aku akan masuk kedalam kamarku ini untuk mengerjakan shalat-shalat sunahku,Dan membaca wirid-wiridku dan Al-Quran”.“Bila suaraku terhenti, maka panggillah aku bila aku masih bisa menjawab,Kalau tidak, berarti aku telah menyusul ayahku Rasulullah saww”. Asma’ berkata: “ Lalu, Fatimah as masuk ke dalam kamar”. Tatkala aku sedang asyik mendengar suaranya yang membaca Al-Qur’an,tiba-tiba suara Fatimah as berhenti. Aku memanggilnya: “Ya Zahra… ia tak menjawab, hai ibunya Hasan…iapun tak menjawab, Aku masuk kekamar dan Fatimah as telah terbentang kaku menghadap kiblat, Sambil meletakkan telapak tangannya dibawah pipi kanannya. Fatimah as menemui ajalnya dalam keadaan dianiaya, syahid dan sabar.

Asma’ berkata: “Aku menciuminya dan berkata kepadanya: “Wahai Tuanku/Pemimpinku”,“Sampaikan salamku kepada Ayahmu Rasulullah saw”. Saat aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Hasan as dan Husein as yang masih kanak-kanak itu, pulang dari Masjid, Saat mereka masuk, Husein as yang pertama kali bertanya kepadaku:“Asma’, dimana ibu kami Fatimah as ?”Aku menjawab: “Kedua pemimpinku, ibu klalian sedang tidur”Husein as berkata: “Apa yang membuat ibu kami tertidur disaat ini , saat waktu shalatnya?Tidak biasanya ia tertidur disaat ini”. Aku berkata: “Wahai Dua Pemimpinku, duduklah hingga aku bawakan makanan untuk kalian”.Asma’ berkata: “Aku letakkan makanan dihadapan Hasan as dan Husein as”.Mereka memanggut-manggut, kepala mereka kearah bawah.“Sekarang… ini makanannya, duhai Hasan, Cahaya Mata, duhai Husein as”.Husein as berkata: “Wahai Asma’, sejak kapan kami makan tanpa ditemani ibu kami Fatimah as?Setiap hari kami makan bersama Ibu kami Fatimah as, mengapa hari ini tidak?” Perasaan Husein as tidak enak, ia berlari kekamar…Kemudian ia duduk didepan kepala Fatimah as dan menciuminya, Lalu berkata: “Oh ibu, berbicaralah kepadaku, aku putra tercintamu…Husein,Ibu…, berbicaralah padaku sebelum rohku keluar dari badanku”. Husein berteriak: “Hai Hasan as…, semoga Allah melipat gandakan pahala padamu atas kematian Ibu kita Fatimah as”. Imam Hasan as datang dan merangkul Ibunya dan menciuminya Asma’ berkata: “Aku masuk kamar… Demi Allah, Husein as telah merobek-robek hatiku”. Aku melihatnya menciumi kaki ibunya Fatimah as dan dia berkata: “Ibu…, Berbicaralah padaku sebelum jiwa berpisah dari badanku”. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun

http://haidarrein.wordpress.com/2007/07/13/detik-detik-terakhir-kehidupan-fatima

Ali bin Abi Thalib dan Tasawuf



Ali bin Abi Thalib dan Tasawuf
Caner K. Dagli
“Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya,” (Nabi saw)
Tidak ada satu tokoh dalam sejarah Islam awal, selain Nabi sendiri, yang menjadi pusat kontroversi dan perdebatan seperti Ali bin Abi Thalib. Kontroversi ini muncul pada lebih dari satu tataran, mulai dari persoalan-persoalan politik dan sejarah hingga masalah-masalah di bidang teologi dan metafisika. Keluasan intelektual dan kedalam spiritual Ali telah mengilhami seluruh penjuru dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’i, dan sekalipun banyak konflik di antara kedua mazhab besar Islam ini yang berpusat pada pribadi Ali, satu pihak tidak pernah bisa menuduh yang lain kurang memiliki kecintaan dan penghormatan kepadanya. Dalam hal ini, secara paradoks, Ali menyatukan kaum Muslim dalam kecintaan mereka kepadanya, tetapi sentralitasnya dalam sudut pandang yang berlawanan menjadikannya sumber perselisihan yang serius.
Lebih jauh, kita temukan dalam dunia Sunni perdebatan dengan Ali pada pusatnya, dan ini merupakan persoalan esoterisme dalam Islam, yang manifestasi utamanya adalah tasawuf. Kaum Sufi mengakui dua jenis otoritas, berkaitan dengan dua jenis ilmu. Dalam konteks otoritas politis, posisi ortodoks Sunni sangat dikenal. Sekalipun Nabi saw tidak meninggalkan perintah-perintah tegas berkaitan dengan yang akan menggantikan beliau secara politis, sebagian besar (?) komunitas Islam menyetujui Abu Bakar Shiddiq, sahabat lama Nabi dan tokoh terhormat di antara para sahabat, sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia menunjuk Umar bin Khaththab, yang dirinya sendiri menyusun sebuah komisi yang beranggotakan enam orang sahabat yang pada gilirannya komisi ini memilih Utsman bin Affan. Pasca pembunuhan Utsman, Ali menjadi khalifah keempat.
Tak seorang Sunni pun menolak bahwa, dalam konteks ortoritas temporal, ini merupakan sebuah peristiwa yang biasa. Dalam dunia Sunni, sekalipun tidak ada pemisahan antara gereja dan negara (baca: agama dan politik), khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah. Otoritas khalifah dinilai sebagai berasal dari Tuhan. Namun dalam dunia Sunni, terutama setelah generasi pertama, adalah kelompok ulama, yang bertanggung jawab atas pengalihan pengetahuan keagamaan dan spiritual dan yang berperan sebagai otoritas final mengenai persoalan-persoalan agama.
Sultan, khalifah, fukaha, dan umumnya kelas masyarakat terpelajar merepresentasikan otoritas eksoteris dalam Islam Sunni. Akan tetapi, kaum Sufi mengetahui rantai otoritas spiritual yang secara relatif terlepas dari otoritas eksoteris dan secara prinsip, lebih utama atasnya. Kita katakan terlepas atau independen bukan dalam arti bahwa tasawuf secara inheren antinomian; lawannya adalah benar. Namun keputusan ulama eksoteris (ulama zahir) tak akan pernah, bagi kaum Sufi, mengatasi ajaran-ajaran dari seorang guru spiritual otentik, seorang ulama batin. Ini disebabkan yang zahir, yang aturannya dijalankan dengan syariah atau hukum Tuhan, ada sebagai pendukung kehidupan batin, yang pertumbuhannya dijalankankan melalui thariqah atau jalan spiritual.
Penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima baik oleh Sufi-sufi Sunni1 dan Syi’i, namun mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaum Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Akan tetapi, sementara dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar, kaum Sufi puas mempraktikkan jalan mereka dalam bingkai yang ditetapkan oleh otoritas eksoteris. Inilah mengapa, mereka mengakui Ali sebagai pengalih utama rahasia-rahasia batin (ada yang lain seperti Abu Bakar) tanpa ada suatu kontradiksi penting dengan seorang otorita eksoteris yang tidak memiliki rahasia-rahasia (batin) ini. Dengan kata lain, hierarki vertikal dan horizontal tidak perlu bercampur. Dari perspektif Sufi, misteri-misteri paling dakhil tidak ditujukan bagi setiap orang, dan mengajarkan misteri-misteri kepada mayoritas orang mukmin akan lebih banyak merusak ketimbang maslahatnya, demarkasi yang lebih jelas antara dimensi eksoteris dan esoteris memiliki faedah-faedah berupa menghindari bahaya-bahaya tersebut.
Dari apa yang telah diutarakan, kita bisa simpulkan bahwa cara terbaik untuk memahami konflik yang berpusat pada Ali adalah dengan melihat pertikaian ”horizontal” antara Syi’ah dan Sunnah sebagai bentuk proyeksi dari perbedaan vertikal esoterisme dan eksoterisme. Hal ini semakin jelas ada ketika orang menguji persamaan mendalam antara tasawuf dan Syi’isme. Para Imam dari Syi’ah Dua Belas Imam juga merupakan guru-guru spiritual dalam rantai transmisi Sufi atau silsilah.
Apabila orang mengesampingkan syariat dan juga fungsi kosmis dari Imam, fungsi inisiatori dan peran sebagai pembimbing ruhani dari Imam adalah persis sama dengan peran dan fungsi guru Sufi. Pada dasarnya, sebagaimana dalam tasawuf setiap guru berkomunikasi dengan kutub di zamannya, maka dalam Syi’isme seluruh fungsi keruhanian di setiap zaman secara batiniah terkait dengan Imam. Gagasan Imam sebagai kutub alam semesta dan konsep quthb dalam tasawuf nyaris identik.2
Perbedaan utamanya adalah sejauh mana otoritas spiritual mesti terentang luas ke dalam ranah temporal. Dalam kasus Ali, ia menggabungkan dua aspek tersebut hingga ke tingkatan yang paling tinggi, baik sebagai penerima utama ajaran batiniah Nabi maupun pemimpin pemerintahan Islam. Mendiskusikan perdebatan seputar suksesi bukan menjadi bahasan kita di sini. Namun kiranya penting untuk mengingat bahwa persoalan yang paling mendalam adalah salah satunya perbedaan esoteris/eksoteris, dan bukan perbedaan mesin politik dan perjuangan-perjuangan kekuasaan. Tidak ada diskusi yang cerdas akan peran keruhanian Ali yang mungkin tanpa memahami butir ini.3
***
Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Nabi, Abi Thalib. Ketika Nabi menerima wahyu pertamanya, Ali baru berusia 10 tahun. Dari sejak kanak-kanak, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Nabi, karena kesulitan finansial di rumah ayahnya sendiri, dan tetap dekat dengan Nabi sampai kewafatan Nabi 23 tahun kemudian. Selama kurun waktu tersebut, klaim Sufi, bahwa Nabi menyampaikan ajaran-ajaran batin dari agama baru itu kepada Ali. Sekalipun orang bisa saja mengatakan bahwa semua anggota komunitas apostolik awal di Mekkah adalah para wali,4 bukan hanya persoalan kesucian namun juga persoalan kualifikasi intelektual. Tidak setiap metafisikawan itu seorang wali, dan sebaliknya juga, tidak setiap wali adalah metafisikawan besar. Ali menghimpun dalam dirinya sendiri kesempurnaan vertikal yang kita sebut kesucian dengan kedalaman dan keluasan yang luar biasa pada tataran horizontal. Tradisi Islam mengingat Ali sebagai ksatria agung di zamannya, tak pernah terkalahkan dalam peperangan dan selalu lembut kepada musuh-musuhnya. Kebajikannya di medan perang sama terkenalnya. Di lingkungan Dunia Muslim, Ali dikenal sebagai bentuk pelindung kaum miskin dan sebuah model dari apa yang disebut dunia Barat keksatriaan, futuwwah Islam. Yang lebih penting, ia dikenal di zamannya sendiri dan hingga sampai masa kita sebagai orang yang memiliki inteligensi yang memukau dan kebijakan yang mendalam, baik sebagai guru besar juga pembicara fasih bahasa Arab.5 Di dunia Syi’ah, kekhususan tersebut diberikan kepada Ali begitu terkenal.

Di antara kaum Sunni, kaum Sufi memandangnya sebagai penerus utama ajaran keruhanian Nabi, dan seluruh tarekat Sufi, kecuali satu, asal-usulnya bermuara kepadanya.6 Demikian juga, orang menemukan pengecualian khusus yang terwujud ketika namanya disebutkan: untuk para sahabat lain, pencantuman radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) lazim dipakai, namun dalam kasus Ali oran acap mendengar frase karram Allahu wajhah yang secara harfiah berarti “semoga Allah memuliakan wajahnya”. Belakangan kita akan melihat bagaimana formula ini berkaitan dengan fungsi spiritual Ali di dunia Islam. Seluruh keturunan Nabi, yang diagungkan di dunia Syi’ah maupun Sunni, mendapatkan garis keturunan mereka kepada pernikahan Ali dengan Fathimah, putri Nabi. Melalui Ali dan anak keturunannya, otoritas spiritual Nabi terus berlangsung hingga sekarang, dan bersamanya Zaman Keemasan Islam, periode Madinah awal, mulai pudar.

Tujuan kami dalam esai pendek ini adalah melihat sumber-sumber orisinal dalam tasawuf untuk mengetahui bagaimana ajaran-ajaran keruhanian Islam terkait dengan Ali. Kita dapat mengatakan bahwa esoterisme Islam, alih-alih sekadar tasawuf karena Nahj al-Balâghah dan sebuah ulasan atas sejumlah pasasenya oleh ulama Syi’ah, Allamah Thabathaba’i juga digunakan sebagai sumber-sumber. Tanpa memasuki perdebatan seputar autentisitas Nahj al-Balâghah, cukuplah untuk menyatakan bahwa bahkan dari perspektif Sunni, ada banyak dalam buku ini yang bersumber dari Ali, dan bahwa konflik Syi’ah-Sunni telah menghasilkan fenomena tidak menguntungkan berupa “pelemparan bayi dari air mandi”. Banyak kaum Sunni cenderung meragukan laporan-laporan Syi’ah tentang Ali, karena concernpada “melebih-lebihkan kesalehan tertentu” dari pihak Syi’ah, dan tentu saja, terputus dari banyak hadis yang autentik. Karena itu, kami rasa tepat untuk menggunakan sejumlah pasase yang termasyhur dan paling penting dari Nahj al-Balâghah sebagaimana diseleksi oleh Thabathaba’i, yang tak satu pun darinya bisa dikhususkan sebagai “Syi’ah” sebagaimana yang dilabeli oleh Sunni. Dalam peristiwa apa pun, sebagaimana dinyatakan di atas, adalah dalam tasawuf dan aspek yang paling esoteris dari Syi’isme konsensus itu dapat diraih menyangkut Ali.

Naasnya, ada sebuah karya sedikit serius dalam kesarjanaan Barat yang terfokus pada Ali, selain dari terjemahan-terjemahan yang kurang akurat dari sumber-sumber Arab dan sejumlah buku yang ditulis dalam bahasa Inggris berupa watak polemis dari India dan Pakistan, namun ada juga terjemahan luar biasa dari sejumlah cuplikan Nahj al-Balâghah7 yang dialihbahasakan oleh Thomas Cleary bertajuk Living and Dying with Grace. Kekurangan materi ini adalah fenomena yang aneh, dengan mempertimbangkan arti penting Ali, dan mempertimbangkan bahwa jilid-jilid yang telah ditulis mengenai tokoh-tokoh politik dan historis belakangan dalam sejarah Islam. Di antara Nabi dan para tokoh terpandang belakangan ada sebuah jurang dalam kesarjanaan modern. Kita harap untuk menggunakan beberapa hadis menyangkut Ali, dan, dari tulisan-tulisan belakangan Matsnawi-nya Rumi, melihat apa yang bisa mereka katakan kepada kita tentang Ali dan tasawuf.

Selasa, 24 Maret 2015

Futuwwah: Ali sebagai Model Keperwiraan Spiritual



Kata futuwwah secara harfiah artinya “pemuda” namun bisa diterjemahkan sebagai “pemuda mistis” atau “keperwiraan spiritual”.8Kita sebut keperwiraan spiritual karena kebajikan-kebajikan tradisional dari keperwiraan, seperti kedermawanan dan keberanian, tidak terbatas pada tataran perbuatan tetapi mesti eksis pada aras tertinggi dari wujud seseorang. Menurut tradisi Sufi, adalah bersama [Nabi] Syits futuwwah menjadi jalan ruhani, dan yang pakaiannya adalah khirqah, atau jubah. Menjelang masa Nabi Ibrahim, khirqah ini menjadi “terlalu berat”, yang mungkin suatu rujukan pada hakikat segala sesuatu yang akan sirna dan kemustahilan dari mereka di masa-masa belakangan untuk menyandingkan praktik-praktik spiritual para leluhur mereka. Karena itu, Ibrahim melembagakan suatu jenis futuwwahbaru, yang disebarkan olehnya melalui keturunan-keturunnya yang menjadi nabi. Nabi sendiri menerimanya, dan mentransmisikannya kepada Ali, yang kemudian menjadi diidentifikasi sebagai kutub futuwwah.9

Ali sendiri sangat beliau apabila dibandingkan dengan para tokoh lainnya dari abad apostolik Islam. Fakta ini dikombinasikan dengan kemampuan tempurnya yang legendaris dan kecerdasan serta kebajikannya menjadikannya fatal par excellence dalam Islam. Ketika orang membaca Ali orang bisa melihat energi dan kebajikannya yang bertenaga muncul melalui halaman-halaman. Nasihat dan perbuatannya berasal dari watak pedang yang menyerang dan anak panah yang bersasaran baik. Ketika diinformasikan bahwa Ali menantangnya berduel untuk mengakhiri peperangan, Muawiyah mengetahui “ia pasti membunuhku” karena sangat terkenal ungkapan bahwa Ali tidak pernah terkalahkan dalam perang. Tulisan-tulisan belakangnya merupakan bukti dari kemuliaan dan kecerdasannya, dan kezuhudannya dari dunia dan gemerlapnya menyematkan pada dirinya gelar Abu Turab, “Bapak Debu”, yang diberikan kepadanya dari Nabi sendiri.10

Dalam Matsnawi Rumi, kita menemukan kisah menawan mengenai peristiwa yang terjadi antara Ali dan seorang “ksatria kafir” yang secara tradisional dipandang telah terjadi dalam Perang Khaybar. Ali mendapatkan pejuang ini dan mengelilinginya untuk membunuhnya, lalu tentara kafir meludahi wajah Ali. Terkejut dengan reaksi tentara itu, Ali menyarungkan kembali pedangnya, memperpanjang usia si tentara.

Pelajarilah bagaimana bertindak secara ikhlas dari Ali: ketahuilah, singa Allah disucikan dari (semua) tipu daya. Ia meludahi wajah Ali, kebanggaan setiap nabi dan wali; ia meludahi muka yang di hadapannya rembulan membungkuk di tempat ibadah.

Seketika Ali menyarungkan pedangnya dan menenangkan (usahanya) dalam memeranginya. Jawara itu terheran-heran dengan perbuatan Ali ini dan dengan menunjukkan pengampunan dan rahmatnya segera. Ia berkata, “Anda mengangkat pedang tajam Anda terhadapku: mengapa engkau menyarungkannya kembali? Apakah Anda melihat bahwa itu lebih baik ketimbang memerangiku, sehingga Anda menjadi segan dalam memburuku?11

Ketika pasase ini berlanjut, jawara itu meminta Ali untuk mengatakan kepadanya apa yang telah ia lihat, menyampaikan alasan rahasia atas pemaafannya. Jawara itu telah merasakan suatu perubahan spiritual yang berkilau melalui perbuatan ganjil Ali, dan kini berusaha memahamai bagaimana rahmat Allah telah mendatanginya:
Wahai Ali, engkau adalah semua pikiran dan pandangan, ceritakanlah sedikit apa yang telah kaulihat!
Pedang kesabaranmu merobek jiwaku, air pengetahuanmu telah menyucikan bumiku.
Katakanlah! Aku tahu bahwa semua ini adalah rahasia-rahasia-Nya, karena ini (cara) kerja-Nya untuk membunuh tanpa pedang
Matamu telah belajar mempersepsi Yang Gaib, (sementara) pandangan pengamat tertutup
Sejauh bulan membisu menunjukkan jalan itu, ketika ia berbicara ia menjadi cahaya di atas cahaya
Karena engkau adalah gerbang kota ilmu12 karena engkau adalah pendaran cahaya Rahmat,
Bukalah, wahai Gerbang, kepadanya yang mencari gerbang, agar melaluimu sekam bisa sampai pada inti

Kita harus memperhatikan pertama-tama bahwa Rumi menulis bahwa ia (si jawara kafir) meludahi wajah Ali. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tradisi Islam memberi Ali gelar khusus karramallahu wajhah. Wajah yang diludahi si jawara adalah wajah yang sama yang memiliki kekuatan transformatif pada jiwanya.13 Di sini kita bisa menyamakan wajah Ali dengan rembulan, dan cahaya di atas cahaya sebagai cahaya-cahaya yang direfleksikan dari matahari.

Kegelapan malam dari jiwa “menutupi” (kafir) disinari oleh cahaya yang datang dari bulan, tetapi bulan memberikan cahaya secara tepat karena itu bukan di kegelapan malam, namun ada dalam kehadiran cahaya matahari, cahaya Intelek Ilahi, yang itu memantul kepada mereka yang belum mencapai visi matahari Ilahi. Ksatria mengakui ketika ia membicarakan bulan yang menunjukkan jalan tanpa bicara. Separuh kehidupannya yang tidak diharapkan cukup membuka pandangan batin sehingga ia bisa melihat bulan “wajah Ali” yang menyinarinya, mendesaknya untuk bertanya kepada Ali apa yang baru dilihatnya, sebagaimana orang yang telah melihat rembulan tetapi tidak matahari akan heran apakah sumber cahaya luar biasa itu.14 Karena ksatria itu, Ali adalah cahaya Tuhan di dunia ini, seorang wali yang Tuhan jadikan cahaya di antara manusia.15

Sumber Tambahan yang Digunakan
al-Sya’rani. Abd al-Wahhab ibn Ahmad. ath-Thabaqat al-Kubra, Mesir. 1936, hal. 17-18.
Lings, Martin. Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Rochester, VT, 1983.
Thabathaba’i, Allamah, Ali wa al-Falsafat ul-Ilahiyyah. (tanpa titimangsa)
1 Kami katakan Sufi-sufi Sunni karena tasawuf tidak terbatas pada dunia Sunni, namun hidup dan eksis juga di kalangan Syi’ah.
2 S.H. Nasr, Sufi Essays, New York, 1991. hal.111.
3 Untuk bacaan lebih lanjut tentang topik ini lihat Frithjof Schuon, “Seeds of a Divergence” dalam bukunya Islam and the Perennial Philosophy.
4 Kuliah S.H. Nasr, Musim Gugur 1997.
5 Siapa pun tidak bisa membantu menegaskan di sini bahwa “Dia seperti Arjuna, Bunda Teresa, dan Shankaracharya yang semuanya menyatu.
6 Tarekat Naqsyabandiyyah melacak rantai kesufian mereka melalui Abu Bakar Shiddiq, namun juga mengklaim terhubung dengan Ali melalui Ja’far Shadiq, Imam Syi’ah keenam.
7 Sebenarnya, saya tidak melihat terjemahan utuh darinya di manapun.
8 S.H. Nasr, “Spiritual Chivalry”, Islamic Spirituality, vol 2, ed. S.H. Nasr, New York, 1991. hal.305.
9 Ibid.
10 Barangkali terpancar dari paragraf ini.
11 Rumi, Mathnawi, terjemahan R. A. Nicholson, Lahore. Vol. 1, p.202.
12 Merujuk pada hadis yang muncul di awal tulisan ini.
13 Kuliah S. H. Nasr, Musim Gugur 1997.
14 Perlambang ini diambil dari Abu Bakr Siraj ad-Din, The Book of Certainty, Cambridge, 1992. Bab “The Sun and the Moon”.
15 Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalandi tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? (QS al-An’am: 122)

Sabtu, 21 Maret 2015

Fatimah binti Muhammad SAW (Puteri-puteri Teladan dalam Islam)



Sumber: "Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah SAW" (terjemahan dari buku "An-Nisaa' Haula Ar-Rasuul") yang disusun oleh Muhammad Ibrahim Salim. Disalin oleh: Hanies Ambarsari.


        Fatimah adalah "ibu dari ayahnya." Dia adalah puteri yang 
mulia dari dua pihak, yaitu puteri pemimpin para makhluq Rasulullah
SAW, Abil Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim.
Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada
ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlaq, adab,
hasab dan nasab.

        Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi' dan
Ruqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kul-
tsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau
bersabda :"Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga
menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku." [Ibnul
Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"]

        Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni
syurga yang paling utama, puteri kekasih Robbil'aalamiin, dan ibu dari
Al-Hasan dan Al-Husein. Az-Zubair bin Bukar berkata :"Keturunan Zainab
telah tiada dan telah sah riwayat, bahwa Rasulullah SAW menyelimuti
Fatimah dan suaminya serta kedua puteranya dengan pakaian seraya ber-
kata :"Ya, Allah, mereka ini adalah ahli baitku. Maka hilangkanlah
dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya." ["Siyar
A'laamin Nubala', juz 2, halaman 88]

        Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :"Datang Fatimah kepada 
Nabi SAW meminta pelayan kepadanya. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya :
"Ucapkanlah :"Wahai Allah, Tuhan pemilik bumi dan Arsy yang agung.
Wahai, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu yang menurunkan Taurat,
Injil dan Furqan, yang membelah biji dan benih. Aku berlindung kepada-
Mu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau kuasai nyawanya. Engkau-
lah awal dan tiada sesuatu sebelum-Mu. Engkau-lah yang akhir dan tiada
sesuatu di atas-Mu. Engkau-lah yang batin dan tiada sesuatu di bawah-
Mu. Lunaskanlah utangku dan cukupkan aku dari kekurangan." (HR. Tirmidzi)

        Inilah Fatimah binti Muhammad SAW yang melayani diri sendiri
dan menanggung berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa
ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-
wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin.
Di antara mereka yang keluar terdapat Fatimah. Ketika bertemu Nabi SAW,
Fatimah memeluk dan mencuci luka-lukanydengan air, sehingga darah
semakin banyak yangk keluar. Tatkala Fatimah melihat hal itu, dia
mengambil sepotong tikar, lalu membakar dan membubuhkannya pada luka
itu sehingga melekat dan darahnya berhenti keluar." (HR. Syaikha dan
Tirmidzi) Dalam kancah pertarungan yang dialami ut kita, tampaklah
peranan puteri Muslim supaya menjadi teladan yang baik bagi pemudi
Muslim masa kini.

        Pemimpin wanita penghuni Syurga Fatimah Az-Zahra', puteri Nabi
SAW, di tengah-tengah pertempuran tidak berada dalam sebuah panggung
yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman-tikaman tombak dan pukulan-
pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk
menyampaikan makanan, obat dan air bagi para prajurit. Inilah gambaran
lain dari pute sebaik-baik makhluk yang kami persembahkan kepadada para
pengantin masa kini yang membebani para suami dengan tugas yang tidak
dapat dipenuhi. 

        Ali r.a. berkata :"Aku menikahi Fatimah, sementara kami tidak
mempunyai alas tidur selain kulit domba untuk kami tiduri di waktu 
malam dan kami letakkan di atas unta untuk mengambil air di siang hari.
Kami tidak mempunyai pembantu selain unta itu." Ketika Rasulullah SAW
menikahkannya (Fatimah), belmengirimkannya (unta itu) bersama satu
lembar kain dan bantal kulit berisi ijuk dan dua alat penggiling gandum,
sebuah timba dan dua kendi. Fatimah menggunakan alat penggiling gandum
itu hingga melecetkan tangannya dan memikul qirbah (tempat air dari kulit)
berisi air hingga berbekas pada dadanya. Dia menyapu rumah hingga berdebu
bajunya dan menyalakan api di bawah panci hingga mengotorinya juga. Inilah
dia, Az-Zahra', ibu kedua cucu Rasulullah SAW :Al-Hasan dan Al-Husein.

        Fatimah selalu berada di sampingnya, maka tidaklah mengherankan
bila dia meninggalkan bekas yang paling indah di dalam hatinya yang 
penyayang. Dunia selalu mengingat Fatimah, "ibu ayahnya, Muhammad", Al-
Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra' (yang ce-
merlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan menjauhi
keduniaan. Setiap merasa lapar, dia selalu sujud, dan setiap merasa payah,
dia selalu berdzikir. Imam Muslim menceritakan kepada kita tentang keuta-
maan-keutamaannya dan meriwayatkan dari Aisyah' r.a. dia berkata :

        "Pernah isteri-isteri Nabi SAW berkumpul di tempat Nabi SAW. Lalu
datang Fatimah r.a. sambil berjalan, sedang jalannya mirip dengan jalan
Rasulullah SAW. Ketika Nabi SAW melihatnya, beliau menyambutnya seraya
berkata :"Selamat datang, puteriku." Kemudian beliau mendudukkannya di 
sebelah kanan atau kirinya. Lalu dia berbisik kepadanya. Maka Fatimah 
menangis dengan suara keras. Ketika melihat kesedihannya, Nabi SAW ber-
bisik kepadanya untuk kedua kalinya, maka Fatimah tersenyum. Setelah itu
aku berkata kepada Fatimah :Rasulullah SAW telah berbisik kepadamu secara
khusus di antara isteri-isterinya, kemudian engkau menangis!" Ketika Nabi
SAW pergi, aku bertanya kepadanya :"Apa yang dikatakan Rasulullah SAW 
kepadamu ?" Fatimah menjawab :"Aku tidak akan menyiarkan rahasia Rasul
Allah SAW." Aisyah berkata :"Ketika Rasulullah SAW wafat, aku berkata
kepadanya :"Aku mohon kepadamu demi hakku yang ada padamu, ceritakanlah
kepadaku apa  yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu itu ?" Fatimah pun
menjawab :"Adapun sekarang, maka baiklah. Ketika berbisik pertama kali
kepadaku, beliau mengabarkan kepadaku bahwa Jibril biasanya memeriksa
bacaannya terhadap Al Qur'an sekali dalam setahun, dan sekarang dia 
memerika bacaannya dua kali. Maka, kulihat ajalku sudah dekat. Takutlah
kepada Allah dan sabarlah. Aku adalah sebaik-baik orang yang mendahului-
mu." Fatimah berkata :"Maka aku pun menangis sebagaimana yang engkau
lihat itu. Ketika melihat kesedihanku, beliau berbisik lagi kepadaku,
dan berkata :"Wahai, Fatimah, tidakkah engkau senang menjadi pemimpin
wanita-wanita kaum Mu'min  atau ummat ini ?" Fatimah berkata :"Maka aku
pun tertawa seperti yang engkau lihat."

        Inilah dia, Fatimah Az-Zahra'. Dia hidup dalam kesulitan, tetapi
mulia dan terhormat. Dia telah menggiling gandum dengan alat penggiling
hingg berbekas pada tangannya. Dia mengangkut air dengan qirbah hingga
berbekas pada dadanya. Dan dia menyapu rumahnya hingg berdebu bajunya.
Ali r.a. telah membantunya dengan melakukan pekerjaan di luar. Dia ber-
kata kepada ibunya, Fatimah binti Asad bin Hasyim :"Bantulah pekerjaan
puteri Rasulullah SAW di luar dan mengambil air, sedangkan dia akan men-
cupimu bekerja di dalam rumah :yaitu membuat adonan tepung, membuat roti
dan menggiling gandum."

        Tatkala suaminya, Ali, mengetahui banyak hamba sahaya telah 
datang kepada Nabi SAW, Ali berkata kepada Fatimah, "Alangkah baiknya
bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta pelayan darinya." Kemudian
Fatimah datang kepada Nabi SAW. Maka beliau bertanya kepadanya :"Apa
sebabnya engkau datang, wahai anakku ?" Fatimah menjawab :"Aku datang
untuk memberi salam kepadamu." Fatimah merasa malu untuk meminta kepadanya,
lalu pulang. Keesokan harinya, Nabi SAW datang kepadanya, lalu bertanya :
"Apakah keperluanmu ?" Fatimah diam. 

        Ali r.a. lalu berkata :"Aku akan menceritakannya kepada Anda,
wahai Rasululllah. Fatimah menggiling gandum dengan alat penggiling 
hingga melecetkan tangannya dan mengangkut qirbah berisi air hingga
berbekas di dadanya. Ketika hamba sahaya datang kepada Anda, aku me-
nyuruhnya agar menemui dan meminta pelayan dari Anda, yang bisa mem-
bantunya guna meringankan bebannya."

        Kemudian Nabi SAW bersabda :"Demi Allah, aku tidak akan memberikan
pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah
merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku
jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka."

        Maka kedua orang itu pulang. Kemudian Nabi SAW datang kepada mereka
ketika keduanya telah memasuki selimutnya. Apabila keduanya menutupi kepala,
tampak kaki-kaki mereka, dan apabila menuti kaki, tampak kepala-kepala
mereka. Kemudian mereka berdiri. Nabi SAW bersabda :"Tetaplah di tempat
tidur kalian. Maukah kuberitahukan kepada kalian yang lebih baik daripada
apa yang kalian minta dariku ?" Keduanya menjawab :"Iya." Nabi SAW bersabda:
"Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, yaitu hendaklah kalian mengucap-
kan : Subhanallah setiap selesai shalat 10 kali, Alhamdulillaah 10 kali 
dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah
33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan takbir (Allahu akbar) 33 kali."

        Dalam mendidik kedua anaknya, Fatimah memberi contoh : Adalah
Fatimah menimang-nimang anaknya, Al-Husein seraya melagukan :"Anakku
ini mirip Nabi, tidak mirip dengan Ali." 

        Dia memberikan contoh kepada kita saat ayahandanya wafat. Ketika
ayahnya menjelang wafat dan sakitnya bertambah berat, Fatimah berkata :
"Aduh, susahnya Ayah !" Nabi SAW menjawab :"Tiada kesusahan atas Ayahanda
sesudah hari ini." Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata :"Wahai,
Ayah, dia telah memenuhi panggilang Tuhannya. Wahai, Ayah, di surfa Firdaus
tempat tinggalnya. Wahai, Ayah, kepada Jibril kami sampaikan beritanya."

        Fatimah telah meriwayatkan 18 hadits dari Nabi SAW. Di dalam 
Shahihain diriwayatkan satu hadits darinya yang disepakati oleh Bukhari
dan Muslim dalam riwayat Aisyah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmi-
dzi, Ibnu Majah dan Abu Dawud.  Ibnul Jauzi berkata :"Kami tidak mengetahui
seorang pun di antara puteri-puteri Rasulullah SAW yang lebih banyak me-
riwayatkan darinya selain Fatimah."

        Fatimah pernah mengeluh kepada Asma' binti Umais tentang tubuh
yang kurus. Dia berkata :"Dapatkah engkau menutupi aku dengan sesuatu ?"
Asma' menjawab :"Aku melihat orang Habasyah membuat usungan untuk wanita 
dan mengikatkan keranda pada kaki-kaki usungan." Maka Fatimah menyuruh
membuatkan keranda untuknya sebelum dia wafat. Fatimah melihat keranda
itu, maka dia berkata :"Kalian telah menutupi aku, semoga Allah menutupi
aurat kalian." [Imam Adz-Dzhabi telah meriwayatkan dalam "Siyar A'laamin
Nubala'. Semacam itu juga dari Qutaibah bin Said ...dari Ummi Ja'far]

        Ibnu Abdil Barr berkata :"Fatimah adalah orang pertama yang 
dimasukkan ke keranda pada masa Islam." Dia dimandikan oleh Ali dan
Asma', sedang Asma' tidak mengizinkan seorang pun masuk. Ali r.a.
berdiri di kuburnya dan berkata :

        Setiap dua teman bertemu tentu
        akan berpisah
        dan semua yang di luar kematian
        adalah sedikit kehilangan satu demi satu
        adalah bukti bahwa teman itu
        tidak kekal

        Semoga Allah SWT meridhoinya. Dia telah memenuhi pendengaran,
mata dan hati. Dia adalah 'ibu dari ayahnya', orang yang paling erat
hubungannya dengan Nabi SAW dan paling menyayanginya. Ketika Nabi SAW
terluka dalam Perang Uhud, dia keluar bersama wanita-wanita dari Madinah
menyambutnya agar hatinya tenang. Ketika melihat luka-lukanya, Fatimah
langsung memeluknya. Dia mengusap darah darinya, kemudian mengambil air
dan membasuh mukanya. 

        Betapa indah situasi di mana hati Muhammad SAW berdenyut 
menunjukkan cinta dan sayang kepada puterinya itu. Seakan-akan
kulihat Az-Zahra' a.s. berlinang air mata dan berdenyut hatinya
dengan cinta dan kasih sayang. Selanjutnya, inilah dia, Az-Zahra',
puteri Nabi SAW, puteri sang pemimpin. Dia memberi contoh ketika
keluar bersama 14 orang wanita, di antara mereka terdapat Ummu
Sulaim binti Milhan dan Aisyah Ummul Mu'minin r.a. dan mengangkut
air dalam sebuah qirbah dan bekal di atas punggungnya untuk memberi
makan kaum Mu'minin yang sedang berperang menegakkan agama Allah SWT.

Semoga kita semua, kaum Muslimah, bisa meneladani para wanita mulia
tersebut. Amiin yaa Robbal'aalamiin.


Wallahu a'lam bishowab.

Kamis, 19 Maret 2015

sayidah Fatimah dan Fadak



Apakah Rasulullah saww memberi warisan kepada keluarganya atau tidak?

Ahlul sunnah tentang hal ini yakin bahwa seluruh Nabi tidak mewariskan suatu apapun, seluruh harta Nabi setelah Nabi Meninggal adalah sedekah. Dalil mereka adalah cuma satu hadis yang disebutkan oleh Abu bakar. Abu bakar berkata: “Nabi Muhammad saw bersabda : “Kami para nabi tidak mewariskan suatu apapun, dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah”.

Dan berdasarkan hadis ini setelah meninggalnya Nabi saw mereka mengambil tanah fadak dan harta-harta Nabi saw yang lain.
Ketika sayidah Fatimah az-Zahra putrii Nabi saw meminta kembali tanah fadak yang merupakan haknya , Abubakar berkata : sesungguhnya Nabi saw telah bersabda : ” Kami para nabi tidak meninggal tidak meninggalkan warisan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.”
Tanpa maksud untuk berat sebelah dengan madzhab tertentu tema ini kita teliti dan kita selidiki kebenaranya.

Point pertama : Dari seluruh sahabat Nabi saw hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis di atas. Suyuti di dalam bukunya Tadrib ar-Rawi menerangkan bahwa jumlah sahabat setelah meninggalnya Nabi saw adalah 114ribu orang dan hanya Abubakar yang menukil hadis ini, dan tidak satupun dari mereka yang menukilnya. Sampai-sampai istri-istri Nabi saw tidak tau sama sekali tentang hadis ini. Sayidina Ali yang kesehariannya selalu bersabda saw tidak pernah mendengar hadis ini, dan sayidah Fatimah az-Zahra putrid Nabi saw yang merupakan kebanggaan Nabi saw dan bagian dari Nabi saw juga sama sekali tidak menukil hadis ini.
Para pembesar ahlu sunnah juga mengakui bahwa hadis ini hanya Abubakar yang meriwayatkan hadis ini.

Abul Qosim Bangwi yang meninggal tahun 317H, Abubakar Syafi’I yang meninggal tahun 354H, Ibn Asakir, Suyuti, Ibn Hajar Makki, Muttaqi Hindi, mereka semua menjelaskan bahwa selain Abubakar tidak seorangpun dari sahabat-sahabat Nabi saw yang mendengar hadis diatas dan tidak seorang pun yang menukilnya atau meriwayatkannya.

Point Kedua: sebagian ulama’ besar ahlusunnah seperti Ibn Adi pemilik kitab al-Kamil fi at-Dhuafa’,
Riwayat-riwayat yang dari pandangan ahlusunnah dho’if , batil dan bohong serta buatan dinukil didalam kitabnya. Dia (Ibn Adi) tentang riwayat hadis ini berkata: “hadis ini batil, tidak benar.”

Perkataan Ibn Adi ini adalah dari ulama’-ulama’ ahlu sunnah yang mengatakan bahwa : ” قلت لابن خراج حدیث ما ترکناه الصدقة قالوا باطل”
Tentang hal ini Dzahabi di dalam kitab Tadzkiratu al-Hifadh jilid 2 halaman 683 dan di dalam kitab Sair A’lami an-Nubala’ jilid 13 halaman 510 begitu juga Ibn Hajar As-Qolani di dalam kitab Lisan al-Mizan jilid 3 halaman 44 dan di dalam kitab al-Kamil fi al-Dhuafa’ menyebutkan bahwa hadis ini (yang tersebut diatas) adalah batil dan tidak benar.
Point ketiga: perdebatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abubakar.

Setelah perampasan tanah fadak sayidah Fatimah menemui Abubakar dan berkata kepada Abubakar mengapa engkau merampas tanah fadak dari kami? Kemudian Abubakar membaca hadis diatas .

Setelah itu sayidah Fatimah az-Zahra menetapkan satu perkara islami dan dengan 2 ayat al-Quran memberikan dalil bahwa perkataan Abubakar batil dan tidak benar. Sayidah Fatimah az-Zahra berkata : “اترث اباک ولا ارث ابی” Hai Abubakar, kau mewarisi warisan dari ayahmu dan aku Fatimah (putri Nabi saw) tidak mewarisi warisan ayahku (apakah ini bisa diterima akal)?
” تزعمون ان لا ارث لي افعلی عمد ترکتم کتاب الله ونبضتموه وراء ظهورکم”

Apakah kamu tidak membayangkan dengan pikiran ini kamu telah menentang kitab Allah dan perintah-perintah Allah telah kamu letakkan dibawah kakimu (kamu menentang perintah-perintah Allah ). Kamu berkata kalau para Nabi tidak meniggalkan warisan. Akan tetapi al-Quran tentang Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud berkata: “وورث سلیمان داوود”(dan Suleiman telah mewarisi warisan dari (ayahnya) Dawud as.)

Dan juga hubungan antara Nabi Yahya dan Zakaria, Nabi Zakaria berkata:
“فهب لي من لدنک وليا يرثني ويرث من آل يعقوب” (Maka anugerahilah aku dari sisimu seorang putera,yang akin mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub).

Jika seluruh Nabi tidak memberikan warisan , kenapa Nabi Zakaria meminta kepada Allah swt seorang anak yang akna mewarisi semua miliknya, dan semua milik keluraga Ya’qub?

Al-Quran mengeluarkan satu hukum yang mutlak yang ditujukan untuk seluruh orang-orang yang islam. Al-Quran berkata :
“یصیکم الله فی اولادکم للذکر مثل حظ الانثببن” surah an-Nisa ayat 11.

(Allah mensyariatkan Kepadamu tentang (pembagian pusaka/warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki adalah sama dengan 2bagian anak perempuan….)

(فزعمتم ان لا حظ لي ولا ارث لي من ابي) (ولا ارث من ابي افحکم الله بآیة اخرج ابي منها)
Apa kamu berfikir kalau ada ayat yang lain yang melarang aku untuk mendapatkan warisan dari ayahku? “ام يقولون اهل ملتین لا یتوارثان”
Apakah kamu meliki keyakinan kalau aku bukan seorang muslim dan telah murtad sehingga aku tidak bias mewarisi warisan ayahku?
Ini adalah perdepatan antara sayidah Fatimah az-Zahra dan Abu-Bakr , kejadian ini dinukil / diriwayatkan oleh Jauhari salah seorang ulama besar Ahlu sunnah didalam kitab as-Saqifah wa Fadak halaman 144 dan juga dinukil / diriwayatkan oleh Ibn Abi Alhadid didalam kitabnya البلاغة نهج شرح Begitu juga Ahmad Ibn Abi Thahir Baqdadi yang tereknal dengan Ibn Thaifur dalam kitab بلاغات النساء halaman14 menukilnya

Point keempat : mengapa mereka tidak memberikan tanah Fadak kepada sayidah Fatimah az-Zahra ?
Didalam kitab السیرة الحلبیه jilid 2 halaman 485 dan jilid 3 halaman 362 disebutkan bahwa:
جائت فاطمة بنت رسول الله(ص) الی ابي بکر وهو علی المنبر فقالت : یا ابا بکر افي کتاب الله ان ترث ابنتک ولا ارث ابي؟ فاستعبر ابوبکر باکیا. ثم قال: بابای ابوک. وبابای انت. ثم نزل فکتب لها بفدک . ودخل علیه عمر فقال:ما هذا فقال:کتاب کتبته لفطة میراثها من ابیها. قال: فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری
ثم اخذ عمرالکتاب فشقه

Ketika sayidah Fatimah az-Zahra datang menemui Abubakar yang ketika itu sedang berada di atas mimbar. Beliau ( sayidah Fatimah ) berkata : “wahai Abubakar Apakah didalam Al-Quran terdapat ayat yang menerangkan bahwa putrimu boleh mewarisi warisan darimu sedangkan aku tidak boleh mewarisi warisan dari ayahku ?” (setelah mendengar hal itu) maka Abubakar menyesal dan menangis kemudian turun dari mimbar dan menulis sebuah tulisan (yang menyatakan bahwa Abubakar mengembalikan tanah fadak terhadap putri Nabi saw ) untuk sayidah Fatimah, ketika selesai menulis Umar masuk menemui Abubakar dan berkata : ini apa (tulisan ini untuk siapa dan tentang apa)?
Abubakar Menjawab: ini tulisan yang aku tulis untuk Fatimah tentang warisan-warisan untuknya dari ayahnya. Umar berkata: Apa yang akan kau berikan kepada Muslimin(kalau bukan dengan tanah fadak) sedangkan semua orang arab telah melawan seperti yang telah kamu saksikan . Kemudian Umar mengambil surat/tulisan tersebut dan merobek-robeknya.

Disini terdapat point penting dan menarik. “فماذا تنفق علی المسلمین و قد حاربتک العرب کما تری”
Tulisan ini menerangkan bahwa (pada saat itu ) kabilah-kabilah arab telah bangkit melawan kita sedangkan tidak seorangpun yang membayar zakat dan pajak kepada kita. Dengan harta apa kamu ingin menjaga kekuasaan.

Kemudian pada kalimat terakhir “ثم اخذ عمر الکتاب فشقه” tulisan ini menyebutkan bahwa Umar mengambil tulisan Abubakar dan kemudian menyobeknya. Kalau Umar menghormati kekhalifahan Abubakar maka Umar tidak akin menyobek tulisan Abubakar yang merupakan pemimpinnya

IMAM REZA MERAMALKAN KEMATIANNYA



Perjanjian secara mendalam diantara Khalifa Mamun ar-Rashid Abbasi dan Imam Reza telah dirakamkan di dalam Sharh-e-Mawaqif. Setelah berutus selama 6 bulan dan dengan ancaman dari Mamun, Imam Reza telah dipaksa untuk menerima menjadi pengganti khalifa. Perjanjian telah dituliskan dan Mamun menanda tangani, perjanjian yang mengatakan bahawa selepas Mamun mati khalifa akan berpindah kepada Imam Reza.

Apabila dokumen diletakkan dihadapan Imam Reza, dia menuliskan catitan yang berikut mengenainya: ‘Saya, Ali Bin Musa Bin Jafar, dengan ini mengatakan bahawa hamba yang beriman [Mamun ar-Rashid], [Semoga dia berdiri teguh pada yang benar dan semoga Allah memandunya kejalan yang betul] telah mengiktiraf hak kami, yang mana lainnya tidak lakukan; maka dia telah menyambungkan pertalian yang telah dipisahkan; dia memberikan keamanan dan kepuasan kepada mereka yang ditindas dengan kekejaman, bahkan dia mengembalikan semangat mereka apabila ianya hampir musnah; dia menjadikan mereka senang dan bersyukur apabila mereka setelah menjalani kehidupan yang menderita, supaya dia boleh mendapat rahmat Allah dan sesungguhnya Allah akan memberikan kepadanya ganjaran yang baik, kepada mereka yang bersyukur kepadaNya dan Dia tidak mengabaikan ganjaran bagi mereka yang benar. Sesungguhnya dia telah menjadi saya penggantinya dan telah menletakkan pada saya kebesaran emirate jika saya dapat hidup selepas dia.’

Pada penhujungnya, Imam yang suci menulis: ‘Tetapi Jafr-e-Jami’a mengatakan yang sebaliknya, [iaitu saya tidak akan selamat] dan saya sendiri tidak tahu bagaimana kamu dan saya akan diperlakukan. Hanya Allah, yang memerintah, yang perintahNya adalah benar, dan Hakim yang teragung.’

Sa’d Bin Mas’ud Bin Umar Taftazani di dalam bukunya Sharh-e-Maqasidu’t-Talibin fi-ilm-e-Usulu’d-din, merujuk kepada perkataan yang dituliskan oleh Imam, ‘Jafr wa Jami’a’ di dalam perjanjian, mengulas dengan mendalam bahawa maksud Imam menurut dari Jafr dan Jami’a, Mamun tidak akan memeggang pada janji dan dunia melihat apa yang terjadi. Bahawa keturunan nabi yang dicintai telah syahid kerana diracun. Maka kebenaran terhadap pengetahuan Imam yang suci telah terbukti, dan ianya telah diketahui oleh setiap manusia bahawa keluarga yang suci lagi mulia ini tahu semua perkara yang jelas dan tersembunyi.

JIBRIL MEMBAWA BUKU TERTUTUP UNTUK WASI [PENGGANTI] NABI.

Satu dari hadiah ilahi kepada Ali melalui nabi adalah buku penamat yang dibawa oleh Jibril. Ulama dan ahli sejarah yang agung, Allama Abu’l-Hasan Ali Bin al-Husain Mas’ud, yang dihormati oleh sunni dan shia menulis di dalam bukunya Isbatu’l-Wasiyya: ‘Jibril dan malaikat yang diamanahkan membawa dari Allah buku yang tertutup kepada nabi dan berkata kepadanya: ‘Semua yang hadir disini bersama kamu melainkan wasi kamu, hendaklah tinggalkan tempat ini supaya saya boleh memberikan kitab-e-wasiyya [buku pesanan terakhir]
Kemudian nabi mengarahkan semua yang hadir supaya beredar melainkan Amirul-Mukminin, Fatima, Hasan dan Husain. Jibril berkata: ‘Wahai nabi! Allah sampaikan salamNya kepada kamu dan mengatakan bahawa dokumen ini yang mana Dia telah menjanjikan kepada kamu dan telah menjadikan malaikatNya saksi kepadanya dan bahawa Dia sendiri adalah saksi kepadanya.’

Kemudian nabi mula menggigil dan berkata: ‘Salam adalah kepunyaaNya, dan salam adalah dariNya, dan salam kembali kepadaNya.’
Mengambil buku itu dari Jibril dia membacanya dan berikan kepada Ali. Nabi berkata: ‘Ini adalah janji dan amanah dari tuhan ku. Sesungguhnya saya telah melaksanakan tugas saya dan telah menyampaikan pesanan Allah.’

Amirul-Mukminin berkata: ‘Semoga ibu dan bapa ku berkorban nyawa untuk kamu! Saya menjadi saksi kepada kebenaran pesanan ini. Telinga, mata, daging dan darah saya menjadi saksi kepadanya.’

Nabi berkata kepada Ali: ‘Ini adalah wasiat saya dari pihak Allah. Terimalah dan menjadi penjamin padanya dihadapan Allah. Adalah bagi saya pada mejalankan tugas saya.’ Ali berkata: ‘Saya akan menjadi penjamin kepadanya, dan adalah bagi Allah pada menolong saya.’
Di dalam buku itu Amirul-Mukminin telah disuruh memenuhi janji yang berikut:

Bersahabat dengan sahabat Allah; bermusuh dengan musuh Allah. Bersabar terhadap penindasan;supaya dengan sabar menanggong dan menahan kemarahan apabila haknya dirampas, apabila dihina dan apabila dia diserang dengan secara keji.

Amirul-Mukminin berkata: Saya terima, dan saya berpuas hati dengannya. Jika yang keji ditunjukkan kepada saya, jika hadith ditolak, jika arahan al-Quran telah diputar belitkan, jika Kabah diratakan, dan jika janggut saya dimerahi dengan darah dari kepala saya, walaupun begitu saya akan tabah dan sabar.’

Selepas itu Jibril, Mikail dan malaikat muqarrabin yang lain telah menyatakan kesaksian mereka terhadap Amiru’l-Mu’minin. Begitu juga, Hasan, Husain, dan Fatima telah diamanahkan dengan tanggong jawab yang sama. Keadaan dan masalah yang akan mereka hadapi telah diberitahukan kepada setiap mereka dengan terperinchi. Selepas itu kenyataan dan penyaksian telah ditutup dengan mohor emas mentah dan diberikan kepada Ali. Buku itu mengandongi hadith Allah, hadith nabi, penentangan mereka yang menentang dan penukaran terhadap perintah ilahi dan segala kejadian dan bencana yang berlaku selepas nabi.

Dan inilah yang Allah katakan: ‘Dan segalanya Kami telah simpan pada Imam yang nyata [petunjuk, ie Ali].’  [36:12]
Secara ringkas, nabi sampaikan pengetahuannya kepada Ali dan keturunannya, Imam yang ma’sum. Jika tidak begitu, nabi tidak akan memanggil Ali ‘pintu pengetahuan’ dan tidak akan berkata: ‘Jika kamu hendak mengambil faedah dari pengetahuan saya, pergilah kepada pintunya; Ali.’

Jika Imam yang suci tidak mempunyai semua pengetahuan nabi, dia tidak akan mengatakan dihadapan semua sahabat dan juga musuh” ‘Tanyalah kepada saya apa sahaja yang kamu kehendakki sebelum saya mati dan meninggalkan kamu.’
Tidak ada siapa melainkan Ali yang pernah mengatakan begini untuk dirinya. Apabila mereka yang lain mengatakan mempunyai pengetahuan telah disoal mengenai fakta yang nyata dan yang tersembunyi, mereka akhirnya mendapat malu.

Hafiz Ibn Abdu’l-Barr Maghribi Andalusi di dalam bukunya Isti’ab fi Ma’rifati’l-Ashab berkata, “Sesiapa yang mengucapkan perkataan ‘Tanyalah saya sebelum saya mati dan meninggalkan kamu’ adalah penipu, melainkan Ali Bin Abi Talib.” Abdu’l-Abbas Ahmad Ibn Khallikan Shafi’i di dalam Wafaya dan Katib-e-Baghdadi di dalam Ta’rikh, jilid 13, p.163, mengatakan bahawa satu hari Maqatil Bin Sulayman, seorang ulama terkenal, mashor dengan kebolehannya menjawab soalan susah dengan cepat, mengatakan dihadapan perhimpunan manusia: “Tanyalah saya mengenai apa sahaja yang dibawah langit.”

Seorang bertanyakan kepada dia: “Bilakah nabi Adam mengerjakan haji? Siapa memotong rambutnya apabila dia selesai?” Maqatil menjadi binggung dan terus membisu.

Seorang lagi bertanya kepada dia: “Adakah semut mengambil makanannya melalui perut atau melalui cara lain? Jika melalui perut, dimanakah perut dan ususnya?”

Maqatil sekali lagi terdiam. Dia berkata: “Allah telah meletakkan soalan itu di dalam hati kamu supaya saya mendapat malu dengan kebanggaan, pada pengetahuan yang saya milikki.’

Hanya mereka yang sempurna kemampuannya untuk menjawab semua soalan boleh mengatakan yang sedemikian. Di dalam seluruh ummah, tiada siapa melainkan Ali Ibn Abi Talib yang mempunyai kedudukan begitu.

Oleh kerana dia adalah “pintu pengetahuan” nabi, dia mempunyai segala pengetahuan mengenai perkara yang jelas dan tersembunyi sebagaimana yang diketahui nabi. Makanya, dia boleh mengatakan, ‘tanyalah saya’ dan memberikan jawapan yang tepat dan memuaskan kepada semua soalan. Diantara para sahabat juga tidak ada seorang pun melainkan Ali, yang mengatakan yang sedemikian.

Imam Ahmad Bin Hanbal di dalam Musnad, Muwaffaq Bin Ahmad Khawarizmi di dalam Manaqib, yang agung Khwaja Sulayman Balkhi Hanafi di dalam Yanabiu’l-Mawadda, Baghawi di dalam Mu’jim, Muhibu’d-din Tabari di dalam Riyazu’n-Nuzra, jilid II, p.198, dan Ibn Hajar di dalam Sawa’iq, p.76 telah mengatakan dari Sa’id Bin Musayya sebagai berkata bahawa tidak ada seorang sahabat, melainkan Ali Ibn Abi Talib, pernah berkata: “Tanyalah saya apa sahaja yang kamu suka.”