Minggu, 19 Juli 2015

SERI HADIS KEUTAMAAN IMAM ALI DAN AHLULBAIT AS.



Siapa Yang Ingin Masuk Surga Hendakknya Mengikuti Ali dan Para Imam Suci Dari Ahlulbait as. (1)
Banyak sekali hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. yang telah disabdakan Nabi mulia Muhammad saw. Hadis-hadis tersebut tidak terbatas kepada menyebutkan kemuliaan dan keutamaan mereka, akan tetapi lebih dari itu, banyak diantaranya menekankan sederatan konsekuensi yang harus diyakini dan atau dijalankan dalam kehidupan beragama.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis-hadis di bawah ini:
(1) Hadis Riwayat Ibnu Abas ra.
Ath Thabarani dan ar Râfi’i meriwayatkan dengan sanad mereka kepada Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أنْ يَحيا حياتي ويموتَ مَماتي، وَيَسْكُنَ جَنَّةَ عَدْنٍ غَرَسَها رَبِّي، فَلْيُوالَ علِياً مِنْ بَعدي، وَ لْيُوالِ وَلِيَّهُ، وَلْيَقْتَدِ بِأَهْلِ بَيْتي مِن بعدي، فَإنَّهُم عِتْرَتي، خُلِقُوا مِنْ طِيْنَتِي، وَ رُزِقُوا فَهْمِيْ وَعِلْمِي، فَوَيْلٌ لِلْمُكَذِّبِيْنَ بِفضَلْهِمْ مِن أمَّتِي، القاطِعِين فِيْهِم صِلَتِي، لاَ أنَالَهُمُ اللهُ شَفاعَتِي.
“Siapa yang gembira (ingin) hidup (seperti) hidupku, mati (seperti) matiku, menempati surga And yang ditanam (pepehonannya) oleh Tuhanku handaknya ia meyakini kewalian (kepemimpinan mutlak) Ali sepeninggalku, dan hendaknya ia meyakini kewalian walinya (pelanjutnya) serta berteladan (dalam agama) dengan Ahlulbaitku sepeninggalku, karena mereka adalah ‘Itrahku, mereka diciptakan dari tanah (bahan penciptaanku), mereka diberi kefahaman dan ilmuku. Celakalah orang-orang yang mendustakan keutamaan mereka dari umatku, yang memutus tali kekerabatanku (dengan mereka). Semoga Allah tidak memberikan syafa’atku untuk mereka.”
Sumber Hadis:
Hadis ini dapat Anda temukan dalam Kanz al ‘Ummal, 6/217, hadis no.3819, Muntakhab Kanz al ‘Ummal (dicetak dipinggir Musnad Ahmad,5/94, Hilyah al Auliyâ’ darinya Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili menukil dalam Syarah Nahjul Balaghah,2/450.
Tahqiq Sanad Hadis:
Seperti biasanya, kaum Nawashib di abad ini berusaha mencacat hadis-hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. dengan alasan-alasan palsu yang mereka banggakan dalam mendemonstrasikan kebencian mereka kepada manusia-manusia suci pilihan Allah SWT. Hadis ini juga termasuk menjadi sasaran panah-panah beracun kaum Nawashib, yang kerjanya hanya mendustakan hadis-hadis keutamaan Ahlulbait Nabi mulia as.. Karenanya, di sini kami perlu menjelaskan kualitas hadis tersebut agar menjadi jelas keshahihannya dan setelahnya ia akan menjadi bukti kuat bahwa keselamatan hanya akan diperoleh dengan mengikuti Ahlubait as. bukan dengan selainnya.
Sanad Hadis Dalam Musnad ar Râfi’i
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam ar Râfi’i dalam Musnadnya dengan sanad sebegaia berikut:
الحسن بن حمزة العلوي الرازي ، أبو طاهر ، قدم قزوين وحدث بها عن سليمان بن أحمد ، روى عنه : أبو مضر ربيعة بن علي العجلي ، فقال : ثنا أبو طاهر الحسن بن حمزة العلوي ـ قدم علينا قزوين سنة 344 ـ ، ثنا سليمان بن أحمد ، ثنا عمر بن حفس السدوسي ، ثنا إسحاق بن بشر الكاهلي ، ثنا يعقوب بن المغيرة الهاشمي ، عن ابن أبي رواد ، عن إسماعيل بن أمية ، عن عكرمة ، عن ابن عباس.
Hasan ibn Hamzah al Alawi ar Râzi; Abu Thahir, ia datang mengunjungi kota Qazwain dan menyampaikan hadis dari Sulaiman ibn Ahmad, darinya Abu Muhdar Rabi’ah ibn Ali al Ijli meriwayatkan, ia berkata, Abu Thahir ibn Hamzah al Alawi berkunjung ke kota Qazwain pada tahun 344 H, ia menyampaikan hadis kepada kami dari Sulaiman ibn Ahmad, ia berkata, Umar ibn Hafsh as sadûsi menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ishaq ibn Basyr al Kahili menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ya’qub ibn al Mughirah al Hasyimi menyampaikan hadis kepada kami dari Ibnu Abi Rawwâd dari Ismail ibn Umayyah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra.
Dan dari pemaparan sanad di atas jelaslah bagi kita sanad ath Thabarani. Beliau adalah Ahmad ibn Sulaiman yang disebut dalam mata rantai sanad di atas.
Sanad Hadis dalam Kitab Hilyah al Aulaiyâ’
Adapun sanad hadis ini dalam kitab Hilyah al Auliyâ’ adalah sebagai berikut:
حدثنا فهد بن إبراهيم بن فهد ، ثنا محمد بن زكريا الغلابي ، ثنا بشر بن مهران ، ثنا شريك ، عن الأعمش ، عن زيد بن وهب ، عن حذيفة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه [ وآله ] وسلم : من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي ، ويتمسك بالقصبة الياقوتة التي خلقها الله بيده ثم قال لها:كوني فكانت ، فليتول علي بن ابي طالب من بعدي.
رواه شريك أيضا : عن الأعمش ، عن حبيب بن أبي ثابت ، عن أبي الطفيل ، عن زيد بن أرقم.
ورواه السدي عن زيد بن أرقم.
ورواه ابن عباس ، وهو غريب.
حدثنا محمد بن المظفر ، ثنا محمد بن جفعر بن عبدالرحيم ، ثنا أحمد ابن محمد بن يزيد بن سليم ، ثنا عبد الرحمن بن عمران بن أبي ليلى ـ أخو محمد بن عمران ـ ثنا يعقوب بن موسى الهاشمي ، عن ابن أبي رواد ، عن إسماعيل بن أمية ، عن عكرمة ، عن ابن عباس ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه [ وآله ] وسلم : من سره أن يحيا حياتي… .
Selain dengan jalur di atas, Abu Nu’aim al Isfahâni juga meriwayatkan dalam Hilyah-nya dengan berbagai jalur lainnya dari beberapa sahabat Nabi saw. selain Ibnu Abbas ra.
Ibnu ‘Asâkir dan al Kinji meriwayatkannya dari jalur Abu Nu’aim dan setelahnya Ibnu ‘Asâkir berkata, “Ini adalah hadis munkar, di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal).” [1]
Ibnu ‘Asâkir juga meriwayatkan dari abu Nu’aim dengan sanad: dari Zaid ibn Wahab dari Hudzaifah dari Rasulullah saw.
Dengan sanad lain dari jalur Al Hafidz al Khathib al Baghdadi dari Abu Thufail dari Sayyiduna Abu Dzar ra. dari Rasulullah saw.[2]
Maka dengan demikian dapat Anda ketahui bahwa hadis di atas telah diriwayatkan ulama Ahlusunnah dari banyak jalur melalui empat sahabat Nabi saw.
1. Abdullah ibn Abbas ra.
2. Abu Dzar al Ghiffari ra.
3. Hudzaifah ibn al Yamân ra.
4. Zaid ibn Arqam ra.
Setelah ini, mari kita teliti dengan seksama sanad hadis di atas melalui jalur-jalur tersebut.
Hadis dari jalur Abu Dzarr dan Zaid ibn Arqam, tidak seorang pun mencacat kualitas para perawinya. Andai di dalamnya terdapat cacat pastilah mereka akan menerangkannya, seperti pada hadis-hadis dengan jalur lainnya.
Hadis Ibnu Abbas ra.
Adapun hadis riwayat sabahat Ibnu Abbas ra. telah dicacat oleh Ibnu ‘Asâkir dengan kata-katanya: “Ini adalah hadis munkar, di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal).” Dan Abu Nu;am berkata,“Gharib.”
Hadis Hudzaifah ra.
Adapun hadis dari sahabat Hudzaifah ra. kendati Ibnu ‘Asâkir dan Anu Nu’aim tidak mencacatnya, akan tetapi adz Dzahabi mencacatnya, seperti akan Anda saksikan nanti.
Tanggapan Penulis Atas Pencacatan Di atas
Adapun pencacatan Ibnu ‘Asâkir yang mengatakan: di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal), maka terbantah dengan:
A) Diamnya ath Thabarani dan ar Rafi’i ketika meriwayatkan hadis tersebut dari jalur ini padahal dalam kesempatan lain ia mencacat hadis dengan jalur lain.
B) Abu Nu’aim hanya mengatakan gharib! Dan seperti akan kami jelaskan bahwa pernyataan seperti sama sekali bukan pencacatan!
C) Perawi yang menukil hadis dari Ibnu Rawwâd dalam jalur ath Thabarani dan ar Râfi’i adalah ya’qub ibn ibn Mughirah al Hasyimi, sementara dalam jalur Abu Nu’aim, Ibnu ‘Asâkir al Kunji disebut dengan nama Ya’qub ibn Musa al Hasyimi. Maka bisa jadi vonis kemajhulan itu muncul dari sini yaitu karena terjadinya perbedaan penyebutan nama dalam naskah-naskah yang ada.
D) Adapun vonis Ibnu ‘Asâkir yang mengatakan ia adalah hadis munkar, maka ia sama sekali tidak merusak dan mencacat hadis tersebut, sebab para ulama hadis, seperti an Nawawi mendefenisikan hadis munkar dengan:
هو الفرد الذي لا يعرف متنه عن غير راويه ، وكذا أطلقه كثيرون…
“Yaitu hadis yang matannya (teks hadisnya) tidak dikenal kecuali dari perawinya yang tunggal. Demikian diistilahkan oleh banyak ulama.”
Defenisi itu ia nukil dari al Hafidz al Bardîji.[3]
E) Adapun kata-kata Abu Nu’aim bahwa hadis ini Gharîb, juga tidak mencederainya. Sebab istilah itu dapat saja disandang oleh hadis shahih. Status keghariban dapat bersatu dengan status keshahihan, karenanya para ulama sering mengatakan hadis ini atau itu gharib shahih.
An Nawawi menerangkan:
الغريب والعزيز : إذا انفرد عن الزهري وشبهه ممن يجمع حديثه رجل بحديث سمي : غريبا ، فإن انفرد اثنان أو ثلاثة سمي عزيزا ، فإن رواه جماعة سمي : مشهورا.
ويدخل في الغريب ما انفرد راو بروايته أو بزيادة في متنه أو إسناده …
وينقسم إلى صحيح وغيره وهو الغالب
“Hadis Gharîb dan ‘Azîz: jika seorang parawi seperti az Zuhri dan selainnya dari kalangan perawi yang hadisnya telah dirangkum oleh seorang perawi, maka ia dinamai gharîb. Jika yang menyendiri itu dua atau tiga parawi maka dinamai ‘Azîz. Jika diriwayatkan oleh jama’ah (kelompok orang) maka ia dinamai masyhûr.
Dan masuk dalam bagian gharib adalah hadis yang perawinya menyendiri dengan meriwayat sebuah hadis atau adanya tambahan dalam matannya atau sanadnya.
Ia terbagi menjadi hadis shahih dan selainnya. Dan ia yang banyak.”[4]
Pencacatan adz Dzahabi:
F) Adapun pencacatan adz Dzahabi pada sanad hadis tersebut dari sahabat Hudzaifah, pencatatan itu dia utarakan ketika menyebut data hidup perawi bernama Bisy ibn Mahrân. Ia berkata:
بشر بن مهران الخصاف،عن شريك. قال ابن أبي حاتم: ترك أبي حديثه. ويقال: بشير.
قلت: قد روى عنه محمد بن زكريا الغلابي ـ لكن الغلابي متهم ـ قال : حدثنا شريك ، عن الأعمش، عن زيد بن وهب، عن حذيفة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه [وآله] وسلم: من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي، ويتمسك بالقضيب الياقوت، فليتول عليّ بن أبي طالب من بعدي.
”Bisyr ibn Mahrân al Khashshâf dari Syarîk. Ibnu Abi Hatim berkata, ‘Ayahku meninggalkan hadis riwayatnya. Ada yang menyebutnya Basyîr.
Saya berkata, “ Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi telah meriwayatkan darinya, akan tetapi al Ghilâbi tertuduh. Ia berkata, ‘Syarîk menyampaikan hadis kepada kami dari A’masy dari Zaid ibn Wahb dari Hudzaifah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي ، ويتمسك بالقضيب الياقوت ، فليتول عليّ بن أبي طالب من بعدي.
“Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku serta berpegaang teguh dengan tangkai dari yaqut maka hendaknya meyakini kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib sepeninggalku.”
G) Adapun Abu Hatim meninggalkan hadis Bisyr maka tidak perlu dihiraukan berdasarkan ucapan adz Dzahabi sendiri, ia berkata:
إذا وثق أبو حاتم رجلا فتمسك بقوله ، فإنه لا يوثق إلا رجلا صحيح الحديث. وإذا لين رجلا أو قال فيه : لا يحتج به ، فلا ، توقف حتى ترى ما قال غيره فيه ، وإن وثقه أحد فلا تبن على تجريح أبي حاتم ، فإنه متعنت في الرجال ، قد قال في طائفة من رجال الصحاح : ليس بحجة ، ليس بقوي ، أو نحو ذلك.
“Jika Abu Hatim mentsiqahkan seorang perawi maka pegangi ucapannya, sebab ia tidak mentsiqahkan kecuali paarawi yang shahih hadisnya. Dan jika ia melembekkan seorang perawi atau berkata, ‘Ia tidak dapat dijadikan hujjah’ maka berhentilah (menerima ucapannya) sehingga engkau memerhatikan ucapan ulama lainnya. Jika ada yang mentsiqahkannya maka jangan engkau membangun vonismu atas pencacatan Abu Hatim, sebab ia sangat berlebihan dalam mencacat parawi. Ia telah vonis banyak tokoh hadis dengan kata-katanya, ‘ia bukan hujja… ia tidak kuat atau semisalnya.”[5]
Ia juga berkomentar ketika menyebut biodata Abu Zar’ah:
يعجبني كثيرا كلام أبي زرعة في الجرح والتعديل ، يبين عليه الورع والخبرة ، بخلاف رفيقه أبي حاتم ، فإنه جراح.
“Saya sangat terpesona dengan dengan ucapan Abu Zar’ah dalam al jarh dan at ta’dil, ia mencerminkan kehati-hatian dan kedalaman pengetahuan, berbeda dengan rekannya; Abu Hatim ia banyak (gegabah dalam) mencacat.”[6]
H) Adapun tuduhannya terhadap al Ghilâbi sama sekali tidak berdasar. Ia tertolak sebab:
Pertama: Bukan hanya al Ghilâbi yang meriwayatkan hadis tersebut dari Bisyr. Abu Abdillah al Husain ibn Ismail juga telah memutâba’ahnya dalam meriwayatkan hadis tersebut dari Bsyr, seperti Anda saksikan dalam riwayat Ibnu ‘Asâkir.[7]
Kedua: Vonis dengan kata-kata muttaham/tertuduh masih butuh penjelasan. Lalu mengapa ia menglobalkan? Atas hal apa ia tertuduh? Sementara itu kita menyaksikan adz Dzahabi menyebut data hidup perawi ini dalam dua bukunya, Tadzkirah al Huffâdz,2/639 dan Siyar A’lâm an Nubalâ’,13/534 ia hanya menyebutnya sebagai yang wafat di tahun 290 H, tanpa menyebut-nyebut pencacatan sama sekali. Adapun dalam kitab al ‘Ibar-nya, ia menyebutkannya demikian:
محمد بن زكريا الغلابي الأخباري، أبو جعفر، بالبصرة. روى عن: عبد الله بن رجاء الغذاني وطبقته قال ابن حبان : يعتبر بحديثه إذا روى عن الثقات.
“Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi al Akhbari; Abu Ja’far… darinya Abdullah ibn Rajâ’ al Ghidâ’i dan para parawi setingkat dengannya meriwayatkan hadis. Ibnu Hibban berkata, hadisnya dapat dijadikan i’tibar jika ia meriwayatkan dari parawi tsiqah/terpercaya.”[8]
Sementara itu dalam kitab Mîzân al I’tidâl-nya ia terjebak dalam fanatisme buta sehingga mencacat al Ghilâbi tanpa dasar. Hanya karena sang perawi jujur ini bersedia meriwayatkan sabda suci Nabi saw. tentang keutamaan Ahlulbait Nabi as. bukan tentang keutamaan keluarga bani Umayyah atau musuh-musuh Ahlulbait lainnya.
محمد بن زكريا الغلابي البصري الأخباري ، أبو جعفر،عن: عبد الله بن رجاء الغداني، وأبي الوليد ، والطبقة. وعنه : أبو القاسم الطبراني وطائفة. وهو ضعيف. وقد ذكره ابن حبان في كتاب (الثقات) وقال: يعتبر بحديثه إذا روى عن ثقة. وقال ابن مندة: تكلم فيه. وقال الدارقطني: يضع الحديث.
الصولي، حدثنا الغلابي: حدثنا إبراهيم بن بشار، عن سفيان، عن أبي الزبير، قال: كنا عند جابر، فدخل علي بن الحسين، فقال جابر: دخل الحسين فضمه النبي صلى الله عليه [ وآله ] وسلم إليه وقال: يولد لا بين هذا ابن يقال له علي، إذا كان يوم القيامة نادى مناد ؛ ليقم سيد العابدين ، فيقوم هذا. ويولد له ولد يقال له: محمد، إذا رأيته ـ يا جابر ـ فأقرأ عليه مني السلام.
فهذا كذب من الغلابي… .
“Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi al Bashri al Akhbari; Abu Ja’far, meriwayatkan hadis dari Abdullah ibn Rajâ’ al Ghidâi, Abu al Walîd dan yang setinggkat dengannya. Dan darinya Ath Thabarani dan yang setingkat dengannya. Ia dha’îf. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats Tsiqât-nya dan berkata, ‘Ia hadisnya dapat dii’tibarkan jika ia meriwayatkannya dari parawi tsiqah (jujur terpercaya).’ Ibnu Mandah berkata, ‘Ia diperbincangkan.’ Dan Ad Dâruquthni, ‘Ia memalsu hadis.’ Ash Shûli berkata, ‘al Ghilâbi menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ibrahim ibn Basysyar menyampaikan hadis kapada kami dari Sufyan dari Abu Zaubair, ia berkata, ‘Kami duduk di sisi Jabir (ibn Abdillah al Anshari) lalu datanglah Ali ibn Husain, maka Jabir berkata, ‘Pada suatu hari, (Imam) Husain masuk menemui Nabi saw., lalu beliau memeluk dan mengendongnya, lalu bersabda, “Dia ini akan dikarunia seorang putra bernama Ali, kelak di hari kiamat penyeru akan menyerukan, ‘Hendaknya berdiri penghulu para sajid (yang menghambakan diri kepada Allah), maka dia itu yang akan bangkit/berdiri.’ Dan ia (Ali ibn Husain) akan dikarunia seorang anak bernama Muhammad, jika kelak engkau melihatnya maka sampaikan salamku kepadanya.”
Ini adalah kebohongan dari al Ghilâbi !” [9]
Nah sekarang Anda dapat mengerti mengapa mereka getol mencacat al Ghilâbi dan menuduhnya sebagai pemalsu dan pembohong! Anda al Ghilâbi menyampaikan kabar bahwa Nabi saw. berpesan kepada Jabir agar menyampaikan salam kepada Yazid atau Abdul Malik ibn Marwan atau semisalnya, pastilah ia akan mendapat gelar Pendekar Sunnah, Muhyi as Sunnah/penyegar Sunnah! Tetapi karena semua kehormatan itu untuk Ahlulbait as. maka ia layak disebut sebagai pembohong dan pemalsu hadis… Karena sebab ia berani menyapaikan riwayat-riwayat keutamaan Ahlulbait as. maka ia menjadi tertuduh, muttaham!
Akan tetapi permasalahannya lebih dari sekedar itu, al Ghilâbi adalah seorang Akhbari, ahli sejarah. Rata-rata karya tulisnya tentang sejarah dan keutamaan Ahlulbait as. Namun demikian tidaklah samar bagi Anda bahwa pencacatan dengan alasan seperti itu tidak bernilai.
Kesimpulan:
Maka dengan demikian hadis di atas termasuk dari jalur al Ghilâbi adalah kuat dan tak terdapat padanya cacat yang berdasar. Pentsiqahan Ibnu Hibbân terhadap al Ghilabi tak tertandingi! Wal hamdulillah!
Pendustaan Adz Dzahabi Atas Hadis Jabir ra. Tidak Berdasar!
Hadis Jabir ibn Abdillah al Anshâri ra. yang karenanya adz Dzahabi tanpa segan-segan menvonis al Ghilabi sebagai pembohong yang memalsunya… Hadis Jabir tersebut ternyata telah diterima oleh banyak ulama terkemuka Ahlusunnah yang hidup sebelum adz Dzahabi. Ibnu ‘Asâkir dengan sanadnya kepada Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ash Shûli dari al Ghilabi dari Ibrahim ibn Basysyâr dari Sufyan ibn ‘Uyainah dari az Zuhri…
Dan dari Ibnu ‘Asâkir para ulama setelahnya meriwayatkannya, seperti al Kinji asy Syafi’i, ia berkata,
هذا حديث ذكره محدث الشام في مناقبه كما أخرجناه ، وسنده معروف عند أهل النقل.
“Ini adalah hadis telah disebutkan oleh tokoh Muhaddis negeri Syam dalam Manâqib-nya seperti kami riwayatkan. Dan sanadnya ma’rûf/dikenal dikalangan ahli hadis.”[10]
Sedangkan Ibnu Hajar menyebutnya dengan penuh kepastian tanpa harus mempermasalahkan statsu sanadnya, dan kemudian ia berkomentar:
وكفاه شرفا أن ابن المديني روى عن جابر.
“Daan cukuplah kemuliaan bahwa al Madîni meriwayatkan dari Jabir.”[11]
Andai riwayat tersebut tidak shahih tidak mungkin ia mengatakan demikian.
Demikian juga dengan Syeikh Kamâluddin Muhammad ibnu Thalhah meriwayatkannya dalam kitabMathâlib as Su’ûl: 43. Beliau adalah tokoh besar ulama dan ahli fikih. Adz Dzahabi sendiri menyebutkan data hidupnya dalam banyak kitabnya dan memujinya. Demikian juga dengan para ulama lainnya, semuanya memujinya.
Kami tidak heran jika adz Dzahabi dengan serta merta mendustakan riwayat ‘Salam Nabi saw. untuk dua putra kebanggaan beliau; Imam Zainal Abidin dan Imam Muhammad al Baqir as.’, karena memang sudah sering ia bersikap seperti itu terhadap hadis-hadis keutamaan Ali dan Ahlulbait as.
Ketiga: Setelah ini semua, anggap kita terima kelemahan hadis ini dari jalur sahabat Hudzaifah… maka sesungguhnya berhujjah dengan hadis dengan jalur-jalur lain sudahlah cukup. Tidakkah telah Anda saksikan bagaimana Ibnu ‘Asâkir yang mencacat sanad/jalur riwayat Ibnu Abbas ra., ia sama sekali tidak mencacat hadis tersebut dari jalur Zaid ibn Arqam dan Abu Dzarr, sebagaimana ia mencatat hadis Hudzaifah?! Bukankah ini semua bukti nyata bahwa hadis itu dengan jalur tersebut shahih?!
Keempat: Andai kita terima anggapan bahwa seluruh jalur hadis tersebut lemah, dha’îf, bukankah telah ditetapkann dalam kajian Ilmu Hadis di kalangan para ulama bahwa hadis lemah, jika terdukung oleh banyak jalur maka mia dapat diangkat sebagai hujjah?!
Al Munnâwi berkomentar -setelah mendiskusikan beberapa hadis- membantah Ibnu Taimiyah:
وهذه الأخبار وإن فرض ضعفها جميعا ، لكن لا ينكر تقوّي الحديث الضعيف ـ بكثرة طرفه وتعدد مخرجيه ـ إلا جاهل بالصناعة الحديثية أو معائد متعصب ، والظن به أنه من القبيل الثاني.
“Hadis-hadis ini walaupun anggap ia lemah semua, akan tetapi tidak akan mengingkari bahwa hadis itu dapat dihukumi kuat dengan banyaknya jalur dan berbilangnya periwayatnya kecuali seorang yang jahil tentang ilmu hadis atau penentang kebenaran yangt degil. Dan dalam dzan/hemat sama ia (Ibnu Tamiyah) termasuk yang kedua.”[12]
Dan untuk orang seperti Ibnu Taimiyah dan adz Dzahabi dapat dipastikan sikap penolakannya didasari atas penentangan dan fanatisme!
Al Khitâm:
Dan akhirnya, menjadi jelaslah bagi kita status hadis di atas dengan beragam jalurnya. Semoga kita diberi taufiq Alllah untuk tunduk kepada kebenaran dan mengikuti jalan manusia-manusia suci Muhammad saw. dan Ahlulbait beliau as.
________________________________________
[1] Tarikh Damasqus (pada biodata Imam Ali as.),2/95 hadis no. 596, Kifâyah ath Thalib; al Kinji:214.
[2] Tarikh Damasqus,2/98 dan 99.
[3] Tadrîb ar Râwi,1/199.
[4]Ibid.
[5] Siyar A’lâm an Nubalâ’,13/247.
[6] Ibid, 13/65.
[7] Tarikh Damasqus,2/98.
[8] Al ‘Ibar Fi Khabari Man Ghabar,1/418.
[9] Mîzân al I’tidâl,3/55.
[10] Kifâyah ath Thâlib:448.
[11] Ash Shawâiq:120.
[12] Faidhul Qadîr-Syarah al Jâmi’ ash Shaghîr,3/170.

Jumat, 10 Juli 2015

Pujian Rasulullah s.a.w terhadap Syiah dengan kejayaan di Akhirat




Perkataan Syi‘ah telah disebut di dalam hadis nabi s.a.w. Imam al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur, ketika menjelaskan tentang surah Bayyinah (98:7) “Sesungguhnya orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah sebaik-baik makhluk”, maka dia mengutip (i) sabda Nabi s.a.w yang bermaksud: “Wahai Ali, Anda dan Syi‘ah anda di hari Kiamat nanti di dalam redha dan meredhai” Dan (ii) sabdanya lagi: “Ini Ali dan Syi‘ahnya (bagi) mereka itulah yang mendapat kemenangan di hari Kiamat kelak” (al-Durr al-Manthur, vi hlm. 379).

(iii) Nabi s.a.w bersabda: Syafaatku kepada umatku bagi mereka yang mencintai Ahlu l-Baitku, dan merekalah Syiahku” (Tarikh Baghdad, ii,146). (iv). Rasulullah s.a.w bersabda: Wahai Ali, sesungguhnya anda dan Syiah anda akan datang kepada Allah dalam keadaan redha dan meredhai sementara musuh anda di dalam keadaan marah dan terbelenggu” (al-Sawa‘iq al-Muhriqah, ii, 449)

(v) Rasulullah s.a.w bersabda: Anda dan Syiah anda adalah janjiku dan janji kamu adalah di Haudhku” (al-Durr al-Manthur, vi, 379). (vi) Rasulullah s.a.w bersabda: Jadilah Ahlu Baiti (keluargaku) daripada kamu tempat kepala daripada jasad dan tempat dua mata daripada kepala, kepala tidak akan mendapat petunjuk melainkan dengan dua mata” (Is‘af al-Raghibin bi-Hamisy Nur al-Absar, 110, al-Fusul al-Muhimmah oleh Ibn al-Sibagh al-Maliki, 8).

(vii) Nabi s.a.w telah mengakui kewujudan Syiah pada masa hidupnya. (viii) Nabi s.a.w mempercayai Syiah Ali a.s dan memberi jaminan kejayaan di Akhirat kelak (ix) Ali a.s dan Syiahnya akan mendapat kejayaan di Akhirat. (x) Justeru tuduhan Wahabi bahawa Syiah berasal daripada Abdullah bin Saba’ itu tertolak. (xi) Syiah mempunyai musuh yang ramai selepas kewafatan nabi s.a.w sehingga ke masa kini. Khalifah Ali a.s juga tidak disukai oleh kebanyakan umat Islam, kerana kecintaan mereka kepada Abu Bakar dan Umar adalah melintasi batas al-Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w. Lantaran itu Syiah menghadapi penderitaan sepanjang abad dengan pengusiran, pembunuhan, deskriminasi, penjara dan lain-lain. Oleh itu jikalaulah Ali a.s tidak pernah menjadi Khalifah umat Islam, nescaya Syiah kurang tersohor dan dikenali.

(a) Rasulullah s.a.w bersabda tentang sifat Ali a.s: Wahai manusia, ujilah anak-anak kamu dengan mencintai Ali, kerana Ali tidak menyeru kepada kesesatan dan tidak menjauhi manusia dari petunjuk. Siapa yang mencintainya, maka dia adalah daripada kamu dan siapa yang membencinya, maka dia bukanlah daripada kamu” (Tarikh Dimasyq, ii, 225/730).

(b) Imam Ali a.s berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Wahai Abu Dhar, siapa yang mencintai kami Ahlu l-Bait, maka hendaklah dia mencintai Allah di atas nikmat yang pertama”. Dia bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah nikmat yang pertama itu? Baginda menjawab: “Kelahiran yang baik, sesungguhnya kami tidak dicintai melainkan oleh mereka yang mempunyai kelahiran yang baik-bukan anak zina” (Amali al-Tusi, 455/1018, al-Mahasin, i, 232).

(c) Rasulullah s.a.w bersabda: “Wahai Ali! Siapa yang mencintaiku, maka dia mencintai anda dan mencintai para imam daripada anak-anak anda, maka hendaklah dia memuji Allah di atas kelahirannya yang baik kerana kami tidak dicintai melainkan oleh mereka yang baik kelahirannya (tabat wiladatu-hu) dan tidak akan membenci kami melainkan oleh mereka yang buruk kelahirannya-anak zina” (Amali al-Saduq, 384, Ma‘ani al-Akhbar, 161).

(d) Rasulullah s.a.w bersabda kepada Ali a.s: “Anda tidak akan dibenci di kalangan Arab melainkan oleh anak zina” (al-Manaqib oleh al-Khawarizmi, 323, Fara’id al-Samthin, i, 135).

(e)Imam Ali a.s berkata: “Aku tidak dicintai oleh orang kafir dan anak zina” (al-Manaqib oleh Ibn Syahri Asyub, ii, 267).

(f) Mahbub bin A Abi al-Zinad: Orang Ansar berkata: Sekiranya kami mahu mengetahui seseorang lelaki tanpa bapa (anak zina) adalah dengan kebenciannya kepada Ali bin Abi Talib” (Tarikh Dimasyq, ll, 224).

(g) Rasulullah s.a.w bersabda: Siapa yang membenci Ali, maka dia membenciku. Siapa yang membenciku, maka dia membenci Allah. Tidak akan mencintai anda (Ali) melainkan oleh mukmin dan tidak akan membenci anda melainkan oleh kafir atau munafik” (Tarikh Dimasyq, ll, 188)

(h) Imam Ali a.s berkata: Rasulullah s.a.w telah berjanji kepadaku: Aku tidak dicintai melainkan oleh mukmin dan aku tidak dibenci melainkan oleh munafik” (Sunnan al-Nasa’i, viii, 177, Musnad Ibn Hanbal, i, 204).

Keajaiban Imam Jawad yang terungkap setelah wafatnya



203 Hijriyah, Demi kepentingan politik, al-Ma'mun sebagai penguasa Bani Abbas masa itu mengundang Imam al-jawad yang berada di Madinah untuk datang ke pusat pemerintahannya di Baghdad. al-Ma'mun berniat untuk menikahkan putrinya yang bernama Ummul Fadhl dengan Imam Jawad yang masih sangat muda belia. niatnya itu diketahui oleh klannya dari Bani Abbas dan mereka semua tidak menyetujui bahkan menentangnya. karenanya, al_ma'mun mengadakan rapat keluarga dan memaparkan sebab niatnya itu yang dianggap akan melanggengkan kekhalifahan Bani Abbas dengan mempersatukan darah dagingnya dengan Ahlul Bayt, serta meyakinkan semua bahwa Al-jawad adalah sosok yang paling alim dan akan mempunyai pengaruh sangat kuat atas masyarakat, karena berdasarkan investigasi, dia sudah mengetahui bahwa al-Jawad adalah Imam pengganti ayahnya Al-Ridha walaupun usianya masih di bawah umur. Imam Jawad pun datang ke Baghdad dan Ma'mun sudah mengundang para ulama dan hakim-hakim paling alim untuk menguji keilmuan al-Jawad. Singkat cerita, ternyata al-jawad begitu mencengangkan dan segala puji bagi Allah riwayat dialog tanya jawab yang panjang tersebut terekam hingga kita bisa pelajari sampai saat ini. Silahkan rujuk buku sejarah ahlul bayt atau cari di internet.

Akhirnya, sesuai permintaan al-Ma'mun berlangsunglah perayaan akad nikah Imam jawad dengan Ummu fadl putri al-Ma'mun di Majlis itu juga. kemudian ummu fadl ikut bersama Imam Jawd kembali ke Madinah. Namun harapan Ma'mun dari pernikahan itu gagal karena ternyata putrinya mandul dan sampai 15 tahun pernikahan tidak dikaruniai anak. Imam al-jawad menikah lagi dengan seorang pelayan mu'minah asal maroko yang bernama Sumanah dan mendapat kemuliaan besar dengan menjadi Ibu Imam Ali al-Hadi. karena pernikahan itu, Ummul Fadl menjadi cemburu sampai dia menulis surat mennyampaikan kesedihan dan kecemburuannya kepada ayahnya. tapi al_ma'mun malah menjawab suratnya demikian; "Wahai putriku, aku tidak menikahkan kamu dengan Abu Ja'far (alJawad) supaya kau mengharamkan apa yang halal baginya, maka tolong jangan kau biasakan lagi mengadukan hal-hal tersebut." 

Banyak sekali karamah dan keajaiban Imam Jawad, seperti kisahnya saat mengurus jenazah ayahnya di Khurasan padahal beliau berada di Madinah saat itu. kisah beliau mengajak ahli ibadah di Damaskus untuk shalat ke masjid Kufah, kemudian umroh Ke Mekkah dan kembali ke tempat dia shalat semula di bekas tempat diinapkan kepala sayyidina husain di Damaskus. Semua riwayat itu dan lainnya bisa dibaca di buku-buku rujukan dan terjemahan. saat ini, demi mengenang syahadah beliau di akhir Dzulqa'dah tahun 220 H, saya ingin mendapat berkah berbagi baca riwayat berikut ini saja dari kisah pengakuan Ummul Fadl:   

Sayyidah Hakimah putri Imam Ridha meriwayatkan: Tatkala saudaraku Abu Ja’far (Imam Muhammad al-Jawad) meninggal dunia, aku mengunjungi istri beliau Ummul Fadhl (putri khalifah al-Ma’mun) karena suatu kepentingan. Kami berdua pun mengenang keutamaan, keistimewaan, dan apa yang di karuniakan Allah kepada al-Jawad. Tiba-tiba Ummul Fadhl mengungkapkan; “Maukah kamu saya beritahu tentang suatu keajaiban abu Ja’far yang tidak pernah terdengar sama sekali. Aku kata “Apa itu?” dan Ummul Fadhl menceritakan ; “Saya pernah cemburu terhadap seorang pelayan dan juga pernah cemburu atas pernikahan sehingga saya mengadu kepada al-Ma’mun, dan dia pun berkata “Wahai putriku, sabar dan bertahanlah karena dia adalah putra Rasulullah saw! Namun suatu waktu saya sedang duduk di malam hari, tiba-tiba seorang wanita yang anggun menghampiriku dan aku pun bertanya siapakah kamu? dia menjawab “Saya adalah istri abu Ja’far dan saya dari keturunan Ammar bin Yasir ra.” Sebegitu terkejutnya, diri saya dirasuki kecemburuan yang membuat saya tak tahan dan kehilangan akal, maka saat itu juga saya bangkit dan pergi ke al-Ma’mun ayah saya yang mana pada saat itu sedang mabuk berat. Dalam keadaan seperti itu saya katakan bahwa suami saya al-Jawad mencaciku dan mencaci Bani Abbas dan semua keturunannya. Serta saya tambahkan (fitnah) segala hal yang sama sekali dia tidak pernah melakukannya. Ayahku pun sangat marah dan langsung mangambil pedang. Saya ikuti dia bersama ajudannya sampai dia masuk ke ruangan al-Jawad sementara dia sedang tidur kemudian ayahku menghantam-hantam dengan pedangnya berkali-kali sampai tubuh al-Jawad terpotong-potong.
 
Ke-esokan harinya kami sadar dan merasa kebingungan dan tegang akan apa yang terjadi semalam, maka kami menyuruh ajudan tersebut untuk melihat kondisi al-Jawad, namun tak disangka ia  terkejut melihat al-jawad sedang shalat. Dia segera kembali dan mengabarkan kepada ayah bahwasanya al-Jawad selamat dan sedang sholat seakan tak terjadi apa-apa. Ayah saya begitu lega sehingga langsung memberi ajudannya itu seribu dinar, kemudian bergegas membawa kepada al-Jawad sepuluh ribu dinar dan meminta maaf untuk segalanya, dan al-Jawad pun menasehatinya untuk menjauhi minuman keras.

al-Ma'mun meninggal di tahun 218 H dan kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama al-Mu'tashim. tahun kedua dari pemerintahannya, al-Mu'tashim berkonspirasi untuk membunuh Imam jawad. Beliau alaihis salam akhirnya syahid karena diracun.
Ref: Kitab
Wafiyaat al-Aimmah.
Masaaib aal Muhammad,
Siirah al-Aimmah  al-12
credit :  Shaheer Hamdy

Dialog Harun dan Imam Musa as.


Harun senantiasa berusaha bertanya tentang sesuatu yang membuat Imam tidak berkutik menjawabnya. Sehingga dengan siasat ini, dia dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat.

Pada suatu kesempatan, Harun berkata kepada Imam as., “Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan jawabannya”.
Imam: “Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu”.

Harun: “Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul di atasku padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?!”.

Imam: “Kami lebih dekat kepada Nabi saw. dari pada Anda. Sebab, ayah kami Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw. adalah dua bersaudara dari  ibu dan ayah yang sama. Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah saja”.

Harun: “Sewaktu Nabi wafat, ayahmu Abu Thalib telah lebih dahulu wafat, tapi ayah kami Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan”.

Imam: “Selama seorang anak masih hidup, paman tidak dapat menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak ada hak untuk menerima warisan”.

Harun melontarkan pertanyaan lain, “Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Anda ini putra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut pada garis ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu”.

Imam: “Jika sekiranya Rasulullah hidup dan meminang putrimu, apakah Anda bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu padanya”.

Harun: “Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan”.

Imam: “Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku untuk lalu beliau nikahi”.

Harun: “Mengapa demikian?”

Imam: “Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra Rasulullah”.

Harun duduk diam seribu bahasa setelah mendengarkan jawaban Imam yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk memintanya sesuka hati beliau. Imam berkata, “Aku tidak ingin apa pun darimu, biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku”.

Kamis, 09 Juli 2015

DIALOG ANTARA IMAM JA'FAR SHADIQ (AS) DENGAN ABU HANIFAH





di dalam kitab musnad al-shadiq, perdebatan abu hanifah dan imam ja'far al-shadiq mengenai qiyas...

Berkata ja'far : dosa mana yang lebih besar, membunuh atau berzina ?

Jawab abu hanifah : membunuh

Berkata ja'far : kenapa allah mengharuskan dua saksi dalam suatu kasus pembunuhan, sedangkan dalam kasus zina empat saksi ?Apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : tidak

Berkata ja'far : mana yang kadarnya lebih besar, mani atau air kencing ?

Jawab abu hanifah : air kencing (dari segi najasah yaqiniahnya )

Berkata ja'far : tapi kenapa allah memerintahkan mandi ketika keluar mani, sedangkan saat keluar air kencing, cukup dengan dibasuh?Apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Berkata ja'far : mana yang kadarnya lebih besar, sholat atau puasa ?

Jawab abu hanifah : sholat

Berkata jaf'ar : tapi kenapa seseorang yang haidh diwajibkan menqodho puasa tapi tidak untuk sholat ? Apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Berkata ja'far : mana yang lebih lemah, laki laki atau perempuan ?

Jawab abu hanifah : perempuan

Berkata ja'far : tapi kenapa allah menjadikan dua bagian untuk laki laki, dan satu bagian untuk perempuan ? apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Berkata ja'far : Dan kenapa allah menghukumi seseorang yang mencuri sepuluh dirham dengan dipotong tangan, dan menghukumi seseorang yang memotong tangan orang lain cukup dengan membayar 15rb dirham ? apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Tapi Dr. baltaji dalam kitabnya manahij al-tasyri' al-islamy mengatakan bahwa riwayat diatas terbalik antara yang mendebat dan yang didebat. Beliau menguatkan hujjahnya dengan mengambil riwayat dari ibnu ahmad al-makky dalam manaqibu abi hanifah mengenai perdebatan diatas. Berikut versi ibnu ahmad al-makky dalam manaqibi abi hanifahnya....

Pada saat abu hanifah pergi haji, abu ja'far muhamad albaqir menghadangnya di madinah..kemudian berkata : kamulah yang merubah agama kakekku dengan qiyas!!

Berkata abu hanifah : aku berlindung pada allah untuk melakukan itu

Berkata abu ja'far : tapi kamu telah merubah!!

Abu hanifah berkata pada abi ja'far : duduklah...aku ingin ingin bertanya padamu tiga pertanyaan, dan jawablah pertanyaanku..Apakah laki laki lebih kuat dari perempuan ?

Jawab abu ja'far : ya..laki laki yang lebih kuat

Berkata abu hanifah : Berapa bagian untuk laki laki dan berapa bagian untuk perempuan ?

Jawab abu ja'far : laki laki mendapat dua bagian, dan perempuan mendapat satu bagian

Berkata Abu hanifah : ini adalah perkataan kakekmu (nabi). Maka jika saya merubah agama kakekmu, dengan qiyas menjadi terbalik antara kedudukan laki laki dan perempuan, karena perempuan lebih lemah dari laki laki. Kemudian berkata : mana yang lebih utama, puasa atau sholat ?

Jawab abu ja'far : shalat

Berkata abu hanifah : ini juga perkataan kakekmu. Maka jika saya merubah agama kakekmu, dengan qiyas aku memerintahkan perempuan yang haidh untuk menqadha shalat dan tidak menqadha puasa. Kemudian berkata : Manakah yang lebih dekat pada najis, mani atau air kencing ?

Jawab abu ja'far : air kencing yang lebih najis

Berkata abu haniah : jika saya merubah agama kakekmu, maka dengan qiyas, saya akan memerintahkan wudhu jika seseorang keluar air mani, dan mandi jika mengeluarkan air kencing karena air kencing lebih mendekati najis dari mani

Kemudian setelah itu, abu ja'far bangun dan mencium wajah abu hanifah dan memuliakannya...

Rabu, 08 Juli 2015

Dialog Imam Mûsâ as. dengan Nafî' Al-Anshârî





Nafî' Al-Anshârî adalah salah seorang yang membenci Imam Mûsâ as. Dia sangat marah ketika melihat Imam Mûsâ as. begitu dihormati di pendopo kerajaan Bani Abbâsiyah.
Dalam suatu pertemuan, ketika hendak masuk menemui Hârûn, Imam Mûsâ as. disambut oleh penjaga pintu dengan penuh penghormatan. Nafî' bergegas berjalan. Pada waktu itu, ia disertai oleh Abdul Aziz. Nafî' bertanya kepadanya: "Siapakah orang ini?" Abdul Aziz menjawab: "Diaadalah pemuka keluarga Abu Thalib, Mûsâ bin Ja'far as."
Mendengar jawaban itu, Nafî' berkata: "Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih lemah dari kaum ini (Banni Abbâsiyah). Mereka menghormati seseorang yang bisa menggulingkan mereka dari takhta kerajaan. Jika dia keluar, aku akan mengganggunya."
Abdul Aziz melarang Nafî' untuk mengganggu Imam Mûsâ as. seraya berkata: "Jangan kau lakukan itu. Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait. Tidak ada seorang pun yang mengganggunya dengan ucapan, kecuali orang itu pasti dipecundangi dengan suatu jawaban yang akan tetap menjadi tanda kehinaannya untuk selama-lamannya."
Ketika Imam Mûsâ as. keluar dari ruang pertemuan Hârûn, Nafî' menghampirinya dan memegang kendali kudanya. Nafî' berkata: "Siapakah engkau?"
Imam Mûsâ manjawab: "Hai Fulan, jika kamu menginginkan nasabku, aku adalah putra Muhammad Habîbullâh, putra Ismail Dzabîhullâh, dan putra Ibrahim Khalîlullâh. Jika kamu menginginkan kota, maka aku berasal dari kota yang Allah swt. mewajibkan kaum muslimin dan kamu-bila kamu termasuk dari kalangan mereka-untuk melakukan ibadah haji kepadanya. Jika kamu menginginkan kebanggaan, demi Allah orang-orang musyrik kaumku tidak senang muslimin kaummu sebagai padanan mereka, sehingga mereka berkata, 'Hai Muhammad, keluarkanlah orang-orang yang sepadan dengan kami dari kalangan kaum Quraisy saja.' Hai fulan, lepaskanlah kendali kudaku!"
Nafî' pun mengaku kalah dan tampak marah sekali karena ia telah dipecundangi oleh Imam Mûsâ as.

IMAM MUSA AL-KAZIM AS, PELINDUNG KAUM FAKIR MISKIN DAN ORANG-ORANG YANG TERTIMPA MUSIBAH .


Imam Musa Al-Kazim adalah orang yang sangat peduli pada kehidupan kaum fakir miskin dan orang-orang yang tertimpa musibah. Pada malam hari, beliau memikul makanan di pundaknya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan secara sembunyi-sembunyi; tanpa diketahui oleh mereka tentang keberadaan beliau. Bahkan setiap bulannya, Imam memberikan santunan kepada beberapa orang di antara mereka.
.
Sayyid Mahdi Ayatullahi
.
Imam Musa Al-Kazim As lahir pada hari ahad, bertepatan dengan 7 Safar 120 H, di sebuah lembah bernama Abwa yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Ibunda beliau bernama Hamidah. Imam Musa As mencapai kedudukan Imamah di usia 21 tahun.
.
Abu Bashir menuturkan, “Kami bersama Imam Ja’far melakukan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Tidak lama setelah tiba di sebuah tempat yang dikenal dengan Abwa dan menyantap sarapan pagi di sana, Imam mendapat kabar bahwa Allah swt. telah menganugerahinya seorang putra.
.
Dengan penuh suka-cita Imam Ja’far segera menemui istrinya, Hamidah. Tidak lama kemudian, beliau kembali dengan wajah berseri dan berkata, “Allah swt. telah memberiku seorang anak. Kelahiran putraku ini merupakan anugerah terbaik dari- Nya”.
.
Ibundanya bercerita bahwa ketika putranya lahir, ia merebah sujud dan memanjatkan rasa syukurnya kepada Allah swt. Perbuatan ini merupakan tanda imamah beliau.
.
Saat tiba di Madinah, Imam Ja’far Ash-Shadiq as. menghidangkan jamuan makan selama tiga hari, mengundang orang-orang miskin dan orang-orang yang tertimpa kesusahan.
.
Ya’qub Sarraj menuturkan, “Aku mengunjungi Imam Ash-Shadiq as. di Madinah. Aku melihatnya berdiri di dekat ayunan putranya, Musa Al-Kazim as. Aku mengucapkan salam kepada beliau, dan dengan tatapan yang cerah beliau membalas salamku. Beliau berkata, ‘Mari mendekat kepada Imam dan sampaikan salam padanya’. Aku mendekatinya dan menyampaikan salam. Imam Ja’far berkata, ‘Allah swt. telah menganugerahimu seorang putri dan engkau telah memberinya nama yang kurang pantas untuknya. Pergilah dan gantilah namanya’.
.
Ibunda Musa Al-Kazim as. adalah seorang kaniz (budak) yang dibeli oleh Imam Ja’far. Meskipun demikian, ibunda telah mendapatkan pengajaran ilmu dari Imam Ja’far as., yang menjadikannya sebagai wanita yang memiliki keluasan ilmu dan kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sehingga, terkadang Imam Ja’far meminta para wanita untuk bertanya masalah-masalah agama kepadanya.
.
Periode kehidupan Imam Musa Al-Kazim as. dapat dibagi menjadi 2 bagian:
.
Kehidupan beliau bersama ayahandanya di Madinah selama 20 tahun. Periode ini berlangsung sebelum beliau mencapai Imamah.
.
Masa-masa awal perlawanan, pemenjaraan dan pengasingan yang menimpa kehidupan Imam as.
.
Akhlak Imam Musa as.
.
Meskipun postur tubuh Imam Musa Al-Kazim as. kurus, namun beliau memiliki jiwa yang kuat. Baju dalam beliau terbuat dari bahan kain kasar. Beliau kadang-kadang berjalan kaki di tengah keramaian penduduk, menyampaikan salam pada mereka, mencintai keluarganya dan menghormati mereka.
.
Imam Musa Al-Kazim adalah orang yang sangat peduli pada kehidupan kaum fakir miskin dan orang-orang yang tertimpa musibah. Pada malam hari, beliau memikul makanan di pundaknya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan secara sembunyi-sembunyi; tanpa diketahui oleh mereka tentang keberadaan beliau. Bahkan setiap bulannya, Imam memberikan santunan kepada beberapa orang di antara mereka.
.
Salah seorang sahabat Imam bercerita tentang ketabahan dan kesabaran beliau. Ia menuturkan, “Musuh-musuhnya terkadang merasa malu dan berkecil hati atas akhlak luhur yang ditunjukkan oleh Imam”.
.
Pada suatu waktu, seorang warga Madinah melihat Imam Musa. Ia menghadang beliau lalu menyampaikan kata-kata kasar dan makian dihadapan beliau. Para sahabat Imam berkata, “Izinkan kami untuk menghajarnya, wahai Imam!”.
.
Imam berkata, “Biarkanlah, jangan kalian ganggu dia!”.
.
Beberapa hari kemudian, tidak ada berita tentang orang tersebut. Imam menanyakan ihwal kesehatan orang itu. Penduduk kota menjawab, “Ia pergi bercocok tanam di ladangnya yang terletak di luar kota Madinah”. Mendengar kabar tersebut, Imam as. segera menunggang kudanya dan bergerak menuju ke ladang orang tersebut.
.
Ketika orang itu melihat kedatangan Imam as., ia berteriak dengan lantang dari kejauhan, “Jangan sekali-kali kau menginjakkan kakimu di ladangku. Aku adalah musuhmu dan musuh datuk-datukmu”.
.
Namun, Imam malah mendekatinya, menyampaikan salam dan menanyakan kesehatan serta keadaan hidupnya. Dengan penuh ramah Imam bertanya, “Berapa Dinar yang Anda habiskan untuk biaya ladangmu ini?”.
.
Ia menjawab, “Seratus Dinar”.
.
Imam bertanya lagi, “Berapa banyak keuntungan yang Anda harapkan dari semua ini?”.
.
Orang itu menjawab, “Dua ratus Dinar”.
.
Mendengar jawaban ini, Imam mengambil sekantung uang yang berisi tiga ratus Dinar dan memberikannya pada orang tersebut. Imam berkata, “Ambillah uang ini, dan ladang ini tetap menjadi milikmu”.
.
Orang yang selama ini berlaku kurang ajar dan kasar kepada Imam itu, tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan sesantun itu dari Imam.
.
Ketika hendak kembali ke Madinah, Imam berpesan, “Lepaskan amarahmu dengan cara seperti ini”. Yakni, tetap menunjukkan akhlak yang luhur.
.
Al-Kazim adalah sebuah gelar yang berarti orang yang mampu mengendalikan amarahnya ketika mendapat gangguan dan membalasnya dengan kebaikan serta penghormatan. Perbuatan mulia ini telah membuat musuh-musuhnya menjadi begitu malu.
.
Salah satu kebiasaan Imam Musa as. ialah menunjukkan cinta kasih dan kehangatannya kepada kerabat beliau. Beliau berkata, “Apabila terjadi permusuhan di antara kerabat, lalu mereka saling berjabatan tangan ketika mereka berjumpa, maka permusuhan itu akan pergi dan sesama mereka akan saling mencintai satu sama lainnya dan sama-sama menyambut gembira”.
.
Sikap Pemurah Imam
.
Imam Musa Al-Kazim as. masyhur di antara para penduduk dengan kemurahan dan keramahannya, seperti perbuatan beliau membebaskan seribu budak, atau pun bantuan beliau kepada mereka yang dalam kesulitan dan terhimpit masalah hidup, serta melunasi utang orang-orang yang terlilit.
.
Ibnu Sharashab menukilkan, “Suatu hari, Khalifah Mansur mengundang Imam Musa ke istananya dan meminta beliau untuk duduk di singgasana khalifah pada hari tahun baru dan membawa pulang hadiah-hadiah yang dihaturkan oleh para tamu. Meskipun Imam tidak begitu tertarik untuk memenuhi undangan itu, namun beliau dengan terpaksa menerimanya.
.
“Beliau duduk di singgasana itu. Atas perintah Khalifah Mansur, para pengawal kerajaan, keluarga istana dan para pembesar yang ikut dalam acara resmi tersebut, menyerahkan hadiah-hadiah mereka kepada Imam. Mansur memerintahkan salah seorang pelayannya untuk mencatat secara detail jumlah hadiah itu dan menyiapkan perlengkapannya untuk dibawa oleh Imam.
.
“Di akhir acara itu, seseorang yang sudah berusia lanjut datang dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku tidak memiliki sesuatu pun untuk aku haturkan kepadamu, akan tetapi aku memiliki beberapa syair yang berhubungan dengan duka nestapa yang menimpa datukmu Imam Husain as., hanya syair inilah yang dapat aku persembahkan kepadamu’.
.
“Orang itu kemudian melantunkan syairnya di hadapan Imam dan meninggalkan kesan yang luar biasa dalam diri beliau. Beliau meminta pengawal Mansur untuk pergi menjumpai Mansur dan menanyakan tentang apa yang harus dilakukan dengan hadiah-hadiah tersebut.
.
“Pengawal tersebut beranjak menjumpai Mansur, dan setelah kembali ia mengatakan, ‘Khalifah mengatakan bahwa “Aku serahkan seluruh hadiah ini kepadamu. Kau bisa serahkan kepada siapa saja yang kau kehendaki”.
.
“Pandangan Imam jatuh kepada orang tua tadi. Kepadanya beliau mengatakan, ‘Demi syair yang telah Anda lantunkan sehubungan dengan bencana yang menimpa datukku, aku anugerahkan hadiah ini untukmu sehingga dengannya Anda bebas dari kemiskinan dan penderitaan’”.
.
Imam Musa as. Bekerja
.
Imam Musa Al-Kazim as. bercocok tanam sendiri di ladang yang menjadi kekayaan pribadi beliau. Dari hasil cocok tanam itu, Imam membelanjakannya untuk keperluan hidup sehari-hari. Kadang-kadang, kerja keras di ladang membuat seluruh badan beliau kuyup dengan peluh.
.
Suatu hari, salah seorang sahabat Imam yang bernama Ali Bathaini –yang memiliki hubungan kerja dengan Imam– mendatangi beliau di ladang. Ketika ia melihat Imam dalam kepayahan, ia pun menjadi sedih dan berkata, “Semoga jiwaku menjadi tebusanmu wahai Imam, mengapa Anda tidak membiarkan orang lain untuk melakukan pekerjaan ini?!”.
.
Imam menjawab, “Mengapa aku harus membebankan pekerjaan ini ke pundak orang lain sementara mereka lebih baik dalam melakukan pekerjaan ini daripada aku”.
.
Aku bertanya, “Siapakah mereka itu?”
.
Imam berkata, “Rasulullah saw., Amirul mukminin Ali as., ayahandaku dan datukku”.
.
Bekerja dan berpeluh adalah sunah para nabi, sunnah para Imam, dan para hamba Allah yang soleh. Mereka ini senantiasa bekerja dan bersusah payah. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan hasil kerja yang mereka usahakan sendiri.
.
Cara Dakwah Imam Musa as.
.
Suatu ketika, Imam melintasi sebuah jalan. Denting suara musik dan dendang lagu terdengar hingga keluar rumah. Pemilik rumah tersebut adalah seorang tuan yang terpandang. Dia telah membangun sebuah tempat untuk bersenang-senang dan membuatnya bergembira ria.
.
Tiba-tiba seorang budak keluar dari rumah itu untuk membuang sampah di sudut jalan. Secara kebetulan, ia melihat Imam dan berdiri terdiam. Lalu, ia memberikan salam kepada Imam.
.
Sang Imam bertanya padanya, “Apakah pemilik rumah ini adalah seorang hamba atau seorang merdeka?”
.
Ia menjawab , “Seorang yang merdeka”.
.
Imam berkata lagi, “Tentu saja dia seorang yang merdeka. Jika dia seorang hamba, tentu dia memiliki rasa takut kepada Allah swt. dan tidak akan mengerjakan perbuatan sia-sia ini”.
.
Budak itu kembali masuk rumah. Tatkala tuannya menanyakan keterlambatannya, ia menceritakan perjumpaan dan perbincangannya dengan Imam di luar tadi.
.
Orang itu sejenak merenungi perbincangan itu. ia merasakan perkataan Imam di atas begitu menyentuh hatinya. Segera ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan kaki telanjang ia berlari menyusul Imam dari belakang hingga berjumpa dengan beliau. Orang itu memberikan salam kepada Imam dan menyampaikan penyesalannya di hadapan beliau.
.
Sejak saat itu, ia mengubah pusat hiburan itu menjadi tempat ibadah, dan setiap hari ia berjalan dengan kaki telanjang. Orang ini kemudian dikenal dengan nama “Bushri Hafi”, yang berarti Si Bushri yang berjalan dengan kaki telanjang.
.
Kezuhudan dan Ibadah
.
Imam Musa Al-Kazim as. sangat terkenal dengan kezuhudan dan ibadahnya sehingga di mana pun orang bercerita tentang beliau. Mereka berkata, “Beliau adalah seorang pecinta ibadah”.
.
Syeikh Mufid menulis tentang Imam as., “Di zaman itu, beliau adalah orang yang paling saleh dan bertakwa. Pada malam harinya, beliau larut dalam shalat. Bilamana melaksanakan sujud, beliau senantiasa memanjangkannya sementara air matanya luruh hingga membasahi janggut beliau”.
.
Syablanji, seorang ulama Ahli Sunnah menulis tentang beliau, “Imam Musa Al-Kazim as. adalah orang yang paling bertaqwa dan zuhud pada zamannya. Beliau sangat arif, bijaksana, pemurah dan pengasih kepada siapa saja. Beliau membantu dan merawat orang-orang malang. Waktunya banyak dihabiskan untuk mengerjakan ibadah tanpa diketahui oleh orang banyak. Beliau berkata, “Ya Allah, mudahkanlah kematianku dan ampuni dosa-dosaku saat aku dihadapkan pada-Mu di Hari Kiamat”.
.
Imam Musa as. merupakan seorang pecinta Tuhan sejati sehingga membuat orang-orang menjadi takjub dan terheran-heran. Sampai-sampai beliau pernah membuat Fadhl -si kepala penjara- ikut menangis.
.
Begitu pula pelayan wanita khusus Khalifah Harun, yang diutus ke penjara untuk menggoda Imam as., dan membuat beliau tertarik kepadanya sehingga Harun menemukan alasan untuk menghukum beliau. Di dalam penjara, pelayan wanita itu malah terpukau oleh perangai Imam, sehingga ia kembali menghadap Harun dalam keadaan menangis, dan menyatakan keberatannya atas keputusan Harun memenjarakan Imam as.
.
Tragedi Fakh
.
Atas perintah Imam Musa Al-Kazim as., seorang Alawi (keturunan Imam Ali) asal Madinah bernama Husain bin Ali melakukan pemberontakan terhadap Al-Hadi yang menjadi khalifah Dinasti Abbasiyah ketika itu. Beserta dengan tiga ribu pasukan, Husain bangkit melawan pemerintahan Abbasiyah karena kejahatan dan kezaliman mereka terhadap anak keturunan Ali bin Abi Thalib as.
.
Namun, pasukan Al-Hadi berhasil mengepung mereka di tanah Fakh dan melakukan pembantaian massal di tempat itu, yaitu memenggal kepala mereka, satu persatu. Kepala-kepala yang terpenggal itu dan para tawanan perang dibawa ke hadapan Al-Hadi. Dia memberi perintah kepada algojonya untuk membunuh para tawanan itu.
.
Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai tragedi Fakh dan pejuang ‘Alawi itu dikenal dengan “Husain”, Sang Syahid Fakh.
.
Hijrah Pertama ke Baghdad
.
Mansur tewas dibunuh pada 158 H. Segera anaknya Al-Mahdi naik tahta sebagai khalifah yang menggantikan ayahnya. Ia memberlakukan siasat-siasat keji atas masyarakat. Ia bertingkah seakan-akan seorang alim yang taat beragama di hadapan khalayak, tetapi di belakang ia justru senantiasa berbuat zalim dan maksiat.
.
Ketika memegang kekuasaan, Khalifah Al-Mahdi membebaskan para tahanan politik, di antaranya Imam Musa as., dan mengembalikan harta yang dirampas dari tangan mereka. Akan tetapi, ia juga memberikan hadiah yang besar kepada para penyair yang memaki dan melaknat keluarga Ali bin Abi Thalib as. Seperti ketika ia memberikan hadiah tujuh puluh ribu Dirham kepada Busyr bin Burd dan seratus ribu Dirham kepada Marwan karena syair-syair mereka berisikan laknat dan makian terhadap keluarga Imam Ali as.
.
Ia menghabiskan harta negara untuk berfoya-foya dan bersenang-senang, sebagaimana ketika ia habiskan 59 juta Dirham untuk pesta pernikahan anaknya, Harun.
.
Suatu ketika, mata-mata Al-Mahdi melaporkan popularitas Imam dan kecondongan masyarakat kepada beliau. Mendengar berita itu, dia benar-benar geram dan segera memerintahkan orang-orang dekatnya untuk membawa Imam as. dari Madinah ke Baghdad dan memenjarakannya di sana.
.
Abu Khalid berkata, “Suatu hari Imam dikawal oleh pasukan resmi kerajaan tiba di rumahku di Zubala. Dalam waktu yang singkat itu, Imam sempat lepas dari pengawalan pasukan kerajaan itu, dan beliau memintaku untuk membelikan beberapa barang. Aku sangat bersedih dan menangis melihat keadaan Imam seperti itu. Kepadaku Imam mengatakan, ‘Jangan risaukan aku, karena aku akan segera kembali, dan nantikan aku hingga hari itu, di tempat itu’.
.
“Aku persembahkan diriku atas apa yang telah Imam perintahkan kepadaku. Kulihat beliau memimpin karavan tersebut. Dengan gembira Aku maju ke depan dan mencium Imam. Beliau berkata, “Wahai Abu Khalid, mereka akan membawaku kembali ke Baghdad dan aku tidak akan kembali dari perjalanan itu”.
.
“Ketika aku mencari tahu alasan mengapa Imam dibebaskan, aku menjadi tahu bahwa Al-Mahdi melihat Imam Ali bin Abi Thalib as. dalam mimpinya, pada malam yang sama. Dalam mimpinya itu, dia melihat Imam Ali dengan tatapan marah dan memberi peringatan kepadanya. Karena ketakutan, pada pagi harinya dia pun melepaskan Imam dan mengirimnya kembali ke Madinah dengan segenap hormat dan santun”.
.
Meskipun keadaan yang mencekik dan menyiksa di Madinah, Imam Musa as. tetap giat membimbing dan menuntun warga kota. Tidak lama berselang, Al-Mahdi meninggal dunia dan anaknya Al-Hadi naik tahta menggantikannya sebagai khalifah.
.
Berbeda dengan ayahnya, Al-Hadi memulai permusuhan dan penindasannya terhadap anak keturunan Imam Ali as. tidak lagi sembunyi-sembunyi, tetapi malah terang-terangan. Perbuatannya yang paling jahat ialah pembantaiannya terhadap anak keturunan Ali as. yang kemudian dikenal dengan nama “Tragedi Fakh”, dan oleh ahli sejarah dicatat sebagai tragedi terkejam kedua setelah tragedi Karbala.
.
Al-Hadi adalah orang yang berlumuran dosa, berperangai jahat dan sama sekali tidak layak menduduki kursi kekhalifahan. Ia menghabiskan uang sewenang-wenang, hanya untuk berpoya-poya dan bersenang-senang, dan memberikan hadiah yang melimpah kepada mereka yang membacakan syair dan yang mendendangkan lagu untuknya.
.
Al-Hadi meninggal pada 170 Hijriah. Lalu Harun menggantikan kedudukannya sebagai khalifah. Ketika itu, Imam telah berusia 42 tahun.
.
Setelah dibaiat oleh orang-orang setianya, Harun melantik Yahya Barmaki –berkebangsaan Iran– sebagai menterinya dan memberikan wewenang yang penuh kepadanya. Harun sendiri menyibukkan dirinya menguras kekayaan negara “Baitul Mal” yang ketika itu sedang melimpah.
.
Ia menghabiskan seluruh kekayaan negara itu secara berlebih-lebihan untuk berfoya-foya dan bersenang-senang. Bahkan untuk pembelanjaan suatu acara makan, dia menghabiskan biaya senilai empat ribu Dirham.
.
Kecongkakan Harun
.
Harun sangat terusik dengan perlawanan anak keturunan Ali as. terhadap Dinasti Abasiyah. Ia menggunakan segala cara untuk menjauhkan masyarakat dari keluarga Ali as. Ia pun memberikan uang yang melimpah kepada para pujangga yang mendendangkan syair-syair berisikan makian, hujatan, cemoohan terhadap mereka. Oleh karena itu, Harun memberikan izin kepada salah seorang pujangga –yang bait-bait syairnya menghujat keluarga Ali– masuk ke dalam gudang kekayaannya untuk memilih dan mengambil barang sesuka hatinya.
.
Harun mengasingkan anak keturunan Ali as. dari Baghdad ke Madinah, dan membunuh banyak di antara mereka.
.
Hamid bin Fathaba, gubernur Khalifah Harun di Khurasan, menukilkan kepada Abdullah Bazzaz Neishaburi, “Harun memiliki satu taman di Neishabur yang dikunjunginya setiap tahun. Pada suatu waktu, ia memanggilku di tengah malam dan berkata, “Tunjukkan seberapa tinggi imanmu kepadaku?”
.
Aku berkata, “Aku korbankan hidup dan hartaku untukmu.
.
Ia berkata, “Apa lagi?”
.
Kujawab, “Kehormatanku, istriku dan anakku, semua itu untukmu”.
.
Ia bertanya lagi, “Lalu apa lagi?”
.
Kukatakan, “Agamaku”.
.
Harun menegakkan kepalanya dan berkata sambil tertawa, “Anda telah mengatakan apa yang aku nantikan. Mendekatlah, ambil pedang ini dan laksanakan perintah yang disampaikan budakku kepadamu!”.
.
“Budak Harun itu menuntunku ke sebuah rumah yang menyekap enam puluh orang. Mereka adalah anak-anak muda dan orang-orang tua keluarga Ali as. Kemudian ia menyeret mereka satu persatu dan memerintahkan aku untuk membunuh mereka. Aku dengan setia mematuhi perintah Harun tersebut. Setelah aku mengeksekusi mereka, aku buang mayat-mayat itu ke dalam sebuah sumur yang penuh dengan lumpur di sebuah kampung.
.
“Duhai sahabatku! Setiapkali aku mengingat tragedi memilukan ini, tubuhku bergetar, bulu romaku merinding. Dengan segala kekejian dan kejahatannya, Harun masih memerintahkan aku untuk menggali kuburan Imam Husain as. dan menghancurkan pusaranya dengan maksud agar orang-orang tidak dapat menziarahinya lagi”.
.
Ikrar Imam Musa as.
.
Sudah jelas mengapa Imam Musa Kazim as. begitu tegasnya menolak untuk bekerja sama dengan pemerintahan zalim dan biadab seperti Dinasti Abasiyah. Beliau tidak dapat berdiam diri di hadapan kezaliman mereka. Oleh karena itu, beliau bangkit memberontak melawan pemerintahan Harun.
.
Di mana saja tempat yang dianggap perlu, Imam as. menyingkapkan kekejaman dan kebejatan perangai Harun kepada masyarakat. Hal ini tentu saja membuat Harun menjadi malu dan tercoreng namanya di hadapan mereka.
.
Selain itu, Imam Musa as. memerintahkan beberapa sahabatnya untuk menolak segala bentuk kerja sama dan bantuan dari pemerintahan Harun. Misalnya kepada Sofwan, sahabat setia Imam. Kepadanya beliau berkata, “Engkau adalah orang yang berbudi baik dalam segala hal kecuali satu, bahwa engkau telah menyewakan untamu kepada Harun”.
.
Sofwan menjawab, “Aku menyewakan untaku kepadanya hanya pada musim haji saja, dan aku pun tidak menyertai perjalanannya”.
.
Imam berkata, “Duhai Sofwan, tidakkah kau akan gembira sampai untamu kembali, dan Harun tetap hidup sehingga kau menerima uang sewa darinya”.
.
Ia menjawab, “Ya, betul”.
.
Imam berkata lagi, “Barang siapa yang suka bila seorang dzalim tetap hidup, maka ia pun termasuk bagian darinya”.
.
Walaupun Sofwan telah menandatangani perjanjian sewa-menyewa dengan Harun yang mensyaratkan supaya Sofwan menyediakan perlengkapan perjalanan haji kepada Khalifah, namun selekas mendengar ucapan Imam Musa as. itu, ia pun menjual seluruh unta yang dimilikinya. Harun kemudian memanggil dan mendesaknya untuk mengatakan alasan apa sehingga menjual seluruh unta itu tanpa sedikit pun memberi kabar kepadanya.
.
Akhirnya, Harun mengerti apa yang telah terjadi dan berkata kepada Sofwan, “Sekiranya aku tidak mengingat hubungan persahabatan yang dulu terjalin di antara kita, maka detik ini juga aku perintahkan algojoku untuk memenggal kepalamu. Aku tahu siapa yang memberikan perintah ini kepadamu. Musa bin Ja’far yang telah memerintahkan ini padamu”.
.
Walaupun Imam as. tidak membolehkan seorang pun untuk berkerja sama dengan Harun, akan tetapi beliau memerintahkan seseorang yang pandai tentang seluk beluk pemerintahan, untuk menyusup dan membangun pengaruh di dalam pemerintahan Harun Ar-Rasyid, dan membantu sahabat-sahabat Imam yang kesusahan, serta melaporkan informasi, rencana atau keputusan yang telah diambil oleh pemerintah.
.
Dalam rangka ini, beliau memberikan izin kepada Ali bin Yaqthin untuk mengemban tugas ini dan berhasil menjabat sebagai salah satu menteri Harun Al-Rasyid. Dengan tugas ini, Ali dapat membantu sahabat-sahabatnya dan pengikut-pengikut Imam as.
.
Suatu hari, Imam menulis surat yang isinya meminta Ali bin Yaqtin, “Bahwasanya bila tidak ada orang yang melihatmu, kau dapat mengambil wudhu sesuai dengan ajaran Imam, namun bila ada yang menemanimu, maka berwudhulah dengan cara mereka. Terima hadiah-hadiah yang diberikan padamu –sebagai salah satu cara Harun menguji kesetiaan orang-orangnya– dan jangan engkau tolak”.
.
Dialog Harun dan Imam Musa as.
.
Harun senantiasa berusaha bertanya tentang sesuatu yang membuat Imam tidak berkutik menjawabnya. Sehingga dengan siasat ini, dia dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat.
.
Pada suatu kesempatan, Harun berkata kepada Imam as., “Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan jawabannya”.
.
Imam: “Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu”.
.
Harun: “Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul di atasku padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?!”.
.
Imam: “Kami lebih dekat kepada Nabi saw. dari pada Anda. Sebab, ayah kami Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw. adalah dua bersaudara dari ibu dan ayah yang sama. Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah saja”.
.
Harun: “Sewaktu Nabi wafat, ayahmu Abu Thalib telah lebih dahulu wafat, tapi ayah kami Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan”.
.
Imam: “Selama seorang anak masih hidup, paman tidak dapat menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak ada hak untuk menerima warisan”.
.
Harun melontarkan pertanyaan lain, “Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Anda ini putra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut pada garis ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu”.
.
Imam: “Jika sekiranya Rasulullah hidup dan meminang putrimu, apakah Anda bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu padanya”.
.
Harun: “Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan”.
.
Imam: “Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku untuk lalu beliau nikahi”.
.
Harun: “Mengapa demikian?”
.
Imam: “Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra Rasulullah”.
.
Harun duduk diam seribu bahasa setelah mendengarkan jawaban Imam yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk memintanya sesuka hati beliau. Imam berkata, “Aku tidak ingin apa pun darimu, biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku”.
.
Pengkhianatan Seorang Kerabat
.
Kemenakan Imam yang bernama Ali bin Isma’il diundang oleh sahabat Harun untuk menemaninya ke Baghdad guna memberi kabar kepada Harun perihal keadaan Musa bin Ja’far. Ketika Imam diberi tahu tentang undangan itu, beliau memanggil kemenakannya itu dan berkata, “Ke manakah kau hendak pergi?”
.
Ali bin Isma’il menjawab, “Ke Baghdad”.
.
Imam berkata, “Untuk keperluan apa kau ke sana?”.
.
Ia menjawab, “Aku terlilit hutang, barangkali dengan kepergian ini aku mendapatkan uang untuk membayar hutangku itu”.
.
Imam berkata lagi, “Aku yang akan membayar seluruh utangmu itu dan mencukupi keperluan hidupmu beserta keluargamu”.
.
Tetapi Isma’il menolak tawaran Imam tersebut dan bersikeras untuk tetap pergi. Kepada Imam ia berkata, “Aku tetap akan pergi dan aku meminta nasihat darimu”.
.
Imam berkata padanya, “Aku wasiatkan kepadamu dan ini adalah perintahku, bahwa engkau jangan turut serta dan mengambil andil dalam penumpahan darahku, karena akibatnya buruk untukmu kelak”.
.
Isma’il bertanya, “Apa maksud perkataan Anda ini?” Ia mendesak Imam untuk memberinya nasihat. Imam kembali mengulangi perkataannya kepada Isma’il. Ia tidak tahu bahwa Imam mengetahui apa yang akan terjadi.
.
Isma’il beranjak pergi meninggalkan Imam. beliau memberikan tiga ratus Dinar padanya dan berkata, “Ini untuk anak-anakmu”. Isma’il mengambil uang tersebut dan pergi.
.
Setelah kepergian Isma’il, Imam menyampaikan pesan kepada orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu. Beliau berkata, “Demi Allah, kemenakanku ini akan turut andil dalam pembunuhanku dan menjadikan anak-anakku yatim”.
.
Para hadirin bertanya-tanya, “Wahai putra Rasulullah, jika Anda mengetahui dia akan berlaku khianat padamu, lalu mengapa Anda masih saja membantunya?!”.
.
Beliau menjawab, “Datukku Rasulullah bersabda, ‘Jika seseorang berbuat baik dan mencintai kerabatnya dan si kerabat itu membalasnya dengan perbuatan jahat, maka Allah akan mengazabnya dan ia tidak akan pernah sampai pada apa yang ditujunya”.
.
Isma’il tiba di Baghdad dan berkunjung ke kediaman Yahya Barmaki. Setelah itu, bersama Yahya pergi menjumpai Harun. Ia menyampaikan laporannya kepada Harun. Katanya, “Wahai Harun! Musa bin Ja’far telah memerintah Madinah dan ia memiliki uang yang melimpah yang dikirim oleh orang-orangnya dari berbagai tempat. Ia telah mengambil keputusan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahanmu”.
.
Harun senang mendapatkan laporan dari Isma’il itu dan memberi uang sebanyak dua ratus Dirham kepadanya. Isma’il dengan senang hati menerima uang tersebut lalu segera pulang ke rumahnya di Madinah.
.
Namun, tiba-tiba rasa sakit menyerang tenggorokannya dan mati seketika di tempat itu pula. Harun memutuskan untuk datang ke Madinah guna menangkap Imam dan menjebloskannya ke dalam penjara.
.
Pada tahun yang sama, Harun menulis surat kepada seluruh orang-orangnya untuk menyebar di Makkah dan Madinah. Sepulangnya dari Madinah, ia memerintahkan gubernur Madinah untuk menangkap Imam dan mengirimnya ke Basrah. Imam as. dipenjarakan selama satu tahun di sana. ketika itu kota Basrah berada di bawah pemerintahan Gubernur Yahya Barmaki.
.
Selama di penjara, akhlak, budi luhur dan perilaku Imam meninggalkan kesan yang dalam pada diri Yahya. Kesan itu memaksanya untuk menulis surat kepada Harun, “Wahai Harun, aku tidak melihat sesuatu apa pun pada diri Musa bin Ja’far selama dalam penjara kecuali kebaikan dan ketakwaan. Aku tidak tahan lagi memenjarakannya. Terimalah ia agar kembali atau aku akan bebaskan dia pergi”.
.
Maka, Harun memutuskan untuk memindahkan Imam dari Madinah ke Baghdad. Atas perintahnya, beliau dipindahkan ke penjara Baghdad di bawah pengawasan Fadhl. Seperti pengalaman Yahya, Fadhl pun terpesona oleh kepribadian luhur Imam Musa as. dan meminta Harun agar ia sendiri yang mengawasi beliau.
.
Akhirnya, Imam dipindahkan lagi ke penjara Sindi bin Syahik, seorang yang bengis dan kejam.
.
Imam melewatkan hari-harinya di penjara itu dengan shalat, puasa, ibadah dan doa. Semua itu menambah kedekatan diri beliau kepada Allah swt.
.
Perlawanan di dalam Penjara
.
Harun terus berupaya bagaimana caranya membunuh Imam Musa. Suatu hari, dia mengutus Yahya bin Khalik ke penjara. Tugas yang diemban Yahya adalah meminta Imam untuk tidak menentang Khalifah dan menawarkan pengampunan serta pembebasan kepada beliau. Namun, Imam menolak semua tawaran itu.
.
Imam as. menulis sepucuk surat kepada Harun yang berbunyi, “Setiap hari kulalui dengan kesusahan, sementara kau lalui hari-harimu dengan kesenangan. Lalu, kita akan sama-sama mati. Hingga di suatu hari yang tiada akhirnya, kelak kita diberdirikan di hadapan Mahkamah Ilahi, ketika orang-orang licik hanya akan menjadi pecundang dan terhinakan”.
.
Hari Kesyahidan
.
Alasan Harun mengapa dia harus memindahkan Imam Musa as. dari satu penjara ke penjara lain, tidak ada lain adalah karena permintaannya kepada setiap kepala penjara untuk membunuh Imam, namun mereka tidak bersedia untuk memenuhi permintaan tersebut. Hingga akhirnya Sindi yang berhati keras itu bersedia untuk meracun Imam as. maka, di dalam penjara Sindi-lah beliau meninggal akibat racun yang dibubuhkan ke dalam makanan beliau, tepatnya pada 183 H.
.
Harun dengan menggunakan saksi-saksi palsu dan orang-orang bayaran mencoba menunjukkan kepada khalayak, bahwa kematian Imam Musa adalah sebuah kematian yang wajar dan alamiah. Siasat licik dan keji ini digunakan untuk menghindari pemberontakan sahabat-sahabat dan orang-orang setia Imam. Namun, segala kelicikan dan siasat Harun sia-sia belaka. Seorang lelaki bernama Sulaiman malah memimpin pemberontakan di Baghdad.
.
Setelah dikeluarkan dari penjara, mayat suci Imam Musa Al-Kazim as. digeletakkan di atas jembatan begitu saja; dalam keadaan sunyi senyap dan jauh dari keluarga serta umatnya. Ketika itu, hanya seorang tabib yang kebetulan melewati jembatan dan menemukan mayat suci itu. setelah memeriksanya ia mengatakan, “Sesungguhnya Imam telah diracun hingga meninggal oleh seorang pembunuh”.
.
Kesyahidan Imam as. itu membuat kekalutan dan berita besar di kota Baghdad. Sementara bagi pengikut-pengikut Ahlul Bait, kesyahidan beliau merupakan kesedihan dan kegetiran di hati-hati mereka.
.
Imam Musa Al-Kazim as. dikebumikan di pemakaman orang-orang Quraisy di kota Kazimain.

Minggu, 19 April 2015

Ilmu Ekonomi dan ideologi Islam menurut Ayatullah Muhammad Baqir As-Sadr


Menurut pendapat mazhab Baqir As-Sadr dalam bukunya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan islam, keduanya merupakan sesuatu yang berbeda sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu ekonomi sedangkan islam adalah islam, tidak ada yang disebut ekonomi islam. Menurut mereka islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha luas. Sehingga jika manusia bisa memanfaatkannya niscaya tidak akan pernah habis.[3]

Jadi, menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam, sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam firman

Yang Artinya:
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS Al-Furqan : 2)

Jadi, dalam hal ini konsep kelangkaan (scarcity) tidak bisa diterima karena tidak selaras dengan pesan wahyu yang menjamin kehidupan setiap makhluk di bumi ini.[4] Pada sisi lain mazhab Baqir As-Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak tak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang.[5]

Jadi ada kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kekacauan persepsi antara pengertian kebutuhan (need) dan keinginan (want). Jika perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want), maka persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah puas. Dan disinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang karena bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketidakseimbangan baik secara makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari perilaku ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan (want) yaitu semakin rusaknya sistem keseimbangan lingkungan hidup karena sumber-sumber daya ekonomi terkuras habis sekedar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah puas. Penebangan dan pencurian hutan (illegal logging), semakin menipisnya cadangan minyak bumi, menipisnya lapisan ozon, semakin sulitnya mencari sumber air, lunturnya nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dan di masyarakat, dsb. merupakan beberapa gambaran dari adanya ketidakseimbangan ekologi dan sosial yang diakibatkan ulah tangan manusia yang sekedar ingin memuaskan keinginan (want) yang tidak pernah berhenti.

Dalam perspektif ekonomi Islam bahwa perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus disandarkan pada syariah Islam baik dalam aktivitas konsumsi, produksi maupun distribusi. [6]

Moral ekonomi Islam yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan (sustainability) kehidupan dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggung jawab yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang merusak dan merugikan kehidupan masyarakat seperti produksi minuman keras, narkoba, prostitusi, perjudian, bisnis pornografi dan pornoaksi, dsb. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekedar mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah puas.

Selanjutnya bahwa menurut mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat manusia di dunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk termasuk manusia ini bisa didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini begitu melimpah baik yang ada di darat maupun di laut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua individu di dunia dapat hidup secara layak dan manusiawi. Namun fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia dapat menikmati anugerah Allah tersebut, sehingga masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sementara sebagian kecil lainnya bergelimang dalam kemewahan. Menurut mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut maka ada beberapa langkah yang dilakukan yaitu :
1. Mengganti istilah ilmu ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti bahwa selaras, setara dan seimbang (in between).
2. Menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam hal itulah mazhab Baqir As-Sadr mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam wacana perkembangan ilmu ekonomi Islam

Kamis, 26 Maret 2015

Detik-detik Terakhir Kehidupan Sy. Fatimah Az-Zahra as.



“Wahai Asma’, aku akan masuk kedalam kamarku ini untuk mengerjakan shalat-shalat sunahku,Dan membaca wirid-wiridku dan Al-Quran”.“Bila suaraku terhenti, maka panggillah aku bila aku masih bisa menjawab,Kalau tidak, berarti aku telah menyusul ayahku Rasulullah saww”. Asma’ berkata: “ Lalu, Fatimah as masuk ke dalam kamar”. Tatkala aku sedang asyik mendengar suaranya yang membaca Al-Qur’an,tiba-tiba suara Fatimah as berhenti. Aku memanggilnya: “Ya Zahra… ia tak menjawab, hai ibunya Hasan…iapun tak menjawab, Aku masuk kekamar dan Fatimah as telah terbentang kaku menghadap kiblat, Sambil meletakkan telapak tangannya dibawah pipi kanannya. Fatimah as menemui ajalnya dalam keadaan dianiaya, syahid dan sabar.

Asma’ berkata: “Aku menciuminya dan berkata kepadanya: “Wahai Tuanku/Pemimpinku”,“Sampaikan salamku kepada Ayahmu Rasulullah saw”. Saat aku dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.Hasan as dan Husein as yang masih kanak-kanak itu, pulang dari Masjid, Saat mereka masuk, Husein as yang pertama kali bertanya kepadaku:“Asma’, dimana ibu kami Fatimah as ?”Aku menjawab: “Kedua pemimpinku, ibu klalian sedang tidur”Husein as berkata: “Apa yang membuat ibu kami tertidur disaat ini , saat waktu shalatnya?Tidak biasanya ia tertidur disaat ini”. Aku berkata: “Wahai Dua Pemimpinku, duduklah hingga aku bawakan makanan untuk kalian”.Asma’ berkata: “Aku letakkan makanan dihadapan Hasan as dan Husein as”.Mereka memanggut-manggut, kepala mereka kearah bawah.“Sekarang… ini makanannya, duhai Hasan, Cahaya Mata, duhai Husein as”.Husein as berkata: “Wahai Asma’, sejak kapan kami makan tanpa ditemani ibu kami Fatimah as?Setiap hari kami makan bersama Ibu kami Fatimah as, mengapa hari ini tidak?” Perasaan Husein as tidak enak, ia berlari kekamar…Kemudian ia duduk didepan kepala Fatimah as dan menciuminya, Lalu berkata: “Oh ibu, berbicaralah kepadaku, aku putra tercintamu…Husein,Ibu…, berbicaralah padaku sebelum rohku keluar dari badanku”. Husein berteriak: “Hai Hasan as…, semoga Allah melipat gandakan pahala padamu atas kematian Ibu kita Fatimah as”. Imam Hasan as datang dan merangkul Ibunya dan menciuminya Asma’ berkata: “Aku masuk kamar… Demi Allah, Husein as telah merobek-robek hatiku”. Aku melihatnya menciumi kaki ibunya Fatimah as dan dia berkata: “Ibu…, Berbicaralah padaku sebelum jiwa berpisah dari badanku”. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun

http://haidarrein.wordpress.com/2007/07/13/detik-detik-terakhir-kehidupan-fatima

Ali bin Abi Thalib dan Tasawuf



Ali bin Abi Thalib dan Tasawuf
Caner K. Dagli
“Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya,” (Nabi saw)
Tidak ada satu tokoh dalam sejarah Islam awal, selain Nabi sendiri, yang menjadi pusat kontroversi dan perdebatan seperti Ali bin Abi Thalib. Kontroversi ini muncul pada lebih dari satu tataran, mulai dari persoalan-persoalan politik dan sejarah hingga masalah-masalah di bidang teologi dan metafisika. Keluasan intelektual dan kedalam spiritual Ali telah mengilhami seluruh penjuru dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’i, dan sekalipun banyak konflik di antara kedua mazhab besar Islam ini yang berpusat pada pribadi Ali, satu pihak tidak pernah bisa menuduh yang lain kurang memiliki kecintaan dan penghormatan kepadanya. Dalam hal ini, secara paradoks, Ali menyatukan kaum Muslim dalam kecintaan mereka kepadanya, tetapi sentralitasnya dalam sudut pandang yang berlawanan menjadikannya sumber perselisihan yang serius.
Lebih jauh, kita temukan dalam dunia Sunni perdebatan dengan Ali pada pusatnya, dan ini merupakan persoalan esoterisme dalam Islam, yang manifestasi utamanya adalah tasawuf. Kaum Sufi mengakui dua jenis otoritas, berkaitan dengan dua jenis ilmu. Dalam konteks otoritas politis, posisi ortodoks Sunni sangat dikenal. Sekalipun Nabi saw tidak meninggalkan perintah-perintah tegas berkaitan dengan yang akan menggantikan beliau secara politis, sebagian besar (?) komunitas Islam menyetujui Abu Bakar Shiddiq, sahabat lama Nabi dan tokoh terhormat di antara para sahabat, sebagai khalifah Islam yang pertama. Ia menunjuk Umar bin Khaththab, yang dirinya sendiri menyusun sebuah komisi yang beranggotakan enam orang sahabat yang pada gilirannya komisi ini memilih Utsman bin Affan. Pasca pembunuhan Utsman, Ali menjadi khalifah keempat.
Tak seorang Sunni pun menolak bahwa, dalam konteks ortoritas temporal, ini merupakan sebuah peristiwa yang biasa. Dalam dunia Sunni, sekalipun tidak ada pemisahan antara gereja dan negara (baca: agama dan politik), khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah. Otoritas khalifah dinilai sebagai berasal dari Tuhan. Namun dalam dunia Sunni, terutama setelah generasi pertama, adalah kelompok ulama, yang bertanggung jawab atas pengalihan pengetahuan keagamaan dan spiritual dan yang berperan sebagai otoritas final mengenai persoalan-persoalan agama.
Sultan, khalifah, fukaha, dan umumnya kelas masyarakat terpelajar merepresentasikan otoritas eksoteris dalam Islam Sunni. Akan tetapi, kaum Sufi mengetahui rantai otoritas spiritual yang secara relatif terlepas dari otoritas eksoteris dan secara prinsip, lebih utama atasnya. Kita katakan terlepas atau independen bukan dalam arti bahwa tasawuf secara inheren antinomian; lawannya adalah benar. Namun keputusan ulama eksoteris (ulama zahir) tak akan pernah, bagi kaum Sufi, mengatasi ajaran-ajaran dari seorang guru spiritual otentik, seorang ulama batin. Ini disebabkan yang zahir, yang aturannya dijalankan dengan syariah atau hukum Tuhan, ada sebagai pendukung kehidupan batin, yang pertumbuhannya dijalankankan melalui thariqah atau jalan spiritual.
Penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima baik oleh Sufi-sufi Sunni1 dan Syi’i, namun mereka berbeda berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaum Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Akan tetapi, sementara dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar, kaum Sufi puas mempraktikkan jalan mereka dalam bingkai yang ditetapkan oleh otoritas eksoteris. Inilah mengapa, mereka mengakui Ali sebagai pengalih utama rahasia-rahasia batin (ada yang lain seperti Abu Bakar) tanpa ada suatu kontradiksi penting dengan seorang otorita eksoteris yang tidak memiliki rahasia-rahasia (batin) ini. Dengan kata lain, hierarki vertikal dan horizontal tidak perlu bercampur. Dari perspektif Sufi, misteri-misteri paling dakhil tidak ditujukan bagi setiap orang, dan mengajarkan misteri-misteri kepada mayoritas orang mukmin akan lebih banyak merusak ketimbang maslahatnya, demarkasi yang lebih jelas antara dimensi eksoteris dan esoteris memiliki faedah-faedah berupa menghindari bahaya-bahaya tersebut.
Dari apa yang telah diutarakan, kita bisa simpulkan bahwa cara terbaik untuk memahami konflik yang berpusat pada Ali adalah dengan melihat pertikaian ”horizontal” antara Syi’ah dan Sunnah sebagai bentuk proyeksi dari perbedaan vertikal esoterisme dan eksoterisme. Hal ini semakin jelas ada ketika orang menguji persamaan mendalam antara tasawuf dan Syi’isme. Para Imam dari Syi’ah Dua Belas Imam juga merupakan guru-guru spiritual dalam rantai transmisi Sufi atau silsilah.
Apabila orang mengesampingkan syariat dan juga fungsi kosmis dari Imam, fungsi inisiatori dan peran sebagai pembimbing ruhani dari Imam adalah persis sama dengan peran dan fungsi guru Sufi. Pada dasarnya, sebagaimana dalam tasawuf setiap guru berkomunikasi dengan kutub di zamannya, maka dalam Syi’isme seluruh fungsi keruhanian di setiap zaman secara batiniah terkait dengan Imam. Gagasan Imam sebagai kutub alam semesta dan konsep quthb dalam tasawuf nyaris identik.2
Perbedaan utamanya adalah sejauh mana otoritas spiritual mesti terentang luas ke dalam ranah temporal. Dalam kasus Ali, ia menggabungkan dua aspek tersebut hingga ke tingkatan yang paling tinggi, baik sebagai penerima utama ajaran batiniah Nabi maupun pemimpin pemerintahan Islam. Mendiskusikan perdebatan seputar suksesi bukan menjadi bahasan kita di sini. Namun kiranya penting untuk mengingat bahwa persoalan yang paling mendalam adalah salah satunya perbedaan esoteris/eksoteris, dan bukan perbedaan mesin politik dan perjuangan-perjuangan kekuasaan. Tidak ada diskusi yang cerdas akan peran keruhanian Ali yang mungkin tanpa memahami butir ini.3
***
Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Nabi, Abi Thalib. Ketika Nabi menerima wahyu pertamanya, Ali baru berusia 10 tahun. Dari sejak kanak-kanak, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Nabi, karena kesulitan finansial di rumah ayahnya sendiri, dan tetap dekat dengan Nabi sampai kewafatan Nabi 23 tahun kemudian. Selama kurun waktu tersebut, klaim Sufi, bahwa Nabi menyampaikan ajaran-ajaran batin dari agama baru itu kepada Ali. Sekalipun orang bisa saja mengatakan bahwa semua anggota komunitas apostolik awal di Mekkah adalah para wali,4 bukan hanya persoalan kesucian namun juga persoalan kualifikasi intelektual. Tidak setiap metafisikawan itu seorang wali, dan sebaliknya juga, tidak setiap wali adalah metafisikawan besar. Ali menghimpun dalam dirinya sendiri kesempurnaan vertikal yang kita sebut kesucian dengan kedalaman dan keluasan yang luar biasa pada tataran horizontal. Tradisi Islam mengingat Ali sebagai ksatria agung di zamannya, tak pernah terkalahkan dalam peperangan dan selalu lembut kepada musuh-musuhnya. Kebajikannya di medan perang sama terkenalnya. Di lingkungan Dunia Muslim, Ali dikenal sebagai bentuk pelindung kaum miskin dan sebuah model dari apa yang disebut dunia Barat keksatriaan, futuwwah Islam. Yang lebih penting, ia dikenal di zamannya sendiri dan hingga sampai masa kita sebagai orang yang memiliki inteligensi yang memukau dan kebijakan yang mendalam, baik sebagai guru besar juga pembicara fasih bahasa Arab.5 Di dunia Syi’ah, kekhususan tersebut diberikan kepada Ali begitu terkenal.

Di antara kaum Sunni, kaum Sufi memandangnya sebagai penerus utama ajaran keruhanian Nabi, dan seluruh tarekat Sufi, kecuali satu, asal-usulnya bermuara kepadanya.6 Demikian juga, orang menemukan pengecualian khusus yang terwujud ketika namanya disebutkan: untuk para sahabat lain, pencantuman radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) lazim dipakai, namun dalam kasus Ali oran acap mendengar frase karram Allahu wajhah yang secara harfiah berarti “semoga Allah memuliakan wajahnya”. Belakangan kita akan melihat bagaimana formula ini berkaitan dengan fungsi spiritual Ali di dunia Islam. Seluruh keturunan Nabi, yang diagungkan di dunia Syi’ah maupun Sunni, mendapatkan garis keturunan mereka kepada pernikahan Ali dengan Fathimah, putri Nabi. Melalui Ali dan anak keturunannya, otoritas spiritual Nabi terus berlangsung hingga sekarang, dan bersamanya Zaman Keemasan Islam, periode Madinah awal, mulai pudar.

Tujuan kami dalam esai pendek ini adalah melihat sumber-sumber orisinal dalam tasawuf untuk mengetahui bagaimana ajaran-ajaran keruhanian Islam terkait dengan Ali. Kita dapat mengatakan bahwa esoterisme Islam, alih-alih sekadar tasawuf karena Nahj al-Balâghah dan sebuah ulasan atas sejumlah pasasenya oleh ulama Syi’ah, Allamah Thabathaba’i juga digunakan sebagai sumber-sumber. Tanpa memasuki perdebatan seputar autentisitas Nahj al-Balâghah, cukuplah untuk menyatakan bahwa bahkan dari perspektif Sunni, ada banyak dalam buku ini yang bersumber dari Ali, dan bahwa konflik Syi’ah-Sunni telah menghasilkan fenomena tidak menguntungkan berupa “pelemparan bayi dari air mandi”. Banyak kaum Sunni cenderung meragukan laporan-laporan Syi’ah tentang Ali, karena concernpada “melebih-lebihkan kesalehan tertentu” dari pihak Syi’ah, dan tentu saja, terputus dari banyak hadis yang autentik. Karena itu, kami rasa tepat untuk menggunakan sejumlah pasase yang termasyhur dan paling penting dari Nahj al-Balâghah sebagaimana diseleksi oleh Thabathaba’i, yang tak satu pun darinya bisa dikhususkan sebagai “Syi’ah” sebagaimana yang dilabeli oleh Sunni. Dalam peristiwa apa pun, sebagaimana dinyatakan di atas, adalah dalam tasawuf dan aspek yang paling esoteris dari Syi’isme konsensus itu dapat diraih menyangkut Ali.

Naasnya, ada sebuah karya sedikit serius dalam kesarjanaan Barat yang terfokus pada Ali, selain dari terjemahan-terjemahan yang kurang akurat dari sumber-sumber Arab dan sejumlah buku yang ditulis dalam bahasa Inggris berupa watak polemis dari India dan Pakistan, namun ada juga terjemahan luar biasa dari sejumlah cuplikan Nahj al-Balâghah7 yang dialihbahasakan oleh Thomas Cleary bertajuk Living and Dying with Grace. Kekurangan materi ini adalah fenomena yang aneh, dengan mempertimbangkan arti penting Ali, dan mempertimbangkan bahwa jilid-jilid yang telah ditulis mengenai tokoh-tokoh politik dan historis belakangan dalam sejarah Islam. Di antara Nabi dan para tokoh terpandang belakangan ada sebuah jurang dalam kesarjanaan modern. Kita harap untuk menggunakan beberapa hadis menyangkut Ali, dan, dari tulisan-tulisan belakangan Matsnawi-nya Rumi, melihat apa yang bisa mereka katakan kepada kita tentang Ali dan tasawuf.