Jumat, 25 November 2016

Fatwa Ayatullah Ali Khamanei tentang Shalat Jum'at








SHALAT JUM’AT
SOAL 606:
Apa pendapat Anda mengenai keikutsertaan dalam shalat Jum’at, padahal kita hidup pada masa kegaiban Imam Al-Hujjah (as). Dan jika ada orang-orang yang tidak meyakini keadilan (‘adalah) imam Jum’at, apakah taklif mereka untuk bergabung dalam shalat Jum’at gugur atau tidak?
JAWAB:
Shalat Jum’at, meskipun pada zaman ini, bersifat wajib takhyiri  dan tidak wajib menghadirinya. Namun, mengingat manfaat-manfaat dan pentingnya kehadiran dalam shalat Jum’at, maka tidak sepantasnya bagi orang-orang mukmin  menjauhkan diri mereka dari berkah-berkah  keikutsertaan dalam shalat semacam ini hanya karena meragukan keadilan imam Jum’at, atau alasan-alasan rapuh lainnya.
SOAL 607:
Apa arti “wajib takhyiri” dalam masalah shalat Jum’at?
JAWAB:
Artinya ialah bahwa seorang mukallaf dalam melaksanakan kewajiban (faridhah) pada hari Jum’at boleh memilih antara melakukan shalat Jum’at dan shalat dhuhur.
SOAL 608:
Apa pendapat Anda tentang (orang yang) tidak bergabung dalam shalat Jum’at karena tidak peduli ?
JAWAB:
Tidak hadir dan tidak ikut serta dalam shalat Jum’at yang merupakan aktifitas ritual-politik karena tidak peduli tercela secara syar’iy.
SOAL 609:
Sebagian orang tidak bergabung dalam shalat Jum’at karena alasan-alasan yang tidak berdasar, mungkin juga karena perbedaan pandangan. Apa pendapat Anda tentang hal ini?
JAWAB:
Meskipun shalat Jum’at bersifat wajib takhyiri, keengganan bergabung di dalamnya secara terus-menerus tidaklah berdasar secara syar’iy.
SOAL 610:
Apakah boleh melaksanakan shalat dhuhur secara jamaah berbarengan dengan pelaksanaan shalat Jum’at di tempat lain yang berdekatan?
JAWAB:
Pada dasarnya, hal itu tidak dilarang dan menyebabkan mukallaf terbebas dari dzimmah (tanggungan) kewajiban shalat jum’at, mengingat bahwa kewajiban shalat Jum’at bersifat takhyiri pada masa sekarang. Namun, mengingat bahwa pelaksanaan shalat dhuhur secara jamaah pada hari Jum’at di tempat yang dekat dengan tempat pelaksanaan shalat Jum’at menyebabkan terpecahnya barisan orang-orang mukmin dan boleh jadi hal tersebut dikategorikan, menurut opini masyarakat, sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap imam Jum’at dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap shalat Jum’at, maka orang-orang mukmin tidak patut melaksanakannya. Bahkan, jika tindakan tersebut menimbulkan dampak-dampak buruk dan menyebabkan keharaman, maka mereka wajib menghindari, dan tidak melakukannya.
SOAL 611:
Apakah boleh melakukan shalat dhuhur pada jedah waktu antara shalat Jum’at dan shalat ashar imam? Jika seseorang,  selain imam Jum’at, melakukan shalat ashar,  apakah boleh bermakmum dengannya dalam shalat ashar?
JAWAB:
Shalat Jum’at cukup mengganti shalat dhuhur. Namun, tidak ada masalah (isykal) melakukan shalat dhuhur untuk kehati-hatian (ihtiyath) setelah shalat Jum’at. Jika ingin shalat ashar secara berjamaah, maka ihtiyath yang sempurna adalah jika ia bermakmum dalam shalat asharnya dengan orang yang juga melaksanakan shalat dhuhur untuk kehati-hatian setelah shalat Jum’at.
SOAL 612:
Jika imam jamaah tidak shalat dhuhur setelah shalat Jum’at, apakah makmum boleh melakukan shalat tersebut untuk kehati-hatian (ihtiyath)  ataukah tidak?
JAWAB:
Boleh melakukannya.
SOAL 613:
Apakah imam shalat jum’at wajib meminta izin (ijazah) dari hakim syar’iy? Siapakah yang dimaksud dengan hakim syar’iy? Dan apakah hukum ini berlaku di daerah-daerah yang jauh juga?
JAWAB:
Asal kebolehan menjadi imam untuk mendirikan shalat Jum’at tidak bergantung pada izin dari hakim syar’iy. Namun, ketentuan-ketentuan yang berlaku atas imam Jum’at yang diangkat oleh wali amr muslimin hanya berlaku bagi imam Jumat yang diangkat oleh beliau. Hukum ini meliputi setiap negara, atau setiap kota dimana wali amr muslimin menjadi penguasa yang ditaati.
SOAL 614:
Apakah imam Jum’at yang ditunjuk boleh melaksanakan shalat Jum’at di selain tempat yang ditentukan tanpa ada penghalang atau kendala ataukah tidak?
JAWAB:
Pada dasarnya hal itu boleh. Namun, hukum-hukum berkaitan dengan pengangkatan imam Jum’at tidak berlaku atasnya.
SOAL 615:
Apakah memilih imam-imam Jum’at sementara wajib dilakukan oleh wali faqih, ataukah para imam Jum’at sendiri boleh memilih orang-orang sebagai imam-imam Jum’at sementara (cadangan)?
JAWAB:
Imam Jum’at yang ditunjuk boleh memilih wakil sementara bagi dirinya. Namun, hukum-hukum pengangkatan (nashb) oleh wali faqih  tidak berlaku atas ke-imam-an wakil tersebut.
SOAL 616:
Jika seorang mukallaf tidak menganggap imam Jum’at yang diangkat sebagai orang yang adil, atau meragukan ke-adil-annya apakah ia boleh bermakmum dengannya demi menjaga persatuan muslimin? Dan apakah orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at boleh mendorong orang-orang lain untuk tidak hadir?
JAWAB:
Tidak sah bermakmum dengan orang yang tidak dianggapnya adil atau ia ragukan ke-adil-annya. Shalatnya jika dilakukan dalam jamaah bersamanya tidaklah sah. Namun tidak ada halangan menghadiri dan bergabung dalam jamaah secara simbolis (lahiriah) demi memelihara persatuan. Bagaimanapun, ia tidak boleh mengajak dan mendorong orang lain untuk tidak menghadiri shalat Jum’at.
SOAL 617:
Apa hukum tidak menghadiri shalat Jum’at yang diimami oleh orang yang terbukti kebohongannya, di mata seoarang mukallaf?
JAWAB:
Hanya karena ucapan seorang imam Jum’at terbukti tidak sesuai dengan kenyataan bukanlah bukti akan kebohongannya, karena boleh jadi, ia mengucapkannya karena kehilafan, keliru atau bermaksud lain (tauriyah). Karenanya, ia hendaknya tidak menghalangi dirinya mendapatkan berkah-berkah shalat Jum’at, hanya karena dugaan bahwa imam Jum’at keluar dari sifat adalah (ke-adil-an).
SOAL 618:
Apakah makmum wajib mengidentifikasi dan memastikan ke-adil-an imam Jum’at yang ditunjuk oleh Imam Khomaini (qs) atau wali faqih yang adil ataukah pengangkatannya sebagai imam Jum’at cukup untuk menetapkan ke-adil-annya?
JAWAB:
Jika pengangkatannya sebagai imam Jum’at menimbulkan rasa percaya dan mantap bagi makmum akan sifat adilnya, maka cukuplah hal itu bagi keabsahan bermakmum derngannya.
SOAL 619:
Apakah penunjukan para imam jamaah di masjid-masjid yang dilakukan oleh para ulama yang terpercaya, atau pengangkatan para imam Jum’at oleh wali amr muslimin dianggap sebagai kesaksian (syahadah) akan ke-adil-an mereka ataukah tetap wajib menyelidiki ke-adil-an mereka?
JAWAB:
Jika pengangkatannya sebagai imam Jum’at atau imam jamaah menimbulkan rasa percaya dan mantap bagi makmum akan ke-adil-annya, maka boleh bersandar pada hal tersebut dalam bermakmum dengannya.
SOAL 620:
Jika kami meragukan ke-adil-an imam Jum’at atau yakin bahwa ia tidak adil padahal kami telah shalat di belakangnya, apakah kami harus mengulanginya?
JAWAB:
Jika keraguan akan ke-adil-an, atau terbukti bahwa ia tidak adil seusai shalat, maka shalat yang telah anda lakukan sah dan tidak wajib mengulanginya.
SOAL 621:
Apa hukum shalat Jum’at yang diselenggarakan di negara-negara Eropa dan lainnya oleh mahasiswa-mahasiswa dari negara-negara Islam yang sebagian besar pesertanya, demikian pula imam Jum’at, dari kalangan sunni? Dalam situasi begitu, apakah mereka harus melakukan shalat dhuhur seusai melaksanakan shalat Jum’at?
JAWAB:
Diperbolehkan ikut serta di dalamnya demi memelihara kesatuan dan persatuan muslimin. Dan tidak wajib melakukan sholat Dhuhur (setelahnya).
SOAL 622:
Di sebuah kota di Pakistan telah dilaksanakan shalat Jum’at sejak 40 tahun lalu. Kini ada seseorang yang menyelenggarakan shalat Jum’at lain tanpa mempedulikan jarak syar’iy antara dua shalat Jum’at sehingga menyebabkan adanya perselisihan di kalangan jamaah shalat. Apa hukum syar’iy perbuatan demikian?
JAWAB:
Tidak diperbolehkan berbuat sesuatu apapun yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara mukminin dan porak-poranda barisan mereka, apalagi menyebabkan hal tersebut melalui sesuatu seperti shalat Jum’at yang merupakan salah satu syi’ar Islam dan salah satu simbol persatuan barisan-barisan muslimin.
SOAL 623:
Khatib masjid jami’ Al-ja’fariyah di Rawalpindi telah mengumumkan bahwa shalat Jum’at di masjid tersebut diliburkan karena akan direnovasi dan dibangun. Kini, setelah proses perbaikan masjid telah usai, kami menghadapi problema, yaitu pada jarak empat kilo meter telah diselenggarakan shalat Jum’at di masjid lain. Dengan memperhatikan jarak tersebut, apakah pelaksanaaan shalat Jum’at di masjid tersebut sah ataukah tidak?
JAWAB:
Jika jarak pemisah antara dua (tempat) shalat Jum’at tersebut tidak mencapai satu farsakh syar’iy,  maka batallah shalat Jum’at yang terakhir. Dan jika dilakukan berbarengan, maka keduanya sama-sama batal.
SOAL 624:
Apakah sah melakukan shalat Jum’at -yang diselenggarakan secara berjamaah- secara perorangan (furada), seperti apabila seseorang melakukan shalat Jum’at sendiri berdampingan dengan orang-orang yang melakukannya secara berjamaah?
JAWAB:
Salah satu syarat keabsahan shalat Jum’at ialah dilaksanakan secara berjamaah. Karenanya, tidaklah sah melakukannya sendirian.
SOAL 625:
Jika seorang yang wajib shalat qashr ingin melaksanakan shalat jamaah, apakah sah jika ia shalat di belakang imam yang sedang shalat Jum’at?
JAWAB:
Shalat Jum’at seorang makmum musafir sah hukumnya dan mencukupkannya dari shalat dhuhur.
SOAL 626:
Apakah wajib menyebut nama Az-zahra (as) sebagai salah satu imam muslimin dalam khotbah kedua, ataukah wajib menyebut namanya dengan tujuan istihbab?
JAWAB:
Sebutan para Imam muslimin tidak mencakup Az-zahra Al-Mardhiyyah (as). Tidak wajib menyebut nama beliau yang diberkati dalam khotbah Jum’at. Namun tidak ada larangan bertabarruk dengan menyebut nama beliau yang mulia (as).
SOAL 627:
Apakah makmum boleh melakukan shalat wajib selain shalat Jum’at dengan bermakmum kepada imam yang sedang malaksanakan shalat Jum’at?
JAWAB:
Keabsahannya masih tergolong bermasalah (mahallu isykal).
SOAL 628:
Apakah sah melaksanakan dua khotbah dalam shalat Jum’at sebelum tiba waktu syar’iy dhuhur?
JAWAB:
Boleh melaksanakan kedua khutbah sebelum matahari tergelincir (zawal) sedemikian rupa sehingga selesai pada saat matahari tergelincir. Namun, berdasarkan ahwath hendaknya sebagian dari keduanya dilakukan pada waktu dhuhur.
SOAL 629:
Jika makmum tidak dapat mengikuti dua khotbah sama sekali, melainkan ia hadir saat shalat dilaksanakan lalu bermakmum dengan imam, apakah shalatnya sah dan cukup?
JAWAB:
Shalatnya sah dan cukup apabila sempat mengikuti satu rakaat bersama imam, meskipun ketika imam sedang ruku’ dalam rakaat  terakhir shalat Jum’at.
SOAL 630:
Di kota kami shalat Jum’at dilaksanakan setelah satu setengah jam dari  adzan dhuhur. Apakah shalat ini cukup untuk menggantikan shalat dhuhur, ataukah harus mengulang shalat dhuhur?
JAWAB:
Waktu shalat Jum’at mulai dari saat tergelincirnya matahari (zawal). Berdasarkan ahwath, hendaknya tidak menundanya dari saat-saat pertama waktu zawal menurut umum (zawal ‘urfi ) lebih dari satu sampai dua jam berikutnya. Jika belum melaksanakan shalat Jum’at sampai batas waktu tersebut, maka, berdasarkan ahwath hendaknya melakukan shalat dhuhur sebagai gantinya.
SOAL 631:
Ada seseorang yang tidak mampu menghadiri shalat Jum’at. Apa ia dapat melakukan shalat dhuhur dan ashar pada awal waktu, ataukah ia wajib menunggu hingga usainya shalat Jum’at lebih dulu sebelum melakukan kedua shalat tersebut?
JAWAB:
Ia tidak wajib menunggu, melainkan boleh melaksanakan shalat dhuhur dan ashar pada awal waktu.
SOAL 632:
Jika imam Jum’at yang ditunjuk dalam keadaan sehat dan berada ditempat, apakah ia boleh menugasi imam Jum’at sementara (cadangan) melakukan faridhah shalat Jum’at? Dan apakah ia boleh (sah) bermakmum dengan imam Jum’at sementara?
JAWAB:
Tidak ada larangan mendirikan shalat Jumat yang dipimpin oleh wakil imam yang ditunjuk. Dan tidak ada larangan imam yang diangkat bermakmum dengan wakilnya.

Kamis, 07 Januari 2016

Keutamaan Imam Ali Sayyid Pemimpin Di Dunia dan Akhirat: Bukti Keutamaan Yang Lebih Tinggi Dari Abu Bakar dan Umar




Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Ali adalah Sayyid yaitu pemimpin atau penghulu di dunia dan juga di akhirat.
حدثنا أحمد بن عبد الجبار الصوفي قثنا أحمد بن الأزهر نا عبد الرزاق قال انا معمر عن الزهري عن عبيد الله بن عبد الله عن بن عباس قال بعثني النبي صلى الله عليه وسلم الى علي بن أبي طالب فقال أنت سيد في الدنيا وسيد في الآخرة من احبك فقد احبني وحبيبك حبيب الله وعدوك عدوي وعدوي عدو الله الويل لمن ابغضك من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdul Jabbar Ash Shufi yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al Azhar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq yang berkata telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Ubaidillah bin Abdullah dari Ibnu Abbas yang berkata “Nabi SAW mengutusku kepada Ali bin Abi Thalib lalu Beliau bersabda “Wahai Ali kamu adalah Sayyid [pemimpin] di dunia dan Sayyid [pemimpin] di akhirat. Siapa yang mencintaimu maka sungguh ia mencintaiku, kekasihmu adalah kekasih Allah dan musuhmu adalah musuhku dan musuhku adalah musuh Allah. Celakalah mereka yang membencimu sepeninggalKu [Fadhail Shahabah no 1092]

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak Ash Shahihain no 4640, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 4/261, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 42/292. Hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dan sanadnya shahih tanpa keraguan

Minggu, 19 Juli 2015

SERI HADIS KEUTAMAAN IMAM ALI DAN AHLULBAIT AS.



Siapa Yang Ingin Masuk Surga Hendakknya Mengikuti Ali dan Para Imam Suci Dari Ahlulbait as. (1)
Banyak sekali hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. yang telah disabdakan Nabi mulia Muhammad saw. Hadis-hadis tersebut tidak terbatas kepada menyebutkan kemuliaan dan keutamaan mereka, akan tetapi lebih dari itu, banyak diantaranya menekankan sederatan konsekuensi yang harus diyakini dan atau dijalankan dalam kehidupan beragama.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis-hadis di bawah ini:
(1) Hadis Riwayat Ibnu Abas ra.
Ath Thabarani dan ar Râfi’i meriwayatkan dengan sanad mereka kepada Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أنْ يَحيا حياتي ويموتَ مَماتي، وَيَسْكُنَ جَنَّةَ عَدْنٍ غَرَسَها رَبِّي، فَلْيُوالَ علِياً مِنْ بَعدي، وَ لْيُوالِ وَلِيَّهُ، وَلْيَقْتَدِ بِأَهْلِ بَيْتي مِن بعدي، فَإنَّهُم عِتْرَتي، خُلِقُوا مِنْ طِيْنَتِي، وَ رُزِقُوا فَهْمِيْ وَعِلْمِي، فَوَيْلٌ لِلْمُكَذِّبِيْنَ بِفضَلْهِمْ مِن أمَّتِي، القاطِعِين فِيْهِم صِلَتِي، لاَ أنَالَهُمُ اللهُ شَفاعَتِي.
“Siapa yang gembira (ingin) hidup (seperti) hidupku, mati (seperti) matiku, menempati surga And yang ditanam (pepehonannya) oleh Tuhanku handaknya ia meyakini kewalian (kepemimpinan mutlak) Ali sepeninggalku, dan hendaknya ia meyakini kewalian walinya (pelanjutnya) serta berteladan (dalam agama) dengan Ahlulbaitku sepeninggalku, karena mereka adalah ‘Itrahku, mereka diciptakan dari tanah (bahan penciptaanku), mereka diberi kefahaman dan ilmuku. Celakalah orang-orang yang mendustakan keutamaan mereka dari umatku, yang memutus tali kekerabatanku (dengan mereka). Semoga Allah tidak memberikan syafa’atku untuk mereka.”
Sumber Hadis:
Hadis ini dapat Anda temukan dalam Kanz al ‘Ummal, 6/217, hadis no.3819, Muntakhab Kanz al ‘Ummal (dicetak dipinggir Musnad Ahmad,5/94, Hilyah al Auliyâ’ darinya Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili menukil dalam Syarah Nahjul Balaghah,2/450.
Tahqiq Sanad Hadis:
Seperti biasanya, kaum Nawashib di abad ini berusaha mencacat hadis-hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. dengan alasan-alasan palsu yang mereka banggakan dalam mendemonstrasikan kebencian mereka kepada manusia-manusia suci pilihan Allah SWT. Hadis ini juga termasuk menjadi sasaran panah-panah beracun kaum Nawashib, yang kerjanya hanya mendustakan hadis-hadis keutamaan Ahlulbait Nabi mulia as.. Karenanya, di sini kami perlu menjelaskan kualitas hadis tersebut agar menjadi jelas keshahihannya dan setelahnya ia akan menjadi bukti kuat bahwa keselamatan hanya akan diperoleh dengan mengikuti Ahlubait as. bukan dengan selainnya.
Sanad Hadis Dalam Musnad ar Râfi’i
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam ar Râfi’i dalam Musnadnya dengan sanad sebegaia berikut:
الحسن بن حمزة العلوي الرازي ، أبو طاهر ، قدم قزوين وحدث بها عن سليمان بن أحمد ، روى عنه : أبو مضر ربيعة بن علي العجلي ، فقال : ثنا أبو طاهر الحسن بن حمزة العلوي ـ قدم علينا قزوين سنة 344 ـ ، ثنا سليمان بن أحمد ، ثنا عمر بن حفس السدوسي ، ثنا إسحاق بن بشر الكاهلي ، ثنا يعقوب بن المغيرة الهاشمي ، عن ابن أبي رواد ، عن إسماعيل بن أمية ، عن عكرمة ، عن ابن عباس.
Hasan ibn Hamzah al Alawi ar Râzi; Abu Thahir, ia datang mengunjungi kota Qazwain dan menyampaikan hadis dari Sulaiman ibn Ahmad, darinya Abu Muhdar Rabi’ah ibn Ali al Ijli meriwayatkan, ia berkata, Abu Thahir ibn Hamzah al Alawi berkunjung ke kota Qazwain pada tahun 344 H, ia menyampaikan hadis kepada kami dari Sulaiman ibn Ahmad, ia berkata, Umar ibn Hafsh as sadûsi menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ishaq ibn Basyr al Kahili menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ya’qub ibn al Mughirah al Hasyimi menyampaikan hadis kepada kami dari Ibnu Abi Rawwâd dari Ismail ibn Umayyah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra.
Dan dari pemaparan sanad di atas jelaslah bagi kita sanad ath Thabarani. Beliau adalah Ahmad ibn Sulaiman yang disebut dalam mata rantai sanad di atas.
Sanad Hadis dalam Kitab Hilyah al Aulaiyâ’
Adapun sanad hadis ini dalam kitab Hilyah al Auliyâ’ adalah sebagai berikut:
حدثنا فهد بن إبراهيم بن فهد ، ثنا محمد بن زكريا الغلابي ، ثنا بشر بن مهران ، ثنا شريك ، عن الأعمش ، عن زيد بن وهب ، عن حذيفة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه [ وآله ] وسلم : من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي ، ويتمسك بالقصبة الياقوتة التي خلقها الله بيده ثم قال لها:كوني فكانت ، فليتول علي بن ابي طالب من بعدي.
رواه شريك أيضا : عن الأعمش ، عن حبيب بن أبي ثابت ، عن أبي الطفيل ، عن زيد بن أرقم.
ورواه السدي عن زيد بن أرقم.
ورواه ابن عباس ، وهو غريب.
حدثنا محمد بن المظفر ، ثنا محمد بن جفعر بن عبدالرحيم ، ثنا أحمد ابن محمد بن يزيد بن سليم ، ثنا عبد الرحمن بن عمران بن أبي ليلى ـ أخو محمد بن عمران ـ ثنا يعقوب بن موسى الهاشمي ، عن ابن أبي رواد ، عن إسماعيل بن أمية ، عن عكرمة ، عن ابن عباس ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه [ وآله ] وسلم : من سره أن يحيا حياتي… .
Selain dengan jalur di atas, Abu Nu’aim al Isfahâni juga meriwayatkan dalam Hilyah-nya dengan berbagai jalur lainnya dari beberapa sahabat Nabi saw. selain Ibnu Abbas ra.
Ibnu ‘Asâkir dan al Kinji meriwayatkannya dari jalur Abu Nu’aim dan setelahnya Ibnu ‘Asâkir berkata, “Ini adalah hadis munkar, di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal).” [1]
Ibnu ‘Asâkir juga meriwayatkan dari abu Nu’aim dengan sanad: dari Zaid ibn Wahab dari Hudzaifah dari Rasulullah saw.
Dengan sanad lain dari jalur Al Hafidz al Khathib al Baghdadi dari Abu Thufail dari Sayyiduna Abu Dzar ra. dari Rasulullah saw.[2]
Maka dengan demikian dapat Anda ketahui bahwa hadis di atas telah diriwayatkan ulama Ahlusunnah dari banyak jalur melalui empat sahabat Nabi saw.
1. Abdullah ibn Abbas ra.
2. Abu Dzar al Ghiffari ra.
3. Hudzaifah ibn al Yamân ra.
4. Zaid ibn Arqam ra.
Setelah ini, mari kita teliti dengan seksama sanad hadis di atas melalui jalur-jalur tersebut.
Hadis dari jalur Abu Dzarr dan Zaid ibn Arqam, tidak seorang pun mencacat kualitas para perawinya. Andai di dalamnya terdapat cacat pastilah mereka akan menerangkannya, seperti pada hadis-hadis dengan jalur lainnya.
Hadis Ibnu Abbas ra.
Adapun hadis riwayat sabahat Ibnu Abbas ra. telah dicacat oleh Ibnu ‘Asâkir dengan kata-katanya: “Ini adalah hadis munkar, di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal).” Dan Abu Nu;am berkata,“Gharib.”
Hadis Hudzaifah ra.
Adapun hadis dari sahabat Hudzaifah ra. kendati Ibnu ‘Asâkir dan Anu Nu’aim tidak mencacatnya, akan tetapi adz Dzahabi mencacatnya, seperti akan Anda saksikan nanti.
Tanggapan Penulis Atas Pencacatan Di atas
Adapun pencacatan Ibnu ‘Asâkir yang mengatakan: di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal), maka terbantah dengan:
A) Diamnya ath Thabarani dan ar Rafi’i ketika meriwayatkan hadis tersebut dari jalur ini padahal dalam kesempatan lain ia mencacat hadis dengan jalur lain.
B) Abu Nu’aim hanya mengatakan gharib! Dan seperti akan kami jelaskan bahwa pernyataan seperti sama sekali bukan pencacatan!
C) Perawi yang menukil hadis dari Ibnu Rawwâd dalam jalur ath Thabarani dan ar Râfi’i adalah ya’qub ibn ibn Mughirah al Hasyimi, sementara dalam jalur Abu Nu’aim, Ibnu ‘Asâkir al Kunji disebut dengan nama Ya’qub ibn Musa al Hasyimi. Maka bisa jadi vonis kemajhulan itu muncul dari sini yaitu karena terjadinya perbedaan penyebutan nama dalam naskah-naskah yang ada.
D) Adapun vonis Ibnu ‘Asâkir yang mengatakan ia adalah hadis munkar, maka ia sama sekali tidak merusak dan mencacat hadis tersebut, sebab para ulama hadis, seperti an Nawawi mendefenisikan hadis munkar dengan:
هو الفرد الذي لا يعرف متنه عن غير راويه ، وكذا أطلقه كثيرون…
“Yaitu hadis yang matannya (teks hadisnya) tidak dikenal kecuali dari perawinya yang tunggal. Demikian diistilahkan oleh banyak ulama.”
Defenisi itu ia nukil dari al Hafidz al Bardîji.[3]
E) Adapun kata-kata Abu Nu’aim bahwa hadis ini Gharîb, juga tidak mencederainya. Sebab istilah itu dapat saja disandang oleh hadis shahih. Status keghariban dapat bersatu dengan status keshahihan, karenanya para ulama sering mengatakan hadis ini atau itu gharib shahih.
An Nawawi menerangkan:
الغريب والعزيز : إذا انفرد عن الزهري وشبهه ممن يجمع حديثه رجل بحديث سمي : غريبا ، فإن انفرد اثنان أو ثلاثة سمي عزيزا ، فإن رواه جماعة سمي : مشهورا.
ويدخل في الغريب ما انفرد راو بروايته أو بزيادة في متنه أو إسناده …
وينقسم إلى صحيح وغيره وهو الغالب
“Hadis Gharîb dan ‘Azîz: jika seorang parawi seperti az Zuhri dan selainnya dari kalangan perawi yang hadisnya telah dirangkum oleh seorang perawi, maka ia dinamai gharîb. Jika yang menyendiri itu dua atau tiga parawi maka dinamai ‘Azîz. Jika diriwayatkan oleh jama’ah (kelompok orang) maka ia dinamai masyhûr.
Dan masuk dalam bagian gharib adalah hadis yang perawinya menyendiri dengan meriwayat sebuah hadis atau adanya tambahan dalam matannya atau sanadnya.
Ia terbagi menjadi hadis shahih dan selainnya. Dan ia yang banyak.”[4]
Pencacatan adz Dzahabi:
F) Adapun pencacatan adz Dzahabi pada sanad hadis tersebut dari sahabat Hudzaifah, pencatatan itu dia utarakan ketika menyebut data hidup perawi bernama Bisy ibn Mahrân. Ia berkata:
بشر بن مهران الخصاف،عن شريك. قال ابن أبي حاتم: ترك أبي حديثه. ويقال: بشير.
قلت: قد روى عنه محمد بن زكريا الغلابي ـ لكن الغلابي متهم ـ قال : حدثنا شريك ، عن الأعمش، عن زيد بن وهب، عن حذيفة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه [وآله] وسلم: من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي، ويتمسك بالقضيب الياقوت، فليتول عليّ بن أبي طالب من بعدي.
”Bisyr ibn Mahrân al Khashshâf dari Syarîk. Ibnu Abi Hatim berkata, ‘Ayahku meninggalkan hadis riwayatnya. Ada yang menyebutnya Basyîr.
Saya berkata, “ Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi telah meriwayatkan darinya, akan tetapi al Ghilâbi tertuduh. Ia berkata, ‘Syarîk menyampaikan hadis kepada kami dari A’masy dari Zaid ibn Wahb dari Hudzaifah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي ، ويتمسك بالقضيب الياقوت ، فليتول عليّ بن أبي طالب من بعدي.
“Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku serta berpegaang teguh dengan tangkai dari yaqut maka hendaknya meyakini kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib sepeninggalku.”
G) Adapun Abu Hatim meninggalkan hadis Bisyr maka tidak perlu dihiraukan berdasarkan ucapan adz Dzahabi sendiri, ia berkata:
إذا وثق أبو حاتم رجلا فتمسك بقوله ، فإنه لا يوثق إلا رجلا صحيح الحديث. وإذا لين رجلا أو قال فيه : لا يحتج به ، فلا ، توقف حتى ترى ما قال غيره فيه ، وإن وثقه أحد فلا تبن على تجريح أبي حاتم ، فإنه متعنت في الرجال ، قد قال في طائفة من رجال الصحاح : ليس بحجة ، ليس بقوي ، أو نحو ذلك.
“Jika Abu Hatim mentsiqahkan seorang perawi maka pegangi ucapannya, sebab ia tidak mentsiqahkan kecuali paarawi yang shahih hadisnya. Dan jika ia melembekkan seorang perawi atau berkata, ‘Ia tidak dapat dijadikan hujjah’ maka berhentilah (menerima ucapannya) sehingga engkau memerhatikan ucapan ulama lainnya. Jika ada yang mentsiqahkannya maka jangan engkau membangun vonismu atas pencacatan Abu Hatim, sebab ia sangat berlebihan dalam mencacat parawi. Ia telah vonis banyak tokoh hadis dengan kata-katanya, ‘ia bukan hujja… ia tidak kuat atau semisalnya.”[5]
Ia juga berkomentar ketika menyebut biodata Abu Zar’ah:
يعجبني كثيرا كلام أبي زرعة في الجرح والتعديل ، يبين عليه الورع والخبرة ، بخلاف رفيقه أبي حاتم ، فإنه جراح.
“Saya sangat terpesona dengan dengan ucapan Abu Zar’ah dalam al jarh dan at ta’dil, ia mencerminkan kehati-hatian dan kedalaman pengetahuan, berbeda dengan rekannya; Abu Hatim ia banyak (gegabah dalam) mencacat.”[6]
H) Adapun tuduhannya terhadap al Ghilâbi sama sekali tidak berdasar. Ia tertolak sebab:
Pertama: Bukan hanya al Ghilâbi yang meriwayatkan hadis tersebut dari Bisyr. Abu Abdillah al Husain ibn Ismail juga telah memutâba’ahnya dalam meriwayatkan hadis tersebut dari Bsyr, seperti Anda saksikan dalam riwayat Ibnu ‘Asâkir.[7]
Kedua: Vonis dengan kata-kata muttaham/tertuduh masih butuh penjelasan. Lalu mengapa ia menglobalkan? Atas hal apa ia tertuduh? Sementara itu kita menyaksikan adz Dzahabi menyebut data hidup perawi ini dalam dua bukunya, Tadzkirah al Huffâdz,2/639 dan Siyar A’lâm an Nubalâ’,13/534 ia hanya menyebutnya sebagai yang wafat di tahun 290 H, tanpa menyebut-nyebut pencacatan sama sekali. Adapun dalam kitab al ‘Ibar-nya, ia menyebutkannya demikian:
محمد بن زكريا الغلابي الأخباري، أبو جعفر، بالبصرة. روى عن: عبد الله بن رجاء الغذاني وطبقته قال ابن حبان : يعتبر بحديثه إذا روى عن الثقات.
“Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi al Akhbari; Abu Ja’far… darinya Abdullah ibn Rajâ’ al Ghidâ’i dan para parawi setingkat dengannya meriwayatkan hadis. Ibnu Hibban berkata, hadisnya dapat dijadikan i’tibar jika ia meriwayatkan dari parawi tsiqah/terpercaya.”[8]
Sementara itu dalam kitab Mîzân al I’tidâl-nya ia terjebak dalam fanatisme buta sehingga mencacat al Ghilâbi tanpa dasar. Hanya karena sang perawi jujur ini bersedia meriwayatkan sabda suci Nabi saw. tentang keutamaan Ahlulbait Nabi as. bukan tentang keutamaan keluarga bani Umayyah atau musuh-musuh Ahlulbait lainnya.
محمد بن زكريا الغلابي البصري الأخباري ، أبو جعفر،عن: عبد الله بن رجاء الغداني، وأبي الوليد ، والطبقة. وعنه : أبو القاسم الطبراني وطائفة. وهو ضعيف. وقد ذكره ابن حبان في كتاب (الثقات) وقال: يعتبر بحديثه إذا روى عن ثقة. وقال ابن مندة: تكلم فيه. وقال الدارقطني: يضع الحديث.
الصولي، حدثنا الغلابي: حدثنا إبراهيم بن بشار، عن سفيان، عن أبي الزبير، قال: كنا عند جابر، فدخل علي بن الحسين، فقال جابر: دخل الحسين فضمه النبي صلى الله عليه [ وآله ] وسلم إليه وقال: يولد لا بين هذا ابن يقال له علي، إذا كان يوم القيامة نادى مناد ؛ ليقم سيد العابدين ، فيقوم هذا. ويولد له ولد يقال له: محمد، إذا رأيته ـ يا جابر ـ فأقرأ عليه مني السلام.
فهذا كذب من الغلابي… .
“Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi al Bashri al Akhbari; Abu Ja’far, meriwayatkan hadis dari Abdullah ibn Rajâ’ al Ghidâi, Abu al Walîd dan yang setinggkat dengannya. Dan darinya Ath Thabarani dan yang setingkat dengannya. Ia dha’îf. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats Tsiqât-nya dan berkata, ‘Ia hadisnya dapat dii’tibarkan jika ia meriwayatkannya dari parawi tsiqah (jujur terpercaya).’ Ibnu Mandah berkata, ‘Ia diperbincangkan.’ Dan Ad Dâruquthni, ‘Ia memalsu hadis.’ Ash Shûli berkata, ‘al Ghilâbi menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ibrahim ibn Basysyar menyampaikan hadis kapada kami dari Sufyan dari Abu Zaubair, ia berkata, ‘Kami duduk di sisi Jabir (ibn Abdillah al Anshari) lalu datanglah Ali ibn Husain, maka Jabir berkata, ‘Pada suatu hari, (Imam) Husain masuk menemui Nabi saw., lalu beliau memeluk dan mengendongnya, lalu bersabda, “Dia ini akan dikarunia seorang putra bernama Ali, kelak di hari kiamat penyeru akan menyerukan, ‘Hendaknya berdiri penghulu para sajid (yang menghambakan diri kepada Allah), maka dia itu yang akan bangkit/berdiri.’ Dan ia (Ali ibn Husain) akan dikarunia seorang anak bernama Muhammad, jika kelak engkau melihatnya maka sampaikan salamku kepadanya.”
Ini adalah kebohongan dari al Ghilâbi !” [9]
Nah sekarang Anda dapat mengerti mengapa mereka getol mencacat al Ghilâbi dan menuduhnya sebagai pemalsu dan pembohong! Anda al Ghilâbi menyampaikan kabar bahwa Nabi saw. berpesan kepada Jabir agar menyampaikan salam kepada Yazid atau Abdul Malik ibn Marwan atau semisalnya, pastilah ia akan mendapat gelar Pendekar Sunnah, Muhyi as Sunnah/penyegar Sunnah! Tetapi karena semua kehormatan itu untuk Ahlulbait as. maka ia layak disebut sebagai pembohong dan pemalsu hadis… Karena sebab ia berani menyapaikan riwayat-riwayat keutamaan Ahlulbait as. maka ia menjadi tertuduh, muttaham!
Akan tetapi permasalahannya lebih dari sekedar itu, al Ghilâbi adalah seorang Akhbari, ahli sejarah. Rata-rata karya tulisnya tentang sejarah dan keutamaan Ahlulbait as. Namun demikian tidaklah samar bagi Anda bahwa pencacatan dengan alasan seperti itu tidak bernilai.
Kesimpulan:
Maka dengan demikian hadis di atas termasuk dari jalur al Ghilâbi adalah kuat dan tak terdapat padanya cacat yang berdasar. Pentsiqahan Ibnu Hibbân terhadap al Ghilabi tak tertandingi! Wal hamdulillah!
Pendustaan Adz Dzahabi Atas Hadis Jabir ra. Tidak Berdasar!
Hadis Jabir ibn Abdillah al Anshâri ra. yang karenanya adz Dzahabi tanpa segan-segan menvonis al Ghilabi sebagai pembohong yang memalsunya… Hadis Jabir tersebut ternyata telah diterima oleh banyak ulama terkemuka Ahlusunnah yang hidup sebelum adz Dzahabi. Ibnu ‘Asâkir dengan sanadnya kepada Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ash Shûli dari al Ghilabi dari Ibrahim ibn Basysyâr dari Sufyan ibn ‘Uyainah dari az Zuhri…
Dan dari Ibnu ‘Asâkir para ulama setelahnya meriwayatkannya, seperti al Kinji asy Syafi’i, ia berkata,
هذا حديث ذكره محدث الشام في مناقبه كما أخرجناه ، وسنده معروف عند أهل النقل.
“Ini adalah hadis telah disebutkan oleh tokoh Muhaddis negeri Syam dalam Manâqib-nya seperti kami riwayatkan. Dan sanadnya ma’rûf/dikenal dikalangan ahli hadis.”[10]
Sedangkan Ibnu Hajar menyebutnya dengan penuh kepastian tanpa harus mempermasalahkan statsu sanadnya, dan kemudian ia berkomentar:
وكفاه شرفا أن ابن المديني روى عن جابر.
“Daan cukuplah kemuliaan bahwa al Madîni meriwayatkan dari Jabir.”[11]
Andai riwayat tersebut tidak shahih tidak mungkin ia mengatakan demikian.
Demikian juga dengan Syeikh Kamâluddin Muhammad ibnu Thalhah meriwayatkannya dalam kitabMathâlib as Su’ûl: 43. Beliau adalah tokoh besar ulama dan ahli fikih. Adz Dzahabi sendiri menyebutkan data hidupnya dalam banyak kitabnya dan memujinya. Demikian juga dengan para ulama lainnya, semuanya memujinya.
Kami tidak heran jika adz Dzahabi dengan serta merta mendustakan riwayat ‘Salam Nabi saw. untuk dua putra kebanggaan beliau; Imam Zainal Abidin dan Imam Muhammad al Baqir as.’, karena memang sudah sering ia bersikap seperti itu terhadap hadis-hadis keutamaan Ali dan Ahlulbait as.
Ketiga: Setelah ini semua, anggap kita terima kelemahan hadis ini dari jalur sahabat Hudzaifah… maka sesungguhnya berhujjah dengan hadis dengan jalur-jalur lain sudahlah cukup. Tidakkah telah Anda saksikan bagaimana Ibnu ‘Asâkir yang mencacat sanad/jalur riwayat Ibnu Abbas ra., ia sama sekali tidak mencacat hadis tersebut dari jalur Zaid ibn Arqam dan Abu Dzarr, sebagaimana ia mencatat hadis Hudzaifah?! Bukankah ini semua bukti nyata bahwa hadis itu dengan jalur tersebut shahih?!
Keempat: Andai kita terima anggapan bahwa seluruh jalur hadis tersebut lemah, dha’îf, bukankah telah ditetapkann dalam kajian Ilmu Hadis di kalangan para ulama bahwa hadis lemah, jika terdukung oleh banyak jalur maka mia dapat diangkat sebagai hujjah?!
Al Munnâwi berkomentar -setelah mendiskusikan beberapa hadis- membantah Ibnu Taimiyah:
وهذه الأخبار وإن فرض ضعفها جميعا ، لكن لا ينكر تقوّي الحديث الضعيف ـ بكثرة طرفه وتعدد مخرجيه ـ إلا جاهل بالصناعة الحديثية أو معائد متعصب ، والظن به أنه من القبيل الثاني.
“Hadis-hadis ini walaupun anggap ia lemah semua, akan tetapi tidak akan mengingkari bahwa hadis itu dapat dihukumi kuat dengan banyaknya jalur dan berbilangnya periwayatnya kecuali seorang yang jahil tentang ilmu hadis atau penentang kebenaran yangt degil. Dan dalam dzan/hemat sama ia (Ibnu Tamiyah) termasuk yang kedua.”[12]
Dan untuk orang seperti Ibnu Taimiyah dan adz Dzahabi dapat dipastikan sikap penolakannya didasari atas penentangan dan fanatisme!
Al Khitâm:
Dan akhirnya, menjadi jelaslah bagi kita status hadis di atas dengan beragam jalurnya. Semoga kita diberi taufiq Alllah untuk tunduk kepada kebenaran dan mengikuti jalan manusia-manusia suci Muhammad saw. dan Ahlulbait beliau as.
________________________________________
[1] Tarikh Damasqus (pada biodata Imam Ali as.),2/95 hadis no. 596, Kifâyah ath Thalib; al Kinji:214.
[2] Tarikh Damasqus,2/98 dan 99.
[3] Tadrîb ar Râwi,1/199.
[4]Ibid.
[5] Siyar A’lâm an Nubalâ’,13/247.
[6] Ibid, 13/65.
[7] Tarikh Damasqus,2/98.
[8] Al ‘Ibar Fi Khabari Man Ghabar,1/418.
[9] Mîzân al I’tidâl,3/55.
[10] Kifâyah ath Thâlib:448.
[11] Ash Shawâiq:120.
[12] Faidhul Qadîr-Syarah al Jâmi’ ash Shaghîr,3/170.

Jumat, 10 Juli 2015

Pujian Rasulullah s.a.w terhadap Syiah dengan kejayaan di Akhirat




Perkataan Syi‘ah telah disebut di dalam hadis nabi s.a.w. Imam al-Suyuti di dalam al-Durr al-Manthur, ketika menjelaskan tentang surah Bayyinah (98:7) “Sesungguhnya orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah sebaik-baik makhluk”, maka dia mengutip (i) sabda Nabi s.a.w yang bermaksud: “Wahai Ali, Anda dan Syi‘ah anda di hari Kiamat nanti di dalam redha dan meredhai” Dan (ii) sabdanya lagi: “Ini Ali dan Syi‘ahnya (bagi) mereka itulah yang mendapat kemenangan di hari Kiamat kelak” (al-Durr al-Manthur, vi hlm. 379).

(iii) Nabi s.a.w bersabda: Syafaatku kepada umatku bagi mereka yang mencintai Ahlu l-Baitku, dan merekalah Syiahku” (Tarikh Baghdad, ii,146). (iv). Rasulullah s.a.w bersabda: Wahai Ali, sesungguhnya anda dan Syiah anda akan datang kepada Allah dalam keadaan redha dan meredhai sementara musuh anda di dalam keadaan marah dan terbelenggu” (al-Sawa‘iq al-Muhriqah, ii, 449)

(v) Rasulullah s.a.w bersabda: Anda dan Syiah anda adalah janjiku dan janji kamu adalah di Haudhku” (al-Durr al-Manthur, vi, 379). (vi) Rasulullah s.a.w bersabda: Jadilah Ahlu Baiti (keluargaku) daripada kamu tempat kepala daripada jasad dan tempat dua mata daripada kepala, kepala tidak akan mendapat petunjuk melainkan dengan dua mata” (Is‘af al-Raghibin bi-Hamisy Nur al-Absar, 110, al-Fusul al-Muhimmah oleh Ibn al-Sibagh al-Maliki, 8).

(vii) Nabi s.a.w telah mengakui kewujudan Syiah pada masa hidupnya. (viii) Nabi s.a.w mempercayai Syiah Ali a.s dan memberi jaminan kejayaan di Akhirat kelak (ix) Ali a.s dan Syiahnya akan mendapat kejayaan di Akhirat. (x) Justeru tuduhan Wahabi bahawa Syiah berasal daripada Abdullah bin Saba’ itu tertolak. (xi) Syiah mempunyai musuh yang ramai selepas kewafatan nabi s.a.w sehingga ke masa kini. Khalifah Ali a.s juga tidak disukai oleh kebanyakan umat Islam, kerana kecintaan mereka kepada Abu Bakar dan Umar adalah melintasi batas al-Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w. Lantaran itu Syiah menghadapi penderitaan sepanjang abad dengan pengusiran, pembunuhan, deskriminasi, penjara dan lain-lain. Oleh itu jikalaulah Ali a.s tidak pernah menjadi Khalifah umat Islam, nescaya Syiah kurang tersohor dan dikenali.

(a) Rasulullah s.a.w bersabda tentang sifat Ali a.s: Wahai manusia, ujilah anak-anak kamu dengan mencintai Ali, kerana Ali tidak menyeru kepada kesesatan dan tidak menjauhi manusia dari petunjuk. Siapa yang mencintainya, maka dia adalah daripada kamu dan siapa yang membencinya, maka dia bukanlah daripada kamu” (Tarikh Dimasyq, ii, 225/730).

(b) Imam Ali a.s berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Wahai Abu Dhar, siapa yang mencintai kami Ahlu l-Bait, maka hendaklah dia mencintai Allah di atas nikmat yang pertama”. Dia bertanya: Wahai Rasulullah! Apakah nikmat yang pertama itu? Baginda menjawab: “Kelahiran yang baik, sesungguhnya kami tidak dicintai melainkan oleh mereka yang mempunyai kelahiran yang baik-bukan anak zina” (Amali al-Tusi, 455/1018, al-Mahasin, i, 232).

(c) Rasulullah s.a.w bersabda: “Wahai Ali! Siapa yang mencintaiku, maka dia mencintai anda dan mencintai para imam daripada anak-anak anda, maka hendaklah dia memuji Allah di atas kelahirannya yang baik kerana kami tidak dicintai melainkan oleh mereka yang baik kelahirannya (tabat wiladatu-hu) dan tidak akan membenci kami melainkan oleh mereka yang buruk kelahirannya-anak zina” (Amali al-Saduq, 384, Ma‘ani al-Akhbar, 161).

(d) Rasulullah s.a.w bersabda kepada Ali a.s: “Anda tidak akan dibenci di kalangan Arab melainkan oleh anak zina” (al-Manaqib oleh al-Khawarizmi, 323, Fara’id al-Samthin, i, 135).

(e)Imam Ali a.s berkata: “Aku tidak dicintai oleh orang kafir dan anak zina” (al-Manaqib oleh Ibn Syahri Asyub, ii, 267).

(f) Mahbub bin A Abi al-Zinad: Orang Ansar berkata: Sekiranya kami mahu mengetahui seseorang lelaki tanpa bapa (anak zina) adalah dengan kebenciannya kepada Ali bin Abi Talib” (Tarikh Dimasyq, ll, 224).

(g) Rasulullah s.a.w bersabda: Siapa yang membenci Ali, maka dia membenciku. Siapa yang membenciku, maka dia membenci Allah. Tidak akan mencintai anda (Ali) melainkan oleh mukmin dan tidak akan membenci anda melainkan oleh kafir atau munafik” (Tarikh Dimasyq, ll, 188)

(h) Imam Ali a.s berkata: Rasulullah s.a.w telah berjanji kepadaku: Aku tidak dicintai melainkan oleh mukmin dan aku tidak dibenci melainkan oleh munafik” (Sunnan al-Nasa’i, viii, 177, Musnad Ibn Hanbal, i, 204).

Keajaiban Imam Jawad yang terungkap setelah wafatnya



203 Hijriyah, Demi kepentingan politik, al-Ma'mun sebagai penguasa Bani Abbas masa itu mengundang Imam al-jawad yang berada di Madinah untuk datang ke pusat pemerintahannya di Baghdad. al-Ma'mun berniat untuk menikahkan putrinya yang bernama Ummul Fadhl dengan Imam Jawad yang masih sangat muda belia. niatnya itu diketahui oleh klannya dari Bani Abbas dan mereka semua tidak menyetujui bahkan menentangnya. karenanya, al_ma'mun mengadakan rapat keluarga dan memaparkan sebab niatnya itu yang dianggap akan melanggengkan kekhalifahan Bani Abbas dengan mempersatukan darah dagingnya dengan Ahlul Bayt, serta meyakinkan semua bahwa Al-jawad adalah sosok yang paling alim dan akan mempunyai pengaruh sangat kuat atas masyarakat, karena berdasarkan investigasi, dia sudah mengetahui bahwa al-Jawad adalah Imam pengganti ayahnya Al-Ridha walaupun usianya masih di bawah umur. Imam Jawad pun datang ke Baghdad dan Ma'mun sudah mengundang para ulama dan hakim-hakim paling alim untuk menguji keilmuan al-Jawad. Singkat cerita, ternyata al-jawad begitu mencengangkan dan segala puji bagi Allah riwayat dialog tanya jawab yang panjang tersebut terekam hingga kita bisa pelajari sampai saat ini. Silahkan rujuk buku sejarah ahlul bayt atau cari di internet.

Akhirnya, sesuai permintaan al-Ma'mun berlangsunglah perayaan akad nikah Imam jawad dengan Ummu fadl putri al-Ma'mun di Majlis itu juga. kemudian ummu fadl ikut bersama Imam Jawd kembali ke Madinah. Namun harapan Ma'mun dari pernikahan itu gagal karena ternyata putrinya mandul dan sampai 15 tahun pernikahan tidak dikaruniai anak. Imam al-jawad menikah lagi dengan seorang pelayan mu'minah asal maroko yang bernama Sumanah dan mendapat kemuliaan besar dengan menjadi Ibu Imam Ali al-Hadi. karena pernikahan itu, Ummul Fadl menjadi cemburu sampai dia menulis surat mennyampaikan kesedihan dan kecemburuannya kepada ayahnya. tapi al_ma'mun malah menjawab suratnya demikian; "Wahai putriku, aku tidak menikahkan kamu dengan Abu Ja'far (alJawad) supaya kau mengharamkan apa yang halal baginya, maka tolong jangan kau biasakan lagi mengadukan hal-hal tersebut." 

Banyak sekali karamah dan keajaiban Imam Jawad, seperti kisahnya saat mengurus jenazah ayahnya di Khurasan padahal beliau berada di Madinah saat itu. kisah beliau mengajak ahli ibadah di Damaskus untuk shalat ke masjid Kufah, kemudian umroh Ke Mekkah dan kembali ke tempat dia shalat semula di bekas tempat diinapkan kepala sayyidina husain di Damaskus. Semua riwayat itu dan lainnya bisa dibaca di buku-buku rujukan dan terjemahan. saat ini, demi mengenang syahadah beliau di akhir Dzulqa'dah tahun 220 H, saya ingin mendapat berkah berbagi baca riwayat berikut ini saja dari kisah pengakuan Ummul Fadl:   

Sayyidah Hakimah putri Imam Ridha meriwayatkan: Tatkala saudaraku Abu Ja’far (Imam Muhammad al-Jawad) meninggal dunia, aku mengunjungi istri beliau Ummul Fadhl (putri khalifah al-Ma’mun) karena suatu kepentingan. Kami berdua pun mengenang keutamaan, keistimewaan, dan apa yang di karuniakan Allah kepada al-Jawad. Tiba-tiba Ummul Fadhl mengungkapkan; “Maukah kamu saya beritahu tentang suatu keajaiban abu Ja’far yang tidak pernah terdengar sama sekali. Aku kata “Apa itu?” dan Ummul Fadhl menceritakan ; “Saya pernah cemburu terhadap seorang pelayan dan juga pernah cemburu atas pernikahan sehingga saya mengadu kepada al-Ma’mun, dan dia pun berkata “Wahai putriku, sabar dan bertahanlah karena dia adalah putra Rasulullah saw! Namun suatu waktu saya sedang duduk di malam hari, tiba-tiba seorang wanita yang anggun menghampiriku dan aku pun bertanya siapakah kamu? dia menjawab “Saya adalah istri abu Ja’far dan saya dari keturunan Ammar bin Yasir ra.” Sebegitu terkejutnya, diri saya dirasuki kecemburuan yang membuat saya tak tahan dan kehilangan akal, maka saat itu juga saya bangkit dan pergi ke al-Ma’mun ayah saya yang mana pada saat itu sedang mabuk berat. Dalam keadaan seperti itu saya katakan bahwa suami saya al-Jawad mencaciku dan mencaci Bani Abbas dan semua keturunannya. Serta saya tambahkan (fitnah) segala hal yang sama sekali dia tidak pernah melakukannya. Ayahku pun sangat marah dan langsung mangambil pedang. Saya ikuti dia bersama ajudannya sampai dia masuk ke ruangan al-Jawad sementara dia sedang tidur kemudian ayahku menghantam-hantam dengan pedangnya berkali-kali sampai tubuh al-Jawad terpotong-potong.
 
Ke-esokan harinya kami sadar dan merasa kebingungan dan tegang akan apa yang terjadi semalam, maka kami menyuruh ajudan tersebut untuk melihat kondisi al-Jawad, namun tak disangka ia  terkejut melihat al-jawad sedang shalat. Dia segera kembali dan mengabarkan kepada ayah bahwasanya al-Jawad selamat dan sedang sholat seakan tak terjadi apa-apa. Ayah saya begitu lega sehingga langsung memberi ajudannya itu seribu dinar, kemudian bergegas membawa kepada al-Jawad sepuluh ribu dinar dan meminta maaf untuk segalanya, dan al-Jawad pun menasehatinya untuk menjauhi minuman keras.

al-Ma'mun meninggal di tahun 218 H dan kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama al-Mu'tashim. tahun kedua dari pemerintahannya, al-Mu'tashim berkonspirasi untuk membunuh Imam jawad. Beliau alaihis salam akhirnya syahid karena diracun.
Ref: Kitab
Wafiyaat al-Aimmah.
Masaaib aal Muhammad,
Siirah al-Aimmah  al-12
credit :  Shaheer Hamdy

Dialog Harun dan Imam Musa as.


Harun senantiasa berusaha bertanya tentang sesuatu yang membuat Imam tidak berkutik menjawabnya. Sehingga dengan siasat ini, dia dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat.

Pada suatu kesempatan, Harun berkata kepada Imam as., “Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan jawabannya”.
Imam: “Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu”.

Harun: “Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul di atasku padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?!”.

Imam: “Kami lebih dekat kepada Nabi saw. dari pada Anda. Sebab, ayah kami Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw. adalah dua bersaudara dari  ibu dan ayah yang sama. Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah saja”.

Harun: “Sewaktu Nabi wafat, ayahmu Abu Thalib telah lebih dahulu wafat, tapi ayah kami Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan”.

Imam: “Selama seorang anak masih hidup, paman tidak dapat menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak ada hak untuk menerima warisan”.

Harun melontarkan pertanyaan lain, “Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Anda ini putra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut pada garis ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu”.

Imam: “Jika sekiranya Rasulullah hidup dan meminang putrimu, apakah Anda bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu padanya”.

Harun: “Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan”.

Imam: “Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku untuk lalu beliau nikahi”.

Harun: “Mengapa demikian?”

Imam: “Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra Rasulullah”.

Harun duduk diam seribu bahasa setelah mendengarkan jawaban Imam yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk memintanya sesuka hati beliau. Imam berkata, “Aku tidak ingin apa pun darimu, biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku”.

Kamis, 09 Juli 2015

DIALOG ANTARA IMAM JA'FAR SHADIQ (AS) DENGAN ABU HANIFAH





di dalam kitab musnad al-shadiq, perdebatan abu hanifah dan imam ja'far al-shadiq mengenai qiyas...

Berkata ja'far : dosa mana yang lebih besar, membunuh atau berzina ?

Jawab abu hanifah : membunuh

Berkata ja'far : kenapa allah mengharuskan dua saksi dalam suatu kasus pembunuhan, sedangkan dalam kasus zina empat saksi ?Apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : tidak

Berkata ja'far : mana yang kadarnya lebih besar, mani atau air kencing ?

Jawab abu hanifah : air kencing (dari segi najasah yaqiniahnya )

Berkata ja'far : tapi kenapa allah memerintahkan mandi ketika keluar mani, sedangkan saat keluar air kencing, cukup dengan dibasuh?Apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Berkata ja'far : mana yang kadarnya lebih besar, sholat atau puasa ?

Jawab abu hanifah : sholat

Berkata jaf'ar : tapi kenapa seseorang yang haidh diwajibkan menqodho puasa tapi tidak untuk sholat ? Apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Berkata ja'far : mana yang lebih lemah, laki laki atau perempuan ?

Jawab abu hanifah : perempuan

Berkata ja'far : tapi kenapa allah menjadikan dua bagian untuk laki laki, dan satu bagian untuk perempuan ? apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Berkata ja'far : Dan kenapa allah menghukumi seseorang yang mencuri sepuluh dirham dengan dipotong tangan, dan menghukumi seseorang yang memotong tangan orang lain cukup dengan membayar 15rb dirham ? apakah engkau dapat menqiyaskan ini ?

Jawab abu hanifah : Tidak

Tapi Dr. baltaji dalam kitabnya manahij al-tasyri' al-islamy mengatakan bahwa riwayat diatas terbalik antara yang mendebat dan yang didebat. Beliau menguatkan hujjahnya dengan mengambil riwayat dari ibnu ahmad al-makky dalam manaqibu abi hanifah mengenai perdebatan diatas. Berikut versi ibnu ahmad al-makky dalam manaqibi abi hanifahnya....

Pada saat abu hanifah pergi haji, abu ja'far muhamad albaqir menghadangnya di madinah..kemudian berkata : kamulah yang merubah agama kakekku dengan qiyas!!

Berkata abu hanifah : aku berlindung pada allah untuk melakukan itu

Berkata abu ja'far : tapi kamu telah merubah!!

Abu hanifah berkata pada abi ja'far : duduklah...aku ingin ingin bertanya padamu tiga pertanyaan, dan jawablah pertanyaanku..Apakah laki laki lebih kuat dari perempuan ?

Jawab abu ja'far : ya..laki laki yang lebih kuat

Berkata abu hanifah : Berapa bagian untuk laki laki dan berapa bagian untuk perempuan ?

Jawab abu ja'far : laki laki mendapat dua bagian, dan perempuan mendapat satu bagian

Berkata Abu hanifah : ini adalah perkataan kakekmu (nabi). Maka jika saya merubah agama kakekmu, dengan qiyas menjadi terbalik antara kedudukan laki laki dan perempuan, karena perempuan lebih lemah dari laki laki. Kemudian berkata : mana yang lebih utama, puasa atau sholat ?

Jawab abu ja'far : shalat

Berkata abu hanifah : ini juga perkataan kakekmu. Maka jika saya merubah agama kakekmu, dengan qiyas aku memerintahkan perempuan yang haidh untuk menqadha shalat dan tidak menqadha puasa. Kemudian berkata : Manakah yang lebih dekat pada najis, mani atau air kencing ?

Jawab abu ja'far : air kencing yang lebih najis

Berkata abu haniah : jika saya merubah agama kakekmu, maka dengan qiyas, saya akan memerintahkan wudhu jika seseorang keluar air mani, dan mandi jika mengeluarkan air kencing karena air kencing lebih mendekati najis dari mani

Kemudian setelah itu, abu ja'far bangun dan mencium wajah abu hanifah dan memuliakannya...