Sabtu, 30 Agustus 2014

Sabda Imam Ali As tentang Keimanan



Amirul Mukminin Ali as ditanyai tentang keimanan, lalu ia berkata:

Iman berdiri di atas empat kaki: kesabaran, keyakinan, keadilan dan jihad.
Kesabaran pun mempunyai empat aspek: gairah, takut, zuhud, dan antisipasi (akan kematian)., maka barangsiapa bergairah untuk surga, ia akan mengabaikan hawa nafsunya; barangsiapa takut akan api (neraka), ia akan menahan diri dari perbuatan terlarang; dan barangsiapa mengantisipasi kematian ia akan bergegas kepada amal baik.

Keyakinan juga mempunyai empat aspek: penglihatan yang bijaksana, kecerdasan dan pengertian, menarik pelajaran dari hal-hal yang mengandung pelajaran, dan mengikuti contoh orang-orang sebelumnya. Oleh karena itu, barangsiapa melihat dengan bijaksana, pengetahuan bijaksana akan terwujud kepadanya, dan barangsiapa yang terwujud padanya pengetahuan bijaksana, maka ia akan menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, dan barangsiapa menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, samalah dia dengan orang-orang yang terdahulu.

Keadilan juga mempunyai empat aspek: pernahaman yang tajam, pengetahuan yang mendalam, kemampuan baik untuk memutuskan, dan ketabahan yang kukuh. Oleh karena itu, barangsiapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan; barangsiapa mendapatkan kedalaman pengetahuan, ia meminum dari sumber keadilan; dan barangsiapa berlaku sabar, maka ia tak akan melakukan perbuatan jahat dalam urusannya, dan akan menjalani kehidupan yang terpuji di antara manusia.

Jihad juga mempunyai empat aspek: menyuruh orang berbuat baik, mencegah orang berbuat kemungkaran, berjuang (di jalan Allahj dengan ikhlas dan dengan teguh pada setiap kesempatan, dan membenci yang mungkar., maka barangsiapa menyuruh orang lain berbuat baik, ia memberikan kekuatan kepada kaum mukmin; barangsiapa menghentikan orang lain dari kemungkaran, ia menghinakan orang kafir; barangsiapa berjuang dengan ikhlas pada segala kesempatan, ia melaksanakan seluruh kewajibannya; dan barangsiapa membenci yang mungkar dan menjadi marah demi Allah, maka Allah akan marah untuk kepentingan dia dan akan tetap meridainya pada Hari Pengadilan.

Kekafiran berdiri pada empat topangan: mengumbar hawa nafsu, saling bertengkar, menyeleweng dari kebenaran, dan perpecahan., maka barangsiapa mengumbar hawa nafsu, ia tidak cenderung kepada yang benar; barangsiapa banyak bertengkar dalam kejahilan akan selalu buta terhadap yang benar; barangsiapa menyeleweng dari kebenaran, baginya baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik dan ia tetap mabuk dengan kesesatan; dan barangsiapa membuat perpecahan (dengan Allah dan Rasul-Nya), jalannya menjadi sulit, urusannya menjadi rumit dan jalan lepasnya menjadi sempit.

Keraguan mempunyai empat aspek: ketidaknalaran, ketakutan, kegoyahan dan penyerahan yang tak 
semestinya kepada segala sesuatu., maka barangsiapa menempuh ketidaknalaran sebagai jalannya, baginya tak ada fajar setelah malam; orang yang takut akan apa yang menimpanya harus lari tunggang langgang; orang yang goyah dalam keraguan, iblis akan memijak-mijaknya; dan orang yang menyerah kepada kebinasaan dunia dan akhirat akan binasa di dunia dan akhirat.

Sabda Imam Ali As tentang Keutamaan Ilmu dibanding harta



Sepuluh keutamaan ilmu dibanding harta:
  • Ilmu adalah warisaan Rasullulah,sedang harta adalah warisan Firaun. Sebab itu ilmu lebih baik dari harta.
  • Engkau harus menjaga hartamu,sedang ilmu menjagamu. Jadi,ilmu lebih utama.
  • Seseorang yang berharta mempunyai banyak musuh,sedang orang yang berilmu mempunyai banyak kawan.Karenanya ilmu lebih bernilai.
  • Ilmu lebih mulia dari harta,karena ilmu akan berkembang bila dibagi-bagikan,sedang harta akan susut bila dibagi-bagikan.
  • Ilmu lebih baik sebab orang yang berilmu cenderung untuk menjadi dermawan,sedang orang berharta cenderung untuk menjadi kikir dan pelit.
  • Ilmu lebih aman karena dia tidak dapat dicuri,sedang harta dapat dicuri.
  • Ilmu lebih tahan lama karena tidak rusak oleh waktu atau sebab dipakai,sedang harta bisa rusak.
  • Ilmu lebih bernilai karena tanpa batas,sedang harta terbatas dan bisa dihitung.
  • Ilmu lebih bermutu karena dia dapat menerangi pikiran,sedang harta cenderung untuk membuat pikiran tidak fokus.
  • Ilmu lebih utama karena dia mengajak manusia untuk mengabdi kepada Tuhan mengingat makhluk-Nya yang lemah dan terbatas,sedang harta mendorong manusia menganggap dirinya sebagai Tuhan dengan memandang rendah orang-orang yang lebih miskin darinya.

Kesaksian Nabi Saw dan Para Sahabat Nabi terhadap ‘Ali dan Ahlulbaitnya



Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah tentang keluasan ilmu ‘Ali dari kitab Fadhâ’il, karya Ibnu aI-Maghazali asy-Syafi’i dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Nabi Saw bersabda, ‘Ketika aku berada di hadapan Tuhanku, Dia berbicara kepadaku dan aku bermunajat kepada-Nya. (Ketahuilah’) Setiap ilmu yang aku ketahui, pasti aku ajarkannya kepada ‘Ali, ia adalah pintu ilmuku.”[1]

AI-Khawarizimi al-Hanafi juga meriwayatkan hadis tersebut.

Hadis tersebut juga diriwayatkan di dalam Yanâbi’ul Mawaddah’ dari al-Hamdani asy-Syafi’i dalam kitabnya Mawaddatul Qurbâ, dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah Saw sesungguhnya ia bersabda, “Ilmu itu dibagi dalam sepuluh bagian, ‘Ali diberi sembilan bagian, dan ia adalah orang yang paling tahu di antara manusia dalam bagian yang kesepuluh itu.”[2]

Dalam kitab yang sama, Al-Qunduzi juga meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi Saw sesungguhnya ia bersabda kepada Ummu Salamah, “Wahai Ummu Salamah, ‘Ali ini, dagingnya berasal dari dagingku dan darahnya berasal dari darahku, dan ia kedudukannya di sisiku seperti kedudukan Harun  di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku. Wahai Ummu Salamah, dengarkanlah dan saksikanlah ‘Ali ini adalah Amirul Mukminin dan pemimpim kaum Muslim. Ia ini (‘Ali) adalah gudang ilmuku, ia adalah pintuku yang aku didatangi darinya, ia adalah saudaraku di dunia dan akhirat, dan ia bersamaku di tempat yang paling tinggi (di dalam surga). “[3]

Hadis semacam ini juga diriwayatkan oleh aI-Hamuyini asy-­Syafi’i dalam kitabnya Farâ’idus Simthain, al-Kanji asy-Syafi’i dalam kitabnya Kifâyatuth Thâlib, al-Khawarizimi alk-Hanafi dalam kitabnya al-Manâqib dalam bab ketujuh tentang keluasan khazanah ilmu ‘Ali As, dan bahwa ia orang yang paling mengetahui masalah hukum di antara para sahabat Rasulullah Saw.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari al-Khawarizmi dari Jabir al-Anshari Ra yang meriwayatkan hadis yang panjang dari Rasulullah Saw tentang manaqib ‘Ali As, di antaranya ia bersabda, “Dan engkau (wahai ‘AIi) adalah pintu ilmuku.”

Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili juga meriwayatkan hadis Rasulullah Saw dalam Syarah-nya terhadap kitab Nahjul Balâghah, ” ‘Ali adalah perbendaharaan iImuku. “

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah  al-Hamdani asy-Syafi’i dalam kitabnya Mawaddatul Qurbâ, dari Abu Dzar al-Ghifari Ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Ali adalah pintu ilmuku dan yang menjelaskan kepada umatku tentang apa yang atasnya aku diutus sepeninggalku. Mencintainya adalah tanda keimanan, membencinya adalah tanda kemunafikan, dan memandangnya adalah tanda kasih sayang.” [4]

Kemudian ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Na’im,” dan ia juga meriwayatkannya pada halaman 235 dari Abu ­Darda’ yang berkata bahwa, “Rasulullah Saw. bersabda, “Ali adalah pintu ilmuku.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dari kitab Mawaddatul Qurbâ, karya aI-Hamdani asy-Syafi’i, dari ‘Umar bin al­-Khaththab, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw ketika mengikat persaudaraan di antara para sahabatnya, ia bersabda, Ini ‘Ali adalah saudaraku …dan ia adalah orang yang mewarisi ilmuku.”

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dari kitab Fadhâ’ilush Shahabah, karya as-Sam’iini, dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-­Khudri bahwa Nabi Saw bersabda tentang keutamaan ‘Ali, “Dan ia (‘AIi) adalah orang yang paling bersabar di kakangan orang-orang Islam, paling banyak ilmunya di antara mereka, dan paling dahulu memeuk Islam di antara mereka. “

Hadis semisal ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abil Hadid dalam syarahnya atas kitab Nahjul Balâghah, al-Muhibb ath-Thabari di dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dari Ahmad, dan al-Khawarizimi dalam al-Manâqib  dalam sebuah hadis yang panjang.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkannya dalam bab ke­54 dari kitab al-Manâqib dengan sanadnya dari Jabir al-Anshari dalam sebuah hadis dari Nabi Saw yang di dalamnya disebutkan para Imam Ahlulbait berikut nama-nama mereka, di antaranya Jabir berkata kepada Imam Muhammad al-Baqir As, “Wahai maulana (tuanku), sesungguhnya kakekmu, Rasulullah Saw, bersabda kepadaku, “Jika engkau bertemu dengannya (Imam Muhammad al-Baqir), sampaikanlah salamku kepadanya.”

Kemudian Jabir berkata kepada Imam Muhammad al-Baqir, “Sesungguhnya ia telah mengabarkan kepadaku, sesungguhnya kalian adalah mam-imam yang membawa petunjuk dari Ahlulbaitnya sepeninggalnya. Kalian adalah orang yang paling arif di antara manusia ketika masih kanak-kanak, dan yang paling pandai di antara mereka pada waktu dewasa. Dan ia juga bersabda, “Janganlah kalian mengajari mereka karena mereka itu lebih pandai daripada kalian.”

Al-Khawarizmi meriwayatkan dalam kitabnya al-Manâqib dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Kami pernah berada di rumah Nabi Saw, lalu kami bertanya kepadanya tentang ilmu ‘Ali. Kemudian, ia bersabda, “Hikmah itu dibagi dalam sepuluh bagian, ‘Ali diberi sembilan bagian darinya, sedangkan orang-orang diberikan satu bagian.”

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan hadis itu dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-14, dari kitab al-Manâqib, karya Ibnu al-Maghazali, dari kitab Mawaddatul Qurbâ, dari kitab al-Firdaus, dan juga dari kitab Hilyatûl Auliyâ.

Kamaluddin asy-Syafi’i juga meriwayatkan hadis itu dalam Mathâlibus Sa’ul, dan al-Khawarizmi juga meriwayatkan dalam kitabnya al-Manâqib dengan sanadnya dari Salman Ra dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Umatku yang paling pandai adalah ‘Ali.”

Ia juga meriwayatkannya dari at-Tirmidzi dalam Syarhir Risâlah al-Mausûmah bi Fathi/ Mubin, dan al-Hamuyini meriwayatkannya dalam Farâ’idus Simthain, dalam bab ke-18, dari Salman dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Umatku yang paling pandai sesudahku adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”

Al-Khawarizmi juga meriwayatkan dalam kitabnya al-­Manaqib dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-Khudri dan Salman, keduanya berkata, “Nabi Saw bersabda, ‘Sesungguhnya umatku yang paling tahu masalah hukum adalah ‘Ali bin Abi Thdlib.”

Al-Hamuyini meriwayatkan dalam Farâ’idus Simthain, dan al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan darinya dalam kitabnya Yanâbi’u/ Mawaddah dengan sanadnya dari Salamah bin Kuhail, ia berkata, “Nabi Saw bersabda, ‘Aku adalah kota hikmah, sedangkan ‘Ali adalah pintunya. ‘”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Muhibb ath-Thabari dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dan Abu Thalhah asy-Syafi’i dalam Mathâlibus Sa‘ul dari kitab Mashâbihul Baghawî. 

Al-Muhibb Ath-Thabari meriwayatkan dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dari Nabi Saw, ia bersabda, “Barangsiapa ingin melihat Adam dalam i!munya. Nuh dalam pemahamannya, Ibrahim dalam kesabarannya, Yahya bin Zakariyya di dalam kezuhudannya, dan Musa dalam kekuatannya maka hendaklah ia melihat ‘Ali bin Abi Thalib.”

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan hadis itu dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, dari kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Shahihul Baihâqi, dan Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili dalan syarahnya (ulasan) pada kitab Nahjul Balâghah dari Nabi Saw bahwa ia  bersabda, “Barang siapa ingin melihat Adam dalam ilmunya, Nuh dalam tekadnya,  Ibrahim dalam kesabarannya, Musa dalam kecerdasannya dan Isa dalam kezuhudannya,  maka hendaklah ia melihat ‘Ali bin Abi Thalib.

Al-Hamuyini asy-Syiifi’i meriwayatkan dalam Farâ’idhus Simthain, al-Khawarizmi dan Ibnu al-Maghazili dalam Manâqib-nya, Kamaluddin asy-Syafi’i dalam Mathâlibus Sa’ul, dari al-­Baihaqi, Ibnush Shibagh al-Maliki dalam al-Fûshulul Muhimmah,  Abu Na’im dalam Hilyatul Auliyâ, al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, al-Khawarizmi dalam Maqtalul Husain, dan Ibnu Mardawaih dalam Manâqib-nya dari Anas bahwa Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali di rumah Ummu Habibah, “Sesungguhnya engkau penyampai risalahku sepeninggalku, menyampaikan dariku, memperdengarkan kepada orang-orang suaraku,  dan mengajarkan kepada orang-orang Kitabullah apa-apa yang mereka tidak ketahui.”

Aku katakan, hal ini adalah sebagian kecil dari hadis-hadis Nabi Saw yang menunjukkan keutamaan ilmu Amirul Mukminin ‘Ali dan Ahlulbaitnya yang diberkati daripada orang lain, dimana mereka telah dijadikan oleh Allah Swt sebagai perbendaharaan ilmu-Nya dan orang-orang kepercayaan-Nya atas hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kesaksian Rasulullah Saw, orang yang dipercaya dalam ucapannya, dan apa yang diucapkannya tidak menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.

Selain itu, hadis-hadis tentang keluasan ilmu Amirul Mukiminin ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbaitnya tersebut sesungguhnya diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah (tepercaya), yang telah terbukti kesahihannya, dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Di samping itu, masih banyak lagi hadis tentang keluasan ilmu ‘Ali dan Ahli Baitnya yang mulia yang diriwayatkan oleh para ulama Syi’ah, silakan Anda merujuk pada kitab-kitab mereka, niscaya Anda akan terpuaskan.

Kesaksian Abu Bakar[5]

AI-Imam al-Bahrani meriwayatkan di dalam Ghâyatul Marâm” dari at-Tirmidzi, ia termasuk tokoh besar ulama Ahlus Sunnah, ia berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Copotlah aku (dari jabatan khalifab) karena sesungguhnya ‘Ali lebih berhak daripadaku di dalam urusan (kekhalifaban) ini.”[6]

At-Tirmidzi berkata, “Dalam riwayat disebutkan bahwa ash-­Shiddiq (Abu Bakar) berkata tiga kali, “Copotlah aku (dari jabatan khalifah) karena sesungguhnya aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, sedangkan ‘Ali berada di tengah-tengah kalian.”

Kemudian at-Tirmidzi berkata, “Sesungguhnya ia (Abu Bakar) berkata yang demikian itu karena ia mengetahui secara benar dan pasti tentang keadaan ‘Ali dan kedudukannya serta lebih berhaknya ia di dalam urusan kekhalifahan.”

Kesaksian ‘Umar

Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili meriwayatkan dalam syarahnya atas kitab Nahjul Balâghah dari ‘Umar bin AI-Khaththab bahwa ia berkata, “Demi Allah, seandainya bukan karena ia-yakni ‘Ali, niscaya tidak akan berdiri kukuh tiang Islam. Ia (‘ Ali) adalah orang yang paling mengetahui tentang masalah hukum di kalangan umat ini, orang yang paling dahulu memeluk Islam, dan orang yang paling utama.”

Ibnu Abil Hadid juga meriwayatkan dalam kitab yang sarna dan juga al-Khawarizmi al-Hanafi meriwayatkan dalam Manâqib-nya dari Ibnu ‘ Abbas bahwa ia berkata, “Aku mendengar ‘Umar berkata, ketika itu dalam rumahnya terdapat sekelompok orang yang sedang membicarakan tentang orang-orang yang paling dahulu memeluk Islam, ‘Adapun ‘AIi, maka aku mendengar Rasulullah Saw bersabda tentang tiga hal. Aku sangat berharap, seandainya aku bisa mendapatkan salah satu dari ketiga hal tersebut, niscaya hal itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya. Ketika itu, aku, Abu ‘Ubaidah, Abu Bakar, dan sekelompok di antara sahabat beliau, tiba-tiba Nabi Saw menepuk pundak ‘Ali seraya bersabda,
“Wahai ‘Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman di kalangan kaum Mukmin, orang Islam pertama yang memeluk agama Islam di antara kaum Muslimin, dan kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa.”

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan di dalam Musnad-nya dan al-Hakim di dalam Mustadrak-nya dari ‘Umar bin al-Khaththab bahwa ia berkata, “Sungguh, telah diberikan kepada ‘Ali bin Abi Thalib tiga hal, seandainya aku diberikan salah satunya dari ketiga hal tersebut, niscaya lebih aku sukai daripada (aku mendapatkan) sekawanan unta merah (harta yang paling berharga di kalangan bangsa Arab). Yaitu, Istrinya, Fatimah binti Rasulillah; bertempat tinggal di Masjid, diperbolehkan baginya apa yang diperbolehkan bagi Rasulullah Saw; dan diserahkannya kepadanya bendera pada waktu Perang Khaibar.”

Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitabnya ash-Shawâ’iqul Muhriqah dalam pasal yang di dalarnnya disebutkan pujian para sahabat Nabi Saw kepada ‘Ali, ia berkata, “Ibnu Sa’ad meriwayatkan­ dalarn kitabnya ath- Thabaqât- dengan sanad dari Abu Hurairah, ia berkata, “Umar bin AI-Khaththab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum.”[7]
Al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ’ dari ‘Umar bin AI-Khaththab, ia berkata, “Orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”[8]

As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitabnya Târikhul Khulafâ, dalam bab tentang keutamaan-keutamaan ‘Ali As, ia berkata, “Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari ‘Ali bahwasanya dia pemah ditanya, “Mengapa engkau orang yang paling banyak meriwayatkan hadis di kalangan sahabat Rasulullah Saw?”

‘Ali As menjawab, “Sesungguhnya jika aku menanyakan sesuatu kepada Rasulullah Saw, ia memberitahukannya kepadaku. Dan jika aku diam, ialah yang memberitahukannya kepadaku.” [9]
Kemudian As-Suyuthi berkata, “AI-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, ‘Kami biasa berkata bahwa penduduk Madinah yang paling mengetahui tentang masalah hukum adalah ‘Ali.”

Ia berkata, ‘Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Umar bin aI-­Khaththab berlindung kepada Allah dari masalah yang sulit, yang dalamnya tidak ada Abul Hasan (‘ Ali).”

Aku katakan, sesungguhnya berlindungnya ‘Umar kepada Allah dari masalah yang sulit, yang di dalamnya tidak ada Abul Hasan (‘ Ali) diriwayatkan oleh banyak ulama terkemuka dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana telah disebutkan sebelum ini.

Kesaksian A’isyah

Al-Hamuyini asy-Syafi’i meriwayatkan dalam kitabnya Farâ’idhus Simthain  bahwa ‘Aisyah berkata tentang ‘Ali As, “Ia adalah yang paling mengetahui tentang Sunnah.” Disebutkan dalarn riwayat al-Khawarizmi dari ‘A’isyah, ia berkata, “Ia (‘ Ali) adalah orang yang paling mengetahui tentang Sunnah.”

Al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam kitabnya Dzakâd’irul  ‘Uqbâ ucapan ‘A’isyah tentang ‘Ali, “Adapun ia (‘Ali), maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Sunnah.”

Kesaksian ‘A’isyah tersebut tentang Amirul Mukminin ‘Ali As bahwa ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Sunnah juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitabnya aI-Isti’âb, Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawâ’iqul Muhriqah, al-Muhibb ath-­Thabari dalam kitabnya yang lain, yaitu ar-Riyâdhun Nadhrah, dan al-Khawarizmi dalam kitabnya al-Manâqib.

Dan al-Qunduzi al-Hanati meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari ‘A’ isyah bahwa ia berkata tentang ‘Ali, “Itulah sebaik-baik manusia, tidak ada yang meragukannya kecuali orang kafir.”

Kesaksian ‘Abdullah bin ‘Abbas

Al-Qunduzi al-Hanafi rneriwayatkan kesaksian Ibnu ‘Abbas tentang ‘Ali As dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Fashlul Khithâb, “Sesungguhnya al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf (bacaan). Pada setiap hurufnya terdapat ilmu lahir (zhâhir) dan ilmu batin, dan sesungguhnya ‘Ali rnenguasai iImu lahir dan batin.”[10]

Ia juga meriwayatkan dalam kitabnya yang sarna Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab ad-Durrul Manzhûm, karya al-Halabi asy-Syafi’i dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwa ia berkata, “Telah diberikan kepada Imam’ Ali As sembilan persepuluh bagian ilmu, dan sesungguhnya ia orang yang paling pandai dalam sepersepuluh bagian yang lain.”[11]

AI-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan ucapan ‘Abdullah bin’ Abbas semacam itu di dalam al-Isti’âb, ar-Riyâdhun Nadhrah, dan Mathâlibus Sa’ul.

Ia juga meriwayatkan dari kitab Syarhul Fathul Mubin seperti itu, di antaranya ia berkata, “Dahulu para sahabat Nabi Saw merujuk kepadanya-yakni kepada ‘AIi dalam hukum-hukum al-­Quran dan mengambil darinya fatwa-fatwa, sebagaimana ucapan ‘Umar pada beberapa kesempatan, “Seandainya tidak ada’ AIi, pasti binasalah ‘Umar.”

Al-Muhibb ath-Thabari juga meriwayatkan ucapan Ibnu ‘Abbas tersebut dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ.

Ibnu Abil Hadid AI-Mu’tazili meriwayatkan di dalam Syarh  Nahjûl Balâghah dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia pemah ditanya, “Bagaimana perbandingan ilmumu dengan iImu anak pamanmu ‘AIi?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Seperti setetes air hujan di samudra yang luas.”

Dan juga disebutkan dalam kitab Syifâ’ush Shudûr, karya an-Naqqas, yang diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata, “Sesungguhnya ‘Ali mengetahui iImu yang diajarkan kepadanya dari Rasulullah, dan Rasulullah Saw diajarkan ilmu dari Allah. Oleh karena itu, iImu Nabi berasal dari ilmu Allah, sedangkan iImu ‘Ali berasal dari iImu Nabi, dan iImuku berasal dari iImu ‘Ali. IImu para sahabat Muhammad dibandingkan dengan iImu ‘Ali adalah seperti setetes air di hadapan tujuh samudra.”

AI-Qunduzi juga meriwayatkan hal itu dalam kitabnya Yandâi’ul Mawaddah, bab ke-14, dari al-Kalbi dari Ibnu ‘Abbas.

AI-Muhibb ath- Thabari meriwayatkan dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia pemah ditanya tentang ‘Ali, maka ia menjawab, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-­Nya kepada Abul Hasan (‘Ali). Demi Allah, ia adalah panji petunjuk, tempat perlindungan orang-orang bertakwa, puncak gunung yang paling menjulang, tempat yang dituju, orang yang paling dermawan, puncak ilmu pengetahuan manusia, cahaya yang menyinari di dalam kegelapan, penyeru pada tujuan yang agung, dan orang yang berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat (al-‘urwatul wutsqâ). Ia adalah orang yang paling mulia yang bermunajat (kepada Tuhannya) sesudah Muhammad al-Mushthafa, orang yang ikut shalat dengan menghadap dua kiblat, ayah dari dua orang cucu Nabi Saw (al-Hasan dan aI-Husain), dan istrinya (Fatimah) adalah sebaik-baik wanita. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang mengunggulinya. Aku belum pemah melihat orang yang sepertinya dan belum pernah pula aku melihat orang yang menyamainya.”

Kesaksian ‘Abdullah bin Mas’ud

AI-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Mawaddatul Qurbâ, karya al-­Hamdani asy-Syafi’i dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa ia berkata, “Aku telah membaca tujuh puluh surah (al-Quran) dari lisan Rasulullah Saw, dan aku telah membaca sisanya dari orang yang paling pandai di kalangan umat ini setelah Nabinya Saw, ‘Ali bin Abi Thalib.”[12]

Riwayat ini juga disampaikan oleh AI-Khawarizmi al-Hanafi dan juga diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Farâ’idus Simthain, karya al-­Hamuyini asy-Syafi’i, dengan sanad dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Al-Quran ini telah diturunkan di dalam tujuh huruf (bacaan), di dalamnya ada ilmu lahir dan ilmu batin, dan sesungguhnya pada ‘Ali terdapat ilmu al-Quran, baik lahir maupun batin.”[13]

AI-Qunduzi al-Hanafi juga menyebutkan riwayat tersebut dari kitab Fashlul Khitâb dari Ibnu Mas’ud.

AI-Karajiki meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummâl dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Hikmah itu dibagi dalam sepuluh bagian; ‘Ali As diberi sembilan bagian, sedangkan orang-orang diberikan satu bagian, dan ‘Ali adalah orang yang paling pandai di dalam satu bagian tersebut.”
Disebutkan di dalam kitab al-Isti’âb dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Orang yang paling mengetahui tentang fara’idh (ilmu waris) di kalangan penduduk Madinah adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”

Kesaksian ath-Thâghiyah (Orang yang Zalim) Mu’awiyah

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Mu’awiyah bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mencurahkan ilmu yang banyak kepada ‘Ali.” Ia juga berkata, “Umar jika mengalami kesulitan, ia bertanya kepadanya, yakni kepada ‘Ali.”
Al-Muhibb ath-Thabari juga menyebutkan riwayat itu dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dengan sedikit perbedaan dalam redaksinya dan al-Hamuyini juga meriwayatkan dalam kitabnya Farâ ‘idus Simthain, jilid 1, bab ke-68.

Ibn Abil Hadid meriwayatkan dalam Syarh Nahjul Balâghah dari Mihfan ibnu Abi Mihfan adh-Dhabbi ketika ia berkata kepada Mu’awiyah, “Aku mendatangimu dari tempat seseorang yang paling kikir (yang ia maksud adalah ‘Ali).”

Lalu, Mu’awiyah berkata kepadanya, “Celaka engkau, bagaimana engkau dapat berkata bahwa sesungguhnya ia (‘ Ali) adalah orang yang paling kikir? Padahal ia adalah orang yang seandainya memiliki sebuah rumah dari emas dan sebuah rumah dari
jerami, niscaya ia akan menafkahkan rumahnya yang dari emas sebelum menafkahkan rumahnya yang dari jerami.

Ia adalah orang yang menyapu baitul mal dan mengerjakan shalat di dalamnya. Ia adalah orang yang berkata, ‘Hai emas dan perak, perdayakanlah orang selainku! Dan ia adalah orang yang tidak meninggalkan warisan, padahal seluruh isi dunia ada di tangannya, kecuali yang ada di Syam.”

Kesaksian Dhirar di Hadapan ath-Thâghiyyah Mu’awiyah

Ibnu ash-Shibagh al-Maliki meriwayatkan dalam kitabnya al-­Fushulul Muhimmah, Ibnu al-Jauzi dalam Tadzkiratul Khawwâsh, dan selain keduanya dari kalangan para penulis sejarah bahwa Dhirar bin Dhamrah pemah mendatangi Mu’awiyah. Lalu Mu’awiyah berkata Dhirar, “Ceritakanlah kepadaku tentang ‘Ali!”

Dhirar berkata, “Maafkanlah aku.  Aku tidak dapat menceritakannya kepadamu.”
Mu’awiyah berkata, “Tidak, engkau harus menceritakannya kepadaku.”

Maka, Dhirar berkata, “Baiklah aku akan menceritakannya kepadamu karena engkau telah memaksaku. Demi Allah, sesungguhnya ia (‘Ali) adalah orang yang berpandangan jauh, kuat kepribadiannya, fasih dalam berbicara, adil dalam memutuskan hukum, dan sumber ilmu pengetahuan. Ucapannya memancarkan hikmah. Ia menjauhi dunia dan keindahannya, menyukai kegelapan malam (untuk beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya). Ia banyak menangis dan panjang pikirannya, ia suka membolak-balikkan telapak tangannya dan berbicara pada dirinya. Ia lebih menyukai pakaian yang kasar dan makanan yang keras.Ia sederhana dalam penampilan, seperti layaknya seseorang di antara kami. Tidak ada pertanyaan kami yang tidak terjawab olehnya, dan jika kami mengundangnya, ia pasti datang.

Kami, demi Allah, walaupun kami sangat akrab dengannya dan ia pun sangat dekat kepada kami, tetapi kami hampir tidak pemah berbicara kepadanya karena kewibawaannya yang agung. Jika tersenyum, maka gigi-giginya seperti mutiara yang tersusun rapi. Ia memuliakan ulama dan mencintai kaum fakir miskin. Di sisinya, orang yang kuat tidak dapat berbuat semena-mena, sedangkan orang yang lemah tidak akan berputus asa dari keadilannya.

Aku bersaksi kepada Allah, sungguh pada suatu waktu, ketika malam sudah sunyi dan gelap gulita, ia memegangi janggutnya sambil berjalan mondar-mandir. Ia menangis tersedu-sedu, seperti tangisan orang yang sedang dirundung malang. Seakan-akan aku mendengarnya ia berkata, ‘Hai dunia, perdayakanlab orang lain selain diriku! Apakab engkau menolakku atau rindu kepadaku? Jauh, jauh. Sungguh, aku telah menalakmu dengan tiga kali talak, yang membuat aku tidak akan dapat  rujuk lagi kepadamu. Umurmu pendek, kehidupanmu hina, dan bahayamu besar. Ah, ah. Alangkah sedikitnya bekal, jauhnya perjalanan, dan gelapnya jalan.”

Kemudian, Mu’awiyab menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi janggutnya. Orang-orang yang hadir di majelis itu pun semuanya ikut menangis.

Kemudian Mu’awiyah berkata, “Semoga Allah merahmati Abul Hasan (‘Ali). Memang, demi Allah, ia seperti yang engkau katakan.” Lalu ia berkata, “Bagaimana kesedihanmu terhadapnya wahai Dhirar?”
Dhirar menjawab, “Seperti kesedihan seorang perempuan yang anaknya disembelih di pangkuannya. Tidak akan pernah berhenti tangisannya dan tidak akan pernah reda kesedihannya.”

Kesaksian ‘Amru bin ‘Ash

Para penulis sejarah dan manâqib, di antaranya: al-­Khawarizmi al-Hanafi dalam Manâqib-nya, menyebutkan bahwa Mu’awiyah menulis surat kepada ‘Amru bin’ Ash, yang isinya adalah bujukan agar ‘Amru bin’ Ash mau bergabung bersamanya dalam memerangi Imam’ Ali As. Kemudian, ‘Amru bin’ Ash membalas secara panjang lebar surat Mu’awiyah tersebut, yang di dalamnya ia menyebutkan keutamaan-keutamaan ‘Ali. Di antaranya, ia berkata, “Adapun seruanmu kepadaku untuk melepaskan tali ikatan Islam dari leherku, menceburkan diri di dalam kesesatan bersamamu, pertolonganku kepadamu di dalam kebatilan, dan menghunus pedang di wajah ‘Ali, sedangkan ia (‘ Ali) adalah saudara Rasulullah Saw, washiyy-nya, yang mewarisi ilmunya, yang membayarkan utangnya, dan yang melaksanakan janjinya.

Kemudian ‘Amr” bin’ Ash menyebutkan sabda-sabda Rasulullah Saw tentang ‘Ali As, seperti sabda Nabi Saw di Ghadir Khum,
“Ketahuilah’ Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka ‘Ali adalah maulanya (pemimpinnya) juga. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya. Musuhilah orang yang memusuhinya. Belalah orang yang membelanya. Dan telantarkanlah orang yang menelantarkannya.”
Sabda Nabi Saw, “Ya Allah. Datangkanlah kepadaku makhluk-Mu yang paling Engkau cintai agar ia makan bersamaku daging burung ini.” Lalu, datanglah ‘Ali, kemudian makan bersama Nabi Saw.

Sabdanya, “Ali adalah imam orang-orang yang berbakti dan yang memerangi orang-orang yang durhaka. Allah akan menolong orang yang menolongnya dan menelantarkan orang yang menelantarkannya.”

Sabdanya “‘Ali adalah pemimpin kalian sepeninggalku.”

Sabdanya, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka yang sangat berharga (tsaqalain) kepada kalian,  yaitu Kitabullâh dan Itrahti (keturunanku).”

Dan sabdanya, “Aku adalah kota ilmu sedangkan ‘Ali adalah pintunya.”
Kemudian ‘Amru bin ‘Ash menyebutkan kepada Mu’awiyah beberapa ayat al-Quran yang diturunkan berkenaan dengan ‘Ali. Di antaranya:
Firman Allah Swt,
..”Mereka menunaikan nazar…” (Qs. al-Insan [76]:7)
Firman Allah Swt,
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah,  Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat (sedekah) sementara mereka sedang melakukan ruku’.” (Qs. al-Maidah [5]:55)
Dan firman Allah Swt.,
“Katakanlah, “Aku tidak, meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Qs. asy-Syura [42]:23)
Kemudian ‘Amru bin’ Ash juga mel)yebutkan sdbda Nabi Saw. kepada ‘AIi, “Apakah engkau tidak rela bahwa kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Berdamai denganmu sama dengan berdamai denganku dan berperang denganmu sama dengan berperang denganku. Wahai ‘Ali barangsiapa mencintaimu, berarti ia mencintaiku; dan barang siapa membencimu, berarti dia membenciku. Barangsiapa mencitaimu, Allah akan memaslukkannya ke surga, dan barangsiapa membencimu, Allah akan menjebloskannya ke dalam neraka.”

Kemudian ‘Amru bin ‘Ash berkata kepada Mu’awiyah, “Dan suratmu wahai Mu’iiwiyah, yang ini adalah jawabannya, tidaklah dapat memperdayakan orang yang mempunyai akal dan agama.”
Perhatikanlah pemyataan orang yang licik lagi penipu ini, ‘Amru bin’ Ash, dan pengakuannya atas kebenaran yang dirampas, walaupun demikian ia tetap bersikeras di dalam kebatilan dan keluar dari imam zamannya, Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As, karena kerakusannya terhadap dunia.

Kesaksian Mu ‘awiyah Ats- Tsani, (Kedua)

AI-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari Ibnu al-Jauzi, dari al-Qadhi Abi Ya’la dalam kitabnya, ia berkata setelah menyebutkan perbuatan­-perbuatan keji yang dilakukan oleh Yazid, “Sesungguhnya Mu’awiyah bin Yazid ketika tampuk kekuasaan berpindah ke tangannya, ia naik ke mimbar, lalu ia berpidato, ‘Sesungguhnya kekhalifahan ini adalah tali Allah Ta’ala, dan sesungguhnya kakekku, Mu’awiyah, telah bersengketa dalam urusan ini (kekhalifahan) dengan pemangkunya yang sah dan orang yang lebih berhak daripadanya, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib.” [14]

Ad-Damiri meriwayatkan di dalam  Hayâtul Hayawân, ia berkata, “Sesungguhnya Mu’awiyah bin Yazid berpidato di atas mimbar di hadapan penduduk Syam, ia berkata, “Ketahuilah! Sesungguhnya kakekku, Mu’awiyah, telah bersengketa di dalam urusan ini (kekhalifahan) dengan orang yang lebih berhak daripadanya (‘Ali bin Abi Thalib As) dan daripada selainnya karena kekerabatannya kepada Rasulullah Saw dan keagungan keutamaannya serta orang yang paling dahulu memeluk Islam. Ia adalah tokoh Muhajirin yang paling besar kedudukannya, paling berani, dan paling banyak ilmunya.”

Dia adalah orang yang pertama kali beriman, paling mulia kedudukan, dan paling dahulu persahabatannya (dengan Rasulullah Saw). Ia adalah anak paman Rasulullah Saw, menantunya, dan saudaranya. Rasulullah Saw telah mengawinkannya dengan putrinya, Fathimah, dan menjadikannya sebagai suaminya. Dia adalah ayah dari kedua cucu Rasulullah Saw, pemuka pemuda ahli surga (al-Hasan dan al-Husain) dan dia adalah orang yang paling utama di kalangan umat.
AI-Khawarizmi juga menyebutkan riwayat yang semacam itu dalam kitabnya.

Kesaksian ‘Umar bin ‘Abdul’ Aziz

Ibnu al-Jauzi al-Hanafi menyebutkan dalam Tadzkiratul Khawâsh  dari  ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bahwa ia berkata, “Sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun dari kalangan umat ini sesudah Rasulullah Saw yang lebih zuhud daripada ‘Ali bin Abi Thalib…”

Ibnu Abil Hadid AI-Mu’tazili meriwayatkan di dalam syarahnya pada kitab Nahjul Balâghah tentang persidangan yang terkenal yang terjadi di persidangan ‘Umar bin’ Abdul’ Aziz. Ketika itu, ada seorang laki-laki yang bersumpah dengan sumpah talak terhadap istrinya bahwa ‘Ali As adalah orang yang paling baik dan orang yang paling utama di kalangan umat ini sesudah Nabinya Saw. Kemudian ayah si istri tersebut menyatakan bahwa ia (putrinya) telah jatuh talaknya dari suaminya tersebut. Kemudian, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengumpulkan orang-orang dari Bani Hasyim dan Bani Umayyah, lalu dia memaparkan kepada mereka masalah tersebut.

Saat itu, ada seorang dari Bani Hasyim dari keluarga ‘Aqil yang berdiri, dia berkata, “Sumpah laki-laki tersebut benar dan tidak jatuh talak terhadap istrinya itu.” Kemudian ia berhujah dengan hadis Nabi Saw bahwa ‘Ali adalah orang yang paling utama di kalangan umat ini.
Kemudian, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Engkau benar wahai ‘Aqil.”

Kesaksian Abu Ja’far al-Manshur

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul  Mawaddah, bab 65, dari kitab Fashlul Khithâb, karya Muhammad Khawiijah al-Bukhiiri, ketika menyebutkan manakib Imam Ja’far ash-Shadiq As dan setelah menyampaikan sanjungan dan pujian yang tinggi kepadanya serta menyifatkannya dengan ilmu yang berlimpah, ia berkata, “Pemah pada suatu malam, Abu Ja’far al-Manshur memanggil pembantunya seraya berkata,  “Hadapkanlah kepadaku Ja’far ash-­Shadiq sehingga aku dapat membunuhnya.!”

Muhammad Khawajah berkata, “Aku berkata, ia (Imam Ja’far ash-Shadiq As) adalah seorang laki-laki yang telah berpaling dari dunia dan menghadapkan dirinya untuk menyembah Tuhannya, maka ia tidak membahayakanmu.”

Al-Manshur berkata, “Sesungguhnya kamu berkata tentang keimamannya. Demi Allah, sesungguhnya ia imammu, imamku, dan imam seluruh makhluk, sedangkan kekuasaan itu membinasakan. Hadapkanlah ia kepadaku.”

Kemudian disebutkan dalam sebuah riwayat tentang kekeramatan yang agung yang terjadi pada diri Imam Ja’far ash-Shiidiq As.

Aku katakan, perhatikanlah dengan saksama penguasa yang zalim tersebut, Abu Ja’far al-Manshur, bagaimana Allah menjadikannya mengucapkan perkataan yang benar melalui lisannya sehingga ia mengakui keimaman al-Imam Ja’far ash-Shadiq As atas semua makhluk dari sisi Allah. Akan tetapi, setelah itu ia segera membunuhnya dengan meracuninya, kemudian ia menangisinya begitu mendengar kabar kewafatannya. Akan tetapi, dengan segera pula ia menulis surat kepada gubemumya di Madinah untuk membunuh orang yang mendapatkan wasiat (melanjutkan keimamannya) dari Imam Ja’far ash-Shadiq As.

Al-Khawarizmi meriwayatkan dalarn kitabnya al-Manâqib dari Sulaiman bin Mihran dari al-Manshur bahwa ia menceritakan kepadanya kekeramatan-kekeramatan ‘Ali, Fatimah, al-­Hasan, dan al-Husain ‘alaihimus salam dalam sebuah hadis yang sangat panjang. Pada akhir hadis itu dikatakan, Sulaiman berkata kepada al-Manshur,  “Apakah Anda menjamin keamanan saya?”
Al-Manshur berkata, “Ya, saya jamin keamanan kamu.” Sulaiman berkata, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang membunuh mereka itu (‘Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain ‘alaihimus salam)?”
Al-Mansur menjawab, “Ia pasti akan masuk ke dalam neraka, aku sarna sekali tidak meragukan hal itu.”

Sulaiman berkata, “Lalu bagaimana menurutmu tentang orang yang membunuh anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka?”
Al-Mansur menundukkan kepalanya, kemudian dia berkata, “Wahai Sulaiman, kekuasaan itu membinasakan.”

Kesaksian Harun ar-Rasyid

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Fashlul Khithâb, karya Muhammad Khawiijah al-Bukhari, tentang manâqib Ahlulbait ‘alaihimus salam, yang disebutkannya satu demi satu, dan keutamaan-keutamaan mereka yang banyak serta ilmu mereka yang melimpah. Di antaranya disebutkan manâqib Imam Musa al-Kazhim As setelah menyebutkan ilmu Imam Musa al-Kazhim As, kesabarannya, keutamaannya, dan ke­wara‘-annya serta kekeramatannya, al-Qunduzi berkata, “Al-Ma’mun meriwayatkan dari ayahnya, Harun ar-Rasyid, bahwa ia berkata kepada anak-anaknya tentang Musa al-­Kazhim, ‘Orang ini adalah imam manusia, hujah Allah atas makhluk-­Nya, dan khalifah-Nya atas hamba-hamba-Nya.  Aku adalah imam orang banyak secara lahiriah, dengan penguasaan, dan pemaksaan, sedangkan ia (Imam Musa al-Kazhim As), demi Allah, lebih berhak terhadap posisi Rasulullah Saw daripada aku dan daripada semua makhluk. Dan demi Allah, seandainya ia menentangku dalam urusan ini (kekhalifahan), niscaya aku akan membunuhnya karena sesungguhnya kekuasaan itu membinasakan.”[15]

Disebutkan di dalam bab yang sama, Harun ar-Rasyid berkata kepada al-Ma’mun “Wahai anakku, ini adalah orang yang mewarisi ilmu para nabi, ia ini adalah Musa bin Ja’far. Jika engkau menginginkan ilmu yang benar, engkau akan mendapatkannya pada orang ini (Musa bin Ja’far).”

Aku katakan, demi Allah ini adalah pengakuan yang terang­terangan dari seorang penguasa yang zalim tentang hak orang-orang yang diwasiatkan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, yaitu para Imam Ahlulbait.

Akan tetapi sangat disayangkan, orang yang mengakui hak imam, justru telah memenjarakannya berkali-kali dan berkali-kali pula menaruh raeun pada makanannya. Akhirnya, ia (Harun ar-Rasyid) memerintahkan As-Sanadi bin Syahik untuk membunuh Imam Musa al-Kazhim dengan racun, lalu ia pun melaksanakan perintah tersebut dengan membunuhnya dalam penjara, sebagaimana disebutkan oleh para sejarawan dari Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Pembunuhan yang disengaja terhadap Sang Imam ini, apalagi ia adalah hujah Allah atas makhluk-Nya, mewajibkan ar-Rasyid untuk kekal di dalam neraka jahanam.

Kesaksian al-Ma’mun

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah  surat al-Ma’mun yang ditujukannya kepada orang-orang dari Bani’ Abbasiyah, yaitu ketika mereka berupaya untuk membatalkan keputusannya mengangkat Imam’ Ali ar-Ridha sebagai putra mahkotanya. Dalam surat yang panjang lebar itu, al-Ma’mun menyebutkan keutamaan-keutamaan ‘Ali bin Abl Thalib As, di antaranya ia berkata,

“Ia (‘Ali bin Abl Thiilib a,s.) adalah orang yang paling mengetahui tentang agama Allah; ia adalah orang yang telah diangkat sebagai pemimpin (oleh Rasulullah Saw) di Ghadir Khum; ia adalah ‘diri’ Rasulullah Saw pada hari mubahalah (dengan kaum Nasrani Najran); dan Allah telah menghimpun untuknya manâqib dan ayat-ayat yang berisi pujian terhadapnya.

Kemudian, kami (Bani’ Abbasiyah) dan anak keturunan ‘Ali As dahulunya merupakan satu tangan sehingga Allah menakdirkan urusan ini (kekuasaan) kepada kami. Lalu kami mempersulit kepada mereka (anak keturunan ‘Ali As) dan kami telah membunuh mereka lebih banyak daripada pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Umayyah terhadap mereka.”

Kesaksian Abu Hanifah

Diriwayatkan dari kitab Manâqib Ali bin Abi Thâlib dalam biografi Imam Ja’far ash-Shadiq As dari Musnad Abi Hanifah disebutkan, “Al-Hasan bin Ziyad berkat,a, “Aku mendengar Abu Hanifah ketika ia ditanya tentang siapakah orang yang paling faqih yang pernah engkau lihat?”
Abu Hanifah menjawab, Ja’far bin Muhammad. Ketika ia (Ja’far bin Muhammad) dihadapkan kepadanya, al-Manshur mengutus seseorang menemuiku dengan pesan, ‘Wahai Abu Hanifah, sesungguhnya orang-orang telah diuji dengan Ja’far bin Muhammad, siapkanlah untuku masalah-masalah yang sulit! Lalu aku pun mempersiapkan empat puluh masalah, kemudian aku mengirimkannya kepada Abu Ja’far (al-Manshur), yang ketika itu sedang berada di Hirah.

Kemudian, aku mendatanginya, lalu aku memasuki majelisnya. Saat itu, aku melihat Ja’far (ash-Shadiq) duduk di sebelah kanannya, lalu ketika aku melihatnya, masuk ke dalam hatiku kewibawaan pada diri Ja’far (ash-Shadiq), yang tidak aku aku rasakan ketika aku melihat Abu Ja’far (al-Manshur). Lalu aku memberi salam kepadanya (Abu Ja’far AI-Manshur), kemudian ia memberi isyarat kepadaku, lalu aku pun duduk. Kemudian dia (al-Manshur) menoleh kepadaku seraya berkata, “Kemukakanlah masalah-masalahmu kepada Abu ‘Abdilah (Imam Ja’far Ash-Shadiq As)!”
Lalu, aku pun mengemukakan kepadanya masalah-masalahku satu per satu, ia pun menjawab masalahku. Ia (Imam Ja’far ash-­Shadiq As) berkata, “Kalian berpendapat demikian, sedangkan penduduk Madinah berpendapat demikian, dan kami berpendapat demikian…”
Demikianlah, kata Abu Hanifah, sehingga aku mengemukakan kepadanya empat puluh masalah yang aku hadapi dan tidak ada satu pun yang tidak terjawab olehnya.

Kemudian Abu Hanifah berkata, “Bukankah orang yang paling alim adalah yang paling mengetahui perbedaan orang-orang?”
Kesaksian Abu Hanifah ini juga diriwayatkan dengan sedikit perbedaan dalam teksnya, namun tidak mengubah maknanya, dari Jâmi’ Masânid Abi Hanifah, karya Qadhil Qudha al-Khawarizmi.

Kesaksian Malik bin Anas

Juga diriwayatkan dari kitab Manâqib Ali Abi Thâlib dalam biografi Imam Ja’far ash-Shadiq As bahwa Imam Malik bin Anas berkata, “Tidak pemah terlihat oleh mata, tidak pemah terdengar oleh telinga, dan tidak pula terlintas dalam hati manusia bahwa ada orang yang lebih utama daripada Ja’far ash-Shadiq, dalam hal keutamaan, ilmu, ibadah, dan ke-wara’-an.”

Kesaksian Ahmad bin Hanbal

Muhammad bin asy-Syafi’i bin Thalhah asy-Syafi’i meriwayatkan dalam kitabnya Mathâlibus Sa’ul dari Ahmad bin Hanbal bahwa ia berkata, “Tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat Rasulullah Saw, yang diriwayatkan berkenaan dengan keutamaan yang lebih banyak daripada ‘Ali. “

Kesaksian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i

Banyak ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang meriwayatkan dalam kitab-kitab karangan mereka bahwa Imam asy-Syafi’i pemah ditanya tentang Imam ‘Ali bin Abi Thalib, kemudiaan ia menjawab, “Apa yang harus aku katakan tentang seorang laki-laki yang musuh-musuhnya mengingkari keutamaannya karena kedengkian dan ketamakan mereka, sedangkan orang-orang yang mencintainya menyembunyikan keutamaannya karena ketakutan mereka. Akan tetapi, keutamaannya tersebar luas di antara kedua kelompok itu, yang meliputi barat dan timur.”

Berikut ini beberapa bait syait Imam Asy-Syiifi’i tentang keutamaan ‘Ali As dan Ahlulbaitnya, di antaranya yang disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Shawâ’iq-nya, ia berkata, “Berkata Imam as-­Syafi’i dalam pujiannya terhadap Ahlulbait Rasulullah Saw:
Wahai Ahli Bait Rasulullah, kecintaan terhadap kalian adalah suatu kewajiban dari Allah
Dalam Al-Quran yang diturunkan-Nya
Cukuplah keagungan yang besar bagi kalian bahwa barangsiapa yang tidak bershalawat kepada kalian, maka shalatnya tidak sah.
Di antaranya yang disebutkan oleh Ibnu ash-Shibagh al-Maliki dalam kitabnya al-Fushûlul Muhimmah bahwa Imam asy-Syafi’i berkata dalam salah satu bait syaimya, di antaranya:
Jika mencintai keluarga Muhammad dituduh sebagai Syi ‘ah, maka saksikanlah jin dan manusia bahwa sesungguhnya aku ini adalah Syi’ah.
Imam asy-Syafi’i juga berkata,
Seandainya al-Murtadha (‘Ali) menampakkan kedudukannya,
 niscaya orang-orang akan merebahkan diri seraya sujud kepadanya.
Dan asy-Syafi ‘i meninggal, sedangkan ia tidak tahu,
‘Ali Tuhannya ataukah Allah Tuhannya.
Imam asy-Syafi’!juga berkata,
Sampai mana aku dikecam, dan sampai kapan pula
Aku dicela karena kecintaanku kepada pemuda ini (‘Ali)?
Apakah Fatimah dinikahkan dengan orang selain ‘Ali?
Dan apakah ada  orang yang sepertinya?

Dan masih banyak lagi syair-syair yang dilantunkan oleh Imam asy-Syafi’i yang secara tegas menyebutkan keutamaan dan keagungan ‘Ali dan Ahlulbaitnya daripada orang-orang selain mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam kitab-kitab karangan mereka.[16]

Hal ini adalah sebagian kesaksian dari para tokoh besar umat manusia dan pemimpin mereka dalam hal keutamaan sosok pribadi agung ini (Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As), yang tidak ada yang mengunggulinya kecuali Muhammad Saw, dan tidak ada seorang pun yang akan dapat menyamainya.

Sekiranya kami tidak mencukupkan diri dengan apa yang telah kami sebutkan perihal kesaksian-kesaksian ini dari para tokoh besar dan cendekiawan umat, lalu kami terus berupaya menggali semua kesaksian mereka tentang Imam’ Ali As, niscaya kami akan memenuhi berjilid­-jilid besar buku tentang keagungan Amirul Mukminin ‘Ali As dan Ahlulbaitnya yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan kesalahan. Bahkan, kami pun tetap tidak akan mampu menyebutkan semua riwayat yang menyebutkan tentang keagungan mereka.

Akan tetapi, sesungguhnya riwayat dan kesaksian para tokoh besar dan ulama-ulama kenamaan itu yang telah kami sebutkan itu telah mencukupi bagi orang yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikan. []

[1] . Lihat,  Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-14.
[2] .  Idem, bab ke-59.
[3] . Hadis ini diperkuat oleh hadis Nabi Saw yang lain, yaitu sabdanya. “Aku adalah kota iImu, dan Ali adalah gerbangnya.”
[4] . Lihat,  Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-56, hal. 254.
[5] .  Ketika aku sedang menulis buku ini, aku mendapatkan dua risalah yang sangat bagus.  Salah satunya ditulis oleh Samahatul ‘Allamah al-Kabir al-Hujjah Asy-Syahir al-Mujahid as-Sayyid ‘Ali Naqi al-Haidari yang datang ke Baghdad (dan tinggal di sana). Risalah tersebut dinamakannya Madzhabu Ahlilbait. Yang kedua adalah karangan Samahatul ‘Allamah al-H!ujjah asy-Syarif al-Muhaqqiq al-Mujahid as-Sayyid al-­’Abbas al-Husaini al-Kasyani yang datang ke Karbala al-Muqaddasah (dan menetap di sana), Risalah tersebut dinamakannya asy-Syi’ah wal ‘Itrah ath-Thahirah. Aku sangat terkesan dan kagum terhadap kedua risalah tersebut karena keindahan susunan kalimatnya. Dalam kedua risalah tersebut. dipaparkan kesaksian-kesaksian tokoh-tokoh besar umat dan para pemimpin mereka tentang Ahlulbait,  yaitu ketinggian ilmu mereka, keutamaan mereka, dan lebih berhaknya mereka dalarn urusan kekhalifahan daripada selainnya. Di sini, aku telah mengutipkan apa yang rnemudahkan bagiku dari kedua kitab yang agung tersebut, yang sesuai dengan topik pernbahasan kita, persis apa yang tertulis dalam kedua kitab tersebut. Semoga Allah Swt. membalas amal kebaikan kedua sayid yang agung ini. Sayid aI-Haidari dan Sayid al-Kasyani, dengan sebaik-baik balasan.
[6]. Lihat, aI-Imam al-Bahrani,  Ghâyatul Marâm, bab ke-53.  
[7] . Lihat, Ibnu Hajar, ash-Shawâ’iqul Muhriqah, hal. 78.
[8] . Lihat, al-Muhibb ath-Thabari, Dzakhâ’irul ‘Uqbâ’, jilid 2, hal. 98.
[9] . Lihat, Târikhul Khulafâ, jilid 1, hal. 66
[10] . Lihat, al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-65.
[11] . Idem.,
[12] . Lihat, al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-56.
[13] . Idem., bab ke-14.
[14]. Lihat, AI-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, Bab ke-60
[15] . Lihat, Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-62.
[16] . Wahai kaum Muslim, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kalian. Sesungguhnya aku menasihatkan kepada kalian dengan nasihat yang tulus karena Allah Swt semata sebagaimana sabda Rasulullah Saw, ‘Agama tu nasihat.’ Lalu, seorang Muslim yang bijaksana sudah sepatutnya jika diajukan kepadanya suatu nasihat. niscaya ia akan menerimanya, walaupun nasihat itu berasal dari orang yang tidak sepaham dengannya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., ‘Ambillah nasihat walaupun dan mulut orang-orang kafir!’ Apalagj di antara sesama Muslim di antara kita. Kami adalah saudara kalian seagama dan kita disatukan oreh kalimat “La ilaha iIIallah Muhammadur Rasulullah” (tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah), kita semua juga mengerjakan semua yang diperintahkan oleh syariat. seperti: shalat. puasa, hajj, dan mengeluarkan zakat. Sesungguhnya kesaksian imam-imam ka!ian yang empat tentang keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali dan Ahlulbaitnya yang telah disucikan dan diberkati oleh Allah Swt, menunjukkan secara jelas bahwa mereka itu (Ali dan Ahllbaitnya) lebih layak untuk diikuti daripada se!ain mereka. Lalu, apa yang merugikan kalian wahai kaum Muslim seandainya ka1ian mengikuti mazhab Ahlulbait yang bersumber dari Rasulu!lah Saw? Seandainya mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali) itu selamat, maka mazhab Ahlulbait. mazhab yang benar ini, tentu lebih seJamat. Semoga salam sejahtera senantiasa dicurahkan kepada orang-orang yang mau mengikuti petunjuk.

Ahlul Kisa: Hidup Dalam Kemiskinan



Seorang lelaki dari beberapa sahabat Nabi SAW yang hidup dalam kemiskinan. Dahulu, dia tidak mempunyai pekerjaan yang layak dan kebanyakan waktu-waktunya terbuang secara percuma, akhirnya dia menjadi pengangguran. Suatu hari sang istri berkata kepadanya: Seandainya kamu pergi ketempat Nabi SAW dan mohonlah bantuan darinya! Lelaki tersebut berangkat ketempat Nabi SAW dengan anjuran sang istri. Sewaktu mata Nabi SAW tertuju kepadanya, beliau berkata: “Man sa alna a’athainaahu wa manistaghnaa aghnaahullah; Barang siapa yang menginginkan bantuan dari kami, kami akan menolongnya akan tetapi apabila dia tidak menampakkan kebutuhan dan hajatnya, dia tidak akan menengadahkan tangannya kepada orang lain, dan Tuhan akan menjadikan dia tidak butuh kepada orang lain.”

Lelaki itu berkata pada dirinya sendiri tentang apa yang di maksud oleh Nabi SAW, dia lalu menebak bahwa maksud Nabi SAW itu adalah dirinya dan tanpa berkata sepatah kata pun, dia kembali ke rumahnya dan mengatakan kepada sang istri tentang peristiwa tersebut. Istrinya berkata: Rasulullah SAW adalah juga manusia dan beliau tidak mengetahui kabar tentang kamu. Beritahukanlah kepada beliau tentang keadaan hidupmu yang malang dan penuh derita!

Lelaki tersebut terpaksa untuk yang kedua kalinya datang menemui Rasulullah SAW tetapi sebelum dia sempat berkata sesuatu, Rasulullah SAW mengulangi kembali perkataan sebelumnya. Dia kembali ke rumah tanpa menampakkan sedikitpun hajatnya di depan Nabi SAW tetapi karena dia melihat dirinya masih juga dalam cengkeraman kefakiran dan pengangguran, lemah dan tidak mampu, maka untuk yang ketiga kalinya dengan niat yang sama dia berangkat ke majelis Rasulullah SAW. Bibir Rasulullah SAW bergerak dengan nada yang sama dan memberikan keyakinan kuat pada hati dan ruh, beliau mengulangi kembali ucapannya. Kali ini memberikan keyakinan lebih kuat pada hatinya; dia merasakan bahwa kunci dari masalahnya terdapat pada kalimat ini. Tatkala dia meninggalkan majelis tersebut, dengan langkah-langkah yang pasti dan meyakinkan dia menelusuri jalan. Dia berpikir dengan dirinya sendiri bahwa dirinya tidak akan pergi lagi mencari dan memohon pertolongan kepada orang lain. Saya akan menyandarkan diri saya kepada Tuhan dan saya akan menggunakan kekuatan dan potensi yang telah tersimpan dalam diriku dan saya juga menginginkan dari-Nya agar diberikan keberhasilan dalam pekerjaan saya dan menjadikan saya tidak butuh kepada orang lain. Dengan niat ini, dia mengambil sebuah kapak pinjaman dan berangkat ke padang pasir. Hari itu dia mengumpulkan sejumlah kayu dan menjualnya dan merasakan kelezatan hasil dari jerih payahnya sendiri. Hari-hari berikutnya dia melanjutkan pekerjaan ini sehingga perlahan-lahan mampu menghasilkan pendapatan dan menyediakan kebutuhan hidupnya. Dia masih juga melanjutkan pekerjaannya sehingga dia telah memiliki modal, unta dan beberapa budak. Dia telah menjadi salah satu dari orang-orang kaya, dikarenakan usaha dan upayanya sepanjang hari. Suatu hari dia menemui Rasulullah SAW dan menceritakankan kepada beliau tentang keadaan dirinya bahwa sebagaimana pada hari itu dia datang menemui Rasulullah SAW dalam keadaan malang dan bagaimana ucapan Rasulullah SAW telah mendesak saya untuk bergerak dan bekerja. Rasulullah SAW berkata: Saya telah mengatakan kepadamu; barang siapa yang menginginkan bantuan dari kami, kami akan menolongnya tetapi apabila dia tidak menampakkan ketidakbutuhannya, maka Tuhan akan menolongnya.

Jumat, 29 Agustus 2014

Kumpulan Mukjizat Fatimah Az-Zahra as



Mengakui Kerasulan Ayah di Perut Ibu


Tatkala orang-orang kafir meminta Rasulullah saw membelah bulan, pada masa itu Sayyidah Khadijah mengandung Sayyidah Fathimah. Sayyidah Khadijah sangat bersedih hati mendengar permintaan orang-orang kafir itu seraya berkata, "Sungguh celaka orang-orang yang mendustakan Muhammad! Padahal dia adalah utusan Tuhanku."

Kemudian Sayyidah Fathimah berseru di perut ibunya, "Wahai ibu, jangan takut dan bersedih hati; karena Allah pasti menolong ayahku."

Ketika masa kehamilan Sayyidah Khadijah telah sempurna (sembilan bulan) dan tibalah masa kelahiran, Sayyidah Khadijah melahirkan Sayyidah Fathimah yang cahaya keindahannya menerangi dan menyinari seluruh alam semesta.

 

Berbicara dalam Rahim Ibu  


Sayyidah Fathimah berbicara dengan ibunya, Sayyidah Khadijah, sejak dalam rahim serta memberikan ketenangan dan ketenteraman ke dalam hatinya. Rasulullah saw bertanya kepadanya, "Dengan siapakah engkau bicara?"
Sayyidah Khadijah menjawab, "Janin yang ada dalam perut saya mengajak saya bicara dan menghibur hati saya. Malaikat Jibril memberitahu saya bahwa anak ini perempuan."

 

Berkah Makanan


Imam Ali menuturkan: Suatu hari, saya pergi ke pasar membeli daging seharga satu dirham dan sayur-mayur juga satu dirham, lalu membawanya ke rumah. Kemudian Fathimah mulai memasaknya. Sewaktu makanan telah siap dihidangkan, dia berkata, "Alangkah bahagianya hati saya jika saja saya mengajak ayah saya makan bersama."

Kemudian, saya pergi dan melihat Rasulullah saw sedang tidur dan berkata, "Dalam tidur, saya berlindung kepada Allah dari kelaparan."

Saya mengatakan, "Wahai Rasulullah! Datanglah ke tempat kami untuk makan bersama."
Lalu, kami pun pergi bersama hingga sampai di rumah Fathimah. Rasulullah saw bersabda kepada Fathimah, "Hidangkanlah makanan!"

Sayyidah Fathimah membawa semangkuk makanan dan meletakkannya di hadapan Rasulullah saw. Beliau membuka kain penutup mangkuk itu dan bersabda, "Ya Allah, berkatilah makanan kami!"
Kemudian, beliau bersabda, "Berikan sebagian makanan ini kepada Aisyah!"

Fathimah mengirimkan sebagian makanan itu untuk Aisyah. Kembali Rasulullah saw bersabda, "Berikan sebagian makanan ini kepada Ummu Salamah!"

Dia pun mengirimkannya untuk Ummu Salamah, hingga seluruh istri-istri Rasulullah saw beroleh bagian dari makanan tersebut. Setelah itu, Rasulullah saw bersabda, "Hidangkan makanan untuk ayah dan suamimu. Engkau juga harus makan dan bagikanlah makanan ini untuk para tetangga."

Fathimah menjalankan perintah Rasulullah saw. Namun, makanan tersebut tetap utuh seperti semula, bahkan kami memakannya selama beberapa hari.

Cahaya Memancar dari Selimut Sayyidah Fathimah  
Diriwayatkan bahwa Imam Ali meminjam sedikit gandum kepada seorang Yahudi dengan menggadaikan selimut Sayyidah Fathimah. Orang Yahudi itu lalu membawa selimut tersebut dan menyimpannya di rumahnya. Di waktu malam, istri lelaki Yahudi itu memasuki ruangan yang di dalamnya terdapat selimut Sayyidah Fathimah, untuk suatu keperluan. Tiba-tiba, dia melihat cahaya memancar yang menerangi ruangan tersebut. Bergegas dia menjumpai suaminya dan berkata kepadanya, "Saya melihat cahaya terang benderang di ruangan itu."

Suaminya juga terkejut dan lupa bahwa selimut Sayyidah Fathimah ada di ruangan tersebut. Dia segera bangkit dan memasuki ruangan serta melihat selimut tersebut memancarkan cahaya bak sinar rembulan yang hampir terbit. Dia terperanjat menyaksikan pemandangan itu, kemudian memeriksa tempat diletakkanya selimut itu dan mulai paham bahwa cahaya itu memang terpancar dari selimut tersebut. Orang Yahudi itu pergi dan memanggil kaumnya; sang istrinya juga mengundang kaumnya. Sekitar 80.000 orang Yahudi berkumpul. Tatkala menyaksikan kejadian ini, semuanya masuk Islam.

Gilingan Gandum Berputar Sendiri (1)  

Abu Dzar al-Ghiffari menuturkan: Rasulullah saw mengutus saya mencari (Imam) Ali. Saya pun pergi ke rumahnya dan memanggilnya. Namun, beliau tidak menjawab seruan saya. Lalu, saya melihat gilingan gandum berputar dengan sendirinya tanpa ada yang menggerakkannya. Kembali saya memanggilnya dan beliau pun keluar. Kami pun pergi bersama menemui Rasulullah saw. Rasulullah saw menghadap ke arah (Imam) Ali dan mengatakan sesuatu kepadanya yang tak saya mengerti.

Saya berkata, "Sungguh menakjubkan, gilingan gandum berputar dengan sendirinya."
Saat itulah, Rasulullah saw bersabda, "Allah Swt memenuhi hati dan anggota tubuh putriku, Fathimah, dengan iman dan keyakinan. Tatkala Allah mengetahui kelemahan (fisik)nya, pada hari kiamat kelak Dia membantu dan mencukupi kebutuhannya. Tahukah engkau bahwa Allah Swt menjadikan para malaikat untuk membantu keluarga Muhammad?"

Gilingan Gandum Berputar Sendiri (2)  

Abu Saleh al-Muadzin menukilkan keutamaan dan kelebihan Sayyidah Fathimah al-Zahra: Maimunah, istri Rasul Mulia saw menuturkan:
Rasulullah saw memberikan sedikit gandum kepada saya dan menyuruh saya ke rumah Fathimah untuk menggiling gandum tersebut. Saya melihat Fathimah berdiri dan gilingan gandum berputar dengan sendirinya. Saya pun menceritakan kejadian ini kepada Rasul Mulia saw.

Beliau berkata, "Allah Swt mengetahui kelemahan (fisik) dan ketidakmampuan Fathimah. Karenanya, Dia perintahkan kepada gilingan gandum agar berputar dengan sendirinya. Gilingan itu pun berputar atas perintah Allah Swt."

Bergabung dalam Mubahalah  
Sekelompok kaum Nashrani Najran (Yaman) datang menemui Rasulullah saw. Tiga orang uskup besar mereka bernama Aqib, Muhsin, dan Asqaf pun datang. Dua orang tokoh terkenal Yahudi juga hadir bersama mereka untuk melontarkan beberapa pertanyaan kepada Rasulullah saw.

Asqaf bertanya, "Wahai Abul Qasim, siapa ayah Musa?"
Rasulullah saw menjawab, "Imran."
Dia bertanya, "Siapa ayah Yusuf?"
Beliau menjawab, "Ya'qub."
Dia bertanya, "Ayah dan ibu saya menjadi tebusan Anda, siapa ayah Anda?"
Beliau menjawab, "Abdullah, putra Abdul Muththalib."
Asqaf bertanya, "Siapa ayah Isa?"
Rasulullah saw diam. Malaikat Jibril pun turun dan berkata, "Dialah ruh dan kalimat Allah."
Asqaf bertanya, "Mungkinkah terjadi ruh tanpa melalui seorang ayah?"

Rasulullah saw diam. Pada saat itulah turunlah wahyu: Sesungguhnya penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah (seorang manusia)," maka jadilah dia.(Ali Imran: 59)

Tatkala Rasulullah saw membacakan ayat ini, Asqaf berdiri meninggalkan tempat duduknya. Sebab, dia tidak bisa terima bahwa Isa tercipta dari tanah. Kemudian, dia berkata, "Wahai Muhammad! Kami tak menemukan hal ini dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur. Hanya engkau yang berpendapat seperti ini."

Kemudian Allah Swt mewahyukan: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (Ali Imran: 61)

Asqaf dan orang-orang yang bersamanya mengatakan, "Wahai Abul Qasim, engkau berlaku Adil. Maka, tentukan waktu mubahalah itu!"
Rasulullah saw berkata, "Insya Allah, besok pagi."

Keesokan harinya, usai shalat Subuh, Rasulullah saw menggandeng tangan Imam Ali, sementara pemuka kaum wanita semesta alam, Sayyidah Fathimah, di belakangnya, Imam Hasan di samping kanan, dan Imam Husain di samping kiri. Beliau berkata kepada mereka, "Ketika saya berdoa, ucapkanlah amin!"

Kemudian, Rasulullah saw berlutut untuk memanjatkan doa. Tatkala kaum Nasrani menyaksikan kedatangan lima orang suci itu, mereka menyesal dan mengadakan rapat di antara mereka. Mereka berkata, "Demi Tuhan! Dia seorang nabi. Jika kita bermubahalah dengannya, Tuhan pasti mengabulkan doa mereka dan kita semua bakal musnah hingga tak seorang pun di antara kita yang selamat dari kutukannya. Sebaiknya, kita berdamai dengannya dan mengundurkan diri dari mubahalah."

Menyiapkan Makan  

Qutub al-Rawandi meriwayatkan dengan sanad otentik dari Jabir bin Abdillah al-Anshari: Selama beberapa hari, Rasulullah saw tidak makan dan rasa lapar sangat menguasai beliau. Kemudian, beliau pergi ke rumah istri-istri beliau, namun tak menemukan makanan. Lalu, beliau pergi ke rumah Sayyidah Fathimah dan bertanya, "Wahai putri kesayanganku, apakah engkau punya makanan yang bisa kumakan?" Sebab, rasa lapar melemahkan tubuhku."

Sayyidah Fathimah menjawab, "Tidak ada, demi Allah, saya tidak punya makanan, jiwa saya sebagai tebusan Anda."

Rasulullah saw keluar dari rumah Sayyidah Fathimah. Tak lama kemudian, seorang budak wanita memberikan kepada Sayyidah Fathimah dua potong roti dan sekerat daging. Kemudian, Sayyidah Fathimah menyimpannya dalam mangkuk besar dan menutupinya dengan kain. Dia berkata, "Demi Allah, aku lebih mementingkan Rasulullah saw ketimbang diriku sendiri dan anak-anakku, meskipun semuanya kelaparan dan butuh makan."

Sayyidah Fathimah mengutus al-Hasan dan al-Husain untuk mencari Rasulullah saw. Tatkala Rasulullah saw datang, Sayyidah Fathimah mengatakan, "Wahai ayah! Setelah kepergian Anda, Allah Swt menganugrahkan makanan kepada saya. Saya menyimpannya untuk Anda dan lebih mendahulukan Anda ketimbang anak-anak saya."

Rasulullah saw bersabda, "Bawa kemari makanan itu, wahai putriku!"
Tatkala Rasulullah saw membuka kain penutup mangkuk besar itu, dengan kuasa Allah, mangkuk itu pun penuh dengan roti dan daging. Sewaktu menyaksikan hal itu, Sayyidah Fathimah terkejut. Dia yakin, makanan itu datang dari sisi Allah. Setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah saw, Sayyidah Fathimah membawa makanan itu ke hadapan Rasulullah saw.

Rasulullah saw melihat mangkuk besar itu penuh dengan makanan, beliau pun bersyukur kepada Allah Swt. Lantas, beliau bertanya, "Dari mana engkau memperoleh makanan ini?"
Sayyidah Fathimah menjawab, "Dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendakinya tanpa perhitungan."

Kemudian Rasul Mulia saw mencari Amirul Mukminin Ali. Rasulullah, Amirul Mukminin Ali, Sayyidah Fathimah, al-Hasan, al-Husain, dan seluruh istri Nabi saw menyantap makanan itu sampai kenyang.

Sayyidah Fathimah menuturkan: "Makanan dalam mangkuk itu tetap utuh dan tak berkurang sama sekali. Bahkan, saya bisa mengeyangkan perut para tetangga. Sungguh, Allah melimpahkan kebaikan dan berkah pada makanan tersebut."

Menghidupkan Pengantin Wanita  

Suatu hari, Rasulullah saw duduk di samping Kabah seraya meratap dan merintih di hadapan Allah Swt. Sekelompok pembesar dan bangsawan Mekah datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Dengan wajah ceria dan sikap ramah, Rasulullah saw menjawab salam mereka. Mereka mengatakan, "Wahai Nabi Islam dan kebanggan alam semesta! Kami datang kepada Anda untuk mengabarkan bahwa kami akan melangsungkan akad dan resepsi pernikahan antara putri fulanah dengan putra fulan yang keduanya berasal dari pembesar dan bangsawan Arab. Kami bermaksud mengundang putri Anda untuk menghadiri acara tersebut. Perkenankanlah dia datang ke pesta pernikahan tersebut dan kehadiran putri Anda akan menghiasi majlis kami dan menerangi rumah kami."

Rasulullah saw bersabda, "Bersabarlah! Saya akan pergi ke rumah putriku, Fathimah, dan memberitahukan padanya perihal undangan kalian ini. Jika dia berniat datang, maka saya akan beritahu kalian."

Rasulullah saw pergi ke rumah putrinya, Sayyidah Fathimah. Sesampainya di sana, beliau mengucapkan salam dan menceritakan padanya perihal undangan para pembesar Arab untuk acara pernikahan itu. Beliau ingin mengetahui pendapat putrinya, apakah dia hendak menghadiri acara pernikahan tersebut atau tidak?

Sejenak Sayidah Fathimah tenggelam dalam pikirannya. Lantas, dia berkata, "Jiwa saya sebagai tebusan Anda, wahai kekasih Allah yang Mahamulia! Wahai pemberi syafaat seluruh umat manusia. Saya berpikir bahwa undangan pernikahan mereka bertujuan untuk mengejek dan memperolok-olok diri saya. Sebab, para wanita dan gadis-gadis bangsawan Arab pada pesta pernikahan itu mengenakan pakaian mewah dan mahal, serta berhias diri dengan emas dan permata. Mereka berkumpul di samping pengantin wanita dengan angkuh dan sombong. Akan tetapi, saya tak punya apa-apa selain pakaian usang bertambal dan sepatu yang rusak pula untuk pergi ke sana. Jika saya datang dengan penampilan seperti ini, mereka pasti memperolok-olok, menghina, dan mengejek diriku."

Tatkala Rasulullah saw mendengar penuturan putrinya, Fathimah al-Zahra, hatinya pun sedih. Beliau menarik nafas panjang dan meneteskan air mata.

Dalam kondisi seperti itu, Malaikat Jibril datang sisi dari Allah menjumpai Rasulullah saw seraya mengatakan, "Wahai Rasulullah! Allah yang Mahaagung lagi Mahatinggi menyampaikan salam padamu dan Fathimah, dan Dia berfirman: Katakanlah pada Fathimah, agar dia mengenakan pakaian yang dia miliki dan pergi ke acara pernikahan. Sesungguhnya Kami menyimpan hikmah dalam hal ini."

Rasul Mulia saw menyampaikan pesan Allah ini kepada putrinya, Sayyidah Fathimah al-Zahra. Sayyidah Fathimah al-Zahra berkata, "Apapun perintah Allah, saya pasti melaksanakannya. Saya menerima keputusan dan perintah-Nya dengan segenap jiwa dan hati saya."

Sayyidah Fathimah melakukan sujud syukur, kemudian berdiri dan mengenakan pakaian usang dan bertambal. Setelah itu, dia minta izin kepada ayahnya untuk menghadiri acara pernikahan tersebut. Dalam kondisi seperti itu, para malaikat langit ketujuh meratap dan merintih di hadapan Allah seraya berkata, "Ya Allah, janganlah Engkau permalukan dan hancurkan hati putri Nabi akhir zaman yang merupakan kekasih-Mu dan Engkau memilihnya sebagai penghulu kaum wanita semesta alam. Kami tak tega melihatnya bersedih hati."
Saat itulah, Allah Swt memerintahkan kepada malaikat Jibril agar secepatnya mengambil pakaian dari surga dan turun ke bumi bersama ribuan bidadari yang bertugas memakaikan pakaian surga pada tubuh Sayyidah Fathimah, sehingga putri Nabi saw datang ke acara pernikahan dengan agung dan terhormat.

Malaikat Jibril mematuhi perintah Allah dan segera menemui Sayyidah Fathimah bersama seribu bidadari. Malaikat Jibril menyampaikan salam Allah. Wanita agung itu pun mengenakan pakaian surga. Sayyidah Fathimah pun datang ke acara pernikahan itu dengan penuh keagungan dan kemuliaan. Para bidadari mengambil berkah dari tanah bekas jejak langkah kaki Sayyidah Fathimah dan mengusapkannya pada mata mereka, lalu berjalan di samping wanita terbaik semesta alam itu. Para bidadari tampak riang dan gembira. Masing-masing menampakkan kecintaannya kepada wanita suci itu. Mereka pun menebarkan wewangian surgawi pada tubuh suci Sayyidah Fathimah dan bangga atas apa yang telah mereka lakukan.

Tatkala menyaksikan semua kemuliaan, keagungan, pakaian, dan wewangian surgawi, Sayyidah Fathimah merasa bahagia dan bersyukur kepada Allah. Lisannya tak henti-henti bersyukur kepada Allah, Sang Pemilik keagungan.

Ketika hampir tiba di rumah pengantin wanita, cahaya suci mereka menerangi seluruh wanita yang hadir dalam acara itu. Seluruh wanita memandangi wajah dan pakaian Sayyidah Fathimah yang memancarkan cahaya dengan penuh kagum dan terpesona. Secara spontan, mereka menyambut wanita agung ini hingga tak seorang pun mendampingi pengantin wanita. Sebagian menciumi tangan dan kaki Sayyidah Fathimah serta mengantar masuk pemuka para wanita ini ke dalam majlis pernikahan dengan penuh penghormatan dan kemuliaan.

Meski para wanita bangsawan mengenakan pakaian mewah dan mahal, namun tatkala melihat pakaian wanita agung itu, sifat hasut dan dengki merasuki hati mereka. Bahkan, pengantin wanita tak sanggup menanggung malu dan akhirnya jatuh pingsan ke tanah dari kursi yang didudukinya. Ketika orang-orang datang mengelilinginya untuk melihat keadaannya, ternyata pengantin wanita itu telah meninggal dunia. Kaum wanita menjerit dan meratap. Semua menangis dan berkata, "Fathimah al-Zahra telah menyebabkan seluruh wanita tertuju padanya sehingga pengantin wanita meninggal dunia lantaran menahan amarah."

Sayyidah Fathimah terkejut menyaksikan kejadian tersebut dan bersedih atas kematian pengantin wanita itu. Tanpa menunda, Sayyidah Fathimah bangkit dan segera berwudu. Setelah itu, dia mendirikan shalat (hajat) dua rakaat dengan disaksikan oleh mereka. Dalam sujudnya, dia memohon, "Ya Allah, demi kemuliaan dan keagungan-Mu! Demi kesucian dan kemuliaan ayahku, Rasulullah dan suamiku, Amirul Mukminin Ali al-Murtadha! Demi keutamaan kepatuhan dan ibadah hamba-hamba pilihan-Mu! Hidupkanlah pengantin wanita ini dan selamatkan daku dari fitnah!"

Sayyidah Fathimah masih bersujud dan tenggelam dalam munajatnya tatkala tiba-tiba mereka melihat pengantin wanita itu bergerak dan bersin. Dengan izin Allah, pengantin wanita itu berdiri dan menjatuhkan diri di hadapan pemuka kaum wanita, kekasih Allah, putri Rasulullah, istri Amirul Mukminin Ali, ibu para imam, Fathimah al-Zahra, seraya berkata, "Salam sejahtera bagi Anda, wahai putri Rasulullah. Salam sejahtera bagi Anda, wahai suami kekasih Allah, Amirul Mukminin Ali. Saya bersaksi bahwa Allah Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya. Saya bersaksi bahwa ayah Anda Muhammad bin Abdillah adalah rasul dan utusan-Nya. Dan saya bersaksi bahwa engkau, suami Anda, dan anak-anak Anda berada di atas jalan kebenaran. Barangsiapa yang menempuh jalan kekafiran, kemusyrikan, dan penyembahan berhala, maka dia berada di atas kebatilan. Saya menyatakan masuk Islam di hadapan Anda."

Hari itu, 700 orang pria dan wanita di antara keluarga dan kerabat pengantin wanita dan pria itu memeluk agama Islam. Tatkala kejadian ini tersebar ke kota-kota lain, banyak orang yang masuk Islam. Ketika acara pernikahan usai, Sayyidah Fathiimah al-Zahra pulang ke rumah dan menceritakan seluruh kejadian acara pernikahan itu kepada ayahnya.

Setelah mendengar apa yang terjadi dari Sayyidah Fathimah, Rasulullah saw bersujud syukur seraya memuji Allah Swt. Beliau mendekap putrinya di dadanya seraya berkata, "Wahai cahaya mataku, dari apa yang engkau ceritakan, ribuan kali bahkan lebih aku berharap kepada Allah agar (itu) terjadi padamu."

Makanan Ghaib  

Al-Hasan dan al-Husain tak makan selama tiga hari dan tubuh mereka pun lemas lantaran kelaparan. Kemudian, mereka minta sesuatu kepada ibu mereka. Karena di rumah tak ada sesuatu yang bisa dimakan, Sayyidah Fathimah berusaha menghibur anak-anaknya dengan berkata, "Kakek kalian akan datang dengan membawa sesuatu untuk kalian."

Tak lama kemudian, mereka kembali meratap, sehingga Sayyidah Fathimah merasa iba dan meneteskan air mata. Lalu, Sayyidah Fathimah mengumpulkan beberapa batu kerikil dan memasukkannya ke dalam kuali berisikan air serta memanaskannya di atas api. Dia melakukan itu untuk menghibur hati anak-anaknya. Dia berkata, "Anakku sayang, bersabarlah! Masakan belum matang."

Al-Hasan dan al-Husain keluar rumah. Selang beberapa lama, mereka datang dan berkata kepada ibu mereka, "Jika makanan sudah matang, hidangkanlah untuk kami."

Wanita agung itu berkata, "Sampai sekarang belum matang. Bersabarlah sampai makanan itu matang."

Imam Hasan mendekati kuali itu dan mengangkat tutupnya seraya berkata, "Ibu, makanan sudah matang atau belum? Bawakanlah sedikit agar kami bisa memakannya."

Sayyidah Fathimah mengangkat tutup kuali itu dan berkata, "Makanan sudah matang…"
Tatkala Sayyidah Fathimah membuka tutup kuali itu, dia melihat makanan sudah matang dan mengeluarkan aroma sedap. Dia pun segera mengambil makanan itu dan menghidangkannya untuk al-Hasan dan al-Husain. Mereka pun mulai menyantap makanan itu. Sementara, Sayyidah Fathimah kembali berwudu dan melakukan shalat sebagai tanda syukur atas karunia Allah. Saat berita ini terdengar oleh Rasulullah saw, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah! Seperti inilah dirimu, wahai Fathimah, sebagaimana keturunan para nabi dan wali Allah sebelumnya."


Malaikat Menggerakkan Buaian  


Diriwayatkan, terkadang, ketika Sayyidah Fathimah sedang mendirikan shalat, bayinya menangis. Akan tetapi, buaian bayi itu pun bergerak dengan sendiri. Ternyata, para malaikatlah yang menggerakkan ayunan tersebut.

Api Neraka Diharamkan Bagi Sayyidah Fathimah  
Suatu hari, Aisyah masuk ke rumah Sayyidah Fathimah. Saat itu, putri Nabi saw sedang sibuk mengadoni gandum, susu, dan minyak untuk membuat makanan. Periuk berada di atas kompor dan api pun menyala. Sayyidah Fathimah mengaduk adonan makanan di dalam periuk panas itu dengan tangannya.

Aisyah pergi meninggalkan Sayyidah Fathimah dengan ketakutan dan gelisah. Dia pergi menemui ayahnya, Abu Bakar dan berkata, "Ayah, aku melihat sesuatu yang mengejutkan pada diri Fathimah. Dia mengaduk dengan tangannya sendiri adonan makanan yang berada dalam kuali panas di atas api."
Abu Bakar berkata, "Putriku, rahasiakanlah hal yang merupakan perkara penting ini."

Berita ini pun sampai ke telinga Rasul Mulia saw. Kemudian, beliau naik ke mimbar. Setelah memuji Allah, beliau bersabda, "Orang-orang membesar-besarkan dan merasa heran melihat periuk (panas) dan api. Demi Allah yang mengutusku dengan kenabian! Demi Allah yang memilihku dengan kerasulan! Allah Swt mengharamkan api neraka bagi daging, darah, rambut, urat, dan tubuh Fathimah, serta menjauhkan anak keturunan dan pengikutnya dari api neraka. Sebagian anak keturunan Fathimah memiliki peringkat dan kedudukan yang menjadikan mereka mampu memerintah api, matahari, dan bulan. Para jin tunduk di hadapannya, para nabi memenuhi janji mereka sehubungan dengannya, bumi dan segala kekayaannya pasrah di hadapannya, dan langit menurunkan berkahnya kepadanya. Celaka! Celaka! Celakalah bagi orang yang ragu dan bimbang atas keutamaan dan kelebihan Fathimah. Laknat Allah ditimpakan kepada orang yang memusuhi suaminya, Ali bin Abi Thalib, dan tidak puas dengan kepemimpinan anak keturunannya. Sesungguhnya Fathimah mempunyai tempat tinggal (di surga) dan para pengikutnya juga akan memiliki tempat tinggal yang terbaik. Sesungguhnya Fathimah berdoa di sisiku dan memberikan syafaat. Syafaatnya diterima (di sisi Allah) meskipun diberikan kepada orang yang menentangnya."


Hidangan Langit  


Dalam penafsiran atas ayat: Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, dia dapati makanan di sisinya… Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya (al-Kabir) menukilkan dari Rasulullah saw: Pada musim kemarau yang menimpa Madinah, rasa lapar melemahkan tubuhku. Fathimah al-Zahra mengirimkan semangkuk makanan untukku. Aku ambil makanan itu dan datang ke rumah Fathimah. Setibanya di sana, aku memanggilnya. Dia pun datang dan membuka kain penutup mangkuk itu. Aku melihat mangkuk itu penuh dengan daging dan roti. Aku terkejut dan menyadari bahwa makanan ini adalah hidangan dari langit. Lantas aku bertanya kepada Fathimah, "Dari mana engkau memperoleh makanan ini?"

Fathimah menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."
Aku pun meneteskan air mata dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang menjadikanmu serupa dengan Maryam."

Kemudian aku mengundang Ali, al-Hasan, al-Husain, dan seluruh tetangga. Semuanya makan sampai kenyang, sementara makanan itu tetap utuh. Fathimah mengirimkan makanan itu untuk seluruh tetangganya. Hari itu, orang-orang yang kelaparan menjadi kenyang berkat kemuliaan Fathimah al-Zahra.

Hadiah Allah untuk Sayyidah Fathimah  
Ibnu Abbas meriwayatkan: Suatu hari, saya sedang duduk-duduk bersama Rasul Mulia saw. (Imam) Ali, (Sayyidah) Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain duduk di hadapan beliau.

Waktu itu, Malaikat Jibril turun sambil membawa buah apel untuk Rasulullah saw dan mengucapkan salam kepada Rasul Mulia saw. Rasulullah saw menghadiahkan apel tersebut kepada (Imam) Ali. (Imam) Ali mencium apel itu. Seraya berterima kasih, (Imam) Ali mengembalikan apel itu kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw menghadiahkan apel itu kepada al-Hasan. Al-Hasan juga mencium apel itu dan mengembalikannya kepada Rasulullah saw seraya mengucapkan terima kasih. Rasulullah saw lalu menghadiahkan apel itu kepada al-Husain. Al-Husain mengambil apel itu dan menciumnya. Setelah itu, dia juga mengembalikannya kepada Rasulullah saw seraya mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. Lalu, Rasulullah saw menghadiahkan apel itu kepada (Sayyidah) Fathimah. (Sayyidah) Fathimah mengambil apel itu, menciumnya, dan mengembalikannya kepada Rasulullah saw.

Kembali Rasulullah saw menghadiahkan apel itu kepada (Imam) Ali bin Abi Thalib. Tatkala (Imam) Ali hendak mengembalikan apel itu kepada Rasulullah saw, tiba-tiba apel itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. Apel itu terbelah menjadi dua dan sebuah cahaya memancar darinya hingga menembus langit pertama. Pada saat itulah, saya melihat tulisan pada apel itu yang menyatakan: Dengan menyebut asma Allah yang Mahakasih lagi Mahasayang. Apel ini merupakan hadiah dari Allah yang Mahatinggi untuk Muhammad al-Mushtafa, Ali al-Murtadha, Fathimah al-Zahra, al-Hasan, dan al-Husain. Dan juga merupakan jaminan keselamatan dari siksa api neraka pada hari kiamat bagi orang-orang yang mencintai mereka.

Salam Bidadari Untuk Sayyidah Fathimah  
Salman al-Farisi menuturkan: Saya pergi ke rumah Sayyidah Fathimah.
Beliau as berkata, "Sepeninggal ayahku, mereka menzalimiku."
Kemudian beliau berkata kepadaku, "Duduklah!"

Saya pun duduk. Kembali beliau berkata kepadaku, "Kemarin, saya sedang duduk dan pintu rumah tertutup. Saya tengah berfikir tentang terputusnya wahyu dari kami dan perginya malaikat dari rumah kami semenjak ayahku wafat. Tiba-tiba, pintu terbuka tanpa ada orang yang membukanya. Tiga bidadari surga masuk ke rumah seraya berkata, 'Kami bidadari dari Dârus Salâm. Tuhan semesta alam mengutus kami untuk menemuimu dan kami sangat merindukanmu, wahai putri Muhammad.'"

"Saya bertanya kepada salah satu di antara mereka yang usianya lebih tua, 'Siapa namamu?' Dia menjawab, 'Saya Maqdurah dan diciptakan untuk Miqdad bin Aswad.' Saya bertanya pada yang kedua, 'Siapa namamu?' Dia menjawab, 'Saya Dzurrah dan diciptakan untuk Abu Dzar al-Giffari.' Saya bertanya kepada yang ketiga, 'Siapa namamu?' Dia menjawab, 'Saya Salma dan diciptakan untuk Salman al-Farisi.'"

"Mereka mengeluarkan nampan yang di atasnya terdapat kurma seperti roti-gula yang warnanya lebih putih dari salju dan aromanya lebih harum dari minyak wangi misik. Saya menyimpan bagian untukmu (lantaran engkau termasuk dari kami, Ahlul Bait). Berbukalah puasa dengan kurma ini dan besok bawakan bijinya untukku."

Saya (Salman) mengambil kurma itu dan pergi. Setiap kali saya melewati sekelompok orang, mereka bertanya, "Apakah engkau punya minyak wangi misik?"
Kemudian, saya berbuka puasa dengan memakan kurma itu. Namun, saya tak menemukan biji di dalamnya. Keesokan harinya, saya datang menemui Sayyidah Fathimah dan berkata, "Wahai putri Rasulullah, tak ada biji di dalam kurma itu."

Beliau berkata, "Kurma itu berasal dari sebuah pohon yang ditanam Allah untukku di surga lantaran satu ucapan yang Rasulullah saw ajarkan padaku."

Kutukan Sayyidah Fathimah Bagi Musuh al-Husain as  
Perawi menuturkan: Seorang lelaki yang kedua tangan dan kakinya terputus serta kedua matanya buta, dengan nada sedih berteriak, "Wahai Tuhan pemeliharaku, selamatkan daku dari api neraka."

Seseorang berkata kepadanya, "Tak ada ganjaran siksa yang tersisa untukmu. Namun engkau berkata, 'Wahai Tuhan Pemeliharaku, selamatkan daku dari api neraka?!'"

Dia menjelaskan, "Waktu itu, saya berada di Karbala. Tatkala al-Husain terbunuh, saya melihat celana dan tali pengikat berharga di tubuhnya. Seluruh pakaiannya telah dirampas dan hanya tersisa celana tersebut. Menyembah dunia memaksaku untuk merampas tali pengikat berharga itu. Saya mendekati jasad al-Husain untuk menarik keluar tali pengikat itu. Saya melihat al-Husain (yang sudah terbunuh) mengangkat tangan kanannya dan memegang tali pengikat itu.

Saya pun tak mampu menarik tali pengikat itu. Saya melihat al-Husain mengangkat tangan kirinya dan memegang tali pengikat itu. Apapun yang saya lakukan, tak mampu mengangkat kedua tangannya dari tali pengikat tersebut. Lantas saya memotong tangan kirinya untuk mengambil tali pengikat itu secara paksa. Tiba-tiba saya mendengar suara gempa menakutkan. Saya ketakutan dan menyingkir. Malam harinya, saya tidur di tempat itu, di samping tubuh-tubuh terpotong para syuhada."

"Tiba-tiba, saya melihat di alam mimpi, Nabi Muhammad datang bersama Ali bin Abi Thalib dan Fathimah al-Zahra. Mereka mengambil kepala al-Husain. Fathimah al-Zahra menciumi kepala itu dan berkata, 'Anakku, mereka membunuhmu. Semoga Allah membunuh mereka seperti yang mereka lakukan terhadapmu.'"

"Saya mendengar al-Husain menjawab, 'Syimir membunuhku dan orang yang tidur di sini telah memotong kedua tanganku.'"

"Fathimah menghadap ke arahku dan berkata, 'Semoga Allah memotong kedua tangan dan kakimu, membutakan kedua matamu, dan memasukkanmu ke dalam api neraka.'"

"Saya terbangun dari tidur. Ternyata, saya benar-benar buta serta kedua tangan dan kaki saya terpotong. Tiga doa Fathimah al-Zahra telah dikabulkan dan masih tersisa yang keempat (yaitu masuk ke dalam api neraka). Oleh karenanya, saya mengatakan, 'Hai Tuhan Pemeliharaku, jauhkanlah daku dari api neraka!'"