Senin, 26 Januari 2015

Mengenal Buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini

Sebagai sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih banyak, namun dari sisi kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang masalah fikih masih kalah dibanding buku komentar terhadap al-‘Urwah al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada buku komentar ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam Khomeini”

————————————————————–
Mengenal Buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini
Oleh: Saleh Lapadi
SALAH SATU karya fikih yang ditinggalkan oleh Imam Khomeini adalah buku Tahrir Wasilah. Buku fikih yang memuat kumpulan fatwa fikih paling lengkap Imam Khomeini. Kedalaman dan keluasan pembahasan buku ini, berikut kekokohan argumentasinya mampu menepis fatwa-fatwa ulama sebelumnya yang tidak memperbolehkan mengikuti fatwa seorang mujtahid yang telah meninggal dunia. Sebagian besar pendapat dan fatwa Imam Khomeini dalam buku Tahrir Wasilah sampai saat ini adalah pendapat puncak dan diakui oleh sebagian besar mujtahid yang nota bene adalah murid-muridnya. Oleh karenanya, sebagian dari mujtahid yang ada saat ini masih memperbolehkan para mukallidnya (mereka yang bertaklid), yang sebelumnya bertaklid kepada Imam Khomeini untuk tetap mengamalkan buku Tahrir Wasilah. Sementara untuk fatwa yang berbeda dan masalah baru yang tidak terdapat dalam buku Tahrir, mukallid harus mengikuti pendapat mereka.[1]

Sebelum mengenal lebih jauh tentang buku Tahrir Wasilah karangan Imam Khomeini itu, ada baiknya mengenal beberapa karya fikih beliau yang ditulis sebagai buku fatwa. Buku fikih fatwa paling awal yang ditulis oleh Imam Khomeini merupakan komentar beliau terhadap buku karangan Ayatullah al-Uzhma Sayyid Abu al-Hasan Isfahani (1284-1365 H-Q) yang berjudul Wasilah an-Najah (Pengantar Keselamatan). Buku ini beliau tulis beberapa tahun sebelum meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan dicetak dengan judul “Wasilah an-Najah Ma’a Ta’aliq al-Imam al-Khomeini”, Ayatullah Burujerdi semasa hidupnya adalah mujtahid Syi’ah terbesar. Komentar-komentar beliau terhadap buku Wasilah an-Najah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya buku Tahrir Wasilah. Disebutkan bahwa ada beberapa perbedaan fatwa beliau yang ditulis dalam komentarnya terhadap Wasilah an-Najah dan buku Tahrir Wasilah. Namun ini tidak menjadi masalah karena penulisan buku komentar terhadap Wasilah an-Najah lebih dahulu, maka tentunya yang diutamakan adalah pendapat beliau dalam buku Tahrir Wasilah.

Selain mengomentari buku Wasilah an-Najah karya Sayyid Abu al-Hasan al-Isfahani, beliau juga mengomentari buku al-‘Urwah al-Wutsqa karangan Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim al-Yazdi (1247-1337 H-Q). Buku al-‘Urwah al-Wutsqa adalah buku argumentasi fikih Syi’ah yang ditulis dengan baik dan tercatat sebagai salah satu buku yang memuat cabang-cabang masalah fikih dengan komplit pada masanya. Sayyid Yazdi sendiri setelah menulis buku tersebut mengumumkan sayembara kepada murid-muridnya dan berjanji memberikan hadiah bila menemukan kekurangan dalam hal ini.

Sebagai sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih banyak, namun dari sisi kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang masalah fikih masih kalah dibanding buku komentar terhadap al-‘Urwah al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada buku komentar ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam Khomeini”.

 Buku-buku yang memuat fatwa-fatwa Imam Khomeini di atas ditulis dalam bahasa Arab sebagaimana buku Tahrir Wasilah. Imam juga memiliki buku fatwa dalam bahasa Persi. Buku pertama beliau dalam bahasa Persi adalah “Resale-e Nejatul Ebad” (Risalah untuk keselamatan hamba). Buku ini dikumpulkan pada awal-awal beliau menjadi marja’ dan Ayatullah Burujerdi masih hidup. Buku ini sebagian besar adalah terjemahan Wasilah an-Najah dan pada bagian-bagian tertentu adalah terjemahan al-“Urwah al-Wutsqa yang beliau komentari. Tentu saja penyusunan buku ini dituntun langsung oleh beliau secara lisan. Setelah meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan kemudian dicetaknya Risalah Taudhih al-Masail—kumpulan buku fatwa Imam—buku Resale-e Najatul Ebad kemudian menjadi terlupakan.

Buku fikih paling anyar dari Imam Khomeini adalah Risalah Taudhih al-Masail. Buku ini disusun dan kemudian diedit oleh mereka yang bertugas khusus menangani masalah fatwa Imam Khomeini. Setelah itu mereka mengirimkan surat kepada Imam Khomeini untuk mendapatkan persetujuan beliau bahwa apa yang tertulis dalam buku ini sesuai dengan fatwa beliau. Buku ini mendapat perhatian besar masyarakat sehingga berkali-kali dicetak ulang, dengan tambahan permasalahan-permasalahan baru yang ditanyakan kepada Imam Khomeini.

Proses Penulisan Buku Tahrir Wasilah

Buku Tahrir Wasilah pada hakikatnya merupakan hasil kerja tiga orang ulama besar Syi’ah. Mereka adalah Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim Yazdi, Ayatullah Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan Ayatullah Sayyid Ruhullah Khomeini. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Imam Khomeini menulis komentar terhadap buku Wasilah an-Najah milik Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah, komentar-komentar beliau itu dijadikan matan dan teks yang berdiri sendiri dari buku Wasilah an-Najah. Kemudian beliau menambahkan masalah-masalah lain yang terinspirasi dari buku al-‘Urwah al-Wutsqa milik Sayyid Kazhim Yazdi dan menambahkan masalah-masalah kontemporer.

Penyebutan bahwa buku Tahrir Wasilah adalah hasil kerja keras tiga ulama besar di atas tentu cukup beralasan. Hal itu dikarenakan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah, sumber yang dijadikan rujukan Imam Khomeini hanyalah tiga buah buku; Wasilah an-Najah, al-‘Urwah al-Wutsqa dan Wasail Syi’ah. Dan buku Tahrir Wasilah ditulis oleh Imam ketika beliau berada dalam penjara di kota Bursa Turki sehingga tidak ada kesempatan untuk mengakses kitab lain di luar.

Untuk mengenal lebih dekat bagaimana proses penulisan tersebut ada baiknya bila kita membaca sendiri tulisan Imam Khomeini dalam pembukaan buku Tahrir Wasilah. Beliau menyebutkan:

“Sebelumnya saya telah memberikan komentar terhadap buku Wasilah an-Najah miliki Sayyid al-Hujjah Isfahani. Pada akhir bulan Jumadil Tsani tahun 1384 H-Q (bertepatan dengan tanggal 13 Aban 1343 H-S), saya diasingkan dari kota Qom ke kota pelabuhan Boursa di Turki karena peristiwa yang sangat berat dan memilukan yang menimpa Islam dan kaum muslimin, dan saya yakin bahwa sejarah pasti mencatat hal itu. Di sana, saya diawasi dengan sangat ketat. Karena masih ada waktu senggang, saya kemudian memutuskan untuk menjadikan komentar-komentar saya terhadap buku Wasilah an-Najah sebagai teks dan buku sehingga lebih mudah dan lebih bermanfaat. Dan bila Allah memberikan taufik, akan saya tambahkan masalah-masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.”[2]

Buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam dua jilid dengan perincian:

1. Jilid pertama dibagi dalam 7 kitab; ahkam taklid, taharah, salat, puasa, zakat, khumus, dan mukaddimah haji.

2. Jilid kedua dibagi dalam 26 kitab; ar-rahn, al-hajr, ad-dhaman, al-hiwalah wa al-kifalah, al-wikalah, al-iqrar, al-hibah, al-waqf wa akhawatuh, al-washiyah, al-iman wa an-nudzur, al-kaffarat, as-shaid wa az-dzibahah, al-ath’imah wa al-asyribah, al-ghashb, ihya al-mawat wa musytarakat, al-luqathah, an-nikah, at-thalaq, al-khulu’ wa al-mubarat, az-zhihar, al-ila’, al-li’an, al-mawarits, al-qadha, as-syahadat, al-hudud,

Terjemahan Tahrir Wasilah

Mengingat buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini ditulis dalam bahasa Arab, maka tentu saja tidak dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang tidak mengetahui bahasa Arab.[3] Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah diterjemahkan ke dalam bahasa Persi. Di sini penulis hanya menyertakan dua terjemahan komplit dari Tahrir Wasilah ke dalam bahasa Persi disertai matan Tahrir Wasilah itu sendiri dan sebuah terjemahan bahasa Urdu.

1. Tahrir Wasilah terjemahan Sayyid Muhammad Baqir Musawi Hamadani dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh penerbit Dar al-‘Ilm, Qom pada tahun 1375 H-S.

2. Tahrir Wasilah terjemahan Ali Islami dan Qadhi Zadeh dibawah pengawasan Muhammad Mukmin Qummi dan Sayyid Hasan Taheri Khurram Abadi dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh Daftar penerbitan Islami Hauzah ilmiyah Qom.

3. Terjemahan Tahrir Wasilah ke bahasa Urdu dipimpin langsung oleh Deputi Urusan Internasional Yayasan Tanzhim dan Nasyr karya-karya Imam Khomeini. Terjemahan ini dalam empat jilid dan salah satu kelebihan terjemahan Urdu ini adalah dari setiap satu halaman terjemahan Urdu disertai dengan satu halaman matan asli.

Ringkasan Tahrir Wasilah

Dua jilid buku Tahrir Wasilah terasa memberatkan dan tidak praktis, karena tidak semua pembahasan yang ada di dalamnya dipakai. Dua jilid tersebut kurang cocok untuk memenuhi kebutuhan buku fikih fatwa pada tingkat permulaan. Untuk itu, maka dilakukan peringkasan terhadap buku Tahrir Wasilah. Namun ringkasan Tahrir Wasilah ini juga ditulis dalam bahasa Arab. Ada dua buku sebagai ringkasan Tahrir Wasilah:

1. Zubdah al-Ahkam. Buku ini diterbitkan oleh Sazman Tabligate Eslami (semacam badan penerangan), di Tehran pada tahun 1404 H-Q dengan 273 halaman.

2. Ma’rifah Abwab al-Fiqih. Buku ini diterbitkan oleh Markaze Jahani Ulume Islami untuk memenuhi kurikulum fikih praktis di tingkat permulaan. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1377 H-S dengan 223 halaman.

Komentar terhadap Tahrir Wasilah

Setelah Imam Khomeini menulis buku Tahrir Wasilah dan mendapat sambutan hangat dari ulama Syi’ah, sebagian ulama kemudian memutuskan untuk memberikan komentar terhadap buku ini. Bahkan sebagian mujtahid mengambil langkah berani dengan menjadikannya sebagai buku sumber untuk kajian fikih tingkat akhir (bahts karij) mereka, setelah lama memakai buku Makasib milik Syaikh Anshari sebagai pedoman.
Di bawah ini beberapa komentar terhadap buku Tahrir Wasilah dari ulama kontemporer Syi’ah:
1. Komentar dari Ayatullah Fadhil Langkarani.
2. Komentar dari Ayatullah Makarim Syirazi.
3. Komentar dari Ayatullah Alawi Gurgani.
4. Komentar dari Ayatullah Yusuf Shane’i.
5. Komentar dari Ayatullah Abu Thalib Tajlil Tabrizi.
6. Komentar dari Ayatullah Misykini Ardebili.

Syarah terhadap Tahrir Wasilah

Imam Khomeini dalam Shahifah Nur menyebutkan:
“Ruang dan waktu adalah elemen penentu dalam berijtihad. Sebuah masalah pada masa lalu memiliki hukumnya tersendiri. Namun tampaknya, masalah yang sama, dengan kondisi berbeda yang menguasai sebuah sistem pemerintahan baik dari sisi politik, sosial, dan ekonomi memungkinkan munculnya sebuah hukum yang baru. Munculnya sebuah hukum yang baru tersebut dengan makna bahwa pengenalan yang lebih detil terhadap hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik pada sebuah obyek yang pada mulanya tampak tidak berbeda dengan obyek sebelumnya, ternyata benar-benar melahirkan sebuah obyek hukum yang baru dan lain dengan sebelumnya yang pada gilirannya menuntut sebuah hukum yang baru.”[4]

Konsep ijtihad dalam ruang dan waktu ini sangat mempengaruhi hasil dari penyimpulan hukum seorang mujtahid. Hal inilah yang membuat fatwa-fatwa Imam Khomeini memiliki corak tersendiri dalam khazanah pemikiran ulama Syi’ah. Dan konsep ini kemudian mulai dikaji lebih dalam oleh ulama sepeninggalnya. Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah menjadi sangat penting bagi ulama saat ini. Maka ditulislah berjilid-jilid syarah terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Bahkan mereka yang mensyarahi buku Tahrir Wasilah kemudian melakukan penelitian lebih jauh dengan mencoba menyingkap argumentasi dan sumber-sumber yang dipakai oleh Imam Khomeini sehingga sampai pada kesimpulan yang tertulis dalam buku Tahrirnya.

Untuk itu penulis membawakan sejumlah syarah yang ditulis untuk menjelaskan lebih jauh buku Tahrir Wasilah ini. Tentunya, mengkaji syarah-syarah yang ada akan lebih memperkaya cara pandang kita terhadap ide-ide dan corak pemikiran Imam Khomeini.

1. Tafshil as-Syari’ah. Judul lengkap buku ini adalah Tafshil as-Syari’ah Fi Syarhi Tahrir al-Wasilah. Ini adalah syarah paling terperinci dan paling lengkap tentang Tahrir Wasilah Imam Khomeini. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani salah satu murid Imam Khomeini. Bahkan jilid-jilid pertama dari syarah ini ditulis sebelum revolusi Iran, ketika Imam diasingkan ke Turki. Sampai pada penulisan makalah ini, syarah yang ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani telah dicetak sebanyak 20 jilid. Dan penulisan syarah ini masih dilanjutkan.

2. Madarik Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Murtadha Bani Fadhl Tabrizi. Pada awalnya, syarah ini hasil kuliah-kuliah yang beliau sampaikan. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan yang lainnya pada penukilan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan ijma’ yang menjadi sandaran Imam Khomeini. Karena itulah syarah ini disebut Madarik Tahrir wasilah (sumber-sumber fatwa dalam Tahrir Wasilah). Sampai saat ini, syaarh ini hanya menjelaskan tiga kitab; puasa, salat (dalam tiga jilid) dan zakat dan khumus.

3. Mabani Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Muhamamd Mukmin Qummi. Syarah ini juga merupakan hasil dari kuliah-kuliah yang disampaikan oleh beliau dari Tahrir Wasilah dalam masalah; kitab al-qadha dan as-syahadah dalam sebuah jilid dan jilid keduanyatentang kitab al-hudud.

4. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh anak Imam Khomeini yang bernama Mushthafa Khomeini dalam dua jilid. Dalam dua jilid ini beliau mensyarahi beberap bagian dari kajian Tahrir Wasilah seperti; taharah, salat, makasib wa matajir, puasa, bai’ (jual beli), khiyarat dan nikah. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan syarah-syarah yang lain selain penelitian yang dalam dan ketelitian yang lebih ada pada pengeditan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh Imam sendiri. Dan itu ketika Sayyid Musthafa menanyakan sebagian masalah yang ada pada buku Tahrir Wasilah kepada Imam Khomeini sang ayah.

5. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini namanya mirip dengan syarah yang ditulis oleh Sayyid Musthafa Khomeini namun ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh Ahmad Muthahhari Saveji dalam delapan jilid. Lebih dari dua puluh tahun beliau memberikan perhatian terhadap buku Tahrir Wasilah dan pada waktu itu masih langka ulama yang melakukannya. Beliau mensyarahi beberapa bagian masalah dalam Tahrir Wasilah. Sayangnya buku ini dicetak tanpa memiliki indeks yang baik bahkan tidak ada kata pengantar dari sang penulis. Sebagian dari buku ini ditulis sendiri oleh penulis dan sebagian lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Persi oleh orang lain.

6. Fiqh as-Tsaqalain. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Yusuf Shane’i dalam dua jilid. Sebagaimana syarah Tahrir Wasilah yang lain, buku ini adalah hasil kuliah fikih tingkat akhir (bahts kharij). Dua jilid dari syarah beliau ini menyangkut kitab thalaq dan kitab qishas. Kelebihan syarah ini dibandingkan syarah lainnya adalah buku ini merupakan hasil kuliah yang dikaji beliau bersama mahasiswanya. Hasil kajian ditulis oleh salah seorang mahasiswadan kemudian diteliti lagi oleh beliau secara langsung sebelum naik cetak.

7. Anwar al-Faqahah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh Makarim Syirazi. Ayatullah Makarim dalam pengantarnya menyebutkan alasannya mengapa beliau memilih mensyarahi buku Tahrir Wasilah. Pertama, karena matan asli buku Tahrir adalah Wasilah an-Najah. Kedua, mencakup kajian-kajian yang ditulis oleh Sayyid Yazdi dalam bukunya al-‘Urwah al-Wutsqa. Dan ketiga, dikarenakan buku Tahrir Wasilah membahas banyak hal yang dibutuhkan untuk masa kini sementara ulama yang lain kurang memperhatikan hal tersebut.

8. Mu’tamid Tahrir Wasilah. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abbas Zhahiri Isfahani dalam satu jilid. Buku ini hanya mengambil satu bab dalam buku Tahrir Wasilah mengenai masalah-masalah kontemporer. Menurut penulis dalam pengantarnya, baru kali ini Imam menulis buku fatwanya dan disertai dengan bab khusus tentang masalah-masalah kontemporer dan ini membuat beliau tertarik untuk mensyarahinya.

9. Misbah Syari’ah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Abdunnabi Namazi Bushehri dalam empat jilid. Keempat jilid tersebut merupakan syarah beberapa bagian dari buku Tahrir Wasilah. Jilid pertama mensyarahi bagian ijtihad dan taklid, jilid kedua membicarakan salat musafir. Jilid ketiga dan keempat menjelaskan secara panjang lebar tentang masalah khumus dan puasa.

10. Dalil Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Ali Akbar Saifi Mazandarani dalam enam jilid. Masing-masing membicarakan tema-tema penting dalam buku Tahrir Wasilah seperti; wilayatul faqih, khumus, ahkam as-satr wa an-nazhar, as-shaid wa az-dzibahah dan ahkam al-usrah.

11. Syarh Tahrir Wasilah. Ayatullah Syaikh Ahmad Sibth as-Syaikh (1349-1416 H-Q) dalam satu jilid berusaha mensyarahi masalah taklid dan taharah. Beliau tidak sempat melanjutkan syarahnya terhadap buku Tahrir Wasilah karena meninggal dunia. Kekurangan syarah ini, sebagaimana buku-buku yang dicetak dahulu, tidak memiliki catatan kaki dan sumber rujukan.

12. Nur ad-Din al-Munir.[5] Pengarang buku ini adalah Sayyid Nuruddin Shariat Nadari Jazairi. Poin penting dari syarah ini adalah usaha penulis untuk melakukan kajian perbandingan dua tokoh besar dari ulama Syi’ah yaitu; Imam Khomeini dan Sayyid Khu’i. Dan studi komparasi keduanya dalam masalah ijtihad dan taklid dan beberap tema-tema penting lainnya. Tentu studi perbandingan yang dilakukan tidak keluar dari usaha untuk menyusun ensiklopedia fikih dan usul fikih.

Masih ada beberapa syarah lain yang ditulis oleh ulama kontemporer Syi’ah terhadap buku Tahrir Wasilah yang tidak disebutkan di sini. Dan tentu saja usaha untuk menggali pemikiran-pemikiran Imam Khomeini tidak akan cukup dengan hanya menukil beberapa syarah dan komentar yang ditulis mengenai Tahrir Wasilah. [ISLAT]

Sumber rujukan:

1. Nashiruddin Anshari Qummi, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Ayeneh-e Pazhoohesh (Jurnal tiga bulanan Mirror of Research), vol 91, 1384.
2. Hasan Pouya, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Qom, Muasasaeh Tanzim Va Nashre Asare Emam Khomeini, 1383.
________________________________________
[1] . Menurut hemat penyusun, sebenarnya fenomena ini memiliki beberapa alasan. Pertama, dituntut oleh sikap moral murid terhadap guru yang ada pada hauzah ilmiah hingga sekarang. Dan kedua, lebih pada alasan teknis agar tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu. Dengan demikian, fatwa yang disampaikan oleh ulama tentang masalah taklid kepada seorang mujtahid yang telah meninggal sebenarnya pada substansinya tidak berbeda. Karena ketika disebutkan masih diperbolehkan mengikuti pendapat Imam Khomeini sebenarnya hal itu menunjukkan kesamaan pendapat mujtahid yang hidup dengan pendapat Imam Khomeini.
[2] . Imam Khomeini, Tahrir Wasilah, Najaf Asyraf, al-Adab, 1390 H-Q.
[3] . Dan sayangnya, sampai saat ini belum ada terjemahan lengkap buku ini ke dalam bahasa Indonesia.
[4] . Khomeini,Sayyid Ruhullah Musawi, Shahifah Nur, Tehran, Soroush, 1369.

Sabtu, 24 Januari 2015

Persatuan Umat Islam dalam Pandangan Imam Khomeini



Persatuan, adalah hal yang mudah difahami namun selalu saja ada halangan dan kendala bagi umat Islam untuk mewujudkannya; entah kendalanya karena memang mereka tidak mampu mewujudkan persatuan tersebut, atau karena mereka tidak mau. Salah satu bukti nyatanya adalah: sudah 150 tahun lamanya tokoh-tokoh Islam dunia berbicara tentang persatuan, namun sampai saat ini juga Muslimin tetap berpecah belah di hadapan musuh-musuh mereka dan problema terbesar umat masih saja masalah perpecahan. Yang jelas maksud kami dari kata Muslimin adalah adalah umat Islam secara umumnya, mencakup para cendikiawan, politikus, ulama, dan seterusnya sampai masyarakat awam yang hidup bersama dalam satu komunitas dan setiap orang dari mereka adalah anggota keutuhan ini. Tentunya dalam setiap lapisan masyarakat pasti ada orang-orang yang benar-benar memahami pentingnya persatuan dan mereka pun berusaha keras untuk mewujudkannya; namun jika kita perhatikan satu per satu, hasil upaya mereka masih jauh berada di bawah tingkat ideal.

Oleh karena itu, saat ini di satu sisi musibah terbesar yang menimpa umat Islam adalah perpecahan, dan di sisi yang lin musuh-musuh Islam memanfaatkan fenomena perpecahan ini untuk menghantamkan pukulan keras ke dada Muslimin lalu melancarkan aksi-aksinya, seperti mengeruk kekayaan materi dan spiritual negara-negara Islami, menjajah, setiap saat berusaha melunturkan budaya-budaya Islami, dan mengkontrol gerak gerik-politik negara-negara yang telah dikuasainya.

Kalau kita menengok perkataan-perkataan Imam Khumaini, sikap-sikap politik dan sosialnya, kita akan mendapati bahwa dalam persepsinya persatuan bukan hanya sekedar saran yang hanya perlu didengarkan saja, bahkan perlu diwujudkan dan merupakan solusi terbesar bagi umat Islam untuk mengumpulkan kekuatan guna menghadapi musuh-musuh mereka yang zalim. Karena itu juga musuh-musuh Islam selama ratusan tahun menjadikan perpecahan Muslimin sebagai solusi terbaik untuk menguasai dan memperpanjang umur kekuasaan mereka di negara-negara Islami. Dengan jalan ini juga mereka mencapai tujuan-tujuan penjajahan dan permusuhannya.

Sungguh menakjubkan selama ratusan tahun Muslimin tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini dan Muslimin tetap berpecah belah di depan semua ancaman-ancaman musuh mereka. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa musuh-musuh kita lebih berhasil dalam menjalankan misi-misinya daripada kita. Bukti nyata yang paling jelas saat ini juga adalah berkuasanya musuh-musuh atas negara-negara Islam sedang Muslimin tetap dalam perpecahannya. Singkatnya, perpecahan kita sama dengan kemenangan musuh. Selama kita tetap dalam perpecahan ini, selama itu juga musuh menang. Kita dapat berbangga diri ketika kita bersatu dan musuh kalah karena persatuan ini.

Terkadang keberhasilan musuh dalam mewujudkan perpecahan, tidak hanya terlihat melalu adanya ikhtilaf antar satu umat Islam yang berada dalam satu negara saja, bahkan antara satu negara Islam dengan negara lainnya! Inilah hasil kerja keras musuh-musuh kita yang ditujang denga pasokan dana luar biasa hanya karena mereka tidak mau kita umat Islam memperoleh kembali kekuatan dan kejayaan yang pernah diraih sebelumnya. Kita tidak bisa hanya diam berharap mereka berhenti menjalankan siasat perpecahan umat Islam ini; karena semua keuntungan mereka benar-benar bergantung pada perpecahan kita. Kita juga tidak bisa diam saja dengan berharap kaki tangan mereka yang kini menyamar sebagai “musuh dalam selimut” berhenti menjalankan misinya; karena keuntungan-keuntungan duniawi mereka bergantung penuh pada pekerjaan ini. Mereka akan tetap mengulang-ulang perkataan musuh-musuh kita, mewujudkan impian-impian mereka, menyamarkan siapakah musuh yang sebenarnya, dan memprovokasi perpecahan dalam satu kaum dan umat Islam. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali “musuh dalam selimut” di negara kita yang bekerja untuk mereka; mereka adalah pengkhianat yang menjual tanah air dan budaya bangsa sendiri untuk kepentingan-kepentingan duniawi. Mereka adalah orang-orang munafik yang mengenakan pakaian pejabat, cendikiawan, ulama, mufti, dan lain sebagainya; dengan cara ini mereka dapat beraksi dengan mudah dari dalam tubuh sebuah bangsa. Kita juga tidak bisa mengharap negara-negara yang benar-benar telah tunduk pada musuh kita untuk mewujudkan persatuan umat Islam ini.

Oleh karena itu, yang dapat kita harapkan untuk diajak bekerjasama mewujudkan impian ini adalah mereka yang benar-benar menyadari siapa musuh dan tidak bergantung sama sekali kepada mereka. Mereka adalah segenap umat Islam yang bebas dan tidak bergantung kepada musuh-musuh Islam; dengan syarat mereka harus benar-benar memahami arti persatuan ini, dan kedua mereka juga harus memiliki jiwa yang tulus dan ikhlas di jalan ini. Karena setiap orang yang menyadari kebenaran sesuatu, maka ia pasti membenarkannya dan melakukan segala usaha untuk menegakkannya. Yang terpenting adalah ketulusan dan kesucian jiwa. Orang yang jiwanya tulus, ikhlas dan suci, senantiasa terlepaskan dari belenggu keinginan-keinginan duniawi dan pribadi; orang-orang seperti ini yang dapat mewujudkan persatuan dan mengabaikan provokasi perpecahan; orang seperti ini yang mampu membedakan antara bisikan-bisikan rahmani (bisikan kebaikan) dengan bisikan-bisikan syaitani (bisikan setan).

Imam Khumaini berkeyakinan bahwa kepemilikan ma’rifat dan jiwa yang tulus adalah kunci keselamatan hidup di tengah-tengah provokator perpecahan. Ia berkata: Kita harus mengejar kekuatan dan persatuan kita. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh menganggap ini adalah pemerintah dan ini adalah masyarakat (memisah-misahkan keduanya), karena kita semua adalah sekumpulan rombongan yang berjalan bersama menuju alam akhirat; kita harus menaati Tuhan dan kita harus selalu bersama-sama. Jika kita seperti itu, maka kemenangan adalah milik kita, dan kemenangan itu adalah hadiah Ilahi dan pertolongan-Nya untuk kita. Namun jika tidak demikian, jika kemenangan itu adalah hasil dari kekerasan dan paksaan, maka itu bukan kemenangan dan hakikatnya adalah kekalahan besar. Oleh karena itu kita harus bersama-sama. Kita harus menaati Tuhan dengan cara tidak berikhtilaf dan selalu menjaga persatuan. Kita harus menggalang persatuan umat ini, dan jika memang kita telah bersatu, maka kita harus menjaganya dengan baik. Kita harus melanjutkan perjalanan ini dan kita tidak boleh mendengarkan ucapan pihak-pihak yang ingin memecah belah tubuh umat ini… jika kita bersatu, tidak ada satu pun yang bisa mengusik kita; kita harus bersatu dalam menaati Allah. (Shahife e Emam, jilid 19, halaman 206 – 207)

Ia juga berkata: Kita harus memiliki kesatuan dan kita harus menjaganya. Kita tidak boleh mendengar omongan orang-orang yang menginginkan perpecahan di antara kita. Mereka yang bertentangan dengan persatuan adalah orang-orang yang membuat kerusakan. Jadi kita tidak boleh mendengarkan ucapan orang-orang yang berbuat kerusakan seperti mereka. Jika kalian tidak ingin terpengaruh dengan ucapan-ucapan mereka, maka kalian harus memiliki makrifat, maknawiah dan jiwa yang tulus nan ikhlas. Ucapan-ucapan mereka hanya berpengaruh pada hati orang-orang yang lemah makrifat dan jiwanya.

Ucapan beliau yang lainnya: Sekitar sejak 150 tahun yang lalu tokoh-tokoh dunia Islam berbicara tentang persatuan Islami di hadapan bahaya para penjajah-penjajah Barat dan menyatakan bahwa perpecahan adalah problema umat Islam yang terbesar; namun problema ini sampai sekarang juga tetap berada di tempatnya. Ini menunjukkan bahwa umat Islam belum menempuh jalan yang seharusnya ditempuh untuk mewujudkan persatuan ini. Sedangkan musuh-musuh Islam yang menganggap perpecahan umat ini sebagai solusi untuk meraih kepentingan-kepentingan mereka, dengan baik mereka menjalankan usaha-usahanya hingga saat ini.

Beliau juga berkata: Perpecahan di dunia Islam adalah jaminan keberhasilan musuh-musuh Islam dalam menguasai kita. Selama kita tidak merubah kenyataan ini, dunia Islam tidak akan bisa keluar dari kekuasaan musuh. Oleh karena itu seharusnya umat Islam memikirkan cara terbaik untuk keluar dari lingkaran ini daripada sibuk berselisih.

Dan juga beliau berkata: Banyak sekali kaki tangan musuh kita yang menyelinap di dalam tubuh umat Islam, mereka menyamar sebagai cendikiawan, politikus, ulama yang fanatik, mufti, dan lain sebagainya; dan kita tidak bisa mengharapkan mereka untuk mewujudkan persatuan umat. Karena mereka semua bekerja untuk kepentingan musuh-musuh dan para penjajah. Oleh karenanya hanya Muslimin sejati yang harus memikirkan jalan menuju persatuan tanpa mendengarkan kata-kata kaum munafik yang ingin memecah belah umat.

sumber: http://www.erfan.ir/53979.html



Selasa, 20 Januari 2015

Imam Ali, Suara Keadilan



Malam itu, seorang lelaki keluar dari rumahnya dan menengadahkan tangan ke angkasa. Sesekali dari mulutnya terdengar kalimah istighfar. Dia bertutur lirih, Allahuma Barikli al-Maut, Tuhanku berkatilah aku dengan kematian. Dialah Ali Bin Abi Thalib. Ali bergegas menuju masjid untuk menunaikan shalat Subuh. Ia menunaikan beberapa rakaat shalat sunah. Kemudian mengumandangkan azan Subuh yang biasa dikumandangkan Bilal. Ali lalu memimpin shalat shubuh berjamaah.
Sesuai dengan ketentuan shalat jemaah, para makmummengikuti segala gerakan shalat Imam. Para makmum melakukan ruku, ketika Imam ruku dan bersujud ketika imam sujud. Ketika sampai sujud itu, seseorang yang berada di belakang Imam Ali tampak belum menjatuhkan kepalanya untuk sujud. Tangannya disembunyikan di balik pakaiannya. Seketika, tampak kilauan cahaya berkelebat di dinding. Imam Ali masih tenggelam dalam suasana ubudiyah. Cahaya itu adalah kilauan pedang yang kemudian terangkat, dan tanpa diduga pedang itu menghujam ke arah kepala Imam Ali. Beliau tersungkur. Dahinya pecah bersimbah darah.
Pedang itu dihujamkan oleh Ibnu Muljam, lelaki yang dibangunkan Imam Ali di masjid dari tidurnya. Ibnu Muljam mengayunkan pedang yang sudah dilumuri racun. Pukulan itu bukan hanya melukai Ali, tapi juga melukai umat Islam dari sumber keutamaan ilmu dan amal itu. Dua hari kemudian Imam Ali menemui kesyahidannya pada tanggal 21 Ramadhan.
Entah sudah berapa ribu buku yang ditulis para ilmuwan dan penyair mengenai keutamaan Imam Ali as. Ibn Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah menjelaskan keutamaan, kesempurnaan, dan keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib. Mengenai keluasan ilmu Imam Ali, Abil Hadid berkata, "Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata air ilmu. Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama."
Salah satu ilmunya yang paling mulia adalah ilmu kalam yang bersumber dari ucapan Imam Ali.  Mazhab Mu'tazilah mengembangkan pemikiran Washil bin Atha'. Dia adalah murid Abu Hasyim, dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi yang memperoleh ilmu dari ayahnya Ali bin Abi Thalib.
Dalam ilmu fikih, Ali merupakan sumber ilmu dan mata air kebijaksanaan. Semua ahli fikih adalah murid beliau secara langsung maupun tidak. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf, Muhammad, dan yang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi'i juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi'i, pada akhirnya, juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga belajar dari Jakfar bin Muhammad yang berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib.
Malik bin Anas merupakan murid Rabiah ar-Ra'yu. Sedangkan Rabiah sendiri adalah murid Akramah. Yang merupakan murid Abdullah bin Abbas, sementara Ibnu Abbas adalah murid Ali bin Abi Thalib.
Ilmu tafsir juga berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila kita membaca kitab-kitab tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar persoalan dikutip dari beliau atau dari Ibnu Abbas yang merupakan murid beliau. Dikatakan kepada ibnu Abbas, "Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali." Dia berkata, "Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan samudra."

Ilmu tarekat, hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Ulama irfan di semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali, seperti Syibli, Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama Karlhi. Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan dirinya kepada Imam Ali bin Abi Thalib. 
Ilmu nahwu (tata bahasa) dan bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali-lah yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada Abul Aswad Ad-Duwali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abul Aswad mengenai kalam (kata) terbagi menjadi tiga: ism (kata benda), fi'il (kata kerja), dan huruf (preposisi). Beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah (definitive) atau nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa i'rab ada empat macam: rafa', nashab, jar, dan jazam.
Salah satu karakteristik terpenting Imam Ali as adalah komitmennya membentuk masyarakat yang berkeadilan. Kekhususan sifat mulia Ali ini membuat banyak orang terkagum-kagum. Bahkan ahli makrifat berharap terlahir lagi orang seperti Ali ke dunia ini. Kami mengajak anda menyimak sifat mulia Ali dan komitmennya membentuk pemerintahan yang adil.
Pandangan Imam Ali terhadap pemerintahan sangat berbeda kontras dengan sikap para politisi yang haus kekuasaan. Metode politik dan pemerintahan Imam Ali berpijak pada prinsip-prinsip yang mendorong masyarakat yang mencapai kesempurnaan secara material dan spiritual. Dalam pandangan Imam Ali, kezaliman dan ketidakadilan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan.
Mengenai urgensi keadilan, Imam Ali as berkata, keadilan adalah salah satu prinsip yang harus berdiri tegak di alam semesta. Beliau juga menuturkan, tidak ada yang menyamai keadilan, karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi makmur. Menurut Imam Ali, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari prinsip keimanan sendiri.
Imam Ali memegang tampuk kekuasaan untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat dan memenuhi hak mereka. Di mata Imam Ali, kinerja terpenting pemerintahan adalah menciptakan keadilan. Poros upaya hal tersebut adalah terpenuhinya hak orang-orang yang terzalimi. Dalam pemerintahan Imam Ali, keadilan bukan hanya slogan belaka, tapi sebuah program praktis yang membumi. Sebab, keadilan adalah inti politik Imam Ali.
 sumber:http://www.erfan.ir/53052.html

Bentuk Ruhaniyah Manusia Menurut Imam Khomeini ra



Bentuk Ruhaniyah Manusia Menurut Imam Khomeini
Kekuatan-Kekuatan Batin

Dengan kekuasaan dan kearifan-Nya, Allah telah menciptakan sejumlah daya dan fakultas di alam gaib dan batin manusia yang bermanfaat luar biasa bagi kita. Di sini, kita akan menyebutkan tiga di antaranya, yaitu al-quwwah al-wahmiyyah (daya imajinasi atau pencitraan), al-qauwwah al-ghadhabiyyah (daya amarah), dan al-quwwah al-syahwiyyah (daya syahwat). Masing-masing daya tersebut memiliki pelbagai man­faat besar, seperti pelestarian spesies dan individu manusia serta pem­bangunan dunia maupun akhirat, yang telah dibahas cukup panjang oleh banyak pemikir dan tidak perlu saya ulangi di sini. Yang penting dicamkan di sini adalah bahwa ketiga daya itu merupakan sumber bagi seluruh malakah (watak/ karakter) baik maupun buruk dan dasar bagi seluruh bentuk- bentuk gaib yang tinggi.

Penjelasannya, sebagaimana Allah telah menciptakan manusia di dunia ini dengan sebuah bentuk jasmani-duniawi yang memiliki kesempurnaan dan keindahan komposisi yang menakjubkan akal pikiran seluruh filosof dan ilmuwan sedemikian sehingga ilmu anatomi hingga detik ini belum juga mampu mengungkapkan dan mengurai­kan cara kerjanya secara benar. Allah telah menjadikan bentuk manu­sia lebih unggul dibandingkan dengan seluruh makhluk dalam hal postur yang bagus dan tampilan luar yang indah. Meskipun demiki­an, ada pula bentuk dan wajah manusia yang berbeda, yang bersifat malakuti dan gaib, yang ditentukan oleh karakter jiwa dan struktur batinnya.

Di alam setelah mati – baik di alam barzakh (masa antara kemati­an dan kebangkitan/ kiamat), maupun di hari kiamat – jika struktur manusia di sisi batinnya, sisi karakter dan sukmanya (sarirah) benar-­benar bersifat manusiawi, maka penampilan malakuti gaibnya pun akan seperti manusia. Namun, jika wataknya tidak manusiawi, maka bentuk malakutinya – di alam setelah mati-akan tampak tidak ma­nusiawi.

Sebagai ilustrasi, jika watak kesyahwatan (al-malakah al-syahwiyyah) dan kebinatangan (al-malakah al-bahimiyyah) mendominasi batiniyahnya sehingga kerajaan batinnya berubah menjadi hutan rimba, maka tampilan malakutinyapun akan tampak seperti salah satu binatang yang sesuai dengan watak jiwanya. Jika daya amarah atau kebuasan (al-suba’iyyah) mendominasi batin dan sukmanya sehingga kerajaan batin dan sukmanya ditegakkan atas hukum kekejaman, maka penampilan malakut ghaibnya pun akan menyerupai salah satu binatang buas yang sesuai dengan watak batinya itu.

Demikian pula, jika daya imajinasi atau manipulasi (as-syaithanah) menjadi watak batinnya sehingga watak-watak setan (malakat syaithaniyyah)  seperti tipu muslihat, kecurangan, namimah (adu domba) dan menggunjing (ghibah) menjadi wataknya, maka ia akan memiliki penampilan gaib dan malakuti layaknya salah satu setan yang cocok baginya. Kadang kala mungkin pula seorang manusia memiliki penampilan yang menggabungkan dua atau beberapa watak kebinatangan sekaligus. Jika demikian, ia akan mengambil bentuk yang tidak menyerupai salah satu binatang, tetapi kombinasi bentuk yang aneh. Bentuk ini, dalam susunan bentuk  yang mengerikan dan menjijikkan, tidak akan menyerupai bentuk binatang manapun di alam ini.

Diriwayatkan dari Rasul Saw, bahwa beberapa orang akan dibangkitkan di akhirat dengan rupa yang lebih buruk dari kera. Bahkan beberapa dari mereka akan memiliki beberapa rupa sekaligus, lantaran alam itu tidak seperti alam ini yang tidak memungkinkan bagi seseorang dapat memilik lebih dari satu bentuk. Pernyataan ini logis dan juga sudah dibuktikan pada tempatnya.

Ketahuilah bahwa kriteria bagi (pengejawantahan) bentuk-bentuk yang berbeda itu  (dengan bentuk manusia sebagai salah satunya) adalah keadaan ruh saat berpisah dari tubuh, keadaan tegaknya (hukum-hukum) alam barzakh dan alam akhirat atas ruh manusia, yang bermula persis saat setelah ruh kelur dari dari tubuh manusia. Watak dan sifat ruh saat keluar dari dari tubuh manusia akan menentukan bentuk ukhrawi manusia, yang akan segera tampak bagi mata ghaib di alam barzakh. Setiap manusia di alam barzakh juga akan melihat dirinya dalam bentuk itu ketika pertama kali membuka matanya di sana – bila ia memang memiliki mata penglihatan (bashar). Tidaklah mesti manusia memasuki alam yang akan datang itu dalam bentuk yang sama dengan ketika berada di alam fisik ini. Allah sendiri telah  berfirman melalui lidah sebagian orang: “Wahai Tuhanku, mengapa Kau bangkitkan aku dalam keadaan buta padahal dulunya aku aku dapai melihat”. Allah menjawab, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-­ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, dan begitu pula pada, hari ini kamu pun dilupakan”. (QS Thaha [20]: 125-126).

Wahai, orang malang, memang kau pernah punya mata fisik yang bisa melihat, tapi sisi batin dan malakutmu sebenarya buta. Sekarang kau menyadari perkara ini, padahal kau telah buta sejak semula. Kau tidak memiliki pandangan batin (bashirah) untuk melihat tanda­tanda Allah. Wahai makhluk yang malang, engkau memiliki postur yang tegap dan dan bentuk yang sempurna secara fisik, tetapi ukuran­nya di alam malakut dan batin bukanlah bentuk itu. Kau harus berjuang demi ketegapan (bentuk) batinmu agar kelak di hari kiamat engkau juga, dapat berdiri gagah dan tegap. Ruhmu harus menjadi ruh yang manusiawi agar bentukmu di alam barzakh tampak sebagai bentuk manusia.

Engkau mungkin mengira bahwa alam gaib dan batin – yakni alam penyingkapan rahasia dan pengejawantahan watak – sama de­ngan alam fisik dan duniawi yang memungkinkan terjadinya keka­cauan, pencampuradukan, dan kekeliruan ini …. Tidak! Kedua mata, telinga, tangan, dan kakimu serta seluruh anggota tubuhmu akan bersaksi atas semua perbuatanmu di dunia ini dengan mulut-mulut malakuti. Bahkan, sebagian anggota tubuhmu akan tampil dalam bentuk malakuti yang utuh (untuk menghadapimu).

Oleh karenanya, Sahabatku, bukalah telinga hatimu, singsingkan lengan bajumu dan kasihanilah ketakberdayaan dirimu sendiri!. Kira­nya kau dapat menjadikan dirimu sebagai manusia dan keluar dari alam ini dalam bentuk anak Adam, sehingga kelak kau akan menjadi orang yang sejahtera dan bahagia. Jangan sekali-kali kau menyangka bahwa semua yang kuucapkan itu sekadar mauizah dan ceramah, karena semua itu merupakan kesimpulan dari beragam argumen filosofis yang telah diajukan oleh para ahli hikmah, penyingkapan mistis (kasyfiyah), yang telah ditangkap oleh para pelaku latihan spiritual (riyddhah) dan pemberitaan dari para Imam yang jujur dan maksum. Hanya saja, lembaran-lembaran buku ini memang bukan tempat yang tepat untuk mengajukan bukti-bukti atau menukil hadis-hadis berkenaan dengan pokok masalah di atas secara keseluruhan.

Ref : Buku 40 Hadis Telaah Atas Hadis-Hadis Mistis  dan Akhlak  Imam Khomeini, pada bab “Hadis tentang jihad al-nafs”

sumber:https://darulkhodir.wordpress.com/2010/02/15/bentuk-ruhaniyah-manusia-menurut-imam-khomeini/

Senin, 19 Januari 2015

Rahbari (kepemimpinan) Dalam Pandangan Imam Khomeini ra



Rahbari Dalam Pandangan Imam Khomeini ra
Syarat-Syarat Rahbari (Kepemimpinan)

Rahbari Dalam Pandangan Imam Khomeini ra
Syarat-Syarat Rahbari (Kepemimpinan)

Dua Syarat Dasar
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memimpin secara langsung bersumber dari model alami pemerintahan Islam. Setelah syarat-syarat umum, seperti berakal dan pengelola, ada dua syarat dasar antara lain:
1. Ahli hukum
2. Keadilan

Meski sepeninggal Rasulullah saw terjadi perselisihan dalam masalah siapakah yang berhak memegang kekhalifahan, namun di antara kaum muslimin tidak terjadi perselisihan bahwa yang berhak memegang tampuk kekhalifahan harus orang yang utama. Ada dua poin yang diperselisihkan:

1. Berhubung pemerintahan Islam adalah pemerintahan berdasarkan undang-undang, maka syarat seorang pemimpin harus mengetahui undang-undang. Syarat ini disebutkan dalam berbagai riwayat. Pengetahuan akan undang-undang ini tidak hanya diharuskan bagi seorang pemimpin saja, tetapi juga bagi setiap pejabat. Perbedaannya seorang pemimpin harus lebih mengetahui ketimbang yang lainnya. Para imam maksum kita mengargumentasikan keimamahan dan kepeimimpinannya dengan metode ini bahwa seorang imam harus lebih utama dibandingkan oran lain. Kritikan-kritikan yang diajukan oleh ulama Syiah terhadap yang lain juga terkait dengan masalah ini. Ada seseorang menyebut dirinya khalifah tapi ketika ditanya ia tidak mampu menjawab. Ketidakmampuannya menjawab membuktikan ia tidak layak menjadi seorang khalifat dan pemimpin. Bila ada satu perbuatan yang dilakukannya bertentangan dengan hukum Islam berarti ia tidak pantas untuk menjadi pemimpin.
Menurut umat Islam ahli hukum dan adil merupakan syarat dan rukun asli bagi seorang pemimpin, sementara syarat-syarat lain hanya sebagai pelengkap seperti ilmu tentang malaikat dan sifat-sifat Allah. Dua ilmu ini tidak punya hubungan dengan masalah kepemimpinan. Begitu juga bila seseorang menguasai ilmu fisika dan berhasil menyingkap seluruh potensi yang dimiliki alam atau seseorang yang menguasai musik tidak serta merta membuatnya layak memimpin. Penguasaan terhadap hal-hal demikian tidak membuatnya lebih didahulukan dalam urusan kepemimpinan dari orang yang mengetahui undang-undang Islam sekaligus adil.


Hal-hal yang terkait dengan masalah kekhalifahan di masa Rasulullah saw, para imam maksum as dan dibahas secara serius oleh umat Islam adalah seorang khalifah atau pemimpin syarat pertama yang harus dimiliki adalah mengetahui ukum-hukum Islam. Artinya seorang khalifah harus ahli hukum. Syarat kedua ia harus adil dan sempurna dari sisi akidah dan akhlak. Akal manusia juga menuntut hal yang demikian. Karena pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, bukan pemerintahan arogan dan juga bukan pemerintahan individu atas rakyat. Bila seorang pemimpin tidak mengenal hukum, berarti ia tidak punya kelayakan untuk memerintah. Karena bila ia bertaklid akan merusak kekuatan pemerintahan dan bila tidak bertaklid, ia tidak menjadi penguasa dan pelaksana hukum Islam. Dengan demikian menjadi jelas hadis yang menyebut fuqaha adalah pemimpin para penguasa. Jika para penguasa mengikuti Islam, artinya mereka harus mengikuti para ahli fiqih dan menanyakan undang-undang dan hukum-hukum Islam kepada fuqaha kemudian melaksanakannya. Dalam kondisi seperti ini, penguasa sejati adalah fuqaha. Oleh karena itu, kekuasaan secara resmi harus dipegang oleh fuqaha, bukan dipegang oleh orang-orang yang tidak mengetahui hukum Islam yang terpaks harus mengikuti fuqaha.

2. Seorang pemimpin harus sempurna dari sisi akidah dan akhlak. Ia harus adil dan tidak berbuat dosa. Barang siapa yang ingin melaksanakan hukum Islam, yakni memelaksanakan hukum pidana Islam, mengelola baitul mal, pemasukan dan pengeluaran negara dan Allah menyerahkan urusan hamba-hamba-Nya kepadanya, maka ia tidak boleh berbuat dosa. "Wa La Yanalu ‘Ahdi adh-Dhalimin” Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". Allah swt tidak akan memberikan hak semacam ini kepada seorang zalim. Bila seorang pemimpin tidak adil, maka ia tidak akan bisa berlaku adil dalam memberikan hak-hak umat Islam, mengambil pajak dan menggunakannya serta menjalankan hukum pidana. Boleh jadi ia akan memaksakan teman-teman dan keluarganya terhadap masyarakat dan menggunakan baitul mal untuk kepentingan pribadi dan hawa nafsunya.

Rahbar (Pemimpin) Tidak Harus Seorang Marja
Sejak awal saya berkeyakinan dan menekankan bahwa seorang rahbar tidak harus seorang marja. Seorang mujtahid cukup disetujui oleh anggota Dewan Ahli dari seluruh negeri. Bila rakyat memilih anggota Dewan Ahli supaya mereka menentukan seorang Rahbar (pemimpin) pemerintahan mereka dan ketika Dewan Ahli menentukan seseorang sebagai Rahbar (pemimpin), maka kepemimpinannya dengan sendirinya telah disetujui oleh rakyat. Dalam kondisi yang demikian ia adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat dan perintahnya harus dijalankan.

Teladan Rahbari  
Rahbar di Pengadilan
Di masa permulaan Islam ada dua periode di mana pemerintahan Islam dapat diterapkan. Pertama, di zaman Rasulullah saw dan yang kedua saat Imam Ali bin Abi Thalib as memerintah di Kufah. Dalam dua periode inilah nilai-nilai spiritual memerintah. Yakni berdirinya sebuah pemerintahan adil dan pemimpin yang berkuasa tidak sedikit pun melanggar undang-undang. Dalam dua periode ini pemerintahan berdasarkan undang-undang. Boleh dikata mungkin kita tidak akan memiliki pemerintahan yang berdasarkan supremasi hukum seperti dalam dua periode itu. Pemerintahan yang pemimpinnya, sekarang terkadang disebut raja atau presiden, sama dengan seorang masyarakat biasa di hadapan undang-undang. Pemerintahan di awal Islam seperti itu. Sejarah mencatat satu kasus terkait Imam Ali as. Saat itu Imam Ali as dalam posisi sebagai khalifah umat Islam dan kekuasaannya terbentang mulai dari Hijaz sampai Mesir, Iran dan daerah-daerah lain. Imam Ali as yang menentukan hakim-hakim. Dalam sebuah kasus antara Imam Ali as dengan seorang warga Yaman yang masih berada di bawah kekuasaan pemerintahan Imam Alia as, hakim menghadirkan beliau, padahal beliau sendirilah yang mengangkat hakim itu. Ketika Imam Ali as memasuki ruang sidang, hakim hendak berdiri untuk menghormatinya. Imam Ali as langsung berkata, di ruang sidang seorang hakim tidak boleh hanya menghormati seseorang saja. Karena kedua belah pihak berada dalam posisi yang sama. Keputusan hakim ternyata merugikan Imam Ali as dan diterima oleh beliau dengan gembira.

Inilah sebuah pemerintahan di mana semua orang posisinya sama di hadapan undang-undang. Karena undang-undang Islam adalah undang-undang ilahi. Semua hadir di hadapan Allah, baik pemimpin atau yang dipimpin, baik Nabi, imam maupun rakyat lainnya.

Rahbar di Tengah-Tengah Masyarakat
Pemimpin Islam berbeda dengan pemimpin-pemimpin lainnya seperti raja atau presiden. Pemimpin Islam adalah seorang pemimpin yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Ia selalu hadir di masjid kecil di Madinah mendengarkan kata-kata masyarakat. Mereka yang berada di jajaran pemerintahan duduk bersama berbagai kalangan masyarakat di masjid. Mereka berkumpul sedemikian rupa sehingga bila ada orang lain masuk ke masjid, maka ia tidak akan dapat membedakan mana pemimpin pemerintahan, pejabat pemerinah dan mana yang menjadi rakyat biasa. Pakaian yang dikenakannya sama seperti yang dipakai rakyat biasa. Ia bergaul sama dengan pergaulan rakyat biasa. Begitu adilnya dalam melaksanakan keadilan sehingga bila rakyat yang paling rendah pergi ke pengadilan menuntut pemimpin tertinggi pemerintahan, maka hakim dengan mudah memanggil orang tertinggi di pemerintahan dan ia pasti hadir.

Wilayat Fakih Anti Kediktatoran
Dalam Islam yang memimpin adalah undang-undang. Rasulullah saw juga menaati undang-undang. Menaati undang-undang ilahi dan tidak melanggarnya. Allah swt berfirman: “Seandainya kamu mengatakan sesuatu bertentangan dengan apa yang Aku katakan, maka Aku pegang tangan kananmu dan Aku potong urat tali jantungmu”. Bila Rasulullah saw seorang diktator dan ditakuti jangan sampai suatu saat ia melakukan kediktatoran dengan semua kekuatan yang dimilikinya. Seandainya Rasulullah adalah seorang diktator, maka seorang faqih juga bisa berlaku sebagai seorang diktator.

Faqih tidak boleh orang yang zalim. Faqih yang berada dalam posisi sebagai Rahbar (pemimpin) harus punya sifat adil. Keadilan selain keadilan sosial. Bila seorang faqih berkata satu kebohongan saja berarti ia telah keluar dari sifat adil. Bila ia memandang seseorang yang bukan muhrimnya berarti ia sudah tidak adil. Orang yang semacam ini tidak dapat melanggar dan tidak akan melanggar.

Wewenang Rahbari dan Pemerintahan
Bila seseorang yang layak dan memiliki dua sifat ini (ahli hukum dan adil) bangkit dan membentuk sebuah pemerintahan, maka ia juga memiliki kekuasaan sebagaimana yang dimiliki oleh Rasulullah saw dalam mengatur urusan sosial dan seluruh masyarakat wajib menaatinya.

Anggapan yang mengatakan bahwa wewenang pemerintahan Rasulullah saw lebih besar dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as atau wewenang pemerintahan Imam Ali as lebih besar dari seorang faqih adalah pemikiran yang batil dan salah. Tentu saja keutamaan Rasulullah saw lebih tinggi dari semuanya. Setelah Rasulullah saw keutamaan Imam Ali as lebih tinggi dari yang lainnya. Namun, kelebihan keutamaan spiritual tidak memperluas wewenang pemerintahan. Allah swt juga memberikan wewenang kepada pemerintahan saat ini sebagaimana wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw dan para imam maksum lainnya baik dalam memobilisasi sukarelawan dan pasukan, menentukan wakil-wakil dan gubernur, menarik pajak dan menggunakannya demi kepentingan umat Islam. Bedanya pemimpin setelah kegaiban Imam Mahdi af tidak ditentukan individunya tapi atas nama “faqih yang adil”.

Ketika kita katakan bahwa setelah masa gaibnya imam Mahdi af kekuasaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw dan para imam maksum as dimiliki oleh faqih yang adil, jangan sampai ada yang berpikiran bahwa kedudukan para ahli fiqih adalah kedudukan para imam maksum as dan Rasulullah saw. Karena di sini tidak berbicara tentang kedudukan tapi berbicara tentang tugas. Wilayah adalah pemerintahan, mengatur negara dan menerapkan undang-undang syariat. Sebuah tugas yang sangat berat dan penting, bukannya mendatangkan posisi dan kedudukan luar biasa bagi seseorang atau menaikkan derajatnya dari batas manusia biasa. Dengan kata lain, kekuasaan yang menjadi bahasan adalah pemerintahan, melaksanakan dan mengatur. Berbeda jauh dengan yang dibayangkan oleh banyak orang. Kekuasaan bukan keistimewaan, tapi sebuah tugas berat.

Salah satu tugas seorang faqih pemegang kekuasaan adalah menjalankan hukum. Yakni hukum pidana Islam. Apakah dalam menjalankan hukum pidana ada perbedaan antara Rasulullah saw, Amirul Mukminin as dan seorang faqih? Apakah seorang faqih yang kedudukannya lebih rendah ia harus memukulnya lebih sedikit? Sebagai contoh, hukuman seseorang yangmelakukan zina adalah seratus cambukan. Apakah bila Rasulullah saw yang menjalankan hukum tersebut ia harus mencambuknya sebanyak seratus lima puluh kali cambukan, Amirul Mukminin Ali as seratus kali cambukan dan seorang faqih lima puluh cambukan? Ataukah seorang pemimpin selaku lembaga ekskutif ia harus menjalankan hukum Allah sesuai yang ditentukan, baik dia Rasulullah saw, Imam Ali as, wakil dan hakim beliau di Basrah dan Kufah atau seorang faqih masa kini. Tugas-tugas lain Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali as adalah menarik pajak, khumus, zakat, jizyah dan upeti tanah baik yang dihasilkan dari perang atau penduduknya berdamai. Bila Rasulullah saw harus menarik zakat, maka berapakah beliau harus mengambilnya? Apakah dari satu tempat beliau mengambil sepuluh dan di tempat lain dua puluh?
Apa yang dilakukan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as saat menjadi khalifah? Bagaimana dengan kalian sebagai faqih masa kini dan hukumnya harus dilaksanakan? Apakah dalam hal ini ada perbedaan antara kekuasaan Rasulullah saw, Amirul Mukminin Ali as dan kekuasaan seorang faqih? Allah swt telah menetapkan Rasulullah saw sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Semasa hidup Rasulullah saw, beliau menjadi pemimpin umat Islam termasuk pemimpin Imam Ali as. Sepeninggal beliau yang memimpin adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Beliau menjadi pemimpin atas imam setelahnya. Artinya, semua perintahnya berlaku bagi seluruh umat Islam. Beliau punya wewenang untuk mengangkat atau memberhentikan wakilnya.

Sebagaimana Rasullah saw diperintahkan untuk menjalankan hukum-hukum Islam dan menciptakan sistem Islam, Allah menjadikan beliau sebagai pemimpin umat Islam dan mereka harus menaatinya, seorang faqih yang adil juga harus menjadi pemimpin umat Islam, menjalankan hukum-hukum Islam dan menciptakan sistem sosial Islam.

Pemerintahan hukum awwali dan lebih utama dari hukum cabang
Bila wewenang pemerintahan berada dalam bingkai hukum-hukum cabang ilahi, maka wewenang pemerintahan ilahi dan kepemimpinan mutlak yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw merupakan sebuah fenomena yang tidak bermakna. Pemerintahan merupakan cabang kekuasaan mutlak Rasulullah saw, salah satu hukum awwali Islam dan lebih utama dari seluruh hukum cabang, bahkan atas shalat, puasa dan haji. Seorang pemimpin berhak merusak masjid atau rumah yang berada di tengah jalan dan memberikan ganti rugi kepada pemiliknya. Bila kondisi mengharuskan, seorang pemimpin bisa menghentikan aktiftas masjid dan merusak masjid yang membahayakan bila penyelesaiannya hanya dengan jalan membongkarnya. Pemerintah bisa membatalkan perjanjian syar’i yang dilakukannya dengan masyarakat secara sepihak, bila perjanjian tersebut bertentangan dengan kepentingan negara dan Islam. Pemerintah bisa mencegah segala perkara baik yang bersifat ibadah maupun selain ibadah bila itu bertentangan dengan kepentingan Islam. Pemerintah untuk sementara waktu bisa memboikot haji yang merupakan salah satu kewajiban ilahi yang penting bila kondisinya bertentangan dengan kepentingan negara Islam.

Kepemimpinan dan hak membatasi kepemilikan
Dalam Islam harta yang dimiliki lewat proses yang sesuai dengan syariat dibatasi dengan beberapa batasan. Salah satunya pembatasnya terkait dengan wewenang Wilayah Faqih. Patut disesalkan betapa para cendekiawan kita tidak memahami masalah. Mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan Wilayah Faqih. Salah satu wewenang Wali Faqih terkait dengan pembatasan kepemilikan. Benar Allah menghormati kepemilikan, namun pada saat yang sama seorang Wali Faqih dapat membatasi kepemilikan itu bila melihatnya bertentangan dengan kepentingan umat Islam dan Islam. Di sini kepemilikan yang dihormati dan legal itu dapat dibatasi dengan sebuah pembatasan tertentu lewat hukum yang dikeluarkan seorang Wali Faqih dan bahkan menyitanya.

sumber :http://www.leader.ir/langs/id/index.php?p=leader_imam