Minggu, 22 Februari 2015

Nasihat Imam Khomeini untuk Seorang Muslim




Wahai sahabatku yang mengaku Muslim, dengarkan sabda Baginda Rasul berkenaan dengan seorang Muslim, “Orang Muslim adalah dia yang Muslim lain terbebas dari gangguan tangan dan lidahnya.” Mengapa kitasaya dan Andamengganggu, mengusik dan menyakiti orang yang derajatnya bawah kita, dengan berbagai cara? Mengapa kita tidak pernah jera berbuat aniaya terhadap mereka, bahkan merampas hak mereka tanpa dasar? Sampai-sampai, bila tangan kita sudah tidak dapat menjangkau mereka, kita melakukan gangguan terhadap mereka melalui lidah kita, dengan membongkar rahasia-rahasia dan menyingkap segala hal yang selama ini mereka sembunyikan, mengumpat di belakang mereka serta membuat tuduhan-tuduhan palsu terhadap mereka?

Semua ini berarti bahwa klaim keislaman kita—yang tidak pernah membuat saudara-saudara Muslim kita selamat dari gangguan tangan dan lidah kita—bertentangan dengan kenyataan hidup kita yang sebenarnya. Keadaan batin kita bertentangan dengan kenyataan lahiriah kita. Dan ini membuktikan bahwa kita termasuk golongan orang munafik dan bermuka dua.
Wahai jiwa penulis lembaran-lembaran yang hina ini, yang berpura-pura seakan-akan berpikir tentang cara keluar dari hari-hari gelap serta keselamatan dari kesengsaraannya! apabila kamu benar dan hatimu selaras dengan lidahmu, dan realitas batinmu cocok dengan penampilan lahiriahmu, maka mengapa engkau begitu lalai, hatimu begitu memburuk, dan nafsumu begitu kuat? Mengapa engkau tidak berpikir tentang perjalanan kematian yang sangat penuh dengan risiko?
Usiamu telah berlalu cepat, tetapi engkau belum melepaskan nafsu dan keinginanmu. Engkau telah menghabiskan hari-harimu untuk memuaskan hawa nafsu dalam kelalaian dan kesengsaraan. Saat kematianmu terus mendekat, sementara engkau masih terjerat dalam perilaku burukmu dan terbiasa dalam perbuatan tak senonohmu. Engkau adalah jiwamu, seorang pemberi nasihat yang tidak mengambil pelajaran dari nasihatnya sendiri. Engkau termasuk kaum munâfiqûn dan bermuka dua. Jika engkau terus menerus dalam keadaan tersebut, maka engkau akan di kumpulkan dengan dua lidah api dan dua wajah dari api.
Oh Tuhan, sadarkan kami dari serangan tidur pulas yang berlarut-larut ini, sadarkan kami kembali dari keaddaan mabuk dan kelalaian ini. Sinarilah hati kami dengan cahaya keimanan dan rahmatilah keadaan kami. Ulurkan tangan-Mu kepada kami, dan tolonglah kami supaya terlepas dari cakaran iblis dan hawa nafsu, demi hamba-hamba pilihan-Mu, Muhammad dan keluarganya yang suci, semoga shalawat Allah dilimpahkan atas mereka.[]   

Jumat, 20 Februari 2015

KISAH PERNIKAHAN IMAM SAJJAD as




Banyak anak yang dinisbatkan kepada Imam Zainul Abidin dari beberapa istri, tetapi di antara istri-istri ini hanya seorang yang dinikahi secara permanen, dan yang lainnya adalah budak-budak yang dibeli beliau dan mendapatkan kebanggaan memiliki anak dari Imam as.

Ummu Abdullah putri Imam Hasan as

Satu-satunya istri yang dinikahi secara permanen oleh Imam Sajjad as adalah Ummu Abdillah, putri pamannya Imam Hasan Mujtaba as.
Imam Hasan demi menghormati ibunya dan supaya anaknya dapat meniru ibunya, beliau memberi nama putrinya Fathimah. Ia memiliki banyak julukan, di antaranya Ummu al-Hasan, Ummu 'Abdihi, dan Ummu 'Abdillah sebagai julukan yang paling terkenal. Demi kesucian dan kejujurannya, ia dikenal dengan julukan Shiddiqah (wanita yang jujur).
Ia seorang wanita yang taat, terhormat, suci hati dan mengerti, pandai, shaleh, zuhud, dan berbagai sifat mulia yang dikatakan oleh para Imam as kepadanya.
Begitu mulianya maqam yang dimilikinya sehingga Imam Shadiq as mengatakan:

"Dia adalah wanita yang jujur dalam perkataan dan perbuatannya, dan tak seorangpun dari wanita yang dapat menyainginya."

Atau dalam hadis yang lain beliau berkata:
"Dia adalah wanita yang jujur yang tidak dapat dijumpai sepertinya dalam keterunan Imam Hasan as."

Dia dikenal dengan kemustajaban doanya. Dalam hal ini telah diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Baqir as. yang mengatakan:
"Suatu hari ibuku duduk di bawah sebuah tembok, kemudian tembok itu roboh. Ibuku berkata: 'Demi Musthafa, Tuhan tidak mengizinkanmu untuk jatuh menimpaku.' Setelah itu tembok itu kembali ke tempatnya seperti sedia kala, lalu ibuku berpindah dari tempatnya. Kemudian ayahku bersedekah atas kejadian itu sebanyak seratus Dinar."92
Dia mengikuti suaminya Imam Sajjad as sewaktu terjadi peristiwa pembantaian di Karbala. Dia bersama suami dan anaknya yang berumur empat tahun, Imam Baqir as menjalani penyanderaan dengan seluruh penderitaan dan kepahitannya. Penderitaannya semakian bertambah ketika dua saudaranya yang lebih muda, Qosim (13 tahun) dan 'Abdullah (15 tahun) syahid di sana.
Fathimah Ummu 'Abdillah adalah seorang istri yang sangat tepat bagi Imam keempat dimana ia memiliki banyak sekali kelebihan lahir batin dari wanita lain di zamannya. Di antaranya adalah bahwa dia adalah anak, istri dan ibu dari Imam ma'sum as. Suami Ummu 'Abdillah adalah Imam Sajjad as yang telah menggabungkan dua arah imamah93 sehingga karenanya muncullah seorang anak yang dapat meneruskan silsilah kepemimpinan, yang dikenal dengan julukan Baqiru al-'Ilmi (yang dalam ilmunya).94
Sedangkan jumlah anak dari Imam Sajjad as yang ditulis dalam buku-buku sejarah berbagai macam. Ada yang mengatakan lima belas95, enam belas96, tujuh belas97, dan bahkan ada yang mengatakan dua puluh orang.98

Berkata Imam al-Baqir as.:


لا فضل كالجهاد و لا جهاد كمجاهدة الهوى
"Tidak ada keutamaan melebihi jihad, dan tidak ada jihad melebihi jihad melawan hawa nafsu."


BIOGRAFI IMAM JA'FAR SHADIQ



Imam Ja'far bin Muhammad lahir di Madinah pada tahun 82 H, pada masa pemerintahan Abd Al-Malik ibn Marwan.

Imam Ja'far Ash-Shadiq adalah keturunan kelima Rasulullah SAW melalui Sayyidah Fatimah Az-Zahra, yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ayahnya, Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Asy-Syahid bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Ummu Farwah, yang nama aslinya Qaribah atau Fatimah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shidiq. Dengan nasab yang luar biasa tersebut, lmam Ja'far mewarisi darah beberapa tokoh paling utama di bumi sekaligus : Fatimah binti Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shiddiq.

Sedangkan nenek dari ibunya adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Karena nasab kakek-nenek dari pihak ibunya bermuara kepada Abu Bakar Shiddiq, Imam Ja'far Ash-Shadiqpun mengatakan, 'Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali.'(Siyar 'A'lam An Nubala : 259).

Karena ikatan darah yang sangat kuat itulah, lmam Ja'far Ash-Shadiq sangat mencintai datuk-datuknya, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, serta orang-orang yang mereka sayangi, seperti Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Aisyah binti Abu Bakar, dan lain-lain. Dalam berbagai literatur sejarah pun diceritakan Imam Ja'far membenci orang-orang yang membenci sahabat-sahabat Nabi tersebut, juga orang-orang yang menetapkannya sebagai imam yang ma'sum.

Selama 15 tahun lmam Ja'far tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin, keturunan Rasulullah yang selamat dari pembantaian di Karbala. Setelah lmam Zainal Abidin wafat, barulah beliau diasuh oleh ayahnya, Muhammad Al-Baqir, selama 19 tahun.

Beliau sempat menyaksikan kekejaman Al-Hajjaj, gubernur Madinah, pemberontakan Zaid ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut keturunan Nabi. Beliau juga menyaksikan naiknya Al-Saffah menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, yang semula mendukung kaum Alawiyyin tapi belakangan berbalik memusuhi. Dalam suasana seperti itulah, lmam Ja'far tumbuh, belajar, dan berdakwah untuk menyebarkan sunnah Rasulullah dan akhlaq kaum muslim.

Imam Ja'far termasuk ulama yang tidak setuju dengan penggunaan logika (ra'yu) dalam beragama. Diceritakan, suatu ketika lbnu Abi Layla, salah seorang murid Imam Ja'far, mengajak dua orang temannya, yaitu Abu Hanifah dan lbn Syabramah, menghadap gurunya.
lmam Ja'far bertanya kepada Ibn Abi Layla tentang kawannya (Abu Hanifah).
Sang murid menjawab, 'Dia orang pintar dan mengetahui agama.'
'Bukankah dia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?' tanya lmam Ja'far.
'Benar.'
lmam Ja'far lalu bertanya kepada Abu Hanifah, 'Siapa namamu?'
'Nu'man,' jawab Abu Hanifah.
Imam Ja'far berkata, 'Hai Nu'man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku bahwa Nabi SAW bersabda, 'Orang yang pertama kali menggunakan qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam dia berdalih, 'Aku lebih baik dari dia, karena aku KAU buat dari api dan dia KAU buat dari tanah.''
Lebih lanjut lmam Ja'far bertanya, 'Manakah yang lebih besar dosanya, membunuh atau berzina?'
'Membunuh,' jawab lmam Abu Hanifah.
'Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk pembunuhan dan empat orang saksi untuk zina?'
Imam Abu Hanifah terdiam.
'Mana yang lebih besar kewajibannya, shalat atau shaum?'
'Shalat,' jawab lmam Abu Hanifah.
'Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha puasanya tetapi tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah, dan jangan melakukan qiyas dalam agama.'
Karena keluasan dan kedalaman ilmunya itulah, lmam Ja'far juga digelari Al-lmam oleh kaum Ahlussunnah wal Jama'ah.
Betapa tidak luas, tak kurang 15 tahun beliau dididik langsung oleh kakeknya, lmam Zainal Abidin, seorang ahli ibadah, ulama besar, dan pemimpin ahlul bayt yang paling dihormati seluruh lapisan umat lslam pada zamannya.

Selain kepada ayah dan kakeknya, lmam Ja'far juga menimba ilmu dari para sahabat besar, seperti Sahl bin
Sa'ad As-Sa'idi dan Anas bin Malik, serta dari ulama dari generasi tabi'in, seperti Atha' bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Urwah bin Az-Zubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Abdullah bin Abu Rafi', dan Ikrimah Mawla bin Al-Abbas.

Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al-Abbas Al-Hamdzani, Ja'far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, lalu berkata, 'Sesungguhnya kalian (insya Allah) termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku ini, 'Barangsiapa mengira aku adalah imam ma'shum yang wajib ditaati, aku benar-benar tidak ada sangkut paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, aku berlepas diri dari orang itu.'' (Syiar 'A'lam An Nubala : 259).

Muhammad bin Fudhail menceritakan dari Salim bin Abu Hafshah, 'Aku bertanya kepada Abu Ja'far (lmam Muhammad Al-Baqir) dan putranya, Ja'far, tentang Abu Bakar dan Umar. Beliau (lmam Muhammad) berkata, 'Hai Salim, cintailah keduanya dan berlepas diri musuh-musuhnya karena keduanya adalah imam al-huda (pemimpin yang mendapat petunjuk).'

Kemudian Ja'far berkata, 'Hai Salim, apakah ada orang yang mencela kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku. Aku tidak akan mendapat syafaat Muhammad SAW pada hari qiamat jika aku tidak mencintai keduanya dan memusuhi musuh-musuhnya.''
Ucapan Imam Ash-Shadiq seperti ini beliau ucapkan di hadapan ayahnya, lmam Muhammad Al-Baqir, dan ia tidak mengingkarinya (Tarikh Al-lslam 6/46).

Hafsh bin Ghayats, murid Ash-Shadiq, berkata, 'Saya mendengar Ja'far bin Muhammad berkata, 'Aku tidak mengharapkan syafaat untukku sedikit pun melainkan aku berharap syafaat Abu Bakar semisalnya. Sungguh dia telah melahirkanku dua kali.''

Murid lmam Ja'far yang lain, Amr bin Qais al-Mulai, mengatakan, 'Saya mendengar lbnu Muhammad yakni Ja'far Ash-Shadiq berkata, 'Allah Ta'ala berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar.''(Siyar Alam An Nubala :260).

Zuhair bin Mu'awiyah berkata, 'Bapaknya berkata kepada lmam Ja'far bin Muhammad, 'Sesungguhnya saya memiliki tetangga yang mengira engkau berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar.'

lmam Ja'far pun menjawab, 'Semoga Allah berlepas diri dari tetanggamu itu. Demi Allah, sesungguhnya saya berharap mudah-mudahan Allah memberikan manfaat kepadaku karena kekerabatanku dengan Abu Bakar. Sungguh aku telah mengadukan (rasa sakit), maka aku berwasiat kepada pamanku (dari ibu), Abdurrahman bin Al-Qasim.'' (At Taqrib, lbnu Hajar, dan Tarikh Al-lslam, Adz Dzahabi.

Imam Ja'far wafat pada 25 Syawal 148 H (ada juga yang yang mengatakan pada bulan Rajab) dalam usia 68 tahun di kota kelahirannya, Madinah. Sang imam meninggalkan tujuh putra, yang belakangan juga dikenal sebagai permata-permata ilmu. Yaitu lsmail, Abdullah, Musa Al-Kazhim, lshaq, Muhammad, Ali, dan Fathimah.

Rabu, 18 Februari 2015

Imam Ja‘far sadiq a.s dan Sufyan Tsauri


Suatu hari, Sufyan lewat di Masjidil Haram. Dia melihat Imam Ja‘far as memakai mantel bagus yang berharga mahal. Dia berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan peringatkan dia.” Lalu dia mendekati Imam dan berkata kepadanya,” Demi Allah, wahai putra Rasulullah! Aku tidak menjumpai pakaian seperti ini dipakai oleh Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan tidak seorang pun dari bapakmu.”
 
Imam menjawab, “Dahulu, Rasulullah hidup pada zaman yang serba kekurangan, kefakiran, dan kini kita hidup pada zaman kemakmuran, dan orang-orang baiklah yang lebih berhak daripada orang lain atas nikmat Allah.”
 
Kemudian beliau membacakan firman Allah, “Katakanlah siapakah yang mengharamkan perhiasan dan makan bersih yang Allah siapkan untuk hambanya. “Maka, kamilah yang lebih berhak untuk memanfaatkan apa yang diberikan Allah.”
 
Lalu Imam menyingkap pakaiannya dan tampaklah pakaian dalamnya yang kasar dan kering. Beliau berkata lagi, “Wahai Sufyan, pakaian ini (mantel luar) untuk manusia dan pakaian dalam ini untukku.”

Kisah imam ja'far sadiq a.s dan seorang muallaf

Berbakti kepada Ibu

Seorang pemuda beragama Nasrani (Kristen) yang baru saja masuk Islam menjumpai Imam Ja‘far Shadiq. 
Imam memanggilnya dan berkata, “Katakanlah apa yang kau butuhkan?”

Pemuda itu berterus terang, “Sesungguhnya ayah dan ibuku serta seluruh keluargaku beragama Nasrani. Ibuku matanya buta dan aku hidup bersama dengan mereka dan makan dari bejana mereka.”
Imam as berkata, “Apakah mereka makan daging babi?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak.”

Imam as berkata, “Makanlah bersama mereka, dan aku wasiatkan kepadamu untuk tidak merasa berat dalam berbuat baik kepada ibumu, dan penuhilah segala keperluannya.”
Pemuda itu kembali ke Kufah. Setibanya di rumah, sang ibu mendapatinya begitu patuh dan saleh, berbeda dengan kondisi sebelumnya.

Dia berkata, “Wahai anakku, kau tidak pernah melakukan hal seperti ini ketika kau masih memeluk agama Nasrani. Lalu gerangan apakah semua yang kuliat ini semenjak kau berpindah agama dan masuk Islam?”
Pemuda itu menjawab, “Aku diperintahkan melakukan semua ini oleh seorang laki-laki dari keturunan Nabi Muhammad saw.”

“Apakah dia seorang nabi?” tanya sang ibu.
Pemuda itu menjawab, “Bukan, ia hanyalah keturunan nabi.”
Akhirnya, sang ibu pun mengakui, “Agamamu sungguh sebaik-baik agama. Ajarkanlah agamamu kepadaku.”
Lalu pemuda itu menyambut permintaannya, hingga ia pun masuk Islam dan menunaikan salat sesuai yang diajarkan anaknya yang saleh itu.

Imam Ja‘far sadiq a.s dan Manshur Dawaniqi



Kaum muslimin jenuh dan geram terhadap pemerintahan Bani Umayah yang zalim. Dalam keadaan demikian itu, terdapat sekelompok orang yang memanfaatkan kegeraman muslimin itu serta dan keberpihakan mereka kepada Ahlulbait Rasul as demi kepentingan pribadi.
 
Lantaran hasutan orang-orang itu, kaum muslimin mulai melakukan pembangkangan terhadap Bani Umaiyah dengan membawa-bawa nama Ahlulbait. Sementara itu Bani Abbasiyah segera giat menyalahgunakan kondisi tadi dengan mengajak kaum muslimin agar meneriakkan slogan “Kesetiaan pada Ahlulbait Muhammad.”
 
Slogan yang digemakan itu sangat membantu menyebarkan siasat Bani Abbasiyah. Pemberontakan mulai meletus di Khurasan yang dengan cepat mendapat gelombang dukungan dari masyarakat luas, hingga mereka bisa menggulingkan pemerintahan Bani Umayah.
 
Maka, terjadilah pergantian kekhalifahan. Bani Abbasiyah mulai melakukan pembagian kekuasaan dengan mitra politiknya dan mulai mengusir—bahkan—keturunan-keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as, di manapun mereka ditemukan. Mereka melakukan kejahatan itu semua dengan sangat hati-hati.
 
Khalifah pertama Bani Abbasiyah ialah Manshur Dawaniqi. Dia menjalankan pemerintahan tangan besi dan merencanakan pembunuhan atas setiap penentangnya. Dia membunuh Muhammad dan saudaranya, Ibrahim, yang keduanya adalah dari keturunan Imam Hasan as.
 
Manshur juga menyebarkan mata-matanya di setiap kota. Secara khusus dia memerintahkan gubernur Madinah untuk mewaspadai setiap gerak gerik Imam Ja‘far as.
 
Pernah suatu kali Manshur mengundang Imam Ja‘far as dan berkata, “Mengapa engkau tidak mengunjungi kami sebagaimana orang-orang mendatangi kami?”
 
“Tidak ada urusan dunia yang membuat kami kuatir terhadapmu, dan tidak ada pula urusan akhiratmu yang bisa kami harapkan darinya. Begitu pula, tidak ada kenikmatanmu yang bisa kami syukuri, dan tidak pula kesusahanmu yang bisa kami sesalkan”, jawab Imam as.
 
Dengan liciknya, Manshur menawarkan, “Kalau begitu, jadilah temanku agar engkau bisa menasiatiku?”
Imam as kembali menjawab, “Siapa saja yang menginginkan dunia, ia tidak akan menasihatimu, dan siapa saja yang menginginkan akhirat, ia pun tidak akan menjadi temanmu.”
 
Manshur memerintahkan gubernurnya di Madinah untuk mengikis habis citra dan pengaruh besar Imam Ali bin Ali Thalib as di sana.
 
Hingga pada suatu hari, guberbur Madinah naik mimbar dan mulai mencaci maki Imam Ali as serta keluarganya. Tiba-tiba Imam Ja‘far as bangkit dan berkata, “Adapun sanjungan yang telah kau sampaikan, maka kamilah pemiliknya, dan segala hujatan yang telah kau katakan, maka kau dan sahabatmulah (Manshur) yang lebih pantas menjadi sasarannya.”
 
Lalu Imam as menoleh kepada khalayak sembari berkata, “Aku peringatkan kepada kalian akan orang yang paling ringan timbangan amalnya, yang paling jelas merugi di Hari Kiamat, dan yang paling celaka keadaannya. Yaitu, orang yang menjual akhirat dengan kesenangan duniawi orang lain. Orang itu adalah gubernur yang fasik ini.”
 
Gubenur itu segera turun dari mimbar sambil menanggung segunung rasa malu dan hina.
Dikisahkan, pada suatu saat di sebuah ruang pertemuan, ada seekor lalat bermain-main di hidung Manshur. Berulang kali dia mengusirnya. Lalat itu tetap saja kembali, sehingga dia merasa kesal dan berang. Ia berpaling kepada Imam Ja‘far as dan berkata, “Untuk apa Allah menciptakan lalat?”
 
“Untuk menghinakan hidung orang sombong.” Jawab Imam as.
Manshur begitu geram. Dia tak tahan lagi melihat keberadaan Imam as di bawah pemerintahannya. Untuk itu, dia merencanakan pembunuhan atas beliau. Akhirnya, dia pun berhasil meracuni beliau.
Imam Ja‘far as meninggal syahid pada 25 Syawal. Tubuhnya yang suci dikebumikan di pemakaman Baqi‘, Madinah Munawwarah.[]

Imam Ja‘far sadiq a.s dan Penimbun Barang


Imam Ja‘far Shadiq as berkata, “Masa menimbun barang pada musim subur (panen); yaitu empat puluh hari dan tiga hari pada musim paceklik. Maka, barang siapa yang melampaui empat puluh hari pada musim subur, sungguh ia akan terlaknat, dan barang siapa yang melampaui tiga hari ketika musim paceklik, dia pun akan terlaknat.”

Beliau berkata kepada pembantunya ketika masyarakat dalam keadaan hidup susah, “Belilah biji gandum dan campurlah makanan kami (dengan bahan lain), karena kami dimakruhkan makan makanan yang enak sementara masyarakat makan makanan yang tidak enak.”

Suatu malam, gelap gulita menyelimuti kota Madinah. Mu’alla bin Khunais melihat Imam Ja‘far as menerobos kegelapan malam di bawah guyuran hujan sambil memikul roti sekarung penuh. Lalu dia mengikuti beliau untuk mengetahui ihwal rota yang dibawanya. Tiba-tiba beberapa potong roti itu jatuh berserakan. Imam as memungutnya dan terus melanjutkan perjalanannya hingga sampai di tempat orang-orang miskin yang sedang tidur. Imam as meletakkan dua potong roti di samping kepala mereka.

Mu’alla mendekati Imam as. Setelah memberi salam, dia bertanya, “Apakah mereka dari pengikut setiamu?” Beliau menjawab, “Bukan.”

Imam Ja‘far as juga banyak menanggung nafkah sejumlah keluarga. Beliau membawakan mereka makanan pada malam hari sementara mereka sendiri tidak mengetahui. Hingga ketika beliau wafat, terputuslah santunan yang biasa datang pada malam hari. Mereka sadar bahwa yang membawa itu ternyata sang Imam as.

Suatu masa, Madinah dilanda musim kemarau. Gandum begitu langka di pasar. Imam Ja‘far as bertanya kepada pembantunya, Mu’tab tentang persediaan yang dimiliki. Mu’tab menjawab, “Kita punya cukup persediaan untuk beberapa bulan.”

Beliau memerintahkan untuk membawa dan menjualnya di pasar. Mu’tab heran dan memprotes. Akan tetapi, tidak ada faedahnya.

Basyar Mukkari meriwayatkan, “Aku mendatangi Ja‘far Shadiq as, sementara beliau tengah memakan kurma yang berada di tangannya. Beliau berkata, ‘Wahai Basyar, kemarilah dan makanlah bersama kami.’

Aku berkata, ‘Semoga Allah membahagiakanmu, nafsu makanku hilang karena aku melihat sebuah kejadian di tengah jalan tadi yang menyakitkan hatiku. Aku melihat tentara memukuli seorang perempuan dan menyeretnya untuk dijebloskan ke penjara. Perempuan itu meratap, ‘Aku memohon perlindungan kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Lalu aku mencari tahu tentang nasib perempuan tersebut. Orang-orang mengatakan bahwa dia tergeletak di jalan. Aku berkata, ‘Semoga Allah melaknat orang yang menzalimimu, duhai Fatimah.’

Imam berhenti makan dan menangis. Air matanya membasahi sapu tangannya. Lalu beliau bangkit dan pergi ke mesjid untuk mendoakan perempuan itu.

Perempuan miskin itu tidak lama tinggal mendekam di penjara. Imam as mengirimkan kepadanya sebuah kantong kecil yang berisi tujuh keping dinar.

Imam Ja‘far sadiq a.s dan Perniagaan


Suatu hari Imam as memanggil pelayannya, Musadif dan memberinya seribu dinar untuk modal berniaga. Imam berkata kepadanya, “Bersiap-siaplah pergi ke Mesir untuk berniaga.”

Ketika barang dagangan sudah dikumpulkan, dia bersiap-siap untuk berangkat bersama kafilah dagang ke Mesir. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah dagang dari Mesir dan mereka menanyakan barang perniagaan dan kebutuhan masyarakat di sana. Mereka mengabarkan bahwa barang yang mereka bawa sekarang tidak ada di Mesir, lalu kafilah dagang itu sepakat untuk mencari keuntungan.

Setibanya di Mesir, mereka menjual barang mereka dengan harga seratus persen keuntungan, kemudian bergegas kembali ke Madinah. Musadif menjumpai Imam Shadiq as sambil membawa dua kantong uang, masing-masing berisi seribu dinar.

Dia berkata kepada Imam as, “Wahai tuanku, ini modal uang dan ini keuntungannya.”
Imam berkata, “Alangkah banyak keuntunganmu. Bagaimana caranya engkau dapatkan keuntungan sebanyak ini?”

Musadif pun menceritakan bagaimana masyarakat Mesir membutuhkan barang yang mereka bawa, dan bagaimana para pedagang sepakat untuk menarik keuntungan satu kali lipat dari setiap dinar modal mereka.
Imam as dengan nada heran berkata, “Mahasuci Allah, engkau sepakat untuk menarik keuntungan dari kaum muslimin dan menjual barang kalian dengan keuntungan satu dinar dari setiap dinar modal kalian?”
Imam lalu mengambil modalnya saja dan berkata, “Ini adalah hartaku dan aku tidak butuh pada keuntungan ini.”

Kemudian berkata, “Wahai Musadif, tebasan pedang lebih ringan perkaranya daripada mencari harta halal.”
Pada suatu waktu, seorang fakir pernah meminta bantuan kepada Imam Ja‘far as. Lalu beliau berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?” Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus dirham.”
Imam berkata lagi, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Orang fakir itu mengambilnya dan pamit dengan segunung rasa syukur.

Imam meminta kepada pembantunya, “Panggil dia kembali!” Si fakir itu berkata keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali?”

Imam berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Dan kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi. Maka, ambillah cincin ini. Harganya 10 ribu dirham. Jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut.”