Minggu, 19 April 2015

Ilmu Ekonomi dan ideologi Islam menurut Ayatullah Muhammad Baqir As-Sadr


Menurut pendapat mazhab Baqir As-Sadr dalam bukunya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan islam, keduanya merupakan sesuatu yang berbeda sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu ekonomi sedangkan islam adalah islam, tidak ada yang disebut ekonomi islam. Menurut mereka islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas, sebab alam semesta ini maha luas. Sehingga jika manusia bisa memanfaatkannya niscaya tidak akan pernah habis.[3]

Jadi, menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam, sehingga perlu dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity) dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal ini mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi sebagaimana ditegaskan dalam firman

Yang Artinya:
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS Al-Furqan : 2)

Jadi, dalam hal ini konsep kelangkaan (scarcity) tidak bisa diterima karena tidak selaras dengan pesan wahyu yang menjamin kehidupan setiap makhluk di bumi ini.[4] Pada sisi lain mazhab Baqir As-Sadr juga menolak anggapan bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas. Sebab dalam kebutuhan tertentu misalnya makan dan minum manakala perut sudah merasa kenyang maka dia sudah merasa puas karena kebutuhannya telah terpenuhi. Sehingga kesimpulannya bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak tak terbatas sebagaimana dijelaskan dalam konsep law of diminishing marginal utility bahwa semakin banyak barang dikonsumsi maka pada titik tertentu justru akan menyebabkan tambahan kepuasan dari setiap tambahan jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin berkurang.[5]

Jadi ada kesenjangan pemikiran yang menimbulkan kekacauan persepsi antara pengertian kebutuhan (need) dan keinginan (want). Jika perilaku manusia disandarkan pada keinginan (want), maka persoalan ekonomi tidak akan pernah selesai karena nafsu manusia selalu merasa tidak akan pernah puas. Dan disinilah persoalan ekonomi yang dihadapi sekarang karena bertitik tolak pada keinginan (want) masyarakat sehingga tekanan ekonomi menjadi semakin kuat yang berdampak pada ketidakseimbangan baik secara makroekonomi maupun mikroekonomi. Salah satu efek yang ditimbulkan dari perilaku ekonomi yang bertitik tolak pada keinginan (want) yaitu semakin rusaknya sistem keseimbangan lingkungan hidup karena sumber-sumber daya ekonomi terkuras habis sekedar untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak akan pernah puas. Penebangan dan pencurian hutan (illegal logging), semakin menipisnya cadangan minyak bumi, menipisnya lapisan ozon, semakin sulitnya mencari sumber air, lunturnya nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dan di masyarakat, dsb. merupakan beberapa gambaran dari adanya ketidakseimbangan ekologi dan sosial yang diakibatkan ulah tangan manusia yang sekedar ingin memuaskan keinginan (want) yang tidak pernah berhenti.

Dalam perspektif ekonomi Islam bahwa perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need) yang disandarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak diperbolehkan untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa jadi keinginan itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus disandarkan pada syariah Islam baik dalam aktivitas konsumsi, produksi maupun distribusi. [6]

Moral ekonomi Islam yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan (sustainability) kehidupan dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan bertanggung jawab yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi masyarakat. Akan dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang merusak dan merugikan kehidupan masyarakat seperti produksi minuman keras, narkoba, prostitusi, perjudian, bisnis pornografi dan pornoaksi, dsb. Sehingga tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi manusia yang akan datang, karena tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam bukan hanya sekedar mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah puas.

Selanjutnya bahwa menurut mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat manusia di dunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata. Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk termasuk manusia ini bisa didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini begitu melimpah baik yang ada di darat maupun di laut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana niscaya semua individu di dunia dapat hidup secara layak dan manusiawi. Namun fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia dapat menikmati anugerah Allah tersebut, sehingga masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sementara sebagian kecil lainnya bergelimang dalam kemewahan. Menurut mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut maka ada beberapa langkah yang dilakukan yaitu :
1. Mengganti istilah ilmu ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti bahwa selaras, setara dan seimbang (in between).
2. Menyusun dan merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam hal itulah mazhab Baqir As-Sadr mempunyai kontribusi yang cukup signifikan dalam wacana perkembangan ilmu ekonomi Islam