Sebagai
sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit
membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih
banyak, namun dari sisi kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang
masalah fikih masih kalah dibanding buku komentar terhadap al-‘Urwah
al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini
secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada
buku komentar ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah
al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam
Khomeini”
————————————————————–
Mengenal Buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini
Oleh: Saleh Lapadi
SALAH
SATU karya fikih yang ditinggalkan oleh Imam Khomeini adalah buku Tahrir
Wasilah. Buku fikih yang memuat kumpulan fatwa fikih paling lengkap
Imam Khomeini. Kedalaman dan keluasan pembahasan buku ini, berikut
kekokohan argumentasinya mampu menepis fatwa-fatwa ulama sebelumnya yang
tidak memperbolehkan mengikuti fatwa seorang mujtahid yang telah
meninggal dunia. Sebagian besar pendapat dan fatwa Imam Khomeini dalam
buku Tahrir Wasilah sampai saat ini adalah pendapat puncak dan diakui
oleh sebagian besar mujtahid yang nota bene adalah murid-muridnya. Oleh
karenanya, sebagian dari mujtahid yang ada saat ini masih memperbolehkan
para mukallidnya (mereka yang bertaklid), yang sebelumnya bertaklid
kepada Imam Khomeini untuk tetap mengamalkan buku Tahrir Wasilah.
Sementara untuk fatwa yang berbeda dan masalah baru yang tidak terdapat
dalam buku Tahrir, mukallid harus mengikuti pendapat mereka.[1]
Sebelum
mengenal lebih jauh tentang buku Tahrir Wasilah karangan Imam Khomeini
itu, ada baiknya mengenal beberapa karya fikih beliau yang ditulis
sebagai buku fatwa. Buku fikih fatwa paling awal yang ditulis oleh Imam
Khomeini merupakan komentar beliau terhadap buku karangan Ayatullah
al-Uzhma Sayyid Abu al-Hasan Isfahani (1284-1365 H-Q) yang berjudul
Wasilah an-Najah (Pengantar Keselamatan). Buku ini beliau tulis beberapa
tahun sebelum meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan dicetak dengan judul
“Wasilah an-Najah Ma’a Ta’aliq al-Imam al-Khomeini”, Ayatullah
Burujerdi semasa hidupnya adalah mujtahid Syi’ah terbesar.
Komentar-komentar beliau terhadap buku Wasilah an-Najah inilah yang
nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya buku Tahrir Wasilah.
Disebutkan bahwa ada beberapa perbedaan fatwa beliau yang ditulis dalam
komentarnya terhadap Wasilah an-Najah dan buku Tahrir Wasilah. Namun ini
tidak menjadi masalah karena penulisan buku komentar terhadap Wasilah
an-Najah lebih dahulu, maka tentunya yang diutamakan adalah pendapat
beliau dalam buku Tahrir Wasilah.
Selain
mengomentari buku Wasilah an-Najah karya Sayyid Abu al-Hasan
al-Isfahani, beliau juga mengomentari buku al-‘Urwah al-Wutsqa karangan
Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim al-Yazdi (1247-1337 H-Q). Buku
al-‘Urwah al-Wutsqa adalah buku argumentasi fikih Syi’ah yang ditulis
dengan baik dan tercatat sebagai salah satu buku yang memuat
cabang-cabang masalah fikih dengan komplit pada masanya. Sayyid Yazdi
sendiri setelah menulis buku tersebut mengumumkan sayembara kepada
murid-muridnya dan berjanji memberikan hadiah bila menemukan kekurangan
dalam hal ini.
Sebagai
sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah cukup komplit
membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya lebih
banyak, namun dari sisi kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang
masalah fikih masih kalah dibanding buku komentar terhadap al-‘Urwah
al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat pikiran-pikiran Imam Khomeini
secara utuh dalam masalah fikih hendaknya melakukan perujukan kepada
buku komentar ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku al-‘Urwah
al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq al-Imam
Khomeini”.
Buku-buku
yang memuat fatwa-fatwa Imam Khomeini di atas ditulis dalam bahasa Arab
sebagaimana buku Tahrir Wasilah. Imam juga memiliki buku fatwa dalam
bahasa Persi. Buku pertama beliau dalam bahasa Persi adalah “Resale-e
Nejatul Ebad” (Risalah untuk keselamatan hamba). Buku ini dikumpulkan
pada awal-awal beliau menjadi marja’ dan Ayatullah Burujerdi masih
hidup. Buku ini sebagian besar adalah terjemahan Wasilah an-Najah dan
pada bagian-bagian tertentu adalah terjemahan al-“Urwah al-Wutsqa yang
beliau komentari. Tentu saja penyusunan buku ini dituntun langsung oleh
beliau secara lisan. Setelah meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan
kemudian dicetaknya Risalah Taudhih al-Masail—kumpulan buku fatwa
Imam—buku Resale-e Najatul Ebad kemudian menjadi terlupakan.
Buku
fikih paling anyar dari Imam Khomeini adalah Risalah Taudhih al-Masail.
Buku ini disusun dan kemudian diedit oleh mereka yang bertugas khusus
menangani masalah fatwa Imam Khomeini. Setelah itu mereka mengirimkan
surat kepada Imam Khomeini untuk mendapatkan persetujuan beliau bahwa
apa yang tertulis dalam buku ini sesuai dengan fatwa beliau. Buku ini
mendapat perhatian besar masyarakat sehingga berkali-kali dicetak ulang,
dengan tambahan permasalahan-permasalahan baru yang ditanyakan kepada
Imam Khomeini.
Proses Penulisan Buku Tahrir Wasilah
Buku
Tahrir Wasilah pada hakikatnya merupakan hasil kerja tiga orang ulama
besar Syi’ah. Mereka adalah Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim Yazdi,
Ayatullah Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan Ayatullah Sayyid Ruhullah
Khomeini. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Imam Khomeini menulis
komentar terhadap buku Wasilah an-Najah milik Sayyid Abu al-Hasan
Isfahani dan dalam penulisan buku Tahrir Wasilah, komentar-komentar
beliau itu dijadikan matan dan teks yang berdiri sendiri dari buku
Wasilah an-Najah. Kemudian beliau menambahkan masalah-masalah lain yang
terinspirasi dari buku al-‘Urwah al-Wutsqa milik Sayyid Kazhim Yazdi dan
menambahkan masalah-masalah kontemporer.
Penyebutan
bahwa buku Tahrir Wasilah adalah hasil kerja keras tiga ulama besar di
atas tentu cukup beralasan. Hal itu dikarenakan dalam penulisan buku
Tahrir Wasilah, sumber yang dijadikan rujukan Imam Khomeini hanyalah
tiga buah buku; Wasilah an-Najah, al-‘Urwah al-Wutsqa dan Wasail Syi’ah.
Dan buku Tahrir Wasilah ditulis oleh Imam ketika beliau berada dalam
penjara di kota Bursa Turki sehingga tidak ada kesempatan untuk
mengakses kitab lain di luar.
Untuk
mengenal lebih dekat bagaimana proses penulisan tersebut ada baiknya
bila kita membaca sendiri tulisan Imam Khomeini dalam pembukaan buku
Tahrir Wasilah. Beliau menyebutkan:
“Sebelumnya
saya telah memberikan komentar terhadap buku Wasilah an-Najah miliki
Sayyid al-Hujjah Isfahani. Pada akhir bulan Jumadil Tsani tahun 1384 H-Q
(bertepatan dengan tanggal 13 Aban 1343 H-S), saya diasingkan dari kota
Qom ke kota pelabuhan Boursa di Turki karena peristiwa yang sangat
berat dan memilukan yang menimpa Islam dan kaum muslimin, dan saya yakin
bahwa sejarah pasti mencatat hal itu. Di sana, saya diawasi dengan
sangat ketat. Karena masih ada waktu senggang, saya kemudian memutuskan
untuk menjadikan komentar-komentar saya terhadap buku Wasilah an-Najah
sebagai teks dan buku sehingga lebih mudah dan lebih bermanfaat. Dan
bila Allah memberikan taufik, akan saya tambahkan masalah-masalah yang
sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.”[2]
Buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam dua jilid dengan perincian:
1. Jilid pertama dibagi dalam 7 kitab; ahkam taklid, taharah, salat, puasa, zakat, khumus, dan mukaddimah haji.
2.
Jilid kedua dibagi dalam 26 kitab; ar-rahn, al-hajr, ad-dhaman,
al-hiwalah wa al-kifalah, al-wikalah, al-iqrar, al-hibah, al-waqf wa
akhawatuh, al-washiyah, al-iman wa an-nudzur, al-kaffarat, as-shaid wa
az-dzibahah, al-ath’imah wa al-asyribah, al-ghashb, ihya al-mawat wa
musytarakat, al-luqathah, an-nikah, at-thalaq, al-khulu’ wa al-mubarat,
az-zhihar, al-ila’, al-li’an, al-mawarits, al-qadha, as-syahadat,
al-hudud,
Terjemahan Tahrir Wasilah
Mengingat
buku Tahrir Wasilah Imam Khomeini ditulis dalam bahasa Arab, maka tentu
saja tidak dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang tidak mengetahui
bahasa Arab.[3] Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah diterjemahkan ke
dalam bahasa Persi. Di sini penulis hanya menyertakan dua terjemahan
komplit dari Tahrir Wasilah ke dalam bahasa Persi disertai matan Tahrir
Wasilah itu sendiri dan sebuah terjemahan bahasa Urdu.
1.
Tahrir Wasilah terjemahan Sayyid Muhammad Baqir Musawi Hamadani dalam
empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh penerbit Dar al-‘Ilm, Qom
pada tahun 1375 H-S.
2.
Tahrir Wasilah terjemahan Ali Islami dan Qadhi Zadeh dibawah pengawasan
Muhammad Mukmin Qummi dan Sayyid Hasan Taheri Khurram Abadi dalam empat
jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh Daftar penerbitan Islami Hauzah
ilmiyah Qom.
3.
Terjemahan Tahrir Wasilah ke bahasa Urdu dipimpin langsung oleh Deputi
Urusan Internasional Yayasan Tanzhim dan Nasyr karya-karya Imam
Khomeini. Terjemahan ini dalam empat jilid dan salah satu kelebihan
terjemahan Urdu ini adalah dari setiap satu halaman terjemahan Urdu
disertai dengan satu halaman matan asli.
Ringkasan Tahrir Wasilah
Dua
jilid buku Tahrir Wasilah terasa memberatkan dan tidak praktis, karena
tidak semua pembahasan yang ada di dalamnya dipakai. Dua jilid tersebut
kurang cocok untuk memenuhi kebutuhan buku fikih fatwa pada tingkat
permulaan. Untuk itu, maka dilakukan peringkasan terhadap buku Tahrir
Wasilah. Namun ringkasan Tahrir Wasilah ini juga ditulis dalam bahasa
Arab. Ada dua buku sebagai ringkasan Tahrir Wasilah:
1.
Zubdah al-Ahkam. Buku ini diterbitkan oleh Sazman Tabligate Eslami
(semacam badan penerangan), di Tehran pada tahun 1404 H-Q dengan 273
halaman.
2.
Ma’rifah Abwab al-Fiqih. Buku ini diterbitkan oleh Markaze Jahani Ulume
Islami untuk memenuhi kurikulum fikih praktis di tingkat permulaan. Buku
ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1377 H-S dengan 223 halaman.
Komentar terhadap Tahrir Wasilah
Setelah
Imam Khomeini menulis buku Tahrir Wasilah dan mendapat sambutan hangat
dari ulama Syi’ah, sebagian ulama kemudian memutuskan untuk memberikan
komentar terhadap buku ini. Bahkan sebagian mujtahid mengambil langkah
berani dengan menjadikannya sebagai buku sumber untuk kajian fikih
tingkat akhir (bahts karij) mereka, setelah lama memakai buku Makasib
milik Syaikh Anshari sebagai pedoman.
Di bawah ini beberapa komentar terhadap buku Tahrir Wasilah dari ulama kontemporer Syi’ah:
1. Komentar dari Ayatullah Fadhil Langkarani.
2. Komentar dari Ayatullah Makarim Syirazi.
3. Komentar dari Ayatullah Alawi Gurgani.
4. Komentar dari Ayatullah Yusuf Shane’i.
5. Komentar dari Ayatullah Abu Thalib Tajlil Tabrizi.
6. Komentar dari Ayatullah Misykini Ardebili.
Syarah terhadap Tahrir Wasilah
Imam Khomeini dalam Shahifah Nur menyebutkan:
“Ruang
dan waktu adalah elemen penentu dalam berijtihad. Sebuah masalah pada
masa lalu memiliki hukumnya tersendiri. Namun tampaknya, masalah yang
sama, dengan kondisi berbeda yang menguasai sebuah sistem pemerintahan
baik dari sisi politik, sosial, dan ekonomi memungkinkan munculnya
sebuah hukum yang baru. Munculnya sebuah hukum yang baru tersebut dengan
makna bahwa pengenalan yang lebih detil terhadap hubungan-hubungan
ekonomi, sosial dan politik pada sebuah obyek yang pada mulanya tampak
tidak berbeda dengan obyek sebelumnya, ternyata benar-benar melahirkan
sebuah obyek hukum yang baru dan lain dengan sebelumnya yang pada
gilirannya menuntut sebuah hukum yang baru.”[4]
Konsep
ijtihad dalam ruang dan waktu ini sangat mempengaruhi hasil dari
penyimpulan hukum seorang mujtahid. Hal inilah yang membuat fatwa-fatwa
Imam Khomeini memiliki corak tersendiri dalam khazanah pemikiran ulama
Syi’ah. Dan konsep ini kemudian mulai dikaji lebih dalam oleh ulama
sepeninggalnya. Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah menjadi sangat
penting bagi ulama saat ini. Maka ditulislah berjilid-jilid syarah
terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Bahkan mereka yang mensyarahi buku
Tahrir Wasilah kemudian melakukan penelitian lebih jauh dengan mencoba
menyingkap argumentasi dan sumber-sumber yang dipakai oleh Imam Khomeini
sehingga sampai pada kesimpulan yang tertulis dalam buku Tahrirnya.
Untuk
itu penulis membawakan sejumlah syarah yang ditulis untuk menjelaskan
lebih jauh buku Tahrir Wasilah ini. Tentunya, mengkaji syarah-syarah
yang ada akan lebih memperkaya cara pandang kita terhadap ide-ide dan
corak pemikiran Imam Khomeini.
1.
Tafshil as-Syari’ah. Judul lengkap buku ini adalah Tafshil as-Syari’ah
Fi Syarhi Tahrir al-Wasilah. Ini adalah syarah paling terperinci dan
paling lengkap tentang Tahrir Wasilah Imam Khomeini. Syarah ini ditulis
oleh Ayatullah Fadhil Langkarani salah satu murid Imam Khomeini. Bahkan
jilid-jilid pertama dari syarah ini ditulis sebelum revolusi Iran,
ketika Imam diasingkan ke Turki. Sampai pada penulisan makalah ini,
syarah yang ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani telah dicetak
sebanyak 20 jilid. Dan penulisan syarah ini masih dilanjutkan.
2.
Madarik Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Murtadha Bani
Fadhl Tabrizi. Pada awalnya, syarah ini hasil kuliah-kuliah yang beliau
sampaikan. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan yang lainnya pada
penukilan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan ijma’ yang menjadi
sandaran Imam Khomeini. Karena itulah syarah ini disebut Madarik Tahrir
wasilah (sumber-sumber fatwa dalam Tahrir Wasilah). Sampai saat ini,
syaarh ini hanya menjelaskan tiga kitab; puasa, salat (dalam tiga jilid)
dan zakat dan khumus.
3.
Mabani Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Muhamamd Mukmin
Qummi. Syarah ini juga merupakan hasil dari kuliah-kuliah yang
disampaikan oleh beliau dari Tahrir Wasilah dalam masalah; kitab
al-qadha dan as-syahadah dalam sebuah jilid dan jilid keduanyatentang
kitab al-hudud.
4.
Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh anak Imam Khomeini yang
bernama Mushthafa Khomeini dalam dua jilid. Dalam dua jilid ini beliau
mensyarahi beberap bagian dari kajian Tahrir Wasilah seperti; taharah,
salat, makasib wa matajir, puasa, bai’ (jual beli), khiyarat dan nikah.
Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan syarah-syarah yang lain selain
penelitian yang dalam dan ketelitian yang lebih ada pada pengeditan dan
penyempurnaan yang dilakukan oleh Imam sendiri. Dan itu ketika Sayyid
Musthafa menanyakan sebagian masalah yang ada pada buku Tahrir Wasilah
kepada Imam Khomeini sang ayah.
5.
Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini namanya mirip dengan syarah yang
ditulis oleh Sayyid Musthafa Khomeini namun ini ditulis oleh Ayatullah
Syaikh Ahmad Muthahhari Saveji dalam delapan jilid. Lebih dari dua puluh
tahun beliau memberikan perhatian terhadap buku Tahrir Wasilah dan pada
waktu itu masih langka ulama yang melakukannya. Beliau mensyarahi
beberapa bagian masalah dalam Tahrir Wasilah. Sayangnya buku ini dicetak
tanpa memiliki indeks yang baik bahkan tidak ada kata pengantar dari
sang penulis. Sebagian dari buku ini ditulis sendiri oleh penulis dan
sebagian lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa Persi oleh orang lain.
6. Fiqh
as-Tsaqalain. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Yusuf Shane’i dalam dua
jilid. Sebagaimana syarah Tahrir Wasilah yang lain, buku ini adalah
hasil kuliah fikih tingkat akhir (bahts kharij). Dua jilid dari syarah
beliau ini menyangkut kitab thalaq dan kitab qishas. Kelebihan syarah
ini dibandingkan syarah lainnya adalah buku ini merupakan hasil kuliah
yang dikaji beliau bersama mahasiswanya. Hasil kajian ditulis oleh salah
seorang mahasiswadan kemudian diteliti lagi oleh beliau secara langsung
sebelum naik cetak.
7.
Anwar al-Faqahah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah Syaikh Makarim
Syirazi. Ayatullah Makarim dalam pengantarnya menyebutkan alasannya
mengapa beliau memilih mensyarahi buku Tahrir Wasilah. Pertama, karena
matan asli buku Tahrir adalah Wasilah an-Najah. Kedua, mencakup
kajian-kajian yang ditulis oleh Sayyid Yazdi dalam bukunya al-‘Urwah
al-Wutsqa. Dan ketiga, dikarenakan buku Tahrir Wasilah membahas banyak
hal yang dibutuhkan untuk masa kini sementara ulama yang lain kurang
memperhatikan hal tersebut.
8.
Mu’tamid Tahrir Wasilah. Buku ini ditulis oleh Syaikh Abbas Zhahiri
Isfahani dalam satu jilid. Buku ini hanya mengambil satu bab dalam buku
Tahrir Wasilah mengenai masalah-masalah kontemporer. Menurut penulis
dalam pengantarnya, baru kali ini Imam menulis buku fatwanya dan
disertai dengan bab khusus tentang masalah-masalah kontemporer dan ini
membuat beliau tertarik untuk mensyarahinya.
9.
Misbah Syari’ah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Abdunnabi Namazi
Bushehri dalam empat jilid. Keempat jilid tersebut merupakan syarah
beberapa bagian dari buku Tahrir Wasilah. Jilid pertama mensyarahi
bagian ijtihad dan taklid, jilid kedua membicarakan salat musafir. Jilid
ketiga dan keempat menjelaskan secara panjang lebar tentang masalah
khumus dan puasa.
10.
Dalil Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Ali Akbar Saifi
Mazandarani dalam enam jilid. Masing-masing membicarakan tema-tema
penting dalam buku Tahrir Wasilah seperti; wilayatul faqih, khumus,
ahkam as-satr wa an-nazhar, as-shaid wa az-dzibahah dan ahkam al-usrah.
11.
Syarh Tahrir Wasilah. Ayatullah Syaikh Ahmad Sibth as-Syaikh (1349-1416
H-Q) dalam satu jilid berusaha mensyarahi masalah taklid dan taharah.
Beliau tidak sempat melanjutkan syarahnya terhadap buku Tahrir Wasilah
karena meninggal dunia. Kekurangan syarah ini, sebagaimana buku-buku
yang dicetak dahulu, tidak memiliki catatan kaki dan sumber rujukan.
12. Nur
ad-Din al-Munir.[5] Pengarang buku ini adalah Sayyid Nuruddin Shariat
Nadari Jazairi. Poin penting dari syarah ini adalah usaha penulis untuk
melakukan kajian perbandingan dua tokoh besar dari ulama Syi’ah yaitu;
Imam Khomeini dan Sayyid Khu’i. Dan studi komparasi keduanya dalam
masalah ijtihad dan taklid dan beberap tema-tema penting lainnya. Tentu
studi perbandingan yang dilakukan tidak keluar dari usaha untuk menyusun
ensiklopedia fikih dan usul fikih.
Masih
ada beberapa syarah lain yang ditulis oleh ulama kontemporer Syi’ah
terhadap buku Tahrir Wasilah yang tidak disebutkan di sini. Dan tentu
saja usaha untuk menggali pemikiran-pemikiran Imam Khomeini tidak akan
cukup dengan hanya menukil beberapa syarah dan komentar yang ditulis
mengenai Tahrir Wasilah. [ISLAT]
Sumber rujukan:
1.
Nashiruddin Anshari Qummi, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Ayeneh-e
Pazhoohesh (Jurnal tiga bulanan Mirror of Research), vol 91, 1384.
2. Hasan Pouya, Ketab Shenasi Tahrir Wasilah, Qom, Muasasaeh Tanzim Va Nashre Asare Emam Khomeini, 1383.
________________________________________
[1] .
Menurut hemat penyusun, sebenarnya fenomena ini memiliki beberapa
alasan. Pertama, dituntut oleh sikap moral murid terhadap guru yang ada
pada hauzah ilmiah hingga sekarang. Dan kedua, lebih pada alasan teknis
agar tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu. Dengan demikian, fatwa
yang disampaikan oleh ulama tentang masalah taklid kepada seorang
mujtahid yang telah meninggal sebenarnya pada substansinya tidak
berbeda. Karena ketika disebutkan masih diperbolehkan mengikuti pendapat
Imam Khomeini sebenarnya hal itu menunjukkan kesamaan pendapat mujtahid
yang hidup dengan pendapat Imam Khomeini.
[2] . Imam Khomeini, Tahrir Wasilah, Najaf Asyraf, al-Adab, 1390 H-Q.
[3] . Dan sayangnya, sampai saat ini belum ada terjemahan lengkap buku ini ke dalam bahasa Indonesia.
[4] . Khomeini,Sayyid Ruhullah Musawi, Shahifah Nur, Tehran, Soroush, 1369.