Selasa, 24 Maret 2015

Futuwwah: Ali sebagai Model Keperwiraan Spiritual



Kata futuwwah secara harfiah artinya “pemuda” namun bisa diterjemahkan sebagai “pemuda mistis” atau “keperwiraan spiritual”.8Kita sebut keperwiraan spiritual karena kebajikan-kebajikan tradisional dari keperwiraan, seperti kedermawanan dan keberanian, tidak terbatas pada tataran perbuatan tetapi mesti eksis pada aras tertinggi dari wujud seseorang. Menurut tradisi Sufi, adalah bersama [Nabi] Syits futuwwah menjadi jalan ruhani, dan yang pakaiannya adalah khirqah, atau jubah. Menjelang masa Nabi Ibrahim, khirqah ini menjadi “terlalu berat”, yang mungkin suatu rujukan pada hakikat segala sesuatu yang akan sirna dan kemustahilan dari mereka di masa-masa belakangan untuk menyandingkan praktik-praktik spiritual para leluhur mereka. Karena itu, Ibrahim melembagakan suatu jenis futuwwahbaru, yang disebarkan olehnya melalui keturunan-keturunnya yang menjadi nabi. Nabi sendiri menerimanya, dan mentransmisikannya kepada Ali, yang kemudian menjadi diidentifikasi sebagai kutub futuwwah.9

Ali sendiri sangat beliau apabila dibandingkan dengan para tokoh lainnya dari abad apostolik Islam. Fakta ini dikombinasikan dengan kemampuan tempurnya yang legendaris dan kecerdasan serta kebajikannya menjadikannya fatal par excellence dalam Islam. Ketika orang membaca Ali orang bisa melihat energi dan kebajikannya yang bertenaga muncul melalui halaman-halaman. Nasihat dan perbuatannya berasal dari watak pedang yang menyerang dan anak panah yang bersasaran baik. Ketika diinformasikan bahwa Ali menantangnya berduel untuk mengakhiri peperangan, Muawiyah mengetahui “ia pasti membunuhku” karena sangat terkenal ungkapan bahwa Ali tidak pernah terkalahkan dalam perang. Tulisan-tulisan belakangnya merupakan bukti dari kemuliaan dan kecerdasannya, dan kezuhudannya dari dunia dan gemerlapnya menyematkan pada dirinya gelar Abu Turab, “Bapak Debu”, yang diberikan kepadanya dari Nabi sendiri.10

Dalam Matsnawi Rumi, kita menemukan kisah menawan mengenai peristiwa yang terjadi antara Ali dan seorang “ksatria kafir” yang secara tradisional dipandang telah terjadi dalam Perang Khaybar. Ali mendapatkan pejuang ini dan mengelilinginya untuk membunuhnya, lalu tentara kafir meludahi wajah Ali. Terkejut dengan reaksi tentara itu, Ali menyarungkan kembali pedangnya, memperpanjang usia si tentara.

Pelajarilah bagaimana bertindak secara ikhlas dari Ali: ketahuilah, singa Allah disucikan dari (semua) tipu daya. Ia meludahi wajah Ali, kebanggaan setiap nabi dan wali; ia meludahi muka yang di hadapannya rembulan membungkuk di tempat ibadah.

Seketika Ali menyarungkan pedangnya dan menenangkan (usahanya) dalam memeranginya. Jawara itu terheran-heran dengan perbuatan Ali ini dan dengan menunjukkan pengampunan dan rahmatnya segera. Ia berkata, “Anda mengangkat pedang tajam Anda terhadapku: mengapa engkau menyarungkannya kembali? Apakah Anda melihat bahwa itu lebih baik ketimbang memerangiku, sehingga Anda menjadi segan dalam memburuku?11

Ketika pasase ini berlanjut, jawara itu meminta Ali untuk mengatakan kepadanya apa yang telah ia lihat, menyampaikan alasan rahasia atas pemaafannya. Jawara itu telah merasakan suatu perubahan spiritual yang berkilau melalui perbuatan ganjil Ali, dan kini berusaha memahamai bagaimana rahmat Allah telah mendatanginya:
Wahai Ali, engkau adalah semua pikiran dan pandangan, ceritakanlah sedikit apa yang telah kaulihat!
Pedang kesabaranmu merobek jiwaku, air pengetahuanmu telah menyucikan bumiku.
Katakanlah! Aku tahu bahwa semua ini adalah rahasia-rahasia-Nya, karena ini (cara) kerja-Nya untuk membunuh tanpa pedang
Matamu telah belajar mempersepsi Yang Gaib, (sementara) pandangan pengamat tertutup
Sejauh bulan membisu menunjukkan jalan itu, ketika ia berbicara ia menjadi cahaya di atas cahaya
Karena engkau adalah gerbang kota ilmu12 karena engkau adalah pendaran cahaya Rahmat,
Bukalah, wahai Gerbang, kepadanya yang mencari gerbang, agar melaluimu sekam bisa sampai pada inti

Kita harus memperhatikan pertama-tama bahwa Rumi menulis bahwa ia (si jawara kafir) meludahi wajah Ali. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tradisi Islam memberi Ali gelar khusus karramallahu wajhah. Wajah yang diludahi si jawara adalah wajah yang sama yang memiliki kekuatan transformatif pada jiwanya.13 Di sini kita bisa menyamakan wajah Ali dengan rembulan, dan cahaya di atas cahaya sebagai cahaya-cahaya yang direfleksikan dari matahari.

Kegelapan malam dari jiwa “menutupi” (kafir) disinari oleh cahaya yang datang dari bulan, tetapi bulan memberikan cahaya secara tepat karena itu bukan di kegelapan malam, namun ada dalam kehadiran cahaya matahari, cahaya Intelek Ilahi, yang itu memantul kepada mereka yang belum mencapai visi matahari Ilahi. Ksatria mengakui ketika ia membicarakan bulan yang menunjukkan jalan tanpa bicara. Separuh kehidupannya yang tidak diharapkan cukup membuka pandangan batin sehingga ia bisa melihat bulan “wajah Ali” yang menyinarinya, mendesaknya untuk bertanya kepada Ali apa yang baru dilihatnya, sebagaimana orang yang telah melihat rembulan tetapi tidak matahari akan heran apakah sumber cahaya luar biasa itu.14 Karena ksatria itu, Ali adalah cahaya Tuhan di dunia ini, seorang wali yang Tuhan jadikan cahaya di antara manusia.15

Sumber Tambahan yang Digunakan
al-Sya’rani. Abd al-Wahhab ibn Ahmad. ath-Thabaqat al-Kubra, Mesir. 1936, hal. 17-18.
Lings, Martin. Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Rochester, VT, 1983.
Thabathaba’i, Allamah, Ali wa al-Falsafat ul-Ilahiyyah. (tanpa titimangsa)
1 Kami katakan Sufi-sufi Sunni karena tasawuf tidak terbatas pada dunia Sunni, namun hidup dan eksis juga di kalangan Syi’ah.
2 S.H. Nasr, Sufi Essays, New York, 1991. hal.111.
3 Untuk bacaan lebih lanjut tentang topik ini lihat Frithjof Schuon, “Seeds of a Divergence” dalam bukunya Islam and the Perennial Philosophy.
4 Kuliah S.H. Nasr, Musim Gugur 1997.
5 Siapa pun tidak bisa membantu menegaskan di sini bahwa “Dia seperti Arjuna, Bunda Teresa, dan Shankaracharya yang semuanya menyatu.
6 Tarekat Naqsyabandiyyah melacak rantai kesufian mereka melalui Abu Bakar Shiddiq, namun juga mengklaim terhubung dengan Ali melalui Ja’far Shadiq, Imam Syi’ah keenam.
7 Sebenarnya, saya tidak melihat terjemahan utuh darinya di manapun.
8 S.H. Nasr, “Spiritual Chivalry”, Islamic Spirituality, vol 2, ed. S.H. Nasr, New York, 1991. hal.305.
9 Ibid.
10 Barangkali terpancar dari paragraf ini.
11 Rumi, Mathnawi, terjemahan R. A. Nicholson, Lahore. Vol. 1, p.202.
12 Merujuk pada hadis yang muncul di awal tulisan ini.
13 Kuliah S. H. Nasr, Musim Gugur 1997.
14 Perlambang ini diambil dari Abu Bakr Siraj ad-Din, The Book of Certainty, Cambridge, 1992. Bab “The Sun and the Moon”.
15 Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalandi tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? (QS al-An’am: 122)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar