Harun senantiasa berusaha
bertanya tentang sesuatu yang membuat Imam tidak berkutik menjawabnya.
Sehingga dengan siasat ini, dia dapat menjatuhkan citra dan kedudukan
Imam di tengah masyarakat.
Pada suatu kesempatan, Harun
berkata kepada Imam as., “Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang
hingga kini aku belum temukan jawabannya”.
Imam: “Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu”.
Harun: “Tentu, Anda bebas
menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap
bahwa Anda lebih unggul di atasku padahal kita berdua dari satu garis
keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?!”.
Imam: “Kami lebih dekat
kepada Nabi saw. dari pada Anda. Sebab, ayah kami Abu Thalib dan ayah
Nabi Muhammad saw. adalah dua bersaudara dari ibu dan ayah yang sama.
Tetapi ayahmu Abbas hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah
saja”.
Harun: “Sewaktu Nabi wafat,
ayahmu Abu Thalib telah lebih dahulu wafat, tapi ayah kami Abbas masih
tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu
tidak dapat menerima warisan”.
Imam: “Selama seorang anak
masih hidup, paman tidak dapat menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah
masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak ada hak untuk menerima warisan”.
Harun melontarkan pertanyaan
lain, “Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan
putra Rasulullah, sementara Anda ini putra Ali bin Abi Thalib. Karena,
nasab setiap orang itu menurut pada garis ayahnya, sedangkan Rasulullah
adalah kakekmu tapi dari garis ibu”.
Imam: “Jika sekiranya
Rasulullah hidup dan meminang putrimu, apakah Anda bersedia untuk
menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu padanya”.
Harun: “Tentu saja, setiap bangsa Arab atau pun Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan”.
Imam: “Tetapi Rasulullah tidak akan pernah meminang putriku untuk lalu beliau nikahi”.
Harun: “Mengapa demikian?”
Imam: “Karena, beliau adalah
ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama
sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra
Rasulullah”.
Harun duduk diam seribu
bahasa setelah mendengarkan jawaban Imam yang seakan-akan meremukkan
tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam untuk memintanya sesuka hati
beliau. Imam berkata, “Aku tidak ingin apa pun darimu, biarkan saja aku
pergi melakukan pekerjaanku”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar