Rabu, 03 September 2014

Kearifan Imam Ali As (3)



Dikenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah[i]

Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya.

Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu Khaththab sesudah dirinya.

Kemudian ia mengutip syair al-‘A’sya':
Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)
Sementara ada hari-hari (kemudahan)
Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii]

Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan, tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya akan robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar. Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan, kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada suatu kelompok[iv] dan menganggap saya salah satu dari mereka. Tetapi, ya Allah, apa hubungan saya dengan “musyawarah” ini? Di manakah ada suatu keraguan tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari mereka sehingga saya sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini? Tetapi saya tetap merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersamanya sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta Allah[v] seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.

Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak in gin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) buini. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. 28:83)

Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah, demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin seekor kambing.

Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini dalam khotbahnya, seorang lelaki dari ‘Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn ‘Abbas –semoga Allah meridai keduanya– berkata, “Ya Amirul Muk­minin, saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya.”
Atasnya ia menjawab,
“Wahai Ibn ‘Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda.”
Ibn ‘Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak dapat mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.
Sayid Radhi mencatat: Kata-kata dalam khotbah, “seperti penunggang unta” bermaksud menyampaikan bahwa bilamana seorang penunggang unta menarik kendali dengan kaku maka dengan sentakan itu lobang hidungnya akan memar, tetapi apabila ia melonggarkannya padahal unta itu liar, maka unta itu akan melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas kendali. Asynaq an-nāqah digunakan bilamana si penunggang menarik kekang dan meninggikan kepala unta. Dalam pengertian yang sama digunakan juga kata syanaqa an-nāqah. Ibnu Sikkit telah menyebutkannya dalam Islāhul Manthiq. Amirul Mukminin telah mengatakan asynaqa lahā sebagai ganti asynaqaha, karena ia menggunakannya seirama dengan aslasa lahā dan keselarasan hanya dapat dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam bentuknya yang sama. Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lahā seakan-akan sebagai ganti in rafa’a lahā ra’sahā, yakni “apabila ia menghentikannya dengan menarik kekang”.•

[i] Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah dan dipandang sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin yang paling masyhur. Khotbah ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah). Sebagian orang menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan mengatakan bahwa itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi) namun para ulama pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. Tidak ada pula dasar untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Ali a.s. dalam hal kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan semacam itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan, peristiwa yang telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam catatan-catatan sejarah yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Apabila peristiwa-peristiwa yang sama yang bertaian dengan sejarah dikatakan kembali oleh Amirul Mukminin maka manakah alasan untuk menyangkalinya? Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak menyenangkan segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya, tidaklah hal itu harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai prestise tokoh-tokoh tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan kepada mereka. Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan menolak khotbah ini sebagai ucapan Amirul Mukminin, kecuali apabila peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dianalisa dan kebenarannya diungkapkan. Apabila tidak demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan Amirul Mukminin karena mengandung peremehan terhadap individu-individu tertentu, tidaklah berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan oleh sejarawan lain pula. Maka, (Abu ‘Utsman) ‘Amr Ibnu Bahr Al-Jāhizh telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah Amirul Mukminin, dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah.

Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti gagak yang keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila kedua sayapnya terputus dan kepalanya terlepas.

Alhasil, gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Radhi adalah jauh dari kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap memihak. Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian, haruslah dikernukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi penuh hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak setuju dan tak senang.

Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan ahli periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul Mukminin, supaya pentingnya secara historis diketahui. Di antara para ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Radhi, sebagian semasa dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan melalui isnad mereka sendiri-sendiri.

(1) Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair Mushaddiq Ibnu Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia mendengar khotbah ini dari Syeikh Abu Muhammad ‘Abdullah Ibnu Ahmad Al-Baghdadi (m. 567 H.) yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan ketika ia sampai di mana Ibnu ‘Abbas menyampaikan kesedihannya karena khotbah ini tertinggal tak lengkap, Ibnu
Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih Ibnu ‘Abbas itu, pastilah ia sudah  menanyakan kepadanya apakah ada yang tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang hendak diucapkannya.
Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab, “Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib.” Ketika saya katakan bahwa
sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, “Bagaimana mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam tulisan-tulisan yang
terkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir.”
(2) Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim (‘Abdullah Ibnu Ahmad) al-Balkhi (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu’tazilah dalam masa pemerintahan Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya Sayid Radhi.
(3) la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam buku Inshāf karya Ibnu Qibah (Abu Ja’far Muhammad Ibnu ‘Abdur-Rahman). la murid Abul Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi’ah Imamiah. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 205-206).
(4) Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam syarahnya bahwa ia telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah ditulis oleh menteri Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-Furat (m. 312 H.) (Syarh al-Balāghah, I, h. 252-253).
(5) Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan isnad berikut tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin ar-Rawandi, Minhājul Barā ‘ah fī Syarh Nahjul Balāghah:
“Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim menyampaikan kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa’ Muhammad Ibnu Badi’, al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu Badi’ dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu ‘Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr (Ahmad Ibnu Musa) Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari al-Hafizh Abul Qasim Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan dia dari Ahmad Ibnu Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa’id Abu Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari Khulaid Ibnu Da’laj dan dia dari Atha’ Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Biharul Anwār, edisi pertama, jilid VIII, h. 160-161).
(6) Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa khotbah ini juga termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahhab) al-Jubba’i (m. 303 H.).
(7) Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah al-Majlisi menulis:
“Qadhi ‘Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.), seorang Mu’tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari khotbah ini dalam buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah itu tidak menyerang para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak menolak bahwa itu komposisi Amirul Mukminin.” (Ibid., h. 161).
(8) Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis:
“Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan kepada kami bahwa ‘Abdul ‘Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.) mengatakan kepadanya bahwa Abu ‘Abdullah Ahmad Ibnu ‘Ammar Ibnu Khalid mengata­kan kepadanya bahwa Yahya Ibnu ‘Abdul Hamid al-Himmani (m. 228 H.) mengatakan kepadanya bahwa ‘Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini dari Ali Ibnu Hudzaifah, dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Ilal asy-Syarā’i, bab XXII, h. 360-361).
(9) Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut:
“Muhammad Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini kepada kami, dan ia mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim, dia dari Ahmad Ibnu Abi ‘Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan dia dari ayahnya dan dia dari Muhammad Ibnu Abi ‘UMalr dan dia dari Aban Ibnu ‘Utsman dan dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari ‘Ikrimah dan dia dari Ibnu ‘Abbas. (‘Ial asy-Syarā’i’, I, bab 122, h. 146; Ma’am al-Akhbar, bab 22, h. 361).
(10)  Abu Ahmad al-Hasan Ibnu ‘Abdillah Ibnu Sa’id al-‘Askari (m. 382 H.), yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis syarah dan penjelasan tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu Babawaih dalam. ‘Ial asy-Syard’i dan Ma ‘dni al-Akhbār.
(11)  Sayid Ni’matullah al-Jaza’iri menulis:
“Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad ats-Tsaqafi al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui rangkaian sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari Selasa, 13 Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi lahir. la lebih tua dari saudaranya Sayid RadhT.” (Anwar an-Nu ‘māniyyah, h. 37).
(12)  Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu Thawus al-Husaini al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini dari Kitab al-Ghārāt dengan rangkaian sanad berikut:
“Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu Yusuf, yang meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu ‘Abdul Karim az-Za’farani, dan ia (meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya al-Ghallabi, dan dia dari Ya’qub Ibnu Ja’far Ibnu Sulaiman, dan dia dari ayahnya, dan dia dari kakek-nya, dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (terjemahan Ath-Thara’if, h. 202)
(13) Syeikh ath-Tha’ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me­
nulis:
“(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja’far) al-Haffar meriwayatkan khot­bah ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim (Isma’il Ibnu Ali Ibnu Ali) ad-Di’bili, dan dia dari ayahnya, dan dia dari saudaranya Di’bil (Ibnu Ali al-Kuza’i), dan dia dari Muhammad Ibnu Salamah asy-Syami, dan dia dari Zurarah Ibnu A’yan dan dia dari Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu ‘Abbas.” (Al-Amali, h. 137)
(13)  Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu’man, m. 413 H.), guru Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah ini:
“Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai isnad.” (Al-Irsyād, h. 135)
(15)  ‘Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.
(16)  Abu Manshur ath-Thabarsi menulis:
“Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini dari Ibnu ‘Abbas melalui berbagai sanad. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ia bersama Amirul Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada kekhalifahan dan mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah, Amirul Mukminin menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah ini.” (Al-Ihtijaj)
(17)  Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu ‘Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi al-Hanafi (m. 654 H.) menulis:
“Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah ini kepada kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu ‘Abbas, yang mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul Muk­minin sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang laki-laki dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu Amirul Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini.” (Tadzkirat Khawashsh al-Ummah, h. 73)
(18) Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.) menulis setalian dengan keasliannya:
“Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra), ‘Aneh, selama hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya, tetapi ia memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'” (Syarh Durrat al-Ghawwash, h. 17)
(19) Syeikh ‘Ala ad-Daulah as-Simnani menulis:
“Amirul Mukminin SayyidAl-‘Arifin Ali a.s. telah menyatakan dalam satu khotbahnya yang cemerlang, “Ini syiqsyiqah yang menyembur keluar”. (al-‘Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di Perpustakaan Nasiriah, Lucknow, India)
(20) Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis sehubungan dengan kata syiqsyiqah:
“Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta).” (Majma’ al-Amtsāl, jilid I, h. 369)
(21) Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara menerangkan kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa’adat Mubarak Ibnu Muhammad, Ibnu al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin.
(22) Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan kata-kata itu dalam Majma’ al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini dari Amirul Muk­minin dengan kata-kata, “Ali mengatakan demikian.”
(23) Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dalam Lisan al-‘Arab, jilid XII, h. 54, dengan mengata­kan, “Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian mereda.”
(24) Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251):
“Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena ketika Ibnu ‘Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia telah me-ninggalkannya, ia berkata, “Wahai, Ibnu ‘Abbas! Itu busa unta (syiqsyiqah) yang mencetus keluar lalu mereda.”
(25)  Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan:
“Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu wajhahu).”
(26) Syeikh Muhammad ‘Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya sebagai ucapan Amirul Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam bukunya Syarh Nahjul Baldghah.
(27) Muhammad Muhyiddm ‘Abdul Hamid, guru besar pada Fakultas Bahasa Arab, Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi tentang Nahjul Baldghah dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui semua khotbah yang mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam itu sebagai
ucapan Amirul Mukminin.
Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak tersangkal ini, tidak ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu bukan dari Amirul Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.

[ii] Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagai berbusana dengan itu. Ini kiasan biasa. Maka, ketika ‘Utsman diminta untuk menyerahkan kekhalifahan, ia menjawab, “Saya tidak akan menanggalkan busana yang telah dipakaikan Allah kepadaku ini.” Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin tidak mengatributkan “baju kekhalifahan” ini kepada Allah, melainkan kepada Abu Bakar sendiri, karena menurut pandangan ijmak, kekhalifahannya bukanlah dari Allah melainkan urusannya sendiri. Itulah sebabnya Amirul Muk­minin mengatakan bahwa Abu Bakar membusanai dirinya sendiri dengan kekhalifahan. la mengetahui bahwa busana ini telah dijahit untuk badannya sendiri, sedang kedudukannya sendiri sehubungan dengan kekhalifahan adalah kedudukan poros pada penggiling yang dapat mempertahankan posisi pusatnya dan tak ada gunanya tanpa itu. Seperti itu pula, ia berpendapat, “Saya adalah sumbu pusat kekhalifahan; bila saya tidak di sana, seluruh sistemnya akan tersesat dari pusat­nya. Sayalah yang bertindak sebagai pengawal bagi organisasi dan ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai kesulitan. Arus pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada semua sisi. Kedudukan saya tinggi di atas ima-jinasi, tetapi pencari keserakahan duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya, dan saya harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang membutakan merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda menjadi tua dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung sabar ini tak mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya penjarahan atas warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari satu tangan ke tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat menghentikan kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana.”

Perlunya Khalifah dan Cara Pengangkatannya

Setelah Nabi Muhammad (saw) wafat, dibutuhkan adanya pribadi yang mampu mencegah perpecahan umat dan mengawal hukum Islam dari perubahan, pengubahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang hendak memenuhi hawa nafsunya. Bila kebutuhan mendesak ini disangkal maka mengapa suksesi Nabi dianggap begitu penting sehingga pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah dipandang lebih utama daripada penguburan Nabi? Bila kebutuhan ini diakui, maka timbul pertanyaan apakah Nabi juga menyadarinya atau tidak. Bila kita anggap beliau tidak menyadarinya dan tidak dapat menilai ada atau tiadanya kebutuhan tersebut, maka hal ini akan merupakan bukti yang sangat kuat untuk menganggap bahwa Nabi tidak memikirkan cara menyetop kejahatan-kejahatan bidah dan hojatan; padahal beliau telah memberikan peringatan-peringatan tentang masaalah ini.
Apabila dikatakan bahwa beliau menyadari kebutuhan akan adanya pribadi tersebut tetapi tidak membereskannya, karena melihat adanya manfaat dengan membiarkannya, maka beliau tidak akan mendiamkannya tanpa menunjukkan manfaat itu dengan jelas; apabila tidak demikian maka mendiamkan masalah tersebut tanpa tujuan merupakan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas Kenabian. Apabila ada halangan, haruslah pula diungkapkan. Karena Nabi tidak meninggalkan masalah agama dalam keadaan tidak sempurna maka beliau tidak akan membiarkan masalah ini terbengkalai, melainkan akan mengajukan jalan pemecahan untuk mengamankan agama dari campur tangan orang lain.
Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya pengambilan keputusan pada masa awal tersebut dan apa yang akan dilakukan. Bila keputusan itu berdasarkan konsensus umat maka hal itu tidak mungkin terjadi, karena pada konsensus semacam itu diperlukan adanya persetujuan tiap individu; tetapi mengingat perbedaan temperamen manusia, maka mustahil mereka akan sepakat. Tak ada contoh di masa itu di mana keputusan dapat diambil dengan mufakat tanpa satu pun yang menolak. Maka bagaimana mungkin kebutuhan mendasar semacam itu digantungkan pada terjadinya peristiwa yang mustahil seperti itu, sedangkan kebutuhan itu menyangkut masa depan Islam dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu maka akal sehat tidak dapat menerima tolok ukur ini. Tidak ada pula sunah yang selaras dengannya sebagaimana ditulis oleh Qadhi ‘AdhuddTn al-‘Ijlt dalam Syarh al-Mawāqif:
“Anda seharusnya tahu bahwa kekhalifahan tidak dapat bergantung pada ijmak pemilihan, karena tidak ada argumen yang logis atau sunah yang dapat dijadikan sandaran.”
Kenyataannya, tatkala para pembela pemilihan dalam pelaksanaannya sukar mencapai aklamasi, mereka lalu menempuh persetujuan mayoritas dengan mengabaikan minoritas.
Dalam hal semacam ini sering juga terjadi kekuatan jujur ataupun palsu, cara benar atau tidak, mengubah arus pendapat mayoritas dan mengabaikan keutamaan individu dan kebajikan pribadi. Akibatnya, orang yang mampu dan jujur ter-sembunyi, dan yang tidak kompeten maju ke depan. Bila orang berkemampuan tersisih, terhalang oleh ambisi-ambisi pribadi, lalu bagaimana mengharapkan adanya pemilihan orang yang tepat? Sekalipun, misalnya, semua pemberi suara punya kebebasan dan tidak memihak, lidaklah mesti keputusan mayoritas harus benar dan tak tersesat. Pengalaman menunjukkan bahwa setelah keputusan dijalankan, mayoritas lalu berpendapat bahwa keputusannya sendiri ternyata salah. Bila setiap keputusan mayoritas benar, maka keputusannya yang pertama adalah salah, karena keputusan yang menganggapnya salah adalah juga dari mayoritas.
Tentang pendapat bahwa untuk menghindari kekacauan maka tokoh-tokoh umat dibiarkan memilih siapa saja yang mereka sukai, di sini pun pergesekan dan pertengkaran akan merajalela. Karena, di sini juga pemusatan watak manusia untuk satu persetujuan tidaklah mesti, dan tidak dapat juga dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi tujuan-tujuan pribadi mereka. Dalam kenyataannya di sini konflik dan benturan akan lebih kuat. Karena, kalau tidak semua, sekurang-kurangnya kebanyakan dari mereka ingin menjadi calon dan akan berusaha dengan segala daya untuk mengalahkan lawannya, dan membuka jalan yang sebaik-baiknya untuk dirinya. Akibat yang tidak dapat dihindarkan ialah pergumulan dan pergolakan.
Kesimpulannya, tidak mungkin menyingkirkan bencana dengan cara ini, dan ketimbang menemukan tokoh yang tepat, umat hanya akan jadi alat untuk me-menuhi ambisi pribadi orang lain. Lagi pula, bagaimana seharusnya tolok ukur orang yang akan memegang tampuk kekuasaan ini? Sebagaimana biasa, siapa saja yang dapat mengumpul beberapa pendukung dan mampu membuat geger dan ribut-ribut dalam suatu pertemuan dengan menggunakan kata-kata keras maka dialah yang dianggap paling tepat sebagai penguasa. Ataukah kemampuan seseorang juga akan dinilai? Bila penilaian kemampuan seseorang ditentukan juga dengan cara pemilihan umum seperti ini, maka kerumitan dan kekacauan serupa akan muncul. Bila ada patokan lain, maka sebagai ganti menilai para pemberi suara seperti itu, mengapa tidak menilai orang yang dipandang pantas untuk kedudukan itu? Selanjutnya berapa banyak tokoh yang dianggap cukup untuk mengambil keputusan? Jelas bahwa sekali patokan ini diambil maka hal ini akan jadi preseden, teladan dan contoh di masa mendatang, dan jumlah orang yang berwenang mengambil keputusan akan jadi patokan juga di masa depan. Qadhi al-‘Ajali menulis:
“Malah satu atau dua orang telah cukup menentukan terpilihnya pemimpin, karena kita tahu bahwa para ulama yang tegas dalam agama menganggap cukup pengangkatan Abu Bakar oleh ‘Umar dan pengangkatan ‘Utsman oleh ‘Abdur-Rahman.” (Syarh al-Mawaqif, h. 351)
Beginilah riwayat “Pemilihan secara mufakat” di Saqifah Bani Sa’idah dan kegiatan Syura dalam pemilihan ‘Utsman: tindakan satu orang telah diberi nama “pemilihan secara mufakat”, dan perbuatan satu orang dinamakan majelis syura. Abu Bakar telah memahami kenyataan bahwa pemilihan berarti hanya satu atau dua suara yang akan diatributkan pada rakyat umum yang sederhana. Itulah sebabnya ia mengabaikan tuntutan dengan suara bulat, suara mayoritas atau metode pemilihan melalui majelis yang dipilih, dan ia sendiri mengangkat ‘Umar. ‘A’isyah pun memandang bahwa membiarkan masalah kekhalifahan pada suara beberapa individu berarti mengundang kekacauan dan kesulitan. la mengirimkan pesan kepada ‘Umar menjelang matinya:
“Jangan biarkan umat Islam tanpa pemimpin. Angkatlah seorang khalifah untuk itu dan jangan Anda tinggalkan umat tanpa pewenang, karena apabila tidak demikian saya melihat kekacauan dan kesulitan.”
Ketika pemilihan oleh orang yang berwenang terbukti gagal, hal itu ditinggalkan, dan hanya “kekuatan adalah kebenaran” yang menjadi ukurannya—yakni siapa saja yang menundukkan dan menguasai orang lain, diterima sebagai khalifah Nabi dan pelanjutnya yang sebenarnya. Ini prinsip buatan sendiri, padahal ada serangkaian hadis Nabi yang disampaikan pada “Pertemuan ‘Asyirah”, pada ma-lam Hijrah, pada Perang Tabuk, pada kesempatan menyampaikan surah al-Bara’ah (at-Taubah) dan di Ghadlr Khum. Yang aneh, setiap orang dari khalifah itu di-dasarkan pada pilihan individu, sementara pilihan Nabi sendiri ditolak! Padahal, penunjukan oleh Nabi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan, yakni bahwa Nabi sendiri yang semestinya menyelesaikan dan menyelamatkan umat dari kekacauan-kekacauan di masa depan dan menghindarkan pengambilan keputusan di tangan orang-orang yang terlibat dalam tujuan dan maksud-maksud pribadi. Ini prosedur yang tepat yang sesuai dengan nalar dan juga mendapat dukungan hadis-hadis Nabi yang tegas.

[iii] Hayyan Ibnu Samin al-Hanafi al-Yamamah adalah kepala suku Bani Hanifah dan penguasa benteng dan tentara. Jabir adalah nama adiknya, sedang A’sya, yang nama sesungguhnya Malmun Ibnu Qais Ibnu Jandal, adalah sahabat karib dan hidup pantas dan bahagia atas kemurahannya. Dalam bait syair ini ia membandingkan kehidupannya sekarang ini dengan yang sebelumnya, yakni masa ketika ia berkelana mencari nafkah, dengan masa hidup berbahagia bersama Hayyan. Pada umumnya dianggap bahwa Amirul Mukminin mengutip bait ini untuk mem­bandingkan masanya yang kesusahan dengan masa-masa daMal yang dilaluinya dalam asuhan dan perlindungan Nabi, ketika ia bebas dari segala kerisauan dan menikmati kedaMalan mental. Tetapi, mengingat peristiwa ia membuat perbandingan ini, serta pokok bait syair itu, bukanlah penjelasan yang dicari-cari apabila itu dianggap menunjukkan perbedaan antara kedudukan yang tak penting dari orang-orang yang sekarang sedang berkuasa, di masa kehidupan Nabi, dan wewenang dan kekuasaan mereka sesudahnya; yakni, pada masa Nabi tiada perhatian diberikan kepada mereka, karena kepribadian Ali; tetapi, sekarang waktu telah berubah demikian rupa sehingga orang-orang itu menjadi penguasa dunia Islam.
[iv] Ketika ‘Umar terluka oleh Abu Lu’lu’ah dan ia melihat bahwa sulit baginya untuk hidup lebih lama lagi, karena luka yang parah itu, ia membentuk suatu komite musyawarah (Syura) dan menunjuk Ali Ibnu Abt Thalib, ‘Utsman Ibnu ‘Affan, ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf, Zubair Ibnu ‘Awwam, Sa’id Ibnu Abi Waqqash dan Talhah Ibnu ‘Ubaidillah, seraya mengikat mereka dengan ketentuan bahwa setelah tiga hari sesudah kematiannya, mereka harus memilih salah seorang di antara mereka sendiri sebagai khalifah, sementara untuk tiga hari itu Shuhaib akan bertindak sebagai khalifah sementara.

Ketika menerima instruksi ini, beberapa orang bertanya kepadanya bagaimana pikirannya tentang setiap orang dari mereka itu, untuk memungkinkan mereka berlaku sesuai dengan sorotannya. Karenanya, ‘Umar mengungkapkan pandangannya sendiri tentang setiap individu itu. Ia mengatakan bahwa Sa’d bertempramen kasar dan berkepala panas; ‘Abdurrahman adalah Fir’aunnya umat; Zubair, apabila disenangkan, adalah seorang mukmin yang sebenarnya, tetapi apabila tidak disenangkan adalah seorang kafir; Thalhah adalah pengejawantahan kebanggaan dan kesombongan, yang apabila dijadikan khalifah ia akan memasang cincin kekhalifahan di jari istrinya, sedang ‘Utsman tidak melihat melampaui keluarga-nya. Mengenai Ali, ia terpikat kekhalifahan, walalupun saya tahu hanya ia sendiri yang dapat melaksanakannya pada garis yang benar.

Walaupun demikian pengakuannya, ia menganggap perlu untuk membentuk Syura itu, dan dalam memilih para anggotanya dan meletakkan prosedur kerjanya, ia meyakinkan bahwa kekhalifahan akan mengarah ke mana ia menginginkannya. Maka, seorang yang berkebijaksanaan biasa dapat mengambil kesimpulan bahwa semua faktor keberhasilan ‘Utsman terdapat di dalamnya.

Apabila kita perhatikan para anggotanya, kita lihat bahwa, pertama, ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf adalah suami saudara perempuan ‘Utsman; berikutnya, Sa’d Ibnu AbT Waqqash, selain menaruh dengki terhadap Ali, adalah teman dan keluarga ‘Abdur-Rahman; keduanya tak dapat diharapkan akan menentang ‘Utsman.

Yang ketiga, Thalhah Ibnu ‘Ubaidillah yang tentangnya Muhammad ‘Abduh menulis dalam anotasinya mengenai Nahjul Balaghah:
“Thalhah cenderung kapada ‘Utsman, dan sebabnya adalah tak kurang dari ia menentang Ali, karena ia sendiri seorang anggota suku Taim, dan naiknya Abu Bakar pada kekhalifahan telah menciptakan perseteruan antara Bani Taim dan Bani Hasyim.”

Mengenai Zubair, sekiranyapun ia memilih Ali, apa gunanya satu suara ini? Menurut pernyataan Thabari, Thalhah tidak hadir di Madinah pada waktu itu, tetapi absennya tidak menghalangi keberhasilan ‘Utsman. Malah, sekiranyapun ia hadir, sebagaimana ia akhirnya datang ke Syura itu, dan ia dianggap pendukung Ali, tetap tidak akan meragukan keberhasilan ‘Utsman, karena pikiran ‘Umar yang cerdik telah menetapkan prosedur bahwa:

“Apabila dua orang menyetujui yang satu, sedang yang dua orang lagi me-nyetujui seorang lainnya, maka ‘Abdullah Ibnu ‘Umar akan bertindak sebagai penengah. Kelompok yang diperintahkannya harus mamilih khalifah di antara mereka sendiri. Apabila mereka tidak menerima keputusan ‘Abdullah Ibnu ‘Dinar, maka dukungan harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf; tetapi, apabila yang lain-lainnya tidak menyetujuinya maka mereka harus dipancung kepalanya karena menentang ke­putusan ini.” (Thabari, I, h. 2779-2780; Ibnu Atsir, III, h. 67)

Di sini ketidaksepakatan dengan keputusan ‘Abdullah Ibnu ‘Umar tidak berarti apa-apa, karena ia diarahkan untuk mendukung kelompok yang meliputi ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. la telah memerintahkan anaknya ‘Abdullah, dan Shuhaib, bahwa:
“Apabila orang-orang itu berselisih, Anda harus memihak kepada mayoritas; tetapi apabila ada tiga di antara mereka di satu sisi dan tiga di sisi lainnya, Anda harus memihak pada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf.” (Thabari, jilid I, h. 2725, 2780; Ibnu AtsTr, jilid II, h. 51, 67)
Dalam instruksi ini persetujuan mayoritas juga berarti mendukung ‘Abdur-Rahman, sebab mayoritas tak mungkin memihak pada siapa pun lainnya, karena lima puluh pedang haus darah telah disiapkan terhadap kelompok lawan, dengan perintah untuk memancung kepala mereka atas keputusan ‘Abdur-Rahman. Mata Amirul Mukminin telah membaca pada saat itu juga bahwa kekhalifahan akan berpindah kepada ‘Utsman, sebagaimana nampak pada kata-kata berikut ini, yang disampaikannya kepada ‘Abbas Ibnu ‘Abdul Muththalib:
“Kekhalifahan telah disingkirkan dari kami.” ‘Abbas bertanya bagaimana ia mengetahuinya. Lalu ia menjawab, ‘”Utsman juga telah disetarakan dengan saya, dan telah diatur bahwa mayoritas harus didukung; tetapi, apabila dua orang menyetujui yang satu, dan dua lagi menyetujui yang lain, maka dukung­an harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf. Nah, Sa’d akan mendukung saudara sepupunya ‘Abdur-Rahman yang tentu saja adalah suami saudara perempuan ‘Utsman.” (ibid)

Alhasil, setelah wafatnya ‘Umar, pertemuan ini berlangsung di rumah ‘A’isyah. Di pintunya berdiri Abu Thalhah al-Anshari dengan lima puluh orang yang telah menghunus pedang di tangannya. Thalhah memulai acara, dan seraya mengundang semua yang lain-lainnya untuk menyaksikan, ia berkata bahwa ia memberikan hak pilihnya kepada ‘Utsman. Ini menyinggung harga diri Zubair karena ibunya Safiyyah putri ‘Abdul Muthtalib adalah saudara perempuan ayah Nabi. Maka ia memberikan hak suaranya kepada Ali. Sesudah itu Sa’d Ibnu Abi Waqqash memberikan hak suaranya kepada ‘Abdur-Rahman. Tinggal tiga anggota Syura yang belum memilih, di antaranya ‘Abdur-Rahman Ibnu ‘Auf yang mengatakan ia mau melepaskan haknya sendiri untuk dipilih apabila Ali a.s. dan ‘Utsman memberikan hak kepadanya untuk memilih seseorang di antara mereka, atau salah satu di antara kedua orang ini harus mendapatkan hak memilih dengan jalan menarik diri dari pencalonan. Ini perangkap di mana Ali telah dilibat dari semua sisi, yakni ia harus meninggalkan haknya sendiri atau mengizinkan ‘Abdur-Rah­man bertindak semaunya. Yang pertama tak mungkin baginya, yakni melepaskan haknya dan memilih ‘Utsman atau ‘Abdur-Rahman. Maka, ia berpegang pada haknya, sementara ‘Abdur-Rahman melepaskan diri dari pencalonan itu lalu me-megang kekuasaan ini seraya berkata kepada Amirul Mukminin, “Saya membaiat Anda dengan syarat Anda mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan perilaku kedua Syeikh (Abu Bakar dan ‘Umar).” Ali menjawab, “Akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan pendapat saya.” Ketika ia memberikan jawaban yang sama seka-lipun pertanyaan itu telah diulang tiga kali, ‘Abdur-Rahman berpaling kepada ‘Utsman seraya berkata, “Apakah Anda menerima persyaratan ini?” ‘Utsman tidak beralasan untuk menolak; maka ia menyetujui persyaratan itu, dan baiat pun dilakukan baginya. Ketika Amirul Mukminin melihat haknya terpijak-pijak demikian, ia berkata:
“Ini bukan hari pertama Anda berlaku menentang kami. Saya hanya harus bersabar. Allah adalah Penolong terhadap segala yang Anda katakan. Demi Allah, Anda tidak membuat ‘Utsman menjadi khalifah melainkan dengan harapan bahwa ia akan mengembalikan kekhalifahan kepada Anda.”
Setelah mencatat peristiwa Syura (komite musyawarah pengangkatan ‘Utsman itu), Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ketika pembaiatan telah dilakukan kepada ‘Utsman, Ali menegur ‘Utsman dan ‘Abdur-Rahman dengan mengatakan, “Semoga Allah menaburkan benih perselisihan di antara Anda,” dan demikian terjadinya sehingga keduanya bermusuhan sengit, dan ‘Abdur-Rahman tak pernah lagi berbicara dengan ‘Utsman hingga matinya. Bahkan di ranjang kematiannya ia memalingkan muka ketika melihat ‘Utsman.

Melihat peristiwa ini timbul pertanyaan, apakah Syura bermaksud membatasi urusan kepada enam orang, kemudian kepada tiga orang, dan akhirnya hanya pada satu orang saja? Juga, apakah syarat untuk mengikuti perilaku kedua Syeikh untuk kekhalifahan ditetapkan oleh ‘Umar, atau hanya sekadar halangan yang diletakkan oleh ‘Abdur-Rahman antara Ali a.s. dan kekhalifahan; khalifah yang per­tama tidak meletakkan syarat pada waktu mengangkat khalifah yang kedua, yakni bahwa ia harus mengikuti langkah-langkah khalifah yang pertama. Maka, apakah alasan untuk syarat itu di sini?
Namun, Amirul Mukminin telah menyetujui untuk turut serta dalam Syura itu untuk menjauhkan bencana dan untuk menghentikan orang menggunakannya sebagai dalih, sehingga orang-orang lain dibungkamkan dan tak akan dapat meng-aku bahwa mereka sebenarnya akan memilih dia dan bahwa ia sendiri meng-elakkan komite musyawarah itu dan tidak memberikan kesempatan kepada mereka memilihnya.

[v] Tentang pemerintahan khalifah yang ketiga itu, Arnirul Mukminin mengatakan bahwa scgera setelah ia berkuasa, Ban? Umayyah mendapatkan lahan dan mulai menjarahi Baitul Mal (perbendaharaan negara), dan seperti ternak melihat rumput hijau setelah musim kemarau, dengan sembrono mereka mcnyerbu uang milik Allah lalu melahapnya. Akhirnya keserakahan dan nepotisme ini membawa­nya ke tahap di mana rakyat mengepung rumahnya, membunuhnya dan membuatnya memuntahkan semua yang telah ditelannya.

Malakelola pemerintahan yang terjadi dalam masa ini sedemikian rupa sehing­ga tiada seorang Muslim yang tak tergugah melihat para sahabat berkcdudukan tinggi dibiarkan terlantar, dilanda kemiskinan dan dikepung kemelaratan, sementara kekuasaan atas Baitul Mal berada di tangan Bani 
Umayyah, jabatan pemerintahan diduduki orang-orang muda mereka yang tak berpengalaman, hak-hak khusus kaum Muslim mereka kuasai, padang penggembalaan hanya untuk ternak mereka, rumah-rumah dibangun hanya untuk mereka, dan kebun-kebun hanya bagi mereka saja. Apabila ada seseorang merasa belas kasihan kepada orang lain lalu berbicara tentang pelanggaran batas-batas ini, ia diusir dari kota. Penggunaan zakat dan sedekah yang dimaksudkan untuk fakir miskin, dan Baitul Mal yang merupakan hak umum kaum Muslim, dapat dilihat pada gambaran berikut:
(1) Hakam Ibnu Abil ‘Ash yang telah diusir oleh Nabi dari Madinah, diizinkan kembali ke kota itu, bukan saja bertentangan dengan sunah Nabi tetapi juga bertentangan dengan perilaku kedua khalifah sebelumnya; ia bahkan diberi tiga ratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Ansāb al-Asyrāf, V, h. 27, 28, 125)
(2) Walid Ibnu ‘Uqbah yang telah dinaMal munafik dalam Qur’an, dibayari seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Al-‘Iqd al-Farid, III, h. 94)
(3) Khalifah itu mengawinkan anak perempunnya Umm Aban dengan Marwan Ibnu Hakam dan memberikan kepada Marwan seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 194-199)
(4) la mengawinkan anaknya ‘A’isyah dengan Harits Ibnu Hakam dan mem­berikan kapada Harits seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (ibid)
(5)  ‘Abdullah Ibnu Khalid diberi empat ratus ribu dirham. (Ibnu Qutaibah, Al-Ma’ārif, h. 84)
(6) la memberikan hak atas khums (pajak keagamaan) dari Afrika, sejumlah lima ratus ribu dinar, kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(6) Kebun Fadak yang tidak diserahkan kepada putri Rasulullah Fathimah az-Zahra’ berdasarkan alasan bahwa itu merupakan sedekah umum, diberikan sebagai hadiah kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)
(7) Mahzur, suatu tempat di area perdagangan Madinah, yang telah dimaklumkan sebagai milik umum oleh Nabi, dihadiahkan kepada Hants Ibnu Hakam. (ibid)
(8) Di padang-padang sekitar Madinah, lak ada unta selain milik Bani Umayyah yang digembalakan. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 199)
(10) Setelah meninggalnya (‘Utsman), seratus lima puluh ribu dinar (mala uang mas) dan satu juta dirham (mata uang perak) terdapat di rumahnya. Tak ada batas tanah-tanah yang bebas pajak; dan nilai total harta perkebunan yang dimilikinya di Wadi al-Qura dan Hunain adalah seratus ribu dinar. Di sana terdapat unta dan kuda yang tak terhitung banyaknya. (Muruj adz-Dzahab,I, h. 435)
(11) Famili-famili khalifah memerintah semua kota penting. Di Kuf’ah, Walid Ibnu ‘Uqbah adalah gubernurnya. Tetapi ketika dalam keadaan mabuk anggur ia mengimami salat Subuh empat rakaat, bukannya dua, dan rakyat menggugat, la pun dipindahkan. Tetapi, khalifah menggantikkannya dengan seorang munafik, Sa’id bin al-‘Ash. Di Mesir ‘Abdullah Ibnu Sa’d Ibnu AbT Sarh, di
Suriah Mu’awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah ‘Abdullah Ibnu ‘Amir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar