Siapa Yang Ingin Masuk Surga Hendakknya Mengikuti Ali dan Para Imam Suci Dari Ahlulbait as. (1)
Banyak sekali hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. yang telah disabdakan Nabi mulia Muhammad saw. Hadis-hadis tersebut tidak terbatas kepada menyebutkan kemuliaan dan keutamaan mereka, akan tetapi lebih dari itu, banyak diantaranya menekankan sederatan konsekuensi yang harus diyakini dan atau dijalankan dalam kehidupan beragama.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis-hadis di bawah ini:
(1) Hadis Riwayat Ibnu Abas ra.
Ath Thabarani dan ar Râfi’i meriwayatkan dengan sanad mereka kepada Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أنْ يَحيا حياتي ويموتَ مَماتي، وَيَسْكُنَ جَنَّةَ عَدْنٍ غَرَسَها رَبِّي، فَلْيُوالَ علِياً مِنْ بَعدي، وَ لْيُوالِ وَلِيَّهُ، وَلْيَقْتَدِ بِأَهْلِ بَيْتي مِن بعدي، فَإنَّهُم عِتْرَتي، خُلِقُوا مِنْ طِيْنَتِي، وَ رُزِقُوا فَهْمِيْ وَعِلْمِي، فَوَيْلٌ لِلْمُكَذِّبِيْنَ بِفضَلْهِمْ مِن أمَّتِي، القاطِعِين فِيْهِم صِلَتِي، لاَ أنَالَهُمُ اللهُ شَفاعَتِي.
“Siapa yang gembira (ingin) hidup (seperti) hidupku, mati (seperti) matiku, menempati surga And yang ditanam (pepehonannya) oleh Tuhanku handaknya ia meyakini kewalian (kepemimpinan mutlak) Ali sepeninggalku, dan hendaknya ia meyakini kewalian walinya (pelanjutnya) serta berteladan (dalam agama) dengan Ahlulbaitku sepeninggalku, karena mereka adalah ‘Itrahku, mereka diciptakan dari tanah (bahan penciptaanku), mereka diberi kefahaman dan ilmuku. Celakalah orang-orang yang mendustakan keutamaan mereka dari umatku, yang memutus tali kekerabatanku (dengan mereka). Semoga Allah tidak memberikan syafa’atku untuk mereka.”
Sumber Hadis:
Hadis ini dapat Anda temukan dalam Kanz al ‘Ummal, 6/217, hadis no.3819, Muntakhab Kanz al ‘Ummal (dicetak dipinggir Musnad Ahmad,5/94, Hilyah al Auliyâ’ darinya Ibnu Abil Hadid al Mu’tazili menukil dalam Syarah Nahjul Balaghah,2/450.
Tahqiq Sanad Hadis:
Seperti biasanya, kaum Nawashib di abad ini berusaha mencacat hadis-hadis keutamaan Imam Ali dan Ahlulbait as. dengan alasan-alasan palsu yang mereka banggakan dalam mendemonstrasikan kebencian mereka kepada manusia-manusia suci pilihan Allah SWT. Hadis ini juga termasuk menjadi sasaran panah-panah beracun kaum Nawashib, yang kerjanya hanya mendustakan hadis-hadis keutamaan Ahlulbait Nabi mulia as.. Karenanya, di sini kami perlu menjelaskan kualitas hadis tersebut agar menjadi jelas keshahihannya dan setelahnya ia akan menjadi bukti kuat bahwa keselamatan hanya akan diperoleh dengan mengikuti Ahlubait as. bukan dengan selainnya.
Sanad Hadis Dalam Musnad ar Râfi’i
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam ar Râfi’i dalam Musnadnya dengan sanad sebegaia berikut:
الحسن بن حمزة العلوي الرازي ، أبو طاهر ، قدم قزوين وحدث بها عن سليمان بن أحمد ، روى عنه : أبو مضر ربيعة بن علي العجلي ، فقال : ثنا أبو طاهر الحسن بن حمزة العلوي ـ قدم علينا قزوين سنة 344 ـ ، ثنا سليمان بن أحمد ، ثنا عمر بن حفس السدوسي ، ثنا إسحاق بن بشر الكاهلي ، ثنا يعقوب بن المغيرة الهاشمي ، عن ابن أبي رواد ، عن إسماعيل بن أمية ، عن عكرمة ، عن ابن عباس.
Hasan ibn Hamzah al Alawi ar Râzi; Abu Thahir, ia datang mengunjungi kota Qazwain dan menyampaikan hadis dari Sulaiman ibn Ahmad, darinya Abu Muhdar Rabi’ah ibn Ali al Ijli meriwayatkan, ia berkata, Abu Thahir ibn Hamzah al Alawi berkunjung ke kota Qazwain pada tahun 344 H, ia menyampaikan hadis kepada kami dari Sulaiman ibn Ahmad, ia berkata, Umar ibn Hafsh as sadûsi menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ishaq ibn Basyr al Kahili menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ya’qub ibn al Mughirah al Hasyimi menyampaikan hadis kepada kami dari Ibnu Abi Rawwâd dari Ismail ibn Umayyah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra.
Dan dari pemaparan sanad di atas jelaslah bagi kita sanad ath Thabarani. Beliau adalah Ahmad ibn Sulaiman yang disebut dalam mata rantai sanad di atas.
Sanad Hadis dalam Kitab Hilyah al Aulaiyâ’
Adapun sanad hadis ini dalam kitab Hilyah al Auliyâ’ adalah sebagai berikut:
حدثنا فهد بن إبراهيم بن فهد ، ثنا محمد بن زكريا الغلابي ، ثنا بشر بن مهران ، ثنا شريك ، عن الأعمش ، عن زيد بن وهب ، عن حذيفة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه [ وآله ] وسلم : من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي ، ويتمسك بالقصبة الياقوتة التي خلقها الله بيده ثم قال لها:كوني فكانت ، فليتول علي بن ابي طالب من بعدي.
رواه شريك أيضا : عن الأعمش ، عن حبيب بن أبي ثابت ، عن أبي الطفيل ، عن زيد بن أرقم.
ورواه السدي عن زيد بن أرقم.
ورواه ابن عباس ، وهو غريب.
حدثنا محمد بن المظفر ، ثنا محمد بن جفعر بن عبدالرحيم ، ثنا أحمد ابن محمد بن يزيد بن سليم ، ثنا عبد الرحمن بن عمران بن أبي ليلى ـ أخو محمد بن عمران ـ ثنا يعقوب بن موسى الهاشمي ، عن ابن أبي رواد ، عن إسماعيل بن أمية ، عن عكرمة ، عن ابن عباس ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه [ وآله ] وسلم : من سره أن يحيا حياتي… .
Selain dengan jalur di atas, Abu Nu’aim al Isfahâni juga meriwayatkan dalam Hilyah-nya dengan berbagai jalur lainnya dari beberapa sahabat Nabi saw. selain Ibnu Abbas ra.
Ibnu ‘Asâkir dan al Kinji meriwayatkannya dari jalur Abu Nu’aim dan setelahnya Ibnu ‘Asâkir berkata, “Ini adalah hadis munkar, di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal).” [1]
Ibnu ‘Asâkir juga meriwayatkan dari abu Nu’aim dengan sanad: dari Zaid ibn Wahab dari Hudzaifah dari Rasulullah saw.
Dengan sanad lain dari jalur Al Hafidz al Khathib al Baghdadi dari Abu Thufail dari Sayyiduna Abu Dzar ra. dari Rasulullah saw.[2]
Maka dengan demikian dapat Anda ketahui bahwa hadis di atas telah diriwayatkan ulama Ahlusunnah dari banyak jalur melalui empat sahabat Nabi saw.
1. Abdullah ibn Abbas ra.
2. Abu Dzar al Ghiffari ra.
3. Hudzaifah ibn al Yamân ra.
4. Zaid ibn Arqam ra.
Setelah ini, mari kita teliti dengan seksama sanad hadis di atas melalui jalur-jalur tersebut.
Hadis dari jalur Abu Dzarr dan Zaid ibn Arqam, tidak seorang pun mencacat kualitas para perawinya. Andai di dalamnya terdapat cacat pastilah mereka akan menerangkannya, seperti pada hadis-hadis dengan jalur lainnya.
Hadis Ibnu Abbas ra.
Adapun hadis riwayat sabahat Ibnu Abbas ra. telah dicacat oleh Ibnu ‘Asâkir dengan kata-katanya: “Ini adalah hadis munkar, di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal).” Dan Abu Nu;am berkata,“Gharib.”
Hadis Hudzaifah ra.
Adapun hadis dari sahabat Hudzaifah ra. kendati Ibnu ‘Asâkir dan Anu Nu’aim tidak mencacatnya, akan tetapi adz Dzahabi mencacatnya, seperti akan Anda saksikan nanti.
Tanggapan Penulis Atas Pencacatan Di atas
Adapun pencacatan Ibnu ‘Asâkir yang mengatakan: di dalamnya banyak perawi yang majhûl (tidak dikenal), maka terbantah dengan:
A) Diamnya ath Thabarani dan ar Rafi’i ketika meriwayatkan hadis tersebut dari jalur ini padahal dalam kesempatan lain ia mencacat hadis dengan jalur lain.
B) Abu Nu’aim hanya mengatakan gharib! Dan seperti akan kami jelaskan bahwa pernyataan seperti sama sekali bukan pencacatan!
C) Perawi yang menukil hadis dari Ibnu Rawwâd dalam jalur ath Thabarani dan ar Râfi’i adalah ya’qub ibn ibn Mughirah al Hasyimi, sementara dalam jalur Abu Nu’aim, Ibnu ‘Asâkir al Kunji disebut dengan nama Ya’qub ibn Musa al Hasyimi. Maka bisa jadi vonis kemajhulan itu muncul dari sini yaitu karena terjadinya perbedaan penyebutan nama dalam naskah-naskah yang ada.
D) Adapun vonis Ibnu ‘Asâkir yang mengatakan ia adalah hadis munkar, maka ia sama sekali tidak merusak dan mencacat hadis tersebut, sebab para ulama hadis, seperti an Nawawi mendefenisikan hadis munkar dengan:
هو الفرد الذي لا يعرف متنه عن غير راويه ، وكذا أطلقه كثيرون…
“Yaitu hadis yang matannya (teks hadisnya) tidak dikenal kecuali dari perawinya yang tunggal. Demikian diistilahkan oleh banyak ulama.”
Defenisi itu ia nukil dari al Hafidz al Bardîji.[3]
E) Adapun kata-kata Abu Nu’aim bahwa hadis ini Gharîb, juga tidak mencederainya. Sebab istilah itu dapat saja disandang oleh hadis shahih. Status keghariban dapat bersatu dengan status keshahihan, karenanya para ulama sering mengatakan hadis ini atau itu gharib shahih.
An Nawawi menerangkan:
الغريب والعزيز : إذا انفرد عن الزهري وشبهه ممن يجمع حديثه رجل بحديث سمي : غريبا ، فإن انفرد اثنان أو ثلاثة سمي عزيزا ، فإن رواه جماعة سمي : مشهورا.
ويدخل في الغريب ما انفرد راو بروايته أو بزيادة في متنه أو إسناده …
وينقسم إلى صحيح وغيره وهو الغالب
“Hadis Gharîb dan ‘Azîz: jika seorang parawi seperti az Zuhri dan selainnya dari kalangan perawi yang hadisnya telah dirangkum oleh seorang perawi, maka ia dinamai gharîb. Jika yang menyendiri itu dua atau tiga parawi maka dinamai ‘Azîz. Jika diriwayatkan oleh jama’ah (kelompok orang) maka ia dinamai masyhûr.
Dan masuk dalam bagian gharib adalah hadis yang perawinya menyendiri dengan meriwayat sebuah hadis atau adanya tambahan dalam matannya atau sanadnya.
Ia terbagi menjadi hadis shahih dan selainnya. Dan ia yang banyak.”[4]
Pencacatan adz Dzahabi:
F) Adapun pencacatan adz Dzahabi pada sanad hadis tersebut dari sahabat Hudzaifah, pencatatan itu dia utarakan ketika menyebut data hidup perawi bernama Bisy ibn Mahrân. Ia berkata:
بشر بن مهران الخصاف،عن شريك. قال ابن أبي حاتم: ترك أبي حديثه. ويقال: بشير.
قلت: قد روى عنه محمد بن زكريا الغلابي ـ لكن الغلابي متهم ـ قال : حدثنا شريك ، عن الأعمش، عن زيد بن وهب، عن حذيفة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه [وآله] وسلم: من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي، ويتمسك بالقضيب الياقوت، فليتول عليّ بن أبي طالب من بعدي.
”Bisyr ibn Mahrân al Khashshâf dari Syarîk. Ibnu Abi Hatim berkata, ‘Ayahku meninggalkan hadis riwayatnya. Ada yang menyebutnya Basyîr.
Saya berkata, “ Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi telah meriwayatkan darinya, akan tetapi al Ghilâbi tertuduh. Ia berkata, ‘Syarîk menyampaikan hadis kepada kami dari A’masy dari Zaid ibn Wahb dari Hudzaifah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:
من سره أن يحيا حياتي ، ويموت ميتتي ، ويتمسك بالقضيب الياقوت ، فليتول عليّ بن أبي طالب من بعدي.
“Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku serta berpegaang teguh dengan tangkai dari yaqut maka hendaknya meyakini kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib sepeninggalku.”
G) Adapun Abu Hatim meninggalkan hadis Bisyr maka tidak perlu dihiraukan berdasarkan ucapan adz Dzahabi sendiri, ia berkata:
إذا وثق أبو حاتم رجلا فتمسك بقوله ، فإنه لا يوثق إلا رجلا صحيح الحديث. وإذا لين رجلا أو قال فيه : لا يحتج به ، فلا ، توقف حتى ترى ما قال غيره فيه ، وإن وثقه أحد فلا تبن على تجريح أبي حاتم ، فإنه متعنت في الرجال ، قد قال في طائفة من رجال الصحاح : ليس بحجة ، ليس بقوي ، أو نحو ذلك.
“Jika Abu Hatim mentsiqahkan seorang perawi maka pegangi ucapannya, sebab ia tidak mentsiqahkan kecuali paarawi yang shahih hadisnya. Dan jika ia melembekkan seorang perawi atau berkata, ‘Ia tidak dapat dijadikan hujjah’ maka berhentilah (menerima ucapannya) sehingga engkau memerhatikan ucapan ulama lainnya. Jika ada yang mentsiqahkannya maka jangan engkau membangun vonismu atas pencacatan Abu Hatim, sebab ia sangat berlebihan dalam mencacat parawi. Ia telah vonis banyak tokoh hadis dengan kata-katanya, ‘ia bukan hujja… ia tidak kuat atau semisalnya.”[5]
Ia juga berkomentar ketika menyebut biodata Abu Zar’ah:
يعجبني كثيرا كلام أبي زرعة في الجرح والتعديل ، يبين عليه الورع والخبرة ، بخلاف رفيقه أبي حاتم ، فإنه جراح.
“Saya sangat terpesona dengan dengan ucapan Abu Zar’ah dalam al jarh dan at ta’dil, ia mencerminkan kehati-hatian dan kedalaman pengetahuan, berbeda dengan rekannya; Abu Hatim ia banyak (gegabah dalam) mencacat.”[6]
H) Adapun tuduhannya terhadap al Ghilâbi sama sekali tidak berdasar. Ia tertolak sebab:
Pertama: Bukan hanya al Ghilâbi yang meriwayatkan hadis tersebut dari Bisyr. Abu Abdillah al Husain ibn Ismail juga telah memutâba’ahnya dalam meriwayatkan hadis tersebut dari Bsyr, seperti Anda saksikan dalam riwayat Ibnu ‘Asâkir.[7]
Kedua: Vonis dengan kata-kata muttaham/tertuduh masih butuh penjelasan. Lalu mengapa ia menglobalkan? Atas hal apa ia tertuduh? Sementara itu kita menyaksikan adz Dzahabi menyebut data hidup perawi ini dalam dua bukunya, Tadzkirah al Huffâdz,2/639 dan Siyar A’lâm an Nubalâ’,13/534 ia hanya menyebutnya sebagai yang wafat di tahun 290 H, tanpa menyebut-nyebut pencacatan sama sekali. Adapun dalam kitab al ‘Ibar-nya, ia menyebutkannya demikian:
محمد بن زكريا الغلابي الأخباري، أبو جعفر، بالبصرة. روى عن: عبد الله بن رجاء الغذاني وطبقته قال ابن حبان : يعتبر بحديثه إذا روى عن الثقات.
“Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi al Akhbari; Abu Ja’far… darinya Abdullah ibn Rajâ’ al Ghidâ’i dan para parawi setingkat dengannya meriwayatkan hadis. Ibnu Hibban berkata, hadisnya dapat dijadikan i’tibar jika ia meriwayatkan dari parawi tsiqah/terpercaya.”[8]
Sementara itu dalam kitab Mîzân al I’tidâl-nya ia terjebak dalam fanatisme buta sehingga mencacat al Ghilâbi tanpa dasar. Hanya karena sang perawi jujur ini bersedia meriwayatkan sabda suci Nabi saw. tentang keutamaan Ahlulbait Nabi as. bukan tentang keutamaan keluarga bani Umayyah atau musuh-musuh Ahlulbait lainnya.
محمد بن زكريا الغلابي البصري الأخباري ، أبو جعفر،عن: عبد الله بن رجاء الغداني، وأبي الوليد ، والطبقة. وعنه : أبو القاسم الطبراني وطائفة. وهو ضعيف. وقد ذكره ابن حبان في كتاب (الثقات) وقال: يعتبر بحديثه إذا روى عن ثقة. وقال ابن مندة: تكلم فيه. وقال الدارقطني: يضع الحديث.
الصولي، حدثنا الغلابي: حدثنا إبراهيم بن بشار، عن سفيان، عن أبي الزبير، قال: كنا عند جابر، فدخل علي بن الحسين، فقال جابر: دخل الحسين فضمه النبي صلى الله عليه [ وآله ] وسلم إليه وقال: يولد لا بين هذا ابن يقال له علي، إذا كان يوم القيامة نادى مناد ؛ ليقم سيد العابدين ، فيقوم هذا. ويولد له ولد يقال له: محمد، إذا رأيته ـ يا جابر ـ فأقرأ عليه مني السلام.
فهذا كذب من الغلابي… .
“Muhammad ibn Zakaria al Ghilâbi al Bashri al Akhbari; Abu Ja’far, meriwayatkan hadis dari Abdullah ibn Rajâ’ al Ghidâi, Abu al Walîd dan yang setinggkat dengannya. Dan darinya Ath Thabarani dan yang setingkat dengannya. Ia dha’îf. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats Tsiqât-nya dan berkata, ‘Ia hadisnya dapat dii’tibarkan jika ia meriwayatkannya dari parawi tsiqah (jujur terpercaya).’ Ibnu Mandah berkata, ‘Ia diperbincangkan.’ Dan Ad Dâruquthni, ‘Ia memalsu hadis.’ Ash Shûli berkata, ‘al Ghilâbi menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ibrahim ibn Basysyar menyampaikan hadis kapada kami dari Sufyan dari Abu Zaubair, ia berkata, ‘Kami duduk di sisi Jabir (ibn Abdillah al Anshari) lalu datanglah Ali ibn Husain, maka Jabir berkata, ‘Pada suatu hari, (Imam) Husain masuk menemui Nabi saw., lalu beliau memeluk dan mengendongnya, lalu bersabda, “Dia ini akan dikarunia seorang putra bernama Ali, kelak di hari kiamat penyeru akan menyerukan, ‘Hendaknya berdiri penghulu para sajid (yang menghambakan diri kepada Allah), maka dia itu yang akan bangkit/berdiri.’ Dan ia (Ali ibn Husain) akan dikarunia seorang anak bernama Muhammad, jika kelak engkau melihatnya maka sampaikan salamku kepadanya.”
Ini adalah kebohongan dari al Ghilâbi !” [9]
Nah sekarang Anda dapat mengerti mengapa mereka getol mencacat al Ghilâbi dan menuduhnya sebagai pemalsu dan pembohong! Anda al Ghilâbi menyampaikan kabar bahwa Nabi saw. berpesan kepada Jabir agar menyampaikan salam kepada Yazid atau Abdul Malik ibn Marwan atau semisalnya, pastilah ia akan mendapat gelar Pendekar Sunnah, Muhyi as Sunnah/penyegar Sunnah! Tetapi karena semua kehormatan itu untuk Ahlulbait as. maka ia layak disebut sebagai pembohong dan pemalsu hadis… Karena sebab ia berani menyapaikan riwayat-riwayat keutamaan Ahlulbait as. maka ia menjadi tertuduh, muttaham!
Akan tetapi permasalahannya lebih dari sekedar itu, al Ghilâbi adalah seorang Akhbari, ahli sejarah. Rata-rata karya tulisnya tentang sejarah dan keutamaan Ahlulbait as. Namun demikian tidaklah samar bagi Anda bahwa pencacatan dengan alasan seperti itu tidak bernilai.
Kesimpulan:
Maka dengan demikian hadis di atas termasuk dari jalur al Ghilâbi adalah kuat dan tak terdapat padanya cacat yang berdasar. Pentsiqahan Ibnu Hibbân terhadap al Ghilabi tak tertandingi! Wal hamdulillah!
Pendustaan Adz Dzahabi Atas Hadis Jabir ra. Tidak Berdasar!
Hadis Jabir ibn Abdillah al Anshâri ra. yang karenanya adz Dzahabi tanpa segan-segan menvonis al Ghilabi sebagai pembohong yang memalsunya… Hadis Jabir tersebut ternyata telah diterima oleh banyak ulama terkemuka Ahlusunnah yang hidup sebelum adz Dzahabi. Ibnu ‘Asâkir dengan sanadnya kepada Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ash Shûli dari al Ghilabi dari Ibrahim ibn Basysyâr dari Sufyan ibn ‘Uyainah dari az Zuhri…
Dan dari Ibnu ‘Asâkir para ulama setelahnya meriwayatkannya, seperti al Kinji asy Syafi’i, ia berkata,
هذا حديث ذكره محدث الشام في مناقبه كما أخرجناه ، وسنده معروف عند أهل النقل.
“Ini adalah hadis telah disebutkan oleh tokoh Muhaddis negeri Syam dalam Manâqib-nya seperti kami riwayatkan. Dan sanadnya ma’rûf/dikenal dikalangan ahli hadis.”[10]
Sedangkan Ibnu Hajar menyebutnya dengan penuh kepastian tanpa harus mempermasalahkan statsu sanadnya, dan kemudian ia berkomentar:
وكفاه شرفا أن ابن المديني روى عن جابر.
“Daan cukuplah kemuliaan bahwa al Madîni meriwayatkan dari Jabir.”[11]
Andai riwayat tersebut tidak shahih tidak mungkin ia mengatakan demikian.
Demikian juga dengan Syeikh Kamâluddin Muhammad ibnu Thalhah meriwayatkannya dalam kitabMathâlib as Su’ûl: 43. Beliau adalah tokoh besar ulama dan ahli fikih. Adz Dzahabi sendiri menyebutkan data hidupnya dalam banyak kitabnya dan memujinya. Demikian juga dengan para ulama lainnya, semuanya memujinya.
Kami tidak heran jika adz Dzahabi dengan serta merta mendustakan riwayat ‘Salam Nabi saw. untuk dua putra kebanggaan beliau; Imam Zainal Abidin dan Imam Muhammad al Baqir as.’, karena memang sudah sering ia bersikap seperti itu terhadap hadis-hadis keutamaan Ali dan Ahlulbait as.
Ketiga: Setelah ini semua, anggap kita terima kelemahan hadis ini dari jalur sahabat Hudzaifah… maka sesungguhnya berhujjah dengan hadis dengan jalur-jalur lain sudahlah cukup. Tidakkah telah Anda saksikan bagaimana Ibnu ‘Asâkir yang mencacat sanad/jalur riwayat Ibnu Abbas ra., ia sama sekali tidak mencacat hadis tersebut dari jalur Zaid ibn Arqam dan Abu Dzarr, sebagaimana ia mencatat hadis Hudzaifah?! Bukankah ini semua bukti nyata bahwa hadis itu dengan jalur tersebut shahih?!
Keempat: Andai kita terima anggapan bahwa seluruh jalur hadis tersebut lemah, dha’îf, bukankah telah ditetapkann dalam kajian Ilmu Hadis di kalangan para ulama bahwa hadis lemah, jika terdukung oleh banyak jalur maka mia dapat diangkat sebagai hujjah?!
Al Munnâwi berkomentar -setelah mendiskusikan beberapa hadis- membantah Ibnu Taimiyah:
وهذه الأخبار وإن فرض ضعفها جميعا ، لكن لا ينكر تقوّي الحديث الضعيف ـ بكثرة طرفه وتعدد مخرجيه ـ إلا جاهل بالصناعة الحديثية أو معائد متعصب ، والظن به أنه من القبيل الثاني.
“Hadis-hadis ini walaupun anggap ia lemah semua, akan tetapi tidak akan mengingkari bahwa hadis itu dapat dihukumi kuat dengan banyaknya jalur dan berbilangnya periwayatnya kecuali seorang yang jahil tentang ilmu hadis atau penentang kebenaran yangt degil. Dan dalam dzan/hemat sama ia (Ibnu Tamiyah) termasuk yang kedua.”[12]
Dan untuk orang seperti Ibnu Taimiyah dan adz Dzahabi dapat dipastikan sikap penolakannya didasari atas penentangan dan fanatisme!
Al Khitâm:
Dan akhirnya, menjadi jelaslah bagi kita status hadis di atas dengan beragam jalurnya. Semoga kita diberi taufiq Alllah untuk tunduk kepada kebenaran dan mengikuti jalan manusia-manusia suci Muhammad saw. dan Ahlulbait beliau as.
________________________________________
[1] Tarikh Damasqus (pada biodata Imam Ali as.),2/95 hadis no. 596, Kifâyah ath Thalib; al Kinji:214.
[2] Tarikh Damasqus,2/98 dan 99.
[3] Tadrîb ar Râwi,1/199.
[4]Ibid.
[5] Siyar A’lâm an Nubalâ’,13/247.
[6] Ibid, 13/65.
[7] Tarikh Damasqus,2/98.
[8] Al ‘Ibar Fi Khabari Man Ghabar,1/418.
[9] Mîzân al I’tidâl,3/55.
[10] Kifâyah ath Thâlib:448.
[11] Ash Shawâiq:120.
[12] Faidhul Qadîr-Syarah al Jâmi’ ash Shaghîr,3/170.