1.Kelompok Hadis Pertama
Hadis-hadis kelompok ini memuat berbagai
macam bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali as. dan penegasan atas
keutamaan-nya. Hadis-hadis tersebut adalah berikut ini:
a. Kedudukan Imam Ali as. di Sisi Nabi saw.
Amirul Mukminin Ali as. adalah satu-satunya
orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Ali as. adalah ayah untuk kedua
cucunya dan pintu kota ilmunya. Nabi saw. sangat menghormati dan mencintai Ali
as. Beberapa hadis Nabi saw. menegaskan betapa kecintaannya saw. kepada Ali as.
sangat besar. Mari kita simak bersama beberapa hadis berikut ini.
Imam Ali as. sebagai Diri Nabi saw.
Ayat Mubâhalah menegaskan kepada
kita bahwa Imam Ali as. adalah diri dan jiwa Nabi saw. Kami telah memaparkan
hal ini pada pembahasan yang lalu. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan dalam
berbagai hadis bah-wa Ali as. adalah diri dan jiwanya.
Pada suatu
hari, Walîd bin ‘Uqbah memberikan informasi kepada Nabi saw. bahwa Bani Walî‘ah
telah murtad dari Islam. Mendengar itu, Nabi saw. sangat murka dan bersabda:
“Apakah Bani Walî‘ah menghen-tikan perbuatan mereka itu atau aku akan utus
kepada mereka seorang laki-laki yang merupakan diri dan jiwaku; ia akan
memerangi mereka dan menyandera kaum wanita mereka. Laki-laki itu adalah orang
ini.” Setelah bersabda demikian, Nabi saw. menepuk pun-dak Imam Ali as.[1]
Dalam sebuah
hadis, ‘Amr bin ‘Ash berkata: “Ketika aku kembali dari perang Dzâtus Salâsil,
aku mengira bahwa tidak seorang pun yang lebih dicintai oleh Rasulullah saw.
daripada aku. Aku bertanya kepadanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah yang paling Anda
cintai?’ Rasulullah saw. menyebutkan nama beberapa orang. Aku bertanya lagi,
‘Ya Rasulallah, di manakah Ali?’ Nabi saw. menoleh kepada para sahabat seraya
bersabda, ‘Sesungguhnya ia bertanya kepadaku tentang jiwaku.’”[2]
Imam Ali
as. sebagai Saudara Nabi saw.
Nabi saw. pernah mengumumkan di hadapan
para sahabat bahwa Ali as. adalah saudaranya. Masalah ini telah direkam oleh
banyak hadis. Antara lain ialah:
At-Turmudzî
meriwayatkan dengan sanad dari Ibn Umar. Ibn Umar berkata: “Rasulullah
saw. telah mempersaudarakan para sahabatnya. Ke-mudain datanglah Ali as. dengan
air mata yang berlinang seraya berkata: ‘Ya Rasulallah, engkau telah
mempersaudarakan para sahabatmu. Tetapi mengapa Anda tidak mempersaudarakanku
dengan siapa pun?’ Rasulu-llah saw. Bersabda: ‘Engkau adalah saudaraku di dunia
dan di akhirat.’”[3]
Nabi saw.
mempersaudarakan Ali dengan dirinya bukan hanya di dunia ini saja. Tetapi
persaudaraan antaranya Imam Ali as. ini berlanjut hingga hari akhirat yang tak
berbatas.
Anas bin Malik
berkata: “Rasulullah saw. naik ke atas mimbar. Setelah usai berpidato, ia
bertanya, ‘Di manakah Ali bin Abi Thalib?’ Ali as. segera bangkit dan berkata:
“Aku di sini, ya Rasulullah.’ Tak lama kemudian Nabi saw. memeluk Ali as. dan
mencium keningnya seraya bersabda dengan suara yang lantang: ‘Wahai kaum
Muslimin, Ali adalah saudaraku dan putra pamanku. Dia adalah darah dagingku dan
rambutku. Dia adalah ayah kedua cucuku Hasan dan Husain, penghulu para pemu-da
penghuni surga.’”[4]
Dalam sebuah
riwayat, Ibn Umar berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda pada
saat melaksanakan haji Wadâ‘ semen-taranya menunggangi unta sembari menepuk
pundak Ali as.: “Ya Allah, saksikanlah. Ya allah, aku telah menyampaikan
seruan-Mu bahwa orang ini adalah saudaraku, putra pamanku, menantuku, dan ayah
kedua cucu-ku. Ya Allah, sungkurkanlah orang yang memusuhinya ke dalam api
ne-raka.’”[5]
Nabi saw.
dan Imam Ali as. Berasal dari Satu Pohon
Nabi saw. pernah menegaskan bahwa ia
saw. dan Ali as. berasal dari satu pohon yang sama. Hal ini telah disebutkan
dalam beberapa hadis. Berikut ini adalah contoh dari hadis-hadis tersebut:
Dalam sebuah
hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw.
bersabda kepada Ali as.: ‘Hai Ali, sesungguh-nya umat manusia berasal dari
berbagai pohon yang berbeda. Sementara engkau dan aku berasal dari satu pohon
yang sama.’ Kemudian beliau membacakan ayat:
“Dan di atas bumi
ini terdapat bagian-bagian yang berdam-pingan (tapi berbeda-beda), dan
kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang bercAbâng dan yang
tidak bercAbâng, disirami dengan air yang sama ...” (QS. Ar-Ra’d [13]:4)
Rasulullah saw. bersabda: “Aku dan Ali
as. berasal dari satu pohon, se-dangkan umat manusia berasal dari pohon yang
berbeda-beda.”[6]
Sungguh betapa
agung dan mulia pohon tersebut yang telah melahirkan junjungan alam semesta,
Rasulullah saw., dan pintu kota ilmunya, Amirul Mukminin Ali as. Pohon ini
adalah pohon yang penuh berkah; pohon yang akarnya menghujam ke dalam bumi dan
ranting-ran-tingnya menjulang ke langit, dan membuahkan hasil bagi umat manusia
pada setiap generasi.
Imam Ali as.
sebagai Wazîr Nabi saw.
Dalam beberapa hadis, Nabi saw. sangat
menekankan bahwa Ali as. adalah wazîrnya. Di antara hadis-hadis tersebut
ialah berikut ini:
Dalam sebuah
hadis, Asmâ’ binti ‘Umais berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw.
Bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku ber-kata sebagaimana saudaraku, Mûsâ
berkata: ‘Ya Allah, jadikanlah untukku seorang wazîr dari keluargaku,
yaitu saudaraku Ali. Kokohkanlah aku dengannya, sertakanlah dia dalam urusanku
agar kami banyak bertasbih kepada-Mu dan senantiasa mengingat-Mu. Sesungguhnya
Engkau Maha Mengetahui kondisi kami”.[7]
Imam Ali
as. sebagai Khalifah Nabi saw.
Nabi saw. memproklamasikan bahwa Ali as.
adalah khilafah sepeninggal-nya dari sejaknya memulai dakwah. Hal itu terjadi
Ketika ia mengundang kaum Quraisy agar memeluk Islam. Di akhir pertemuan
tersebut, ia saw. berkata kepada mereka: “Dengan demikian, orang ini—yaitu Ali
as.—adalah saudaraku, washî-ku, dan khalifahku setelahku untuk kalian.
De-ngarkan dan taatilah dia!”[8]
Rasulullah saw.
telah menggandengkan kekhalifahan Ali as. sepe-ninggalnya dengan permulaan
dakwah Islam. Ia juga telah menying-kirkan kemusyrikan dan penyembahan terhadap
berhala. Banyak sekali riwayat yang telah menegaskan kekhalifahan Ali as. ini.
Berikut ini seba-gian darinya:
Rasululllah
saw. bersabda: “Hai Ali, engkau adalah khalifahku untuk umatku.”[9]
Beliau saw.
juga bersabda: “Di antara mereka, Ali bin Abi Thalib paling dahulu memeluk
Islam, paling banyak ilmu pengetahuannya, dan dia adalah imam dan khalifah
setelahku.”
Imam Ali
as. di Sisi Nabi saw. Sepadan Hârûn di Sisi Mûsâ
Banyak sekali hadis dan riwayat telah
diriwayatkan dari Nabi saw. yang memiliki kandungan yang sama. yaitu ia
bersabda kepda Ali as.: “Engkau di sisiku seperti kedudukan Harus di sisi Mûsâ
as. ...” Berikut ini kami nukilkan sebagian hadis tersebut:
Nabi saw.
bersabda kepada Ali as.: “Tidakkah engkau rela bahwa engkau di sisiku
sebagaimana kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak ada nabi lagi
setelahku?”[10]
Sa‘îd bin
Mûsâyyib meriwayatkan hadis dari ‘Âmir bin Sa‘d bin Abi Waqqâsh, dari
ayahnya, Sa’d. Sa‘d berkata: “Rasulullah saw. pernah ber-sabda kepada Ali as.:
“Engkau di sisiku seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak
ada nabi lagi setelahku.’”
Sa‘îd berkata:
“Aku ingin menyampaikan informasi tersebut kepada Sa‘d. Aku menjumpainya dan
kuceritakan apa yang diceritakan oleh ‘Âmir. Sa‘d berkata: “Aku pun telah
mendengarnya.’ Aku bertanya: “Sungguh engkau telah mendengarnya?” Ia meletakkan
jarinya di kedua telinganya seraya berkata: “Ya, aku telah mendengarnya. Jika
tidak, berarti aku tuli.’”[11]
Imam Ali
as. sebagai Gerbang Kota Ilmu Nabi saw.
Satu hal lagi tentang ketinggian dan
keagungan kedudukan Ali as. yang ditegaskan oleh Nabi saw. adalah bahwa ia
telah menjadikannya sebagai pintu kota ilmunya. Hadis-hadis mengenai hal ini
telah diriwayatkan melalui beberapa jalur sehingga mencapai peringkat qath‘î
(meyakinkan). Hadis-hadis ini telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. pada
beberapa kesempatan. Di antaranya adalah berikut ini:
Jâbir bin
Abdillah berkata: “Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mende-ngar Rasulullah saw.
bersabda sambil memegang tangan Ali as.: “Orang ini adalah pemimpin orang-orang
saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa yang membelanya, dan
akan terhina siapa yang menghinanya.’ Lalunya mengeraskan suaranya: “Aku adalah
kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki rumah,
hendaklah ia masuk melalui pintunya.’”[12]
Ibn Abbâs
berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah
pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka hendaklah ia mendatangi
pintunya.”[13]
Rasulullah saw.
bersabda: “Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas risalahku kepada umatku
sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman, memurkainya adalah kemunafikan,
dan memandangnya adalah kasih sayang.”[14]
Amirul Mukminin
Ali as. adalah pintu kota ilmu Nabi saw. Setiap ajaran agama, hukum syariat,
akhlak yang mulia, dan tata krama luhur yang datang darinya, semua itu
bersumber dari Nabi saw. Konse-kuensinya, kita harus mematuhi dan mengikutinya.
Sesungguhnya
Nabi saw. telah meninggalkan sumber ilmu pengetahuan untuk memenuhi kehidupan
ini dengan hikmah dan kesejahteraan. Sumber itunya titipkan kepada Ali as. agar
umat ini dapat menimba darinya. Tetapi sangat sekali, kekuatan zalim yang
dengki kepada Imam Ali as. telah menutup jendela cahaya tersebut, mencegah umat
untuk mengambil manfat darinya, dan membiarkan mereka terperosok ke dalam
kebodohan hidup ini.
Imam Ali
as. Serupa dengan Para Nabi
Suatu ketika Nabi saw. berada di
tengah-tengah para sahabat. Ia berkata kepada mereka: “Jika kalian ingin
melihat ilmu pengetahuan Adam as., kesedihan Nuh as., ketinggian akhlak Ibrahim
as., munajat Mûsâ as., usia Isa as., dan petunjuk serta kelembutan Muhammad
saw., maka hendaklah kalian melihat orang yang akan datang sebentar lagi.”
Setelah agak lama mereka menanti-nanti siapa yang akan datang, tiba-tiba Amirul
Mukmini Ali as. muncul.”
Seorang penyair
terkenal, Abu Abdillah Al-Mufajji‘, telah banyak menyusun bait- bait syair
tentang keagungan dan kemuliaan Imam Ali as. Ketika mengungkapkan realita
tersebut di atas, ia menulis:
Wahai pendengki
kekasihku Ali, masuklah ke dalam neraka Jahim dengan terhina.
Masihkah engkau
menyindir manusia terbaik, sedang engkau tersingkir-kan dari petunjuk dan
cahaya?
Dialah yang
mirip para nabi di kala kanak dan muda, di kala menyusu, disapih dan di kala
makan.
Ilmunya bagai
Adam di kala ia menjelaskan nama-nama dan alam semesta.
Bagai Nuh di
kala selamat dari maut ketika ia turun di bukit Jûdî.[15]
Mencintai Ali as. adalah Keimanam;
Membencinnya adalah Kemunafikan
Nabi Muhammad saw. menegaskan kepada
umat bahwa mencintai Ali as. adalah tanda keimanan dan ketakwaam. Sementara
membencinya adalah kemunafikan dan maksiat. Beriktu ini sebagian riwayat yang
telah diri-wayatkan darinya tentang hal ini:
Ali as.
berkata: “Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan mencip-takan manusia,
sesungguhnya janji Nabi yang ummî kepadaku adalah bahwa tidak ada yang
mencintaiku kecuali orang mukmin dan tidak membenciku melainkan orang munafik.”[16]
Al-Musâwir
Al-Humairî meriwayatkan hadis dari ibunya. Ibunya berkata: “Ummu Salamah datang
menjumpaiku dan aku mendengar ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Orang munafik tidak akan mencintai Ali dan orang mukmin tidak akan
membencinya.’”[17]
Ibn Abbâs
pernah meriwayatkan sebuah hadis. Ia berkata: “Rasu-lullah saw. memandang
kepada Ali as. seraya bersabda: “Tidak mencin-taimu melainkan orang mukmin dan
tidak membencimu kecuali orang munafik. Barang siapa yang mencintaimu, berarti
ia mencintaiku. Barang siapa yang membencimu, berarti ia membenciku. Kekasihku
adalah kekasih Allah dan pendengkiku adalah pendengki Allah. Sungguh celaka
orang yang mendengkimu setelahku nanti.’”[18]
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa‘îd Al-Khudrî berkata: “Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Ali as., ‘Mencintaimu adalah keimanan dan membencimu adalah kemunafikan. Orang yang pertama masuk surga adalah pecintamu dan orang pertama yang masuk neraka adalah pen-dengkimu.’”[19]
Hadis-hadis di
atas telah tersebar luas di kalangan para sahabat nabi saw. Mereka menerapkan
hadis-hadis tersebut kepada orang yang mencintai Ali as. dan menyebutnya
sebagai orang mukmin. Sementara orang yang mendengkinya mereka sebut sebagai
orang munafik.
Seorang sahabat
terkemuka yang bernama Abu Dzar Al-Gifârî pernah berkata: “Kami tidak mengenal
orang-orang munafik, kecuali ketika mereka berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya,
meninggalkan salat, dan mendengki Ali bin Abi Thalib as.”[20]
Seorang sahabat
Nabi terkemuka lainnya yang bernama Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî juga pernah
berkata: “Kami tidak pernah mengenal orang-orang munafik kecuali ketika mereka
mendengki Ali bin Abi Thalib as.”[21]
b. Kedudukan Imam Ali as. di Sisi Allah swt.
Selanjutnya kita beralih menjelaskan
sebagian hadis yang telah diriwa-yatkan dari Nabi saw. berhubungan dengan
keagungan Imam Ali as. di sisi Allah swt. dan kemuliaan-kemuliaan yang ia
miliki.
Sejumlah hadis
yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. Ber-hubungan dengan kemuliaan Imam
Ali as. di sisi Allah di akhirat kelak. Sebagian hadis tersebut adalah berikut
ini:
Imam Ali
as. sebagai Pembawa Bendera Pujian
Banyak sekali hadis sahih dari Nabi saw.
yang menjelaskan bahwa Imam Ali as. pada Hari Kiamat kelak akan diberikan
kemuliaan oleh Allah swt. untuk membawa bendera pujian. Hal ini adalah anugerah
khusus yang tidak diberikan kepada siapa pun selainnya. Di antara hadis-hadis
terse-but adalah hadis berikut ini:
Rasulullah saw.
bersabda kepada Imam Ali as.: “Pada Hari Kiamat kelak, engkau akan berada di
hadapanku. Ketika itu aku diberi bendera pujian, lalu bendera tersebut
kuserahkan kepadamu. Sementara engkau sedang mengusir orang-orang (yang tidak
berhak) dari telagaku.”[22]
Imam Ali as. sebagai Pemilik Telaga Haudh Nabi saw.
Banyak sekali hadis Nabi saw. yang
menjelaskan bahwa Imam Ali as. adalah pemilik telaga Haudh Nabi saw.,
sungai di surga yang paling sejuk, paling manis, dan sangat indah dipandang
mata itu. Tak seorang pun da-pat meneguk airnya kecuali orang yang ber-wilâyah
dan mencintai Imam Ali as. Berikut ini kami paparkan sebagian hadis tersebut:
Rasulullah saw.
bersabda: “Ali bin Abi Thalib as. adalah pemilik te-laga Haudh-ku kelak
di Hari Kiamat. Di sekelilingnya berjejer gelas-gelas sebanyak bilangan bintang
di langit. Luas telaga Haudh-ku itu sejauh antara Jâbiyah dan Shan’a.”[23]
Imam Ali as. sebagai Pemilah Surga dan Neraka
Di antara posisi agung dan mulia yang
diberikan oleh Rasulullah saw. kepada pintu kota ilmunya ini adalah bahwa ia
adalah pemilah surga dan nereka. Ibn Hajar pernah meriwayatkan sebuah hadis
bahwa Imam Ali as. pernah berkata kepada anggota Dewan Syura yang telah dipilih
oleh Umar: “Demi Allah, apakah di antara kalian ada seseorang yang pernah
disebut oleh Rasulullah saw. dengan sabda: ‘Wahai Ali, engkau adalah pe-milah
surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak’, selainku?”
“Tak seorang
pun”, jawab mereka pendek.
Ibn Hajar
memberikan catatan atas hadis ini. Ia menulis: “Maksud-nya ialah ucapan yang
pernah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. Sabda Nabi saw. kepada Ali as.:
‘Engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat kelak’, berarti
engkau, hai Ali, berkata kepada neraka: ‘Ini adalah bagianku dan yang ini
adalah bagianmu.’”[24]
Dapat dipastikan bahwa tak seorang wali Allah pun, baik sebelum maupun setelah Islam, yang pernah memperoleh kemuliaan tak berbatas ini seperti yang pernah diperoleh oleh Imam Ali as. Allah swt. telah menganugerahkan kemulian itu kepadanya sebagai penghargaan atas jerih payah dan jihadnya di jalan Islam, dan atas usahanya dalam mengikis habis egoisme dan kerelaannya berkhidmat kepada kebenaran.
2. Kelompok Hadis Kedua
Tidak sedikit hadis yang telah
diriwayatkan dari Nabi saw. tentang keu-tamaan Ahlul Bait Nabi saw. yang suci,
keharusan mencintai dan berpegang teguh kepada mereka. Berikut ini adalah
sebagian dari hadis-hadis tersebut:
Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain termasuk hadis
Nabi saw. yang paling indah, paling sahih, dan paling tersebar luas di kalangan
muslimin. Hadis ini telah diabadikan oleh Enam Kitab Sahih (Al-Kutub
As-Sittah), dan para ulama juga mene-rimanya.
Perlu
diingatkan di sini bahwa Nabi saw. telah menyampaikan hadis tersebut di
beberapa tempat dan kesempatan. Di antaranya berikut ini:
Zaid bin Arqam
meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesung-guhnya aku tinggalkan dua pusaka
berharga untuk kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian
tidak akan tersesat selamanya sepeninggalku nanti. Salah satunya lebih agung daripada
yang lainnya. Yaitu Kitab Allah, tali yang membentang dari langit ke bumi, dan
yang kedua adalah ‘Itrahku, Ahlul Baitku. Keduanya itu tidak akan per-nah
berpisah sampai menjumpaiku di telaga Haudh kelak. Perhatikanlah
bagaimana kalian memperlakukan keduanya itu sepeninggalku kelak.”[25]
Nabi saw. juga
pernah menyampaikan hadis ini ketika sedang melaksanakan haji Wada’ pada hari
Arafah. Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî meriwayatkan hadis seraya berkata: “Aku
melihat Rasulullah saw. pada haji Wada’ pada hari Arafah. Ketika itunya
berpidato sedangnya berdiri di atas punggung untanya yang bernama Al-Qashwâ’.
Aku mendengarnya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku tinggalkan untuk
kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya, niscaya kalian tidak akan
tersesat, yaitu Kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku.’”[26]
Rasulullah saw.
juga pernah berpidato di hadapan para sahabat Ketika ia berada di atas ranjang
pada saat mendekati wafat. Ia saw. Ber-sabda: “Wahai manusia, sebentar lagi
nyawaku akan diambil dengan cepat, lalu aku pergi. Dan sebelum ini aku pernah
menyampaikan suatu ucapan kepada kalian. Yaitu aku tinggalkan untuk kalian
Kitab Tuhanku Yang Mulia nan Agung dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku.” Kemudian ia
saw. memegang tangan Ali as. seraya berkata: “Inilah Ali yang selalu bersama
Al-Qur’an dan Al-Qur’an pun senantiasa bersamanya. Keduanya tidak akan pernah
berpisah hingga mendatangiku di telaga Haudh.”[27]
Hadis Bahtera Nuh as.
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa‘îd
Al-Khudrî berkata: “Aku pernah men-dengar Rasulullah saw. Bersabda:
‘Sesungguhnya perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian bagaikan bahtera
Nuh as. selamatlah orang yang menaikinya, dan bnasalah orang yang
meninggalkannya, maka ia akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlul Baitku di
tengah-tengah kalian bagaikan pintu Hiththah (pengampunan) bagi Bani
Isra’il. Barang siapa yang memasukinya, dosanya akan diampuni.”[28]
Hadis tersebut
menegaskan agar umat manusia berpegang teguh kepada ‘Itrah suci. Karena mereka
adalah kunci keselamatan mereka dari tenggelam dan kebinggungan hidup ini.
Ahlul Bait adalah bahtera penye-lamat dan pengaman bagi umat manusia.
Imam
Syarafuddin menulis: “Anda tahu bahwa maksud dari penye-rupaan mereka dengan
bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang bersandar kepada mereka di dunia
dan akhirat; yaitu mengambil ajaran agama, baik pondasi maupun cAbângnya, dari
para imam suci, maka ia akan selamat dari azab api neraka. Dan barang siapa
mem-belakangi mereka, maka ia seperti orang yang berlindung kepada bukit ketika
topan bergemuruh kencang agar selamat dari ketentuan Allah. Perbedaannya, ia
hanya tenggelam di air. Sedangkan orang yang mening-galkan para imam suci akan
terjerumus ke dalam neraka Jahanam. Semoga Allah melin-dungi kita.
“Adapun sisi
penyerupaan mereka dengan pintu pengampunan, artinya adalah Allah swt.
menjadikan pintu tersebut sebagai salah satu lambang kerendahan diri terhadap
keagungan-Nya dan ketundukan kepa-da ketentuan-Nya. Dengan demikian pintu itu
menjadi faktor pengam-punan dosa. Ini adalah rahasia penyerupaan tersebut”.
Akan tetapi Ibn
Hajar berupaya mengutarakan rahasia yang lain di balik penyerupaan itu. Setelah
memaparkan hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang serupa, ia menuliskan:
“Sisi penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh as. yaitu bahwa barang siapa yang
mencintai dan menghormati mereka karena mensyukuri nikmat kemuliaan mereka dan
mengikuti petunjuk ulama mereka, maka ia akan selamat dari kegelapan
pertentangan. Dan barang siapa yang meninggalkan mereka, maka ia akan tenggelam
di lautan pengingkaran nikmat dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan ...
Adapun faktor penyerupaan mereka dengan pintu Hiththah adalah bahwa
sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan masuk ke pintu Araiha atau Baitul
Maqdis dengan rasa rendah hati dan beris-trigfar sebagai faktor pengampunan
dosa, dan juga menjadikan kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai sebab pengampunan
dosa bagi umat ini, (tidak lebih dari itu).[29]
Hadis Ahlul Bait Pengaman Umat
Nabi saw. mewajibkan kecintaan kepada
Ahlul Bait atas umat ini. Ia menegaskan bahwa berpegang teguh kepada mereka
adalah faktor pengaman dari kehancuran. Ia saw. bersabda: “Bintang-bintang
adalah pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam. Dan Ahlul Baitku adalah
pengaman bagi umatku dari pertentangan dan pertikaian. Apabila salah satu
kabilah Arab menentang mereka, ini berarti mereka telah bertikai. Akibatnya,
mereka menjadi pengikut Iblis.”[30]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar