Turbah adalah lempengan tanah (atau tanah liat) yang
dipadatkan (dikeringkan dan dibekukan) dan biasanya digunakan oleh
pengikut mazhab Syiah ahlulbait ketika sujud saat salat. Turbah berasal
dari bahasa Arab yaitu turab, yang berarti debu atau lumpur.
Bentuknya bermacam-macam; bulat, kubus, segi delapan atau persegi
panjang. Beberapa turbah dihiasi ukiran asma Allah swt., ahlulbait, atau
bentuk kubah masjid. Terkadang ada orang yang membalikkan turbah (sisi
ukiran berada di bawah) agar lebih nyaman di dahi saat sujud.
Beberapa turbah zaman sekarang bisa menampilkan jumlah sujud dan
rakaat yang telah dilakukan. Di dalamnya terdapat gerakan mekanik cakram
yang memutar kertas bersimbol ketika seseorang sujud. Cakram akan
kembali seperti awal ketika salat selesai. Nampaknya turbah ini dibuat
untuk membantu orang yang mudah lupa (was-was) dalam jumlah sujud dan
rakaat. Sekedar tambahan, ulama seperti Ayatullah Khamenei sudah
memberikan fatwa tentang turbah seperti ini, “Jika ia termasuk benda
yang sah dijadikan tempat sujud dan tidak bergerak saat meletakkan dan
menekan dahi, maka sujudnya tidak terhalang secara syar’i.”
Mengapa Sujud di Atas Tanah?
Sujud secara bahasa berarti al-khudû’, yakni tunduk atau
merendahkan diri. Sedangkan sujud dalam salat bermakna meletakkan dahi
di atas tanah. Inilah wujud peribadatan dan “penghinaan” seorang makhluk
di hadapan Khalik. Sampai-sampai disebutkan dalam riwayat, “Keadaan
paling dekat antara seorang hamba kepada Allah adalah ketika sujud.”
Karenanya menurut saya, salat sejatinya bukanlah bacaan surah yang
lama atau sengaja diperlama, tapi adalah sujud yang lama. Kepala atau
dahi dilambangkan sebagai bagian yang dimuliakan. Padahal hakikatnya
manusia hanya diciptakan dari tanah (turâb, ardh)
bahkan tanah hitam. Kesombongan manusia itu dihancurkan dengan menaruh
lambang kemuliaan (dahi) ke tempat aslinya (tanah) di hadapan Sang
Pencipta.
Sujud dalam Fikih dan Sejarah
Dalam fikih Syiah ahlulbait, sujud di atas tanah merupakan perintah Rasulullah dan para imam ahlulbait a.s. Dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far diriwayatkan
bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ja’far tentang tempat yang boleh
dijadikan tempat sujud. Lalu dijawab, “Tidak boleh sujud kecuali di atas
ardh (tanah, bumi) atau yang tumbuh di bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai.”
Orang itu bertanya apa sebabnya, kemudian Imam menjawab, “Sujud
merupakan ketundukan kepada Allah, maka tidaklah layak dilakukan di atas
apa yang boleh dimakan dan dipakai, karena anak-anak dunia adalah hamba
dari apa yang mereka makan dan mereka pakai, sedangkan sujud adalah
dalam rangka beribadah kepada Allah…” Hal ini sesuai dengan perintah
Nabi Muhammad sebagaimana yang juga dikabarkan oleh Jabir bin Abdillah
dalam Shahîh Al-Bukhârî:
أخبرنا جابر بن عبد الله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: … جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً
“Dijadikannya tanah (bumi) bagiku sebagai tempat untuk bersujud dan suci.” Artinya tanah bukan saja mensucikan untuk bertayamum tapi juga suci sebagai tempat sujud. Jika seseorang
memahami riwayat tersebut bahwa seluruh tanah (bumi) adalah masjid,
sementara umat lain mengkhususkan ibadahnya hanya di gereja atau
sinagog, juga tidak menyimpang dari makna tersebut karena bumi terdiri
dari batuan dan tanah.[*] Karena jika tanah (bumi) itu secara
mutlak merupakan tempat sujud bagi orang yang mengerjakan salat, maka
lazimnya seluruh tanah itu juga layak untuk dijadikan tempat ibadah.
Jika para ulama fikih Syiah memandang hadis nabi saw. tersebut di
atas dan hadis-hadis lainnya dengan penafsiran wajibnya sujud di atas
tanah atau sesuatu yang tumbuh dari tanah tetapi tidak dimakan atau
dipakai bagi para pengikutnya, maka hal itu tidak bermasalah bagi
pengikut ahlusunah yang lebih memilih untuk sujud di atas sajadah atau
karpet dan alas lainnya yang merupakan bahan sintetis.
Tapi bagaimana pun kita bisa melihat bahwa dalam segala kondisi nabi
saw. selalu sujud di atas tanah. Pernah ketika terjadi hujan di bulan
Ramadan, masjid nabi yang beratapkan pelepah kurma menjadi basah. Abu
Said Al-Khudri dalam riwayat Bukhari berkata, “Aku melihat dikening dan
hidung Rasulullah saw. terdapat bekas lumpur.”
Dalam kondisi panas, beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdullah
Al-Anshari biasanya akan menggenggam dan membolak-balikkan kerikil agar
dingin sebelum digunakan untuk sujud. Sedangkan beberapa sahabat yang
lain mengadu kepada Nabi, tapi tidak ditanggapi.
عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في جباهنا وأكفنا فلم يشكنا
Khabab bin Al-Arat berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw.
tentang sangat panasnya dahi kami (saat sujud), tapi beliau tidak
menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi). Ibnul Atsir mengomentari
hadis tersebut dan terkait kata syakwâ:
إنّهم لمّا شكوا إليه ما يجدون من ذلك لم يفسح لهم أن يسجدوا على طرف ثيابهم
“Ketika itu mereka mengadukan kepada nabi (saw.) apa yang mereka
rasakan, tapi beliau tidak memperkenankan mereka untuk bersujud di atas
ujung baju mereka.” Penjelasan dalam kitab An-Nihâyah tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah saw. tidak mengizinkan para sahabat sujud di atas pakaian (tsiyâb) sekalipun kondisi tanah sangat panas.
Meski demikian ada juga sahabat yang mencari-cari kesempatan untuk
sujud di atas kain, tetapi tidak diberi izin oleh Rasulullah saw.,
sebagaimana juga diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqî:
عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته
Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat
seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka beliau memberi isyarat
dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil menunjuk pada
dahinya.” Jika dipahami bahwa dahi harus mengenai tempat sujud sementara
alas sujud terbuat dari kain, misalnya, maka tidak ada bedanya antara
membuka atau membiarkan dahi dililit oleh serban. Dapat dipahami bahwa
tempat sujud haruslah terbuat dari bahan selain daripada kain
serban. Karenanya Rasulullah saw. juga memerintahkan tatrîb, yaitu penaburan debu, sebagaimana terdapat dalam Kanz al-’Ummâl dan Musnad Ahmad:
روى أبو صالح قال: دخلت على أُمّ سلمة، فدخل عليها ابن أخ لها فصلّى في بيتها ركعتين، فلمّا سجد نفخ التراب، فقالت أُمّ سلمة: ابن أخي لا تنفخ، فإنّي سمعت رسول اللّه (صلى الله عليه وآله وسلم) يقول لغلام له يقال له يسار ونفخ: ترّب وجهك للّه
Abu Shalih meriwayatkan: Saya menemui Ummu Salamah lalu seorang anak
saudaranya masuk ke rumah. Ia salat dua rakaat di sana. Ketika bersujud,
ia meniup at-turâb (di atas tempat sujudnya). Ummu Salamah
berkata, “Anak saudaraku, jangan meniupnya! Sungguh saya mendengar
Rasulullah saw. berkata kepada seorang budaknya yang bernama Yasar,
“Lekatkanlah wajahmu pada tanah karena Allah.” Selain memerintah,
Rasulullah saw. juga melarang seseorang untuk membersihkan dengan cara
meniup debu atau tanah yang ada di tempat sujud.
Mungkin karena riwayat di atas dan banyak riwayat lainnya sehingga Imam Syafii dalam Al-Umm mengatakan bahwa seseorang harus sujud di atas tanah:
وَلَوْ سَجَدَ عَلَى رَأْسِهِ ، وَلَمْ يُمِسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لَمْ يَجْزِهِ السُّجُودُ ، وَإِنْ سَجَدَ عَلَى رَأْسِهِ فَمَاسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى ، وَلَوْ سَجَدَ عَلَى جَبْهَتِهِ وَدُونَهَا ثَوْبٌ أَوْ غَيْرُهُ لَمْ يَجْزِهِ السُّجُودُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرِيحًا فَيَكُونُ ذَلِكَ عُذْرًا ، وَلَوْ سَجَدَ عَلَيْهَا وَعَلَيْهَا ثَوْبٌ مُتَخَرِّقٌ فَمَاسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ عَلَى الْأَرْضِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ سَاجِدٌ وَشَيْءٌ مِنْ جَبْهَتِهِ عَلَى الْأَرْضِ
“Apabila
seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka
sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian
dahinya menyentuh tanah (al-ardh),
maka sujudnya dianggap cukup dan sah, insya Allah Taala. Bila ia sujud
dan pada dahinya terdapat kain atau selainnya belumlah dinyatakan sah
kecuali karena terdapat luka, karena itu adalah uzur. Jika ia sujud dan
pada dahinya terdapat kain yang robek sehingga bagian dari dahinya
menyentuh tanah maka sah karena ia sujud dengan bagian dari dahinya
menyentuh tanah.” (Al-Umm, 1/114)
Artinya, menurut mazhab Imam Syafii seseorang ketika sujud dahinya
harus menyentuh tanah (yang oleh sebagian orang diartikan secara umum
dengan “bumi”) dan dibolehkan menggunakan kain hanya ketika di dahinya
terdapat luka dan harus menyisakan bagian dahi yang terbuku untuk tetap
terkena tanah. Tapi apakah orang Syiah protes ketika teman-teman
bermazhab Syafii sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain sintetis?
Lalu kenapa ada yang protes (bahkan menyebutnya bidah) ketika orang
Syiah sujud di atas tanah padahal itu sesuai dengan fikih mereka yang
diajarkan ahlulbait? Bukankah sujud di atas permadani atau sajadahlah
yang merupakan bidah?
Meski demikian Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk sujud di
atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah, jika memang cuaca sangat panas atau sangat dingin. Terkadang digunakanlah tikar dari daun kurma (al-hashîr) atau tikar dari bambu (al-bawârî) dan
terkadang karena uzur atau darurat beliau mengizinkan sahabat untuk
menarik serbannya. Artinya selama bisa sujud di atas tanah, maka
Rasulullah akan melarangnya.
Turbah al-Husain
Sebuah blog
menyebut Syiah sebagai penyembah berhala. Hal itu karena mereka tidak
memahami dengan benar makna “muslim”. Ketika seseorang bersyahadat dan
menjadi muslim, maka yang disembah adalah Allah. Sedangkan syirik adalah
menyembah selain Allah. Bagaimana mungkin menjadi musyrik dan menyembah
berhala padahal dalam salatnya ia bertakbir, tahmid, tahlil, selawat
dan seterusnya? Tentu kalian tidak ingin disebut sebagai penyembah
berhala karena sujud di atas kain sajadah, ‘kan?
Turbah hanyalah sebuah lempengan tanah tempat orang-orang Syiah “sujud di atasnya” (masjûd ‘alaih) bukan “sujud kepadanya” (masjûd lahu). Lalu mengapa tanah Karbala atau turbatul Husain yang dipilih?
Pertama, yang diwajibkan adalah sujud di atas tanah atau
yang tumbuh dari bumi kecuali yang dapat dimakan atau dipakai. Jadi
menurut saya, tidak ada kewajiban untuk sujud di atas tanah Karbala dan
sah walau bukan di atas tanah Karbala, karena tidak membuat perbedaan
hukumnya apa ia tanah Mekah, Madinah, atau lainnya karena ia semua tanah
di bumi. Justru yang jelas berdasarkan sejarah dan riwayat, pada masa
awal Islam masjid tidak memiliki permadani atau sajadah seperti yang
sekarang. Bisa dikatakan mereka semua sujud di atas tanah, debu, atau
kerikil bebatuan. Lalu, bukankah tanah Karbala adalah bagian dari tanah
di muka bumi?
Kedua, menjadikan tanah Karbala sebagai turbah tidak berarti
tanah Madinah dekat pusara Nabi saw. tidak memiliki keutamaan. Karena
masing-masing memiliki keutamaannya sendiri. Syiah maupun ahlusunah
mencatat ucapan Rasulullah saw. yang menjelaskan mengenai keutamaan tanah Karbala.
Jika dikatakan bahwa sujud di atas tanah Karbala adalah bidah, padahal
Rasulullah saw. sujud di atas tanah, adakah ia lebih bidah jika sujud di
atas permadani?
Tanah Karbala adalah tempat terbunuhnya cucu Nabi dan keluarganya
untuk membela Islam sejati yang hampir musnah. Tanah tersebut telah
dibanjiri darah suci para syuhada yang berjuang di jalan Allah. Kaum
Syiah akan terus mengingat perjuangan Imam Husain a.s. Bukankah segala
sesuatu yang berkaitan dengan Allah akan memiliki keutamaan? “Kemuliaan
suatu tempat terletak pada siapa yang menempatinya,” kata pepatah.
Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar