Artikel ini merupakan artikel lama yang saya tulis tahun 2008 dan saya reposting dengan tambahan “keluhan” karena dikukuhkannya Indonesiasebagai negara perokok terbesar di ASEAN dan kasus hilangnya ayat tembakau.
Sebelumnya saya minta maaf kepada siapa saja yang merasa tersinggung
dengan tulisan ini (seharusnya memang tidak ada), karena tulisan ini
hanyalah pendapat pribadi.
Membingungkan memang antara siapa yang harus saya benci: perokok atau rokok? Tapi saya jadi berpikir, siapa pula yang harus saya benci: pembunuh yang menggunakan pisau atau pisau yang digunakan ibu saya di dapur untuk memasak? Apa mungkin kita mengkambinghitamkan dan membenci benda mati (rokok) atau saya harus membenci keluarga dan teman-teman saya sendiri?
Kenapa Ulama Diam?
Atau saya harus membenci ulama yang tidak tegas mengeluarkan “fatwa”
(baca: hukum) tentang rokok? Seandainya saya menjadi ulama pasti saya
akan keluarkan fatwa haram pada rokok. Tapi tentu tidak mungkin seorang
ulama mengeluarkan fatwa hanya karena “nafsu kebenciannya” pada sesuatu.
Tapi juga sangat tidak adil jika ulama tidak tegas mengeluarkan fatwa
merokok hanya karena mereka sendiri merokok!
Seperti kata Taufik Ismail dalam Tuhan Sembilan Senti:
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, yaa ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, yaa ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.
Para musuh Syiah dalam galerinya selalu menaruh gambar para ulama
Syiah yang merokok dengan tujuan menjatuhkan citra mazhab Syiah. Ini
tidak adil karena pertama, ulama dari mazhab manapun termasuk suni juga ada yang merokok; kedua,
merokok merupakan perilaku pribadi ulama tersebut dan tidak bisa
dijadikan dalil generalisasi. Tapi sejujurnya, saya kecewa dengan para
ulama mazhab manapun yang tidak tegas soal rokok!
Saya dengar ulama yang cukup tegas soal haram merokok justru ulama Wahabi. Sedangkan ulama lainnya menyatakan bahwa bagi pemula adalah haram sedangkan bagi yang sudah menjalankannya adalah makruh. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap hasil ijtihad mereka, tapi hal ini justru membuka peluang orang untuk merokok! Bisa saja mereka melakukan “haram” sekali untuk di awal dan seterusnya menjadi makruh.
Kebanyakan fukaha zaman sekarang seperti Ayatullah Sistani dan Ayatullah Khamenei berpendapat bahwa jika merokok berbahaya bagi kesehatan seseorang, maka haram bagi orang itu untuk merokok bahkan perokok pasif (dekat dengan perokok). Para ulama ini mewajibkan seseorang untuk mencari tahu apakah merokok itu berbahaya bagi dirinya atau tidak.
Sayid Husain Fadhlullah mempunyai pendapat yang lebih tegas bahwa merokok adalah haram. Beliau menggunakan ayat pengharaman khamar: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya…” (QS. Al-Baqarah : 219). Maksudnya, meskipun (mungkin saja) merokok memiliki manfaat, tapi dosanya lebih besar; yakni merusak kesehatan dan pemborosan.
Gunakan Akal!
Syahid Muthahhari dalam pembahasan mengenai akal sebagai sumber hukum menjelaskan bahwa setiap perintah (amr) syariat pastilah untuk memenuhi kebaikan manusia dan setiap larangan (nahi)
syariat bertujuan untuk menghindari manusia dari kepentingan terburuk
dan merusak. Sekarang marilah kita menggunakan akal sehat; karena di
manapun hukum akal ada maka hukum syariat juga ada. Bukankah agama ini
diikuti karena akal?
Di masa Nabi (mungkin) tidak terdapat rokok seperti sekarang ini yang dikonsumsi seperti makanan sehari-hari. Dalam Alquran dan sunah pun kita tidak bisa menemukan dalilnya. Tidak adanya nas bukan berarti menjadi halal, kan? Kita tahu—berdasarkan ilmu kesehatan—bahwa dalam tembakau beserta rokok terdapat candu dari zat nikotin yang merusak kesehatan. Karena yang merusak dan membahayakan harus dihindari, karenanya sesuai pandangan syariat seharusnya rokok adalah haram.
Jangan Salahkan Kematian
Tidak ada alasan bahwa “ajal itu dari Tuhan”, “umur bukan kita yang
menentukan”, atau “kematian Allah yang menakdirkan”, atau “yang merokok
saja tidak mati” dan seterusnya hingga menyalahkan Tuhan tentang
kematian! Maaf, tapi menurut saya itu sama saja dengan ucapan Yazid
kepada Imam Zainal Abidin ketika Imam Husain dibunuh, “Bukankah Allah
yang telah membunuhnya?” Imam segera membalas, “Jangan memutar balik
kenyataan dan jangan menjadikan Tuhan sebagai topeng!”
Imam melanjutkan, “Ketentuan Allah adalah peristiwa-peristiwa yang
terjadi atas kehendak manusia dan sebab-sebabnya!” dan rokok adalah
salah satu dari sekian banyak penyebab rusaknya kesehatan manusia
termasuk kematian. Tidak hanya merusak tapi juga membuat candu. Saudara
saya pernah menulis bahwa nikotin yang ada dalam rokok lebih berbahaya
dan lebih candu dari pada heroin, alkohol, dan kokain.
Kesehatan Bukan Milik Manusia
Sang pemilik mutlak hanyalah Allah Swt. “Dan hanya kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di bumi…”
(An-Najm: 31). Manusia adalah milik Allah karena bagian dari apa yang
ada di bumi. Jiwa dan hidup kita adalah milik Allah dan karenanya kita
diharamkan untuk bunuh diri. Termasuk juga dalam hal kesehatan manusia.
Sebagai pemilik relatif, manusia hanya boleh menjaga dan bukan
merusaknya.
Di negara-negara yang civilized dan non-Muslim (kalau tidak ingin dikatakan negara kafir), berkendara sambil menggunakan mobile phone saja dilarang, apalagi merokok! Ada beberapa indikasi: pertama, kesehatan menjadi tanggung jawab negara (tapi masyarakatnya merusak dengan merokok); kedua, meskipun kesehatan itu ada di tubuh Anda, tapi Anda tidak berhak merusaknya; ketiga, meskipun Anda yang merokok, tapi asapnya juga merusak kesehatan orang lain!
Tidakkah mereka lebih islami di banding kita sendiri? Bukankah Nabi kita yang mulia bersabda, “Tidak ada bahaya (lâ dhirâr) dan tidak membahayakan (lâ dharar)”? Hebatnya mereka produsen rokok luar negeri, membuat rokok masuk ke negara-negara muslim dan meracuninya; hebatnya produsen rokok dalam negeri kapitalis yang serakah menggunakan dalih menolong petani tembakau!
Boros Temannya Setan
Rusaknya kesehatan hanya satu di antara alasan merokok (seharusnya)
diharamkan, karena yang kedua adalah pemborosan. Anggap saja jumlah umat
Islam di dunia ini 1 miliar (faktanya 1,5 miliar lebih). Seperlimanya
merokok sehingga ada 200 juta umat Islam merokok. Kalau saja harga rokok
Rp 7.000,00 berarti dalam sehari Rp 1,4 triliun uang yang dibakar untuk
membeli penyakit! (Lihat: Suburnya Industri Rokok, Sehari Rp 330 Miliar “Dibakar”)
Belum termasuk biaya pengobatan karena sesak nafas, paru-paru, asma, atau gangguan gusi.
“Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Isrâ: 26-27). Bukan saya yang mengatakan kalau para perokok pemboros itu temannya setan, tapi firman Tuhan. Boros ketika bersedekah saja dilarang apalagi boros untuk hal yang merusak kesehatan!
“Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Isrâ: 26-27). Bukan saya yang mengatakan kalau para perokok pemboros itu temannya setan, tapi firman Tuhan. Boros ketika bersedekah saja dilarang apalagi boros untuk hal yang merusak kesehatan!
Niat Hijrah dari Perbuatan Buruk
Ini bukan soal sulit atau kecanduan. Ini soal niat dari dalam diri sendiri! Marhum Ayatullah Hujjat a’lâllâh maqammah
adalah seorang pecandu rokok berat. Dia selalu menyusul satu batang
dengan batang yang lain tanpa berhenti, walaupun terkadang berhenti
sejenak kemudian melanjutkannya lagi. Sebagian besar waktunya dia
habiskan dengan merokok hingga akhirnya beliau jatuh sakit. Dia pergi ke
Teheran untuk berobat dan dokter berkata, “Karena Anda menderita
penyakit paru-paru, maka Anda harus berhenti merokok.”
Dengan bercanda beliau berkata, “Aku memerlukan dada ini hanya untuk merokok dan apabila tidak ada rokok maka buat apa aku memiliki dada!” Dokter berkata, “Bagaimana pun juga dalam keadaan seperti ini merokok sangat berbahaya bagi kesehatan Anda.” Beliau berkata, “Benarkah berbahaya?” Dokter meyakinkan, “Benar sangat berbahaya dan berisiko pada kematian.”
Dengan sekali ucap “mulai saat ini aku akan berhenti menghisap rokok” beliau berhasil memutus hubungan dengan rokok selama-lamanya. Satu kalimat yang menghasilkan keputusan besar dan beliau telah berhijrah dari kebiasaan buruknya. Dalam sebuah hadis disebutkan al-muhajirû man hajara as-sayyiât, seseorang dapat disebut berhijrah jika berhasil dari lepas dari kebiasaan buruk (Gufthara-ye Ma’nawi, hlm. 292).
Berat untuk “Melawan”
Ada sebuah kisah saat Perang Karbala. Saya tahu cerita ini terlalu
jauh untuk dibandingkan, dan kalau pun ingin disamakan, tetap saja tidak
sama. Ketika Imam Husain hendak tampil sebagai syahid terakhir, beliau
menanyakan, “Adakah orang yang mau membawakan kuda kehadapanku?” Sayidah
Zainab yang membawa kuda itu kepada Imam, berkata, “Saudari macam
apakah aku yang membawa kuda kematian untuk saudaranya?”
Dan… ketika (satu-satunya) anggota keluarga saya meminta saya membelikan (baca: menitip untuk membeli) rokok, saya dihadapkan dua hal. Antara menaati atau menolak. Menolak akan dianggap tidak baik, tidak sopan, durhaka, atau cap negatif lain. Tapi jika menuruti perintah, saya seperti ingin berkata, “Anak macam apa aku ini yang hendak membunuh keluarga sendiri.”
Akhir dari Keluhan
Ada tren lain yang aneh. Shisha (hookah) yang disebut
sebagai “rokok Arab” mulai menjadi barang populer dan simbol “orang
gaul”. Teman-teman saya laki dan perempuan yang bukan Arab juga
menikmatinya dan menganggapnya sebagai simbol anak muda, funky,
gaya hidup, dan dalih lain seterusnya. Katanya, yang digunakan adalah
rempah buah-buahan, tapi (menurut fatwa) kalau yang digunakan adalah
tembakau maka hukum yang sama dengan rokok berlaku.
Beruntung saya tidak menjadi orang Arab yang “gaul”, karena saya juga membenci tidak menyukai hal seperti itu. Imam Jafar Shadiq as. berkata, “Jadilah kamu hiasan bagi kami dan jangan menjadi celaan dan aib bagi kami.” Setelah mengeluh ini, jangan-jangan malah saya harus membenci diri saya sendiri karena berada di lingkungan para perokok?
sumber
http://ejajufri.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar