Pembahasan ini termasuk
sejelas-jelasnya pembahasan. Karena tidak ada seorang pun yang pura-pura
tidak mengenal Ahlul Bait kecuali para penentang yang tidak menemukan
jalan
keluar dari dalil-dalil yang
pasti tentang wajibnya mengikuti mereka, lalu mereka pun berlindung
kepada keragu-raguan tentang siapa
yang dimaksud dengan Ahlul Bait
itu. Inilah yang dapat saya saksikan dari berbagai diskusi yang saya
lakukan dengan teman-teman.
Ketika salah seorang mereka tidak
menemukan jalan untuk menghindar dari keharusan mengikuti Ahlul Bait,
dengan
serta-merta dia melontarkan berbagai pertanyaan dengan
tujuan mewujudkan meragukan,
Siapa
Ahlul Bait itu?
Bukankah
istri-istri Rasulullah SAWW termasuk Ahlul Baitnya?! Bukankah Rasulullah SAWW telah bersabda, "Salman dari
kalangan kami Ahlul Bait"?!
Bahkan, bukankah Abu Jahal juga termasuk keluarga Rasulullah
SAWW?!
Tidak ada yang
mereka inginkan dari seluruh pertanyaan ini kecuali keinginan
untuk mengingkari kenyataan hadis Tsaqalain,
yang merupakan salah satu hadis yang mengindikasikan
keimamahan Ahlul Bait. Mereka
menduga bahwa dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan ini, mereka dapat membungkam
akal dan seruan nuraninya. Namun,
kenyataan tidak sesuai dengan
perkiraan mereka, dan hujjah tetap tegak berdiri meskipun ia mengingkari
atau pun tidak mengingkari.
Saya pernah mengatakan kepada sebagian mereka manakala mereka
melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti ini,
"Kenapa Anda menginginkan
segala sesuatunya tersedia dengan tanpa susah-payah?! Sesungguhnya
pikiran-pikiran yang sudah dikemas tidak memberikan faedah. Saya mampu
memberikan jawaban, namun Anda pun mampu menolak dan mengingkari jawaban
saya, karena Anda
tidak merasakan pahitnya melakukan
pembahasan dan tidak menanggung kesulitan untuk bisa memberikan jawaban.
Apakah hanya saya yang
diwajibkan untuk menjawab? Apakah
Rasulullah SAWW telah memerintahkan kepada
saya secara khusus untuk berpegang teguh kepada Ahlul Bait?! Tidak, kita
semua diwajibkan untuk menjawab
pertanyaan ini. Karena telah tegak hujjah
atas kita akan wajibnya mengikuti Ahlul Bait dan mengambil agama dari
mereka, sehingga kita wajib mengenal
mereka dan untuk kemudian
mengikuti mereka."
Pada kesempatan ini pun saya tidak akan memperluas
argumentasi dan dalil, melainkan saya
cukup mengemukakan beberapa petunjuk yang
jelas, dan bagi siapa yang menginginkan keterangan yang lebih, maka ia sendiri yang harus memperdalamnya.
Ahlul Bait Di Dalam Ayat Tathhîr
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya." (QS. al-Ahzab: 33)
Sesungguhnya
turunnya ayat ini kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain
as adalah termasuk perkara yang amat jelas bagi mereka yang mengkaji kitab-kitab hadis dan tafsir. Dalam hal
ini, Ibnu Hajar berkata,
"Sesungguhnya mayoritas para mufassir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali, Fatimah, Hasan
dan Husain."[1]
Ayat ini, disebabkan penunjukkannya
yang jelas terhadap kemaksuman Ahlul Bait, tidak sejalan kecuali dengan
mereka. Ini dikarenakan apa yang telah kita jelaskan, yaitu bahwa mereka
itu adalah
pusaka umat ini dan para pemimpin sepeninggal Rasulullah SAWW. Oleh
karena itu, Rasulullah SAWW memerintahkan
kita untuk mengikuti mereka. Arti kemaksuman juga dengan jelas dapat
disaksikan dari ayat ini, bagi mereka yang mempunyai
hati dan mau mendengarkan. Hal itu dikarenakan mustahil tidak
terlaksananya maksud jika yang mempunyai
maksud itu adalah Allah SWT; dan huruf al-hashr (pembatasan), yaitu
kata “innama”, menunjukkan kepada arti ini.
Yang menjadi fokus perhatian kita di dalam pembahasan ini ialah
membuktikan bahwa ayat ini khusus turun
kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Hadis Al-Kisa` Menentukan Siapa Yang Dimaksud Dengan
Ahlul Bait
Argumentasi terdekat dan terjelas yang berkenaan dengan penafsiran ayat ini ialah sebuah hadis yang dikenal di kalangan para ahli hadis dengan sebutan hadis al-Kisâ`, yang tingkat kesahihan dan kemutawatirannya tidak kalah dari hadis Tsaqalain.
1. Al-Hakim telah meriwayatkan di
dalam kitabnya al-Mustadrak 'alâ
ash-Shahihain fi al-Hadis:
ash-Shahihain fi al-Hadis:
"Dari
Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib yang berkata, 'Ketika Rasulullah SAWW
memandang ke arah rahmat yang turun, Rasulullah SAWW berkata,
'Panggilkan untukku, panggilkan untukku.'
Shafiyyah bertanya, 'Siapa, ya Rasulullah?!' Rasulullah
menjawab, 'Ahlul Baitku, yaitu Ali, Fatimah,
Hasan dan Husain.' Maka mereka pun dihadirkan
ke hadapan Rasulullah, lalu Rasulullah SAWW meletakkan pakaiannya ke
atas
mereka, kemudian Rasulullah SAWW mengangkat kedua tangannya dan berkata,
'Ya
Allah, mereka inilah keluargaku (maka
sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).' Lalu Allah
SWT menurunkan ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya.'"[2]
Al-Hakim berkata, "Hadis ini sahih sanadnya."
2. Al-Hakim meriwayatkan hadis serupa dari Ummu Salamah yang
berkata, "Di rumah saya turun ayat yang
berbunyi 'Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
Ahlul
Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya'. Lalu Rasulullah SAWW
mengirim Ali, Fatimah, Hasan dan
Husain, dan kemudian berkata,
'Mereka inilah Ahlul Baitku.'"[3] Kemudian,
al-Hakim berkata,
"Hadis ini sahih menurut syarat
Bukhari." Di tempat lain al-Hakim
juga meriwayatkan hadis ini dari
Watsilah, dan kemudian berkata,
"Hadis ini sahih menurut syarat mereka berdua."
3. Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam
kitab sahihnya dari Aisyah
yang berkata,
"Rasulullah SAWW pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan
pakaian (yang tidak dijahit dan)
bergambar. Lalu Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah SAWW
memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu
Husain datang, dan Rasulullah SAWW memasukkannya
ke dalam pakaiannya; lalu datang Fatimah, dan Rasulullah SAWW pun
memasukkannya ke dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan
Rasulullah SAWW
memasukkannya ke dalam pakaiannya;
kemudian Rasulullah SAWW berkata, "Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
Ahlul Bait, dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya."[4]
Berita
ini dapat ditemukan di dalam banyak riwayat yang terdapat di
dalam kitab-kitab sahih, kitab-kitab hadis dan kitab-kitab tafsir.[5] Hadis al-Kisâ`
termasuk hadis yang sahih dan
mutawatir, yang tidak ada seorang pun yang mendhaifkannya, baik dari kalangan
terdahulu maupun kalangan terkemudian. Sungguh akan banyak
memakan waktu jika kita menyebutkan seluruh
riwayat ini. Saya menghitung ada dua puluh tujuh riwayat yang kesemuanya
sahih.
Di antara riwayat yang paling jelas di dalam bab ini —di dalam menentukan siapa Ahlul Bait—
ialah riwayat yang dinukil oleh as-Suyuthi
di dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur, yang berasal dari Ibnu
Mardawaih, dari Ummu Salamah yang berkata, "Di rumahku turun ayat 'Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.' Saat itu di rumahku ada tujuh orang yaitu Jibril, Mikail,
Ali, Fatimah, Hasan dan Husain,
sementara aku berada di pintu rumah. Kemudian saya
berkata, 'Ya Rasulullah, tidakkah aku termasuk Ahlul Bait?!' Rasulullah SAWW
menjawab, 'Sesungguhnya engkau berada pada kebajikan, dan sesungguhnya engkau
termasuk istri Rasulullah SAWW.'"[6]
Pada riwayat al-Hakim di dalam kitab Mustadraknya
disebutkan, Ummu Salamah bertanya,
"Ya Rasulullah, saya tidak termasuk Ahlul Bait?" Rasulullah SAWW menjawab, "Sesungguhnya
engkau berada dalam kebajikan, mereka
itulah Ahlul Baitku. Ya Allah, mereka inilah Ahlul
Baitku yang lebih berhak."[7]
Pada
riwayat Ahmad disebutkan, "Saya mengangkat pakaian penutup untuk masuk
bersama mereka namun Rasulullah SAWW menarik tangan saya sambil berkata, 'Sesungguhnya engkau berada
dalam kebajikan.'"[8]
Ini cukup membuktikan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait ialah
mereka Ashabul Kisa, sehingga dengan demikian mereka itu adalah padanan al-Qur'an, yang kita telah
diperintahkan oleh
Rasulullah SAWW — di dalam hadis Tsaqalain — untuk berpegang teguh
kepada mereka.
Orang yang
mengatakan bahwa ‘Itrah itu artinya keluarga, sehingga mengubah makna, perkataannya itu tidak dapat diterima.
Karena tidak ada seorang pun dari para
pakar bahasa yang mengatakan demikian. Ibnu
Manzhur menukil di dalam kitabnya Lisan al-'Arab, "Sesungguhnya
‘Itrah Rasulullah SAWW adalah keturunan Fatimah ra. Ini adalah perkataan Ibnu Sayyidah. Al-Azhari berkata, 'Di dalam
hadis Zaid bin Tsabit yang berkata,
'Rasulullah SAWW bersabda, '... lalu dia menyebut hadis Tsaqalain' . Maka di sini Rasulullah menjadikan ‘Itrahnya
sebagai Ahlul Bait.' Abu ‘Ubaid dan yang lainnya berkata, "‘Itrah seorang
laki-laki adalah kerabatnya.'
Ibnu Atsir berkata, "Itrah seorang laki-laki lebih khusus dari kaum
kerabatnya.' Ibnu A'rabi berkata, "Itrah seorang laki-laki ialah anak dan keturunannya yang berasal
dari tulang sulbinya.' Ibnu A'rabi
melanjutkan perkataannya, 'Maka ‘Itrah Rasulullah SAWW adalah keturunan Fatimah."[9] Dari
makna-makna ini menjadi jelas bahwa
yang dimaksud Ahlul Bait bukan mutlak kaum kerabat, melainkan kaum kerabat yang
paling khusus. Oleh karena itu, di dalam riwayat
Muslim disebutkan bahwa tatkala Zaid bin Arqam ditanya, siapa
yang dimaksud dengan Ahlul Bait Rasulullah? Apakah istri-istrinya?
Zaid bin Arqam menjawab, "Tidak, demi Allah.
Sesungguhnya seorang wanita tidak selamanya bersama suaminya, karena jika dia
ditalak maka dia akan kembali kepada ayah dan kaumnya. Adapun yang dimaksud
Ahlul Bait Rasulullah SAWW ialah keluarga nasabnya, yang
diharamkan sedekah atas mereka sepeninggalnya (Rasulullah SAWW)."
Menjadi anggota Ahlul Bait tidak pernah diklaim oleh seorang
pun dari kaum kerabat
Rasulullah SAWW, dan begitu juga oleh istri-istrinya. Karena jika tidak,
maka tentunya sejarah akan menceritakan
hal itu kepada kita. Tidak ada di
dalam sejarah dan juga di dalam hadis yang menyebutkan
bahwa istri Rasulullah SAWW berhujjah dengan ayat ini. Sebaliknya dengan
Ahlul Bait. Inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata,
"Sesungguhnya Allah Azza
Wajalla mengutamakan kami, Ahlul Bait. Bagaimana tidak demikian, padahal
Allah
SWT telah berfirman di dalam
Kitab-Nya, 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.' Allah
SWT telah mensucikan kami dari berbagai kotoran, baik yang
tampak maupun yang tersembunyi. Maka kami berada
di atas jalan kebenaran."
Putranya, al-Hasan as berkata, "Wahai manusia, barangsiapa
yang mengenalku, maka sungguh dia telah mengenalku,
dan barangsiapa yang tidak mengenalku, maka
inilah aku, Hasan putra Ali. Akulah anak seorang laki-laki pemberi kabar
gembira dan peringatan, penyeru kepada Allah dengan izin-Nya, dan
pelita yang
bercahaya. Saya termasuk Ahlul Bait
yang mana Jibril turun naik kepada mereka. Saya termasuk Ahlul Bait yang
telah Allah hilangkan dosa dari mereka dan telah Allah sucikan mereka
sesuci-sucinya."
Pada kesempatan yang lain al-Hasan berkata, "Wahai manusia,
dengarkanlah.
Kamu mempunyai hati dan telinga, maka
perhatikanlah. Sesungguhnya kami ini adalah
Ahlul Bait yang telah Allah muliakan dengan Islam, dan Allah telah
memilih kami, maka Dia pun menghilangkan
dosa dari kami dan mensucikan kami
sesuci-sucinya."
Adapun
argumentasi Ibnu Katsir tentang keharusan memasukkan istri-istri
Rasulullah SAWW tidaklah dapat diterima, karena
kehujjahan zhuhur bersandar kepada kesatuan ucapan.
Sebagaimana di ketahui bahwa ucapan telah
berubah dari bentuk ta'nits (seruan kepada wanita dengan menggunakan
kata ganti
yang bermuatan wanita – Penerj.) pada ayat-ayat sebelumnya kepada bentuk
tadzkir
(seruan kepada wanita dengan menggunakan kata ganti yang
bermuatan lelaki – Penerj.) pada ayat ini.
Jika yang di maksud dari ayat ini adalah istri-istri Rasulullah SAWW
maka
tentunya ucapan ayat berbunyi "Innama Yuridullah Liyudzhiba 'Ankunnar
Rijsa Ahlal Bait wa Yuthahhirakunna Tathhira ", karena ayat-ayat
tersebut khusus untuk istri-istri Rasulullah SAWW. Oleh karena itu,
Allah
SWT memulai firmannya setelah ayat ini,
"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah...." (QS. al-Ahzab: 34)
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ayat Tathhir
turun kepada istri-istri
Rasulullah SAWW selain dari Ikrimah dan Muqatil. Ikrimah mengatakan, "Barangsiapa yang menginginkan
keluarganya maka sesungguhnya ayat ini
turun kepada istri-istri Nabi SAWW."[10] Perkataan
Ikrimah ini tidak dapat diterima, disebabkan bertentangan dengan riwayat-riwayat sahih yang dengan jelas mengatakan
bahwa Ahlul Bait itu ialah para
ashabul kisa, sebagaimana yang telah dijelaskan.
Kedua, apa yang telah memicu emosi Ikrimah sehingga dia berteriak-teriak di pasar menantang mubâhalah?
Apakah karena kecintaan kepada istri-istri Nabi SAWW atau
karena kebencian kepada para Ashabul
Kisa`?! Dan
kenapa dia mengajak ber-mubahalah jika ayat itu tidak diragukan turun kepada istri-istri
Nabi SAWW?! Atau apakah karena pendapat umum yang
berkembang mengatakan bahwa ayat itu turun
kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain?!
Dan memang demikian. Ini dapat dilihat dari perkataannya, "Yang benar bukanlah sebagaimana pendapat
Anda semua, melainkan ayat ini turun hanya kepada istri-istri Nabi SAWW."[11] Ini artinya bahwa di kalangan para tabi'in ayat ini jelas turun
kepada Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as.
Kita
juga tidak mungkin bisa menerima Ikrimah sebagai saksi dan penengah
dalam masalah ini, disebabkan dia sudah sangat dikenal amat memusuhi
Ali. Dia termasuk kelompok Khawarij
yang memerangi Ali, maka tentunya dia akan mengatakan bahwa ayat ini
turun
kepada istri-istri Nabi SAWW. Karena jika dia mengakui bahwa ayat ini
turun
kepada Ali maka berarti dia telah menghancurkan mazhabnya sendiri dan
telah merobohkan pilar-pilar
keyakinan yang mendorong dirinya dan
para sahabatnya untuk keluar memerangi Ali as. Di samping sudah sangat
terkenalnya kebohongan Ikrimah
atas Ibnu Abbas, sehingga Ibnu
al-Musayyab sampai mengatakan kepada budaknya, "Jangan kamu berbohong
atasku sebagaimana Ikrimah telah berbohong
atas Ibnu Abbas." Di dalam kitab Mîzân
al-I'tidâl disebutkan bahwa Ibnu Ummar pun mengatakan yang sama kepada
budaknya yang bernama Nâfi'.
Ali
bin Abdullah bin Abbas telah berusaha mencegah Ikrimah dari perbuatan berdusta kepada ayahnya. Salah satu cara
yang dilakukannya ialah dengan cara
menggantung Ikrimah ke atas dinding supaya dia tidak berdusta lagi atas ayahnya. Abdullah bin Abi
Harits berkata, "Saya menemui Ibnu
Abdullah bin Abbas, dan saya mendapati Ikrimah
tengah diikat di atas pintu dinding. Kemudian saya berkata kepadanya, 'Beginikah kamu memperlakukan budakmu?' Ibnu
Abdullah bin Abbas menjawab, 'Dia
telah berdusta atas ayahku.'"[12]
Adapun Muqatil, dia tidak
kalah dari Ikrimah di dalam permusuhannya terhadap Amirul Mukminin dan reputasi
kebohongannya, sehingga an-Nasa'i memasukkannya
ke dalam kelompok pembohong terkenal
pembuat hadis.[13]
Al-Juzajani di dalam kitab Mîzân
adz-Dzahab berkata di dalam biografi Muqatil, "Muqatil adalah seorang pembohong yang
berani."[14]
Muqatil
pernah berkata kepada Mahdi al-'Abbasi, "Jika Anda mau, saya bisa membuat hadis-hadis tentang keutamaan Abbas." Namun
Mahdi al-'Abbasi menjawab, "Saya tidak perlu itu."[15]
Kita tidak mungkin
mengambil perkataan dari orang-orang seperti mereka. Karena perbuatan yang
demikian adalah tidak lain bersumber dari
kesombongan dan kebodohan. Karena hadis-hadis sahih yang mutawatir bertentangan dengannya, sebagaimana yang telah
dijelaskan. Dan ini selain dari
riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa setelah
turunnya ayat ini Rasulullah SAWW mendatangi pintu Ali bin Abi Thalib setiap waktu shalat selama sembilan bulan
berturut-turut dengan mengatakan,
"Salam, rahmat Allah dan keberkahan atasmu, wahai Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal Ahlul Bait, dan mensucikan
kamu sesuci-sucinya."' Itu dilakukan oleh Rasulullah SAWW
sebanyak lima kali dalam sehari.[16]
Di
dalam Sahih Turmudzi, Musnad Ahmad, Musnad ath-Thayalisi, Mustadrak al-Hakim 'ala ash-Shahihain, Usud
al-Ghabah, tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan as-Suyuthi disebutkan bahwa
Rasulullah SAWW mendatangi pintu rumah Fatimah selama enam bulan setiap kali
keluar hendak melaksanakan shalat Shubuh dengan berseru, "Shalat, wahai
Ahlul Bait. 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul
Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.'"[17] Dan riwayat-riwayat
lainnya yang serupa yang berkenaan dengan bab ini.
Dengan
keterangan-keterangan ini menjadi jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ali, Fatimah, Hasan
dan Husain.
Dan
tidak ada tempat bagi siapa pun untuk mengingkarinya. Karena orang yang meragukan hal ini adalah tidak ubahnya
seperti orang yang meragukan matahari di siang hari yang
cerah.
Ahlul Bait as dalam Ayat Mubâhalah
Sesungguhnya pertarungan antara front kebenaraan dengan front kebatilan di medan peperangan adalah perkara yang sulit, namun jauh lebih sulit lagi jika dilakukan di medan mihrab. Yaitu manakala masing-masing orang membuka dirinya di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui hal-hal yang gaib, dan menjadikan-Nya sebagai hakim di antara mereka. Pada keadaan ini tidak akan menang orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan.
Mungkin
saja seseorang merupakan petempur yang gagah di medan peperangan, dan
oleh karena itu kita mendapati
Rasulullah SAWW menyeru kepada setiap orang
yang mampu memanggul senjata, meski pun dia seorang munafik,
untuk berjihad menghadapi orang-orang kafir. Namun, ketika bentuk
pertarungan
telah berubah dari bentuk peperangan ke
dalam bentuk mubahalah dengan orang-orang Nasrani, Rasulullah SAWW tidak
memanggil seorang pun dari para sahabatnya untuk
ikut terjun ke dalam bentuk pertarungan yang baru ini. Karena pada
pertarungan
yang semacam ini tidak akan ada yang bisa maju kecuali orang yang
mempunyai hati yang lurus dan telah disucikan dari segala macam dosa dan
kotoran. Mereka itulah
manusia-manusia pilihan. Orang-orang
yang semacam itu tidak banyak jumlahnya di tengah-tengah manusia. Jumlah
mereka sedikit, namun mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi.
Siapakah orang-orang yang terpilih itu?
Ketika Rasulullah SAWW berdebat dengan cara yang paling baik dengan para pendeta Nasrani, Rasulullah SAWW tidak mendapati dari mereka kecuali kekufuran, pengingkaran dan pembangkangan, dan tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain dari bermubahalah. Yaitu dengan cara masing-masing dari mereka memanggil orang-orang mereka, dan kemudian menjadikan laknat Allah menimpa orang-orang yang dusta. Pada saat itulah datang perintah dari Allah SWT,
"Siapa
yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu
(yang meyakinkan kamu), maka katakanlah kepadanya, 'Marilah
kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri
kami dan istri-istri kamu, diri-diri kami dan diri-diri kamu;
kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta
supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.'"
(QS. Ali 'lmran: 61)
Ketika
para pendeta menerima tantangan Rasulullah SAWW ini, sehingga akan
menjadi peperangan penentu di antara mereka,
maka para pendeta mengumpulkan
orang-orang khusus mereka untuk bersiap-siap
menghadapi hari yang telah ditentukan. Ketika telah tiba hari yang
ditentukan maka berkumpullah sekelompok besar
dari kalangan kaum Nasrani. Mereka maju
dengan keyakinan bahwa Rasulullah SAWW akan keluar
menghadapi mereka dengan sekumpulan besar para sahabatnya, sementara
istri-istrinya di belakang dia. Namun, Rasulullah SAWW maju dengan
langkah pasti bersama bintang
kecil dari Ahlul Bait, yaitu Hasan di
sebelah kanannya dan Husain di sebelah kirinya, sementara Ali dan
Fatimah di belakangnya. Ketika
orang-orang Nasrani melihat
wajah-wajah yang bercahaya ini, mereka gemetar ketakutan. Maka mereka
semua pun
menoleh ke arah Uskup, pemimpin
mereka seraya bertanya,
"Wahai Abu Harits, bagaimana pendapat Anda tentang hal
ini?"
Uskup
itu menjawab, "Saya melihat wajah-wajah yang jika salah seorang dari mereka memohon kepada Allah supaya gunung
dihilangkan dari tempatnya, maka
Allah akan menghilangkan gunung itu."
Bertambahlah
ketercengangan mereka. Ketika Uskup merasakan yang demikian itu dari mereka, maka dia pun berkata,
"Tidakkah engkau melihat Muhammad
sedang mengangkat kedua tangannya sambil menunggu terkabulnya
doanya. Demi al-Masih, jika dia menggerakkan
mulutnya dengan satu kata saja, maka kita tidak akan bisa kembali kepada keluarga dan harta
kita."[18]
Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang dan meninggalkan arena mubâhalah. Mereka rela walau pun harus
menanggung kehinaan dan memberikan jizyah (denda).
Dengan
lima orang itu Rasulullah SAWW mampu mengalahkan orang-orang Nasrani dan
menjadikan mereka kecil. Rasulullah SAWW
bersabda, "Demi Dzat yang diriku berada di dalam
genggamannya, sesungguhnya azab tengah
bergantung di atas kepala para penduduk Najran. Kalaulah tidak ada
ampunan-Nya, niscaya mereka telah diubah menjadi kera dan babi, dan
dinyalakan atas mereka
lembah menjadi lautan api, serta
Allah binasakan perkampungan Najran dan seluruh para penghuninya, bahkan
burung-burung yang berada di pepohonan sekali pun."
Namun, kenapa Rasulullah SAWW menghadirkan mereka yang lima saja, dan tidak menghadirkan para sahabat dan istri-istrinya?
Pertanyaan
itu dapat dijawab dengan satu kalimat, yaitu bahwa Ahlul Bait adalah
seutama-utamanya makhluk setelah Rasulullah, dan manusia-manusia yang
paling suci. Sifat-sifat yang
telah Allah SWT tetapkan bagi Ahlul Bait di dalam ayat Tathhîr ini tidak
diberikan kepada selain
mereka. Oleh karena itu, di dalam menerapkan ayat ini kita mendapati
bagaimana Rasulullah menarik
perhatian umat kepada kedudukan Ahlul Bait. Rasulullah menafsirkan
firman Allah yang berbunyi "abnâ'anâ" (anak-anak
kami) dengan Hasan dan Husain, "nisâ'anâ" (istri-istri
kami) dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra as, dan
"anfusanâ" (diri-diri kami) dengan Ali as. Itu dikarenakan imam Ali
tidak masuk ke dalam kategori istri-istri dan tidak
termasuk ke dalam kategori anak-anak,
melainkan hanya masuk ke dalam kata "diri-diri kami". Karena ungkapan
"anfusanâ"
(diri-diri kami) akan menjadi buruk jika seruan itu hanya ditujukan
kepada diri
Rasulullah SAWW saja.
Bagaimana mungkin Rasulullah SAWW memanggil dirinya?! Ini diperkuat dengan hadis Rasulullah SAWW yang berbunyi,
"Aku dan Ali berasal dari pohon
yang sama, sedangkan seluruh manusia yang lain berasal
dari pohon yang bermacam-macam."
Jika
Imam Ali adalah diri Rasulullah SAWW sendiri, maka Imam Ali memiliki apa
yang dimiliki oleh Rasulullah SAWW, berupa kepemimpinan atas kaum
Muslimin, kecuali satu kedudukan
yaitu kedudukan kenabian. Hal ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah SAWW di dalam Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim,
"Wahai Ali, kedudukan engkau di
sisiku tidak ubahnya sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya
saja tidak ada nabi
sepeninggalku."[19]
Sesungguhnya argumentasi kita dengan ayat ini bukan untuk
menjelaskan peristiwa mubâhalah, melainkan semata-mata dalam rangka
menjelaskan siapakah Ahlul Bait itu. Dan alhamdulillah, tidak ada
perbedaan pendapat bahwa ayat ini turun kepada Ashabul Kisâ`. Terdapat
banyak riwayat dan hadis
di dalam masalah ini. Muslim dan Turmudzi
telah meriwayatkan di dalam bab keutamaan-keutamaan Ali:
Dari
Sa'ad bin Abi Waqash yang berkata, "Ketika ayat ini turun, 'Katakanlah,
'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri
kami dan istri-istri kamu...' Rasulullah SAWW memanggil Ali, Fatimah,
Hasan dan Husain. Lalu Rasulullah SAWW
berkata, 'Ya Allah, mereka inilah Ahlul
Baitku."'[20]•