Minggu, 20 Juli 2014

Mazhab Syi’ah Ja’fariyah



1. Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sebuah kelompok besar dari umat Islam pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan 1/3 jumlah umat Islam. Latar belakang sejarahnya bermuara pada masa permulaan Islam, yaitu saat turunnya firman Allah swt. surat Al-Bayyinah ayat 7 :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّة

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi. (QS. Al Bayyinah [98]:7)

Selekas itu, Rasulullah saw. meletakkan tangannya di atas pundak Ali bin Abi Thalib a.s., sedang para sahabat hadir dan menyaksikannya, seraya bersabda: “Hai Ali!, Kau dan para syi’ahmu adalah sebaik-baiknya penduduk bumi”. [1]

Dari sinilah, kelompok ini disebut dengan nama “syi’ah”, dan dinisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq a.s. karena mengikuti beliau dalam bidang fiqih.

2. Banyak dari kelompok ini yang tinggal di Iran, Irak, Palestina, Afganistan, India, dan tersebar secara luas ke negara-negara republik yang memisahkan diri dari Rusia, juga ke negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, dan Benua Afrika serta Asia timur. Mereka memiliki masjid-masjid, Islamic Center, pusat-pusat kegiatan budaya dan sosial.

3. Kaum Syi’ah Ja’fariyah terdiri dari bangsa, suku, bahasa dan warna yang berbeda-beda. Mereka hidup secara berdampingan dengan saudara-saudara muslim yang lain dari golongan dan mazhab yang berbeda dengan penuh kedamaian dan kasih sayang. Dan mereka saling mem-bantu dan bekerja sama di segala bidang dengan penuh

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sesungguhya orang-orang mukmin adalah saudara. (QS. Al-Hujurat [49]:10)

Dan firman Allah swt.:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى

Saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al-Maidah [5]:ٰ)

Dan berpegang teguh pada sabda Nabi saw.: “Orang-orang muslim – satu sama lainnya- laksana tangan yang satu”. [2] Juga sabda yang lain dari beliau: “Orang-orang mukmin (satu sama lainnya) seperti satu tubuh”.[3]

4. Sepanjang sejarah Islam, mereka memiliki sikap disegani dan posisi yang cemerlang dalam membela Islam dan kaum muslimin. Mereka juga telah mampu mendirikan pemerintahan-pemerintahan dan negara-negara yang ber-khidmat pada peradaban Islam. Begitu juga, mereka memiliki ulama-ulama serta ahli-ahli yang telah menyum-bangkan tenaga dan seluruh pikiran mereka untuk memperkaya warisan-warisan Islam; dengan cara menulis ratusan ribu karangan, buku-buku kecil dan besar di bidang tafsir Al-Quran, hadis, akidah, fiqih, ushul fiqih, akhlak, dirayah, rijal, filsafat, nasihat-nasihat, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, bahasa dan sastra bahkan kedokteran, fisika, kimia, matematika, astronomi, ilmu-ilmu biologi, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Dalam berbagai disiplin ilmu mereka memainkan peran sebagai perintis dan pencetus berbagai bidang keilmuan.[4]

5. Mereka percaya kepada Allah Yang Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan, serta tak ada sekutu bagi-Nya. Mereka menafikan dari Dzat Allah swt. segala sifat-sifat kebendaan, anak, tempat, zaman, perubahan, gerak, naik dan turun, dan lain sebagainya yang tidak layak bagi keagungan, kesucian, kesempurnaan dan keindahan-Nya. Mereka juga meyakini bahwa hanya Dialah yang layak disembah, bahwa hukum serta syariat hanyalah milik dan hak-Nya, dan bahwa kemusyrikan dengan segala macam-nya, secara terbuka maupun rahasia—adalah kezaliman yang amat besar dan dosa yang tak terampunkan.

Mereka percaya akan semua ini dapat dibuktikan atas dasar akal yang sehat yang sejalan dengan Al-Quran dan hadits shahih; dari manapun sumbernya. Mereka tidak bersandar pada hadis-hadis Israiliyat dalam bidang akidah, tidak pula mengambil ajaran dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Majusi; yang menggam-barkan Allah swt. dalam bentuk manusia, menyerupakan-Nya dengan makhluk-makhluk, atau menyandarkan perbuatan zalim dan kesia-siaan kepada-Nya. Sesung-guhnya Allah Maha Suci dan Maha Luhur dari apa yang mereka duga atau menisbatkan perbuatan tercela kepada para nabi a.s. secara mutlak.

6. Mereka meyakini bahwa Allah swt. Maha Adil dan Maha Bijaksana. Dia menciptakan alam semesta atas dasar keadilan dan kebijaksanaan. Dia tidak pernah mencip-takan sesuatu secara sia-sia, baik benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, langit atau bumi, karena kesia-siaan itu bertentangan dengan keadilan dan kebijaksanaan, juga bertentangan dengan sifat-Nya yang melazimkan setiap kesempurnaan yang niscaya dimiliki-Nya, serta melazimkan penafian segala kekurangan dari Dzat-nya.

7. Mereka meyakini bahwa Allah swt.—dengan keadilan dan kebijasanaan-Nya—telah mengutus kepada manusia para nabi dan rasul yang diangkat sebagai manusia-manusia maksum dan memiliki pengetahuan yang luas, yang bersumber dari wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia, membantu mereka mencapai kesem-purnaan yang diharapkan, dan mengarahkan mereka kepada ketaatan yang menurunkan surga, dan menyam-paikan mereka kepada rahmat dan keridhaan Allah swt.

Di antara para nabi dan rasul itu adalah Adam a.s., Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s. dan nama-nama lainnya yang telah disebutkan oleh Al-Quran, atau yang ada disebutkan nama dan keadaan-keadaan mereka dalam hadis-hadis yang mulia..

8. Mereka percaya bahwa siapa yang taat kepada Allah swt. dan melaksanakan perintah-perintah dan aturan-aturan-Nya di segala bidang kehidupan, ia akan selamat dan beruntung, serta layak mendapatkan pujian dan pahala,. meskipun ia hamba sahaya dari Afrika. Dan sebaliknya, siapa yang bermaksiat kepada Allah swt. dan pura-pura bodoh terhadap segala perintah-Nya dan menerapkan hukum-hukum selain hukum-hukum Allah, ia akan rugi dan binasa, dan layak mendapatkan hujatan dan siksa, meskipun ia seorang tuan atau sayyid dari bangsa Quraisy, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi saw.

Mereka meyakini bahwa tempat pahala dan siksa adalah Hari kiamat, yang di dalamnya terdapat hari perhitungan, timbangan, surga, dan neraka. Dan hal itu akan terjadi setelah melewati alam kubur dan alam barzakh. Mereka juga menolak reinkarnasi (tanâsukh) yang dianut oleh sebagian pengingkar Hari Kebangkitan, karena mempercayainya berarti mendustakan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw.

9. Mereka meyakini bahwa nabi, rasul terakhir dan yang paling utama adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib saw., yang telah dijaga dari kesalahan dan ketergelinciran, dan Allah telah memeliharanya dari segala maksiat, baik yang besar maupun yang kecil, sebelum dan sesudah menjadi nabi, dalam tablig maupun di luar tablig. Dan Allah swt. telah menurunkan kepada-nya Al-Quran untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia sepanjang masa. Nabi saw. telah meyampaikan risalah-Nya dan menunaikan amanat-Nya dengan benar dan ikhlas. Kaum Syi’ah mempunyai puluhan ribu karya di bidang penulisan siroh nabawi, kepribadian, sifat-sifat, keistimewaan dan mukjizat-mukjizat Nabi saw. [5]

10. Mereka meyakini bahwa Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw. melalui Jibril a.s. dan ditulis oleh sekelompok sahabat-sahabat besar generasi pertama. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib a.s. pada masa Nabi saw. dan melakukan penulisan wahyu di bawah pengawasannya. Dan karena perintah dan petunjuknya, mereka menghafal dan menyempurnakannya, menghitung huruf-hurufnya, kata-katanya, surat-surat dan ayat-ayatnya. Dan mereka menurunkan ke generasi berikutnya. Kitab suci inilah yang dibaca umat Islam saat ini dengan berbagai macam kelompok, siang dan malam, tanpa ada penambahan, pengurangan dan perubahan. Dan kaum Syi’ah dalam bidang ini memiliki karya-karya tulis yang banyak, baik yang besar maupun yang kecil.[6]

11. Mereka meyakini bahwa tatkala Rasulullah saw. sudah dekat ajalnya, beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam sepening-galnya secara politis dan mengarahkan mereka kepada Ali untuk mengikutinya, baik dalam pemikiran atau dalam pemecahan persoalan hidup mereka, dan mene-ruskan pendidikan dan pembinaan mereka. Pengang-katan itu atas dasar perintah dari Allah di sebuah tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum” di akhir usia dan haji terakhirnya, dan di tengah kumpulan manusia yang ikut berhaji dengan Nabi saw. Menurut sebagian riwayat, jumlah mereka lebih dari 100 ribu orang.

Pada kesempatan itu beberapa ayat Al-Quran telah turun, di antaranya:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika engkau itdak melaksanakannya berarti engkau tidak menyampai-kan risalah. Dan Allah akan melindungimu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi pentunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. Al Maidah [5]:67)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

“Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu dan aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku relakan Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ

“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa dari agamamu, maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.” (QS Al-Maidah [5]:3)

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِّلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ

“Seorang penanya bertanya tentang suatu kejadian ke atas orang-orang kafir, azab yang tidak ada penghalang (langsung).” (QS. Al-Ma’arij [70]:1-2)

Begitu juga Nabi saw. meminta orang-orang untuk berbaiat kepada Ali dengan berjabat tangan. Maka merekapun segera berbaiat. Dan orang pertama dari mereka adalah tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar, serta sahabat-sahabat ternama.[7]

12. Mereka meyakini bahwa imam setelah Rasulullah saw. harus melakukan apa-apa yang pernah dilakukan Nabi saw. semasa hidup beliau, yaitu tugas-tugas memimpin dan memberikan petunjuk, pendidikan dan pengajaran, menjelaskan hukum-hukum, mengatasi problematika pemikiran, serta mejelaskan urusan sosial yang penting. Maka, imam juga harus menjadi kepercayaan umat, agar mereka bisa diarahkan pada ketentraman. Oleh karena itu, seorang imam menyerupai Nabi dalam kemampuan dan sifat, di antaranya kemaksuman (‘ishmah) dan ilmu yang luas. Karena, imam sama seperti Nabi dalam kewenangan dan tanggung jawab kecuali menerima wahyu dan kenabian, sebab kenabian telah tertutup dan berakhir pada Rasulullah saw., beliau adalah penutup para nabi dan rasul. Agamanya adalah pemungkas seluruh agama, syariatnya pemungkas seluruh syariat, kitabnya pemungkas seluruh syariat, kitabnya pemungkas seluruh kitab. Tidak ada nabi setelahnya, tidak ada agama setelah agamanya, tidak ada syariat setelah syariatnya. Dan Syi’ah dalam hal ini memiliki karya-karya tulis yang banyak dan berbagai corak..

13. Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat terhadap pemimpin yang laik dan maksum, mengharuskan agar tidak cukup dengan penunjukan Ali a.s. saja sebagai khalifah dan pemimpin setelah Nabi, tetapi ini harus berkesinambungan sampai masa yang panjang dan sampai akar-akar Islam mengokoh dan dasar-dasar syariat terjaga, serta pilar-pilarnya terpelihara dari segala bahaya yang mengancam setiap akidah dan aturan-aturan Tuhan. Hendaknya para imam dapat memberikan contoh praktis dan program yang sesuai dengan kondisi-kondisi yang akan dialami umat Islam setelahnya.

14. Mereka meyakini bahwa karena sebab tersebut di atas dan karena adanya hikmah yang tinggi, dengan perintah Allah swt. Nabi saw. telah menentukan 11 Imam setelah Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Dengan demikian, jumlah mereka adalah 12 imam. Jumlah ini bahkan nama etnis mereka (Quraisy) telah disinggung—meski tidak disebut-kan nama dan ciri-ciri khasnya—dalam kitab Shahih Bukhori, Shahih Muslim, dengan redaksi yang berbeda-beda, seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa: “Sesungguhnya agama ini akan senantiasa berjalan, tegak, mulia dan kuat selama di antara umat ada dua belas pemimpin atau khalifah yang semuanya berasal dari Quraisy”. (atau Bani Hasyim, sebagaimana yang terdapat dalam sebagian kitab). Bahkan disebutkan pula nama-nama mereka dalam sebagian kitab selain Kutub As-Sittah, yaitu buku-buku tentang keutamaan (manâqib), syair dan sastra. Meskipun hadis-hadis ini tidak secara langsung menye-butkan dan menentukan dua belas Imam, yaitu Ali dan 11 Imam dari keturunannya, hanya saja hadis-hadis tersebut tidak bisa dimaknai kecuali keyakinan Syi’ah Ja’fariyah. Dan tidak ada penafsiran yang relevan untuk hadis-hadis tersebut kecuali penafsiran mereka.[8]

15. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa 12 imam itu ialah :

1. Imam Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba a.s.

2. Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.

3. Imam Husain Sayyid Asy-Syuhada a.s. (keduanya adalah putra Imam Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan cucunda Nabi saw.

4. Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad a.s.

5. Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.

6. Imam Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq a.s.

7. Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim a.s.

8. Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.

9. Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-At-Taqi a.s.

10. Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi- An-Naqi) a.s.

11. Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari a.s.

12. Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan dan dinantikan.

Para ahli sastra unggulan dari luar mazhab Syi’ah, baik dari kalangan Arab ataupun Ajam, telah membuat bait-bait syair secara terinci yang memuat nama-nama 12 imam seperti: Haskafi, Ibnu Thulun, Fadhl bin Ruz Dahan, Al-Jamiy’ Athar Naisyabur dan Maulawi mereka dari pengikut Abu Hanifah, Syafi’i dan selainnya. Di sini kami hanya sebutkan dua kasidah sebagai contoh: pertama kasidah Haskafi Al-Hanafi, ulama abad ke-6 Hijriah:

“Haidar (gelar imam Ali) dan setelahnya Hasan dan Husain, kemudian,

Ali Zainal Abidin dan putranya Muhammad Al-Bagir.

Ja’far Al-Shadiq dan putranya Musa Al-Khazim, dan setelahnya.

Ali (Ar-Ridha) yang menjadi waliyul Ahad, kemudian putranya Muhammad (Al-Jawad).

Kemudian Ali (Al-Hadi) dan putranya yang benar dan jujur, Hasan (Al-Askari).

Yang selanjutnya Muhammad bin Hasan yang di yakini oleh orang-orang bahwa mereka adalah imam-imamku, tuanku.

Meskipun orang-orang mencaciku dan mendustakannya dan mencaci para imam, ketahuilah, muliakanlah mereka para imam yang namanya telah terjaga dan tidak bisa ditolak.

Mereka itu hujah-hujah Allah atas hamba-hamba-Nya mereka adalah jalan dan tempat tujuan.

Mereka di waktu siang berpuasa untuk Tuhan, dan di malam hari mereka ruku’ dan sujud di hadapanTuhan-Nya”.

Qasidah yang kedua dari Syamsuddin bin Muhammad bin Thulun Ulama abad ke-10 Hijriah, ia mengatakan :

“Kalian harus berpegang pada 12 imam dari keluarga Musthafa Rasul, sebaik-baik manusia , yaitu…

Abu Thurab (imam Ali), Hasan dan Husain.

Ketahuilah, membenci Ali Zainal Abidin perbuatan tercela…

Muhammad Al-Bagir yang mengetahui betapa banyak ilmu…

Ash-Shadiq yang dipanggil Ja’far di antara manusia …

Musa yang diberi gelar Al-Khazim dan putranya Ali.

Ar-Ridha yang tinggi kedudukannya.

Muhammad At-Taqi yang hatinya penuh dan makmur dengan cahaya dan hikmah.

Ali Al-Naqi yang mutiara-mutiaranya tersebar.

Hasan Al-Askaryi yang telah disucikan.

Dan muhammad Al-Mahdi yang akan muncul.

Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait, yang berdasar-kan perintah Allah swt, telah ditentukan oleh Nabi saw. sebagai pemimpin umat Islam, karena kemaksuman dan kesucian mereka dari kesalahan dan dosa, dan karena ilmu mereka yang luas yang telah mereka warisi dari sang datuk Nabi saw. yang telah memerintahkan kita untuk mencintai dan mengikuti mereka. Dalam hal ini Allah swt. berfiman:

قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى

“Katakan hai Muhammad, Aku tidak meminta kepada kalian upah atas apa yang aku lakukan kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (QS. Al-Syura [42]:23)

Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah [9]:119)

16. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para imam suci—yang sejarah belum pernah mencatat dari mereka penyele-wengan atau kemaksiatan, baik dalam ucapan atau pun perbuatan—dengan bekal ilmu yang luas telah berkhid-mat kepada umat Islam dan memperkaya mereka dengan pengetahuan yang dalam serta pandangan yang benar dalam akidah, syariat, akhlak, sastra, tafsir, sejarah serta cakrawala masa depan. Demikian juga, mereka telah mendidik atau membina melalui ucapan atau perbuatan sekelompok laki-laki dan perempuan yang unggul di mana semua orang telah mengenal mereka dengan keutamaannya, ilmunya dan kebaikan prilakunya.

Syi’ah Ja’fariyah memandang bahwa meskipun mereka para imam telah dijauhkan dari kedudukan kepemim-pinan politis, tetapi mereka telah menunaikan dan menyampaikan misi intelektual dan tugas sosial mereka dengan sebaik-baiknya, karena mereka telah menjaga dasar-dasar akidah dan pilar-pilar syariat dariancaman penyimpangan.

Sekiranya umat islam memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan peran politik yang telah Rasul berikan kepadanya atas dasar perintah Allah swt., niscaya umat Islam akan mencapai kebahagian dan kemuliaan, serta keagungannya secara penuh, dan mereka akan menjadi satu, bersatu, dan tidak mengalami perpecahan, ikhtilaf dan pertentangan, peperangan, saling bunuh-membunuh, dan mereka tidak hina dan diremahkan.

17. Dengan menunjuk pada dalil-dalil Naqli dan Aqli, yang begitu banyak disebutkan dalam buku-buku Akidah, mereka meyakini bahwa umat Islam hendaknya mengikuti Ahlul Bait Nabi, dan senantiasa berada di jalannya, karena jalan Ahlul Bait adalah jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. untuk umat dan beliau telah mewasiatkan kepada umat agar menapaki jalan mereka dan berpegang teguh pada mareka, sebagaimana dalam hadis “Tsaqalain” yang mutawatir, seraya berkata :

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua pusaka; kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku Ahlul Bait. Selama berpegang teguh pada keduanya,kalian tidak akan tersesat”.

Hadis ini telah diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya dan oleh puluhan ahli-ahli hadis dan ulama-ulama disetiap abad.

Begitu pula, pengangkatan khalifah dan pewasiatan seperti ini adalah hal yang lumrah dalam kehidupan para nabi-nabi terdahulu.

18. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa umat Islam hendaknya mendiskusikan dan mempelajari masalah-masalah seperti ini dengan menjauhkan diri dari caci maki, tuduhan yang tak beralasan dan melakukan fitnah. Dan hendaknya para ulama dan cendikiawan dari seluruh kelompok dan golongan umat Islam ber-kumpul dalam muktamar-muktamar ilmiah, mem-pelajari dengan lapang dada dan ikhlas serta dengan semangat persau-daraan dan obyektifitas tentang klaim-klaim saudara-saudara mereka dari kaum Syi’ah Ja’fariah, serta dalil-dalil yang mereka bawakan untuk membuktikan pandangan-pandangannya berdasarkan Al-Quran, hadis mutawatir dari Rasulullah saw., akal sehat, pertimbangan sejarah, keadaan politik dan sosial secara umum pada masa Nabi dan setelahnya.

19. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat dan orang-orang yang berada di sekeliling Nabi dari kaum laki-laki dan perempuan telah berkhidmat kepada Islam dan mereka telah mengerahkan seluruh jiwa raganya di jalan penyebaran Islam.

Hendaknya umat Islam menghormati mereka, meng-hargai perjuangan dan bakti mereka dan memohon kerelaan mereka. Hanya saja, hal ini tidak berarti menganggap mereka semua sebagai manusia-manusia yang mutlak adil, tidak pula berarti sebagian sikap dan perbuatan-perbuatan mereka tidak bisa dikritik, karena mereka adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar.

Sejarah telah menyebutkan bahwa sebagian mereka telah menyimpang dari jalan yang benar meskipun di masa hidup Nabi saw. Bahkan Al-Quran secara eksplisit menyebutkan adanya penyimpangan itu di sebagian surat dan ayat-ayatnya, seperti surat Al-Munafiqun, Al-Ahzab, Al-Hujarat, At-Tahrim, Fath, Muhammad dan At-Taubah.

Kritik yang sehat terhadap suatu golongan tidaklah dinyatakan kafir, karena tolak ukur iman dan kufur sangat jelas, yaitu mengakui atau menafikan tauhid dan kenabian, serta hal-hal yang sangat mudah dimengerti (badihi) dari masalah agama, seperti kewajiban shalat, puasa, haji, haramnya arak, khamar, judi dan hokum-hukum lainnya.

Memang, lidah harus dijaga dari perbuatan mencaci maki, juga pikiran harus dijaga dari cara bernalar yang dangkal, karena hal ini bukanlah karakter seorang muslim yang terdidik, yang mengikuti prilaku Nabi Muhammad saw. Bagaimanapun kebanyakan para sahabat itu adalah orang-orang baik yang layak untuk dihormati dan dimuliakan. Tetapi perlu diketahui bahwa ketundukan mereka pada Qaidah Jarah wa Ta’dil (yaitu sebuah kaidah ilmu Rijal yang mempertimbangkan kualitas kepribadian para perawi hadis, -peny.), yaitu:

Meneliti hadis-hadis Nabi yang shahih, yang dianggap kuat, padahal telah diketahui pula akan banyaknya kebohongan-kebohongan yang telah dinisbatkan kepada Nabi saw., sebagaimana yang telah banyak diketahui. Dan Nabi saw. sendiri telah mengkhabarkan akan terjadinya hal itu, dan kalian pula yang mendorong ulama-ulama kedua kelompok (Sunnah-Syi’ah) seperti; Suyuthi, Ibnu Jauzi dan lain-lain untuk menulis buku-buku yang berbobot yang dapat menyaring antara hadis-hadis yang benar-benar keluar dari Nabi dan hadis-hadis maudhu’ atau palsu.

20. Syi’ah Ja’fariyah meyakini adanya Imam Mahdi a.s. yang dinanti berdasarkan riwayat-riwayat yang begitu banyak dari Nabi saw. yang menyebutkan, bahwa dia dari keturunan Fatimah, dan dia keturunan yang kesembilan dari Imam Husain a.s., karena anak atau keturunan yang kedelapan dari Imam Husain adalah Imam Hasan Al-Askari, yang telah meninggal pada tahun 260 H sedangkan beliau tidak mempunyai anak kecuali anak yang diberi nama Muhammad. Dialah Imam Mahdi a.s. yang diberi panggilan nasab Abul Qasim. Banyak orang-orang terpercaya dari umat Islam yang telah melihatnya. Dan mereka telah meng-kabarkan akan kelahirannya, cirri-ciri khasnya, keimamahannya dan nas dari ayahnya yang me-nunjukkan kepemimpinannya.

Dia telah gaib setelah 50 tahun dari kelahirannya, karena musuh-musuh ingin membunuhnya. Oleh karena itu, Allah swt. menyimpannya untuk menegakkan pemerintahan yang adil, universal pada akhir zaman, dan mensucikan bumi dari kezaliman dan kerusakan setelah dipenuhi oleh keduanya.

Maka tidak aneh dan tidak pula mengherankan akan panjangnya usia beliau dan masih hidup sampai sekarang, meskipun sudah melampaui abad 20 dari kelahirannya. Sebagaimana Nabi Nuh a.s. pernah hidup sampai 950 tahun di tengah umatnya, dan menyeru mereka kepada Allah,atau Nabi Haidir a.s. yang sampai saat ini masih hidup.

Allah swt. Mahakuasa atas segala sesuatu, dan kehendaknya berjalan tanpa ada yang bisa mencegah dan menolaknya. Bukankah Allah swt. telah menegaskan ihwal Nabi Yunus a.s. dalam firmannya:

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Maka, sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai Hari Kebangkitan. (QS. Al-Shaffat [ 37]:143-144).

Sebagian besar ulama Ahli Sunnah meyakini kelahiran Imam Mahdi a.s. dan keberadaannya, dan mereka menyebutkan nama kedua orang tuanya, serta sifat-sifatnya, di antara mereka ialah:

1. Abdul Mu’min Syablanji Al-Syafi’i dalam kitabnya, Al-Abshor fi Manaqibi Nabi al-Muchtar.

2. Ibnu Hajar Haitami Makki Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ashowaiq al Muhriqah, seraya menga-takan; Abul Qasim Muhammad Al-Hujjah, ditinggal wafat oleh ayahnya pada usia lima tahun. tetapi Allah swt. memberikan hikmah padanya. Dia juga disebut sebagai “Al-Qaim Al-Muntazhar”.

3. Al-Qunduzi Al-Hanafi Al-Balkhi dalam bukunya, Yanabi al Mawaddah, yang dicetak di ibukota Turki masa Dinasti Otoman.

4. Sayyid Muhammad Shidiq Hasan Al-Qonuji Al-Bukhori dalam kitabnya, Al-Izhaa’ah Liman Kana waman Yakunu baina Yaday Assaa’ah.

Mereka ini termasuk ulama-ulama terdahulu. Adapun dari ulama-ulama mutakhir, seperti; Dr. Musthafa Rafi’i dalam bukunya Islamuna, telah memaparkan masalah ini secara panjang lebar dan menjawab seluruh kritik seputar masalah ini.

21. Kaum Syi’ah Ja’fariyah melakukan shalat, puasa, haji, membayar khumus (1/5) pendapatan mereka, haji ke Mekkah yang mulia, melaksanakan manasik umrah dan haji seumur hidup sekali, sedangadapun dari itu adalah sunnah, memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar, berpihak kepada wali-wali Allah dan Nabinya, dan memusuhi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh Nabi-Nya, berjihad di jalan Allah terhadap setiap orang kafir atau musyrik yang terang-terangan memerangi Islam, dan terhadap setiap orang yang berbuat makar terhadap umat Islam.

Mereka melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, keluarga, seperti jual beli, penyewaan, nikah, talak, warisan, pendidikan, menyusui, hijab dan lain sebagainya, sesuai dengan hukum-hukum Islam yang benar dan lurus. Mereka mengamalkan hukum-hukum ini dari proses ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama ahli fiqih mereka yang warak dengan berdasarkan pada hadis yang shahih, hadis-hadis Ahlul Bait, akal dan konsensus (ijma’) ulama.

22. Mereka percaya bahwa setiap kewajiban yang bersifat harian, memiliki waktu tertentu, dan waktu-waktu shalat harian adalah Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Yang paling penting adalah melakukan setiap shalat pada waktunya yang khusus. Hanya saja, mereka melakukan jamak antara dua shalat Zuhur dan Ashar dan antara Magrib dan Isya karena Rasulullah saw. melakukan jamak dua shalat tanpa uzur, tanpa sakit dan tanpa berpergian, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dan kitab hadis lainnya, “Sebagai keringanan untuk umat serta untuk mempermudah bagi mereka”. Dan itu telah menjadi masalah biasa pada masa kita sekarang ini.

23. Mereka mengumandangkan azan sebagaimana azannya umat Islam yang lain. hanya saja mereka sebutkan setelah hayya ‘alal falah dengan redaksi hayya ‘ala khairil ‘amal, karena telah ada sejak zaman Nabi saw. Hanya saja, pada zaman Umar bin Khaththab, kalimat itu dihapus atas dasar ijtihad pribadinya, dengan alasan bahwa hal itu dapat memalingkan umat Islam dari berjihad. Padahal mereka tahu bahwa shalat adalah sebaik-baik perbuatan (sebagaimana pengakuan Allamah Qusyji Al-Asy‘ari dalam kitab Syarah Tajrid Al-I’tiqad,Al-Mushannaf, karya Al-Kindi, Kanz Al-Ummal karya Muttaqi Hindi, dll. Umar bin Khaththab telah manambahkan sebuah redaksi Ashalatul khairul minanauum sementara kalimat itu tidak pernah ada pada zaman Nabi saw.

Dan sesungguhnya ibadah, dan muqaddimah-muqaddimahnya dalam Islam itu harus berdasarkan kepada perintah dan izin syariat yang suci. Artinya, segalanya harus berlandaskan pada nas yang khusus ataupun yang umum dari Al-Quran dan hadis. Bila tidak, maka hal itu dikatakan sebagai bid’ah yang harus ditolak.

Oleh karena itu, dalam ibadah, bahkan dalam setiap masalah syariat tidak boleh ada penambahan atau pengurangan dengan pendapat pribadi.

Adapun apa yang ditambahkan Syi’ah Ja’fariyah setelah syahadah kepada Rasulullah saw. (Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah),berupa kalimat Asyhadu anna Aliyan waliyullah karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw. dan Ahli Baitnya a.s. yang menjelaskan bahwa tidaklah disebutkan kalimat Muhammad Rasulullah atau tidaklah ditulis kalimat tersebut di atas pintu surga, kecuali diikuti dengan kalimat (‘Aliyan waliyullah), yaitu sebuah kalimat yang menjelaskan bahwa Syi’ah tidak mempercayai kenabian Ali bin Abi Thalib, apa lagi sampai mengatakan ketuhanannya. Karenanya, diperbolehkan untuk membaca kalimat itu setelah dua syahadat, dengan niat bahwa itu tidak termasuk bagian atau kewajiban dari azan. Inilah pendapat mayoritas ulama-ulama ahli fiqih Syi’ah Ja’fariyah.

Oleh sebab itu,kalimat tambahan yang dibaca ini bukan bagian dari azan sebagaimana yang telah kami katakan, dengan demikian bukan termasuk dari yang tidak ada pada mulanya dalam syariat, tidak pula termasuk bid’ah.

24. Mereka sujud di atas tanah , debu, kerikil, atau di atas batu dan apa saja yang termasuk bagian dari bumi atau tanah dan yang tumbuh di atasnya, seperti tikar yang bukan terbuat dari kain dan bukan pula yang dimakan, dan yang manis. Karena ada banyak riwayat di dalam sumber-sumber Syi’ah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan Rasul saw. adalah sujud di atas debu atau tanah, bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk mengikutinya.

Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas serban (ammamah), karena takut akan panas yang menyengat. Maka Nabi menarik ammamah dari dahinya dan berkata: “Ratakan dahimu dengan tanah wahai Bilal !”. Begitu juga, Nabi pernah mengatakan pada Shuhaib dan Rabah dalam sabdanya: “Ratakan wajahmu wahai Shuhaib dan ratakan pula wajahmu wahai Rabah !”.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Bukhari dan lainnya, Nabi saw. juga bersabda: “Bumi atau tanah ini telah dijadikan untukku sebagai tempat sujud yang suci”.

Oleh karena sujud dan meletakkan dahi di atas tanah, tatkala sujud merupakan hal yang paling layak dihadapan Allah swt, karena hal itu menghantarkan kepada kekhusyukan dan sarana terdekat untuk merendahkan diri di depan Tuhan, juga dapat mengingatkan manusia akan asal wujudnya. Bukankah Allah swt. berfiman:

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى

Dari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan kembalikan kamu sekalian, serta darinya kami akan mengeluarkan (membangkitkan) kamu pada kali yang lain. (QS. Thaha [20]:55)

Sesungguhnya sujud adalah puncak ketundukan yang tidak bisa terealisir dengan sujud di atas sajadah, karpet atau batu-batuan permata yang berharga. Puncak ketundukan itu hanya terealisir dengan meletakkan anggota badan yang paling mulia yaitu dahi, di atas benda yang paling murah dan sederhana, yaitu tanah.[9]

Tentunya, debu tersebut harus suci. Orang-orang Syi’ah selalu membawa sepotong dari tanah yang sudah dipres dan sudah jelas kesuciaannya. Mungkin juga tanah ini diambil dari tanah yang penuh berkah, seperti tanah Karbala. Di sanalah Imam Husain (cucu Rasulullah saw.) gugur sebagai syahid sehingga tanah itu penuh berkah. Sebagaimana sebagian sahabat Nabi menjadikan batu Mekkah sebagai tempat sujud dalam perjalanan-perjalanan mereka dan untuk mendapatkan berkahnya.

Meski demikian, Syi’ah Ja’fariyah tidak memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya sebagai suatu keharusan. mereka hanya membolehkan Sujud diatas batu apa saja yang bersih dan suci seperti lantai masjid Nabawi yang mulia dan lantai Masjidil Haram.

Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) sewaktu shalat, karena Nabi saw. tidak pernah melakukan hal itu, juga karena tidak ada nas yang kuat dan jelas yang menganjurkan hal itu. Karenanya, penganut mazhab Maliki tidak melakukan sedekap tersebut.[10]

25. Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata (Ilaa/ الی) dalam ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj. Begitu juga, mengusap kaki dan kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan dua basuhan dan dua usapan”.[11]

26Syiah sering dimasalahkan krn membolehkan mutah tanpa mereka mengetahi aturan2nya

Maka istri-istri yang telah kalian nikmati di antara mereka, berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS. An-Nisa [4]:24)

Di samping itu, para sahabat dan orang-orang Islam pada masa Rasulullah saw. sampai pertengahan masa khilafah Umar bin Khaththab telah melakukan nikah mut’ah.

Mut’ah adalah pernikahan syar’i yang persyaratannya sama dengan nikah permanen atau da’im, yaitu:

b. Hendaknya pihak wanita tersebut tidak bersuami, dan membaca shighah ijab, sementara pihak laki-laki melaksanakan shighah Kabul.

c. Pihak laki-laki wajib memberikan harta kepada wanita, yang disebut mahar dalam nikah da’im dan dalam nikah mut’ah disebut upah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran.

d. Wanita harus menjalani iddah (setelah cerai dengan suaminya).

e. Wanita harus menjalani ‘iddah setelah masa mut’ahnya habis. apabila ia melahirkan seorang anak, maka, nasab anak itu ikut kepada ayahnya. Juga seorang wanita hanya dapat memiliki satu suami saja.

f. Dalam pewarisan antara anak dan ayahnya, anak dan ibunya dan begitu juga sebaliknya.

Yang membedakan nikah da’im dengan nikah mut’ah adalah bahwa dalam nikah mut’ah terdapat penentuan masa, tidak adanya kewajiban memberikan nafkah dan masa gilir atas suami untuk sang istri mut’ah, tidak adanya saling mewarisi antara suami dan istri, tidak perlu adanya talak, tetapi cukup dengan habisnya masa yang telah ditentukan, atau menghibahkan sisa masa yang telah di tentukan tersebut.

Hikmah disyariatkannya nikah semacam ini adalah tuntunan yang disyariatkan dan bersyarat untuk kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan setiap kewajiban-kewajiban dalam nikah da’im (permanen), atau karena adanya halangan dari istri yang terjadi akibat kematian atau sebab yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Semua ini masih dalam rangka membina kehidupan yang terhormat dan mulia. Maka itu, nikah mut’ah adalah solusi tingkat pertama bagi kebanyakan problematika sosial yang cukup serius dan berbahaya, dan juga untuk mencegah terperosoknya masyarakat Islam dalam kerusakan dengan menghalalkan segala macam cara.

Terkadang, nikah mut’ah digunakan dengan tujuan agar kedua calon suami istri saling mengenal sebelum memasuki jenjang pernikahan permanen. Hal ini dapat mencegah perjumpaan yang diharamkan, zina, meng-kebiri, atau cara-cara lain yang diharamkan seperti onani, bagi orang yang tidak sabar atas satu orang istri atau lebih dari satu, misalnya, secara ekonomi dan nafkahnya , serta pada saat yang sama dia tidak ingin terjerumus kepada yang haram.

Yang jelas, nikah mut’ah bersandar pada Al-Quran dan sunnah, dan sahabat pernah melakukan itu selama beberapa masa. Kalau sekiranya mut’ah itu adalah zina, maka itu berarti Al-Quran, Nabi dan para sahabat telah menghalalkan zina dan para pelakunya telah berbuat zina dalam masa yang cukup lama. Kami berlindung kepada Allah dari keyakinan seperti ini.

Di samping itu juga, penghapusan hukum nikah mut’ah tersebut tidak berdasarkan Al-Quran dan sunnah, dan tidak ada dalil yang kuat dan jelas.[12]

Akan tetapi, meskipun Syi’ah Ja'fariyah menghalal-kan nikah seperti inu, dengan adanya nash Al-Quran dan sunnah, mereka sangat menganjurkan dan mengutama-kan nikah daim dan menegakkan nilai-nilai keluarga, karena hal itu adalah dasar dan pilar masyarakat yang kuat dan sehat, dan tidak condong kepada nikah sementara yang dalam bahasa syariat dinamakan mut’ah, meskipun halal dan disyariatkan.

Sehubungan dengan itu, Syi’ah Imamiyah bersandar pada Al-Quran, hadis dan pendidikan serta nasehat-nasehat Imam-Imam Ahlul Bait a.s. yang menyembunyi-kan segala penghormatan untuk wanita dan memberikan nilai yang besar kepadanya, dan di bidang kedudukan wanita, masalah-masalahnya serta hak-haknya, terutama dalam pergaulan etika bersamanya, seperti; kepemilikan, nikah, talak, pengasuhan, penyusuan, ibadah, mu’amalat (hukum-hukum syar’i yang mengatur hubungan kepen-tingan individual dan layak untuk di cermati dalam riwayat-riwayat para imam dan fiqih mereka).

27. Syi’ah Ja’fariyah mengharamkan zina, homoseks, riba, membunuh orang yang terhormat, minuman arak, judi, melanggar janji, penipuan, pemalsuan, penimbunan, penyelewengan, ghasab, pencurian, khianat, dendam, bernyanyi dan menari, memfitnah dan menuduh, adu domba, berbuat kerusakan, mengganggu orang mukmin, mengumpat, mencaci-maki, berdusta dan dosa-dosa lainnya,baik yang kecil ataupun yang besar.

Mereka selalu berusaha untuk selalu menjauhi semua itu, dan mengerahkan segala upayanya untuk mencegah itu, agar tidak sampai menimpa masyarakat dengan berbagai sarananya, seperti menyebarkan buku-buku dan masalah-masalah etika dan pendidikan, serta mendirikan acara-acara pengajian, khotbah jum’at dan lain sebagainya.

28. Mereka peduli pada keutamaan dan kemuliaan akhlak, selalu menyambut nasehat dan antusias dalam mende-ngarkannya. Mereka mengadakan majelis-majelis dan acara-acara di rumah-rumah, masjid-masjid dan tempat-tempat lainya dalam acara peringatan-peringatan hari-hari besar dan peringatan-peringatan lainnya untuk tujuan tersebut, karena kecintaan mereka akan nasehat. Karena itu, mereka mencurahkan doa-doa yang memiliki manfaat yang besar, kandungannya agung, yang datang dari Rasulullah saw. dan para Imam yang suci a.s. Ahlul Bait Nabinya, seperti; doa Kumail, doa Abu Hamzah, doa Simaat, dan Jausyan Kabir (doa yang mencakup seribu nama dari nama-nama Allah swt.), doa Makarimul Akhlak, doa Iftitah (yang dibaca setiap bulan Ramadhan). Mereka membaca doa-doa dan munajat-munajat yang amat agung kandungannya ini dengan penuh kekhusyu-kan dan dalam suasana yang penuh dengan tangisan dan kerendahan diri, karena hal itu dapat membersihkan jiwa-jiwa mereka, serta dapat mendekatkan mereka kepada Allah swt.[13]

29. Mereka memberikan perhatian besar pada kuburan-kuburan Nabi saw., para imam Ahlul Bait Nabi, yang dikubur di Baqi’, Madinah Al-Munawarah yang mana disana ada kuburan Imam Hasan Al-Mujtaba, Imam Ali Zainal Abidin, Imam Muhammad Al-Bagir dan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.

Di Najaf, Irak, terdapat kuburan Imam Ali bin Abi Thalib a.s, dan di Karbala, kuburan Imam Husain bin Ali a.s. beserta saudara-saudaranya, anak-anaknya, anak-anak pamannya dan para sahabatnya yang syahid bersamanya pada Hari Asyura. Juga di Samarra terdapat kuburan Imam Al-Hadi a.s. dan Imam Hasan Al-Askari a.s.

Di Kazhimain terdapat kuburan Imam Al-Jawad a.s. dan Imam Musa Al-Kazhim a.s. Semua itu berada di Irak. Dan di kota Masyhad-Iran, terdapat pusara Imam Ali Al-Ridha a.s., serta di kota Qom dan Syiraz kuburan putra-putri beliau. Di Damaskus, Syiria, ada kuburan pahlawan wanita Karbala yaitu Sayyidah Zainab a.s. Di Kairo, Mesir, ada kuburan Sayyidah Nafisah a.s. Hal itu karena penghormatan mereka kepada Rasulullah saw, karena seorang laki-laki itu terjaga dalam keturunannya, dan mengormati keturunan tersebut berarti menghor-mati orang tersebut, Al-Quran telah menyanjung mereka dan sebagian mereka ada yang bukan Nabi, Al-Quran mengatakan:

ذُرِّيَّةً بَعْضُهَا مِن بَعْضٍ

Yaitu serta keturunan yang sebagiannya (keturunan) dan yang lain. (QS Ali Imran [3]:34).

Yaitu, kami akan membangun dan mendirikan di atas kuburan-kuburan Ashabul Kahfi tempat peribadatan untuk menyembah Allah swt. di sisi mereka. Dan Al-Quran mensifati perbuatan mereka dengan syirik, pertama, karena seorang muslim yang beriman akan berukuk dan bersujud hanya kepada Allah dan menyembah hanya kepada-Nya semata.

Seorang mukmin tidak akan datang ke makam wali-wali Allah yang telah Allah sucikan, kecuali karena kemuliaan dan kesucian tempat tersebut dengan adanya mereka, sebagaimana yang terjadi pada makam Ibarahim a.s. yang memiliki kesucian dan kemuliaan, Allah swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 125 berfirman:

وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

Dan jadikanlah maqam Ibrahim (tempat berdiri Nabi Ibrahim diwaktu membangun Ka’bah) tempat mendirikan shalat. (QS. Al Baqarah [2]:125)

Tidak orang yang shalat di belakang makam itu berarti telah menyembah makam, juga orang yang beribadah kepada Allah swt. dengan Sa’i (lari-lari kecil dalam haji) antara bukit Shafa dan Marwah bukanlah orang yang menyembah dua gunung. Sesungguhnya Allah swt. memiliki tempat yang suci dan penuh berkah untuk beribadah kepada-Nya, karena hal itu di nisbatkan kepada Allah swt. sendiri dalam kembali kepada-Nya.

Begitu juga waktu-waktu dan tempat itu juga memiliki kesucian, seperti hari Arafah, tanah Mina. Sebab kesucian tempat-tempat dan hari-hari itu adalah karena dinisbatkan kepada Allah swt.

30. Karena sebab ini pula, Syi’ah Ja’fariyah mempunyai perhatian sebagaimana umat Islam lainnya, yang sadar dan mengerti kedudukan Rasullah saw. beserta keluarga beliau yang suci, yaitu dengan berziarah ke kuburan Ahlul Bait Nabi karena kemuliaan mereka, dan mengam-bil pelajaran dari mereka, serta memperbaharui bai’at kepada mereka dan sebagai pengokohan perjuangan mereka dan tugas-tugas mereka. Karena, mereka telah mencapai kesyahidan saat menjaga nilai-nilai luhur ter-sebut. Para penziarah makam-makam ini akan mengingat dan mengenang keutamaan-keutamaan sahabat yang disebutkan dalam riwayat tersebut, juga tentang perjuangan mereka, penegakan mereka terhadap shalat, zakat dan tugas yang mereka pikul, dan bersabar atas gangguan dan siksaan dalam mengemban tugas tersebut. Di samping itu, melakukan demikian karena keikut-sertaan dalam kesedihan Nabi lantaran kemazluman (keteraniayaan) keturunan beliau.

Bukankah beliau yang mengatakan dalam peristiwa kesyahidan Hamzah “akan tetapi, Hamzah tak ada seorang yang menangisinya”, sebagaimana tercatat dalam buku-buku sejarah. Dan bukankah Nabi Muhammd saw. telah menangis saat kematian putra beliau; Ibrahim?, bukankah Nabi saw. sering pergi ke Baqi’ untuk ber-ziarah?. Bukankah Nabi saw. telah mengatakan: “Ziarahilah kubur! karena itu mengingatkan kalian kepada akherat”.[14]

Memang, menziarahi kubur para Imam Ahlul Bait a.s. dan apa yang telah disebutkan dalam sejarah mereka, sikap jihad dan perjuangan mereka mengingatkan dan memberikan pendidikan kepada generasi-generasi beri-kutnya tentang apa yang telah disumbangkan oleh para orang besar mereka di jalan Islam dan kaum muslim, dan tentang pengorbanan mereka yang begitu besar. Begitu juga, hal itu dapat menanamkan ruh dan jiwa kesatria serta jiwa pengorbanan dan kesyahidan di jalan Allah swt.

Sesungguhnya hal itu adalah suatu perbuatan manusiawi yang berperadaban dan logis. Maka tidaklah aneh bila umat-umat itu berupaya mengabadikan tokoh-tokoh besar dan para pencetus peradaban mereka, serta menghidupkan acara-acara yang mengenang jasa mereka dengan segala bentuk dan coraknya. Karena demikian itu dapat membangkitkan kebanggaan dan penghormatan terhadap perjuangan mereka, mengundang umat-umat yang lain untuk bergabung bersamanya.

Dan itulah yang diharapkan Al-Quran ketika menjadikan ayat-ayatnya kepada tempat-tempat para Nabi, wali, dan orang-orang shalihin serta menyebutkan kisah-kisahnya.

31. Syi’ah Ja’fariyah meminta syafaat kepada Rasulullah saw. dan para Imam Ahlul Bait yang suci, serta berwasilah melalui mereka kepada Allah swt. untuk pengampunan dosa-dosa, pengkabulan hajat, penyembuhan orang-orang yang sakit, karena Al-Quran yang membolehkan hal itu dan bahkan menganjurkannya, seraya berfirman:

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya sendiri (berhakim kepada selain dari Nabi) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rosul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.(QS. Al Nisa [4]:64)

Dan dalam ayat yang lain juga di sebutkan :

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى

Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu hati kamu menjadi puas. [QS. Al Dhuha/93: 5] Yakni kedudukan syafaat.

Bagaimana masuk akal Allah swt. akan memberikan kepada Nabi-Nya kedudukan syafa’at untuk orang-orang berdosa dan memberikan maqam wasilah (perantara) bagi orang-orang yang memiliki hajat kemudian dia menolak manusia yang meminta syafa’at darinya, atau dia akan melarang Nabi-Nya untuk menggunakan kedudukan ini?!

Bukankah Allah telah menceritakan kepada anak-anak Ya’qub, yaitu di saat mereka meminta syafaat dari orang tuanya dan berkata:

يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ

Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah. (QS. Yusuf [12]:97)

Maka, Nabi Ya’qub tidak menolak permohonan mereka, dan menjawab:

سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ

Aku akan memohonkan ampun untuk kalian kepada tuhanku. (QS. Yusuf [12]:98)

Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa Nabi saw. dan para Imam Maksum a.s. adalah orang-orang yang telah mati, lantas orang itu meminta doa dari mereka kemudian tidak ada faedahnya. Mengapa?, karena para Nabi saw. itu hidup, khususnya Rasulullah saw. Yang telah dinyatakan di dalam Al-Quran:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian pula kami telah menjadikan kalian sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasulullah menjadi saksi atas perbuatan kalian. (QS. Al-Baqarah [ٰ2]:143)

Juga ditegaskan:

وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

Dan berbuatlah, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu .(QS. Al-Taubah[9]:105)

Ayat-ayat ini akan terus berlaku sampai Hari Kiamat, selama matahari dan bulan beredar, serta malam dan siang silih berganti. Di samping itu, karena Nabi dan para imam Ahlul Bait a.s. adalah orang-orang yang syahid (penyaksi), dan dalam pandangan Al-Quran, mereka hidup sebagaimana Allah swt. mengatakannya dalam banyak ayat.

32. Syi’ah Ja’fariyah mengadakan peringatan atas kelahiran Nabi dan para Imam Ahlul Baitnya. Mereka mendirikan peringatan atas hari wafat manusia-manusia suci itu mereka dengan tujuan mengenang keutamaan mereka, kebajikan mereka dan sikap mereka yang bijak dan terpuji, sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang sahih dan sesuai dengan apa yang telah disebutkan oleh Al-Quran dalam menunjukkan kebajikan dan keutamaan Nabi saw. dan para rasul lainnya. Al-Quran telah memuji mereka serta mengarahkan perhatian umat islam kepada mereka supaya bisa mencontoh, mengikuti dan mengambil pelajaran dari mereka.

Memang, Syi’ah Ja’fariyah dalam acara-acara ini sangat menghindari perbuatan-perbuatan yang diharamkan, seperti percampuran majelis antara laki-laki dan perempuan, makanan dan minuman yang diharamkan, berlebihan dalam memuji, yakni mengangkat manusia sampai kepada tingkat pengultusan, atau menyakini bahwa dia dapat berbuat sesuatu di luar kehendak Tuhan, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan lain sebagainya dari tindakan-tindakan dan kepercayaan-kepercayaan yang berten-tangan dengan ruh syariat Islam yang suci, dan melampui batas-batas yang sudah jelas, atau tidak sesuai dengan ayat atau riwayat yang sahih, atau tidak sesuai dengan kaidah umum yang telah disimpulkan dari Al-Quran dan hadis, secara benar.

33. Syi’ah Ja’fariyah mengunakan buku-buku hadis yang mencakup hadis Nabi saw. dan Ahlul Baitnya a.s. seperti Al-Kâfi karya Kulaini, Al-Istibshar dan Tahdzib karyaThusi, serta Man La Yahduru Al Faqih oleh Syeikh Shaduq. Buku-buku tersebut sangat bernilai sekali di bidang hadis. Hanya saja, meskipun buku-buku tersebut mencakup hadis-hadis sahih. Para penulis atau pengarangnya dan orang-orang Syi’ah Ja’fariyah sendiri tidak memutlak-kan dengan judul shahih, karena para ulama fiqih tidak meyakini kesahihan seluruh hadisnya, mereka hanya mengambil hadis-hadis tersebut bila dari beberapa sudut pandang telah terbukti kesahihannya dan meninggalkan riwayat-riwayat yang tidak dianggap sahih, atau akan mengambil hadis-hadis tersebut yang, menurut ilmu Dirayah, ilmu Rijal dan kaidah-kaidah ilmu Hadis, tidak bermasalah dan tidak cacat.

34. Begitu juga di bidang Akidah, Fiqih, Doa dan Akhlak, mereka menggunakan buku-buku lain yang di dalamnya terdapat aneka macam riwayat dari imam-imam Ahlul Bait a.s. seperti kitab Nahj Al-Balâghah yang dicatat oleh Sayyid Murtadha dari kumpulan-kumpulan khutbah Imam Ali, surat-suratnya, hikmah-hikmah pendeknya, Risâlah Al-Huquq, Shahifah Sajjadiyah karya imam Ali Zainal Abidin a.s. At-Tauhid, Al-Khisyâ, ‘Ilâlu Asy-Syara’i dan Ma’ani Al-Akhbâr karya Syeikh Shaduq.

35. Terkadang, Syi’ah Ja’fariyah bersandar pada hadis-hadis shahih Rasulullah saw. yang terdapat di dalam buku-buku atau sumber-sumber hadis Ahli Sunnah wal Jamaah. Perlu diketahui pula, bahwa Syi’ah Imamiah juga seperti Ahli Sunnah; mereka mengambil apa-apa yang datang dari Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan atau-pun restu Nabi, termasuk juga riwayat tentang wasiat Nabi berkenaan dengan hak Ahlul Baitnya. Dan mereka berpegang teguh kepadanya, baik di bidang akidah maupun di bidang fiqih. Bukti yang paling jelas adalah adanya buku-buku hadis mereka, khususnya yang baru diterbitkan akhir-akhir ini, dalam bentuk Ensiklopedia terperinci yang terdiri lebih dari 10 jilid, mencakup riwayat-riwayat Nabi saw. dari sumber-sumber Syi’ah yang diberi nama Sunan Nabi (sunnah-sunnah Nabi saw.) dalam berbagai bidang tanpa fanatisme buta juga sebagai bukti, adanya karangan-karangan mereka baik yang dahulu maupun yang baru.

Dan banyak didapati hadis-hadis dari sahabat-sahabat Nabi saw., istri beliau, sahabat-sahabat yang masyhur serta perawi-perawi besar, seperti Abu Hurairah, Anas bin Malik dan nama-nama lainnya dengan syarat shahih dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan riwayat shahih lainya, juga tidak bertentangan dengan akal budi dan ijma’ ulama.

36. Syi’ah Ja’fariyah memandang bahwa bencana yang telah menimpah umat Islam dahulu maupun sekarang adalah disebabkan dua fakta:

Pertama: Umat Islam tidak mengenal Ahlul Bait Nabi a.s. sebagai pemimpin yang memiliki kelayakan untuk memimpin, dan juga karena mereka tidak mengetahui Ahlul Bait sebagai pembimbing dan pengajar memberi pengetahuan, khususnyasebagai penafsir Al-Quran.

Kedua: Adanya perpecahan di antara mazhab dan golongan-golongan Islam.

Karena itu, Syi’ah Ja’fariyah berupaya selalu untuk menyatukan barisan umat Islam dan mengulurkan jabat persaudaraan dan cinta kasih kepada sesama, dengan cara menghormati hasil-hasil ijtihad ulama dari golongan dan mazhab serta menghormati kesimpulan hokum mereka.

Dalam hal ini, ulama Syi’ah Ja’fariyah sejak abad pertama telah terbiasa dalam membawakan pendapat-pendapat ulama fiqih selain Syi’ah dalam karya-karya tulis mereka, baik di bidang Fiqih, Tafsir maupun Teologi, seperti buku Al-Khilaf (di bidang fiqih) karya Syaikh Thusi, Majma Al Bayan (di bidang tafsir) karya Thabarsi yang telah mendapatkan pujian ulama Al-Azhar, juga Tajrid Al-‘Itiqad (di bidang teologi karya Nashiruddin Thusi yang telah diberi syarah oleh Alauddin Al-Qusyji Al-Asy’ari dari ulama Ahli Sunnah.

37. Ulama Syi’ah Ja’fariyah memandang penting adanya dialog di antara ulama berbagai mazhab di bidang Fiqih, Akidah dan Syariat, juga memandang penting upaya saling memahami untuk mengatasi problema-problema umat Islam dewasa ini, menjauhi segala bentuk tuduhan yang tak beralasan, serta menjauhi sikap saling mencaci-maki, sehingga tercipta kondisi yang stabil guna mewu-judkan pendekatan yang logis antara golongan-golongan umat Islam, dan guna menutup jalan bagi musuh-musuh Islam dan muslimin yang selalu mencari celah-celah yang tepat untuk menghantam habis seluruh umat Islam.

Oleh karena itu, dalam Islam, Syi’ah Ja’fariyah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat, apapun mazhab fiqih dan aliran akidahnya, kecuali dalam perkara yang umat Islam sepakat atas pengkafirannya. Syi’ah Ja’fariyah tidak memusuhi mereka, tidak mengizinkan untuk menguasai mereka, menghormati ijtihad masing-masing golongan dan mazhab. Syi’ah Ja’fariyah meman-dang benar perbuatan orang yang berpindah mazhabnya kepada Syi’ah Ja’fariyah, dan telah gugur dari kewaji-bannya jika perbuatan-perbuatannya sesuai dengan mazhab sebelumnya dalam shalat, puasa, haji, zakat, nikah, talak, jual-beli dan lainnya, serta tidak wajib mengqadha kewajiban-kewajiban yang lalu. Syi’ah juga tidak mewa-jibkannya untuk memperbaharui akad nikah atau talaknya selama pelaksanaan dua hal ini pada mulanya sesuai dengan mazhab yang dianutnya.

Kaum Syi’ah hidup bersama-sama dengan saudara-saudara muslim yang lain di setiap tempat, sebagaimana layaknya saudara dan kerabat sendiri.

Memang, mereka tidak sepakat dengan mazhab penjajah, seperti aliran Bahaiyah dan Qodiani, atau mazhab-mazhab yang serupa dengan mereka, bahkan berupaya memerangi mereka dan mengharamkan untuk bergabung dengan mereka.

Dan Syi’ah Ja’fariyah menggunakan taqiyah, yaitu menyembunyikan sesuatu yang penting dari ajaran mazhab dan keyakinannya, dan itu sering dilakukan oleh mazhab-mazhab yang lain dalam situasi kemelut antara golongan yang penting. Taqiyah dilakukan karena dua faktor:

Pertama: menjaga jiwa dan darah mereka supaya tidak tertumpahkan begitu saja.

Kedua: menjaga persatuan umat Islam dan tidak menimbulkan perpecahan.

38. Syi’ah Ja’fariyah memandang bahwa di antara sebab-sebab kemunduran umat Islam dewasa ini ialah kemunduran pemikiran, budaya, pengetahuan, sains dan teknologi. Dan jalan keluarnya adalah menyadarkan umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, serta mengang-kat taraf pemikiran, budaya dan sainsnya dengan cara menciptakan pusat-pusat pengembangan ilmiah, seperti universitas-universitas, pesantren-pesantren, serta meng-gunakan hasil-hasil ilmu modern dalam mengatasi persoalan ekonomi, pembangunan fisik dan teknologi, serta menanamkan kepercayaan diri pada jasa-jasa putra bangsa untuk ikut serta terjun di lapangan dan aktif hingga terwujud swasembada dan kemandirian dan mengikis kebergantungan kepada Barat.

Oleh karena itu, Syi’ah Jafariyah di mana saja mereka berada, telah pembangunan pusat-pusat ilmiah, pendi-dikan dan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan untuk melahirkan ahli-ahli dan para pakar di berbagai cabang ilmu, sebagaimana mereka telah masuk di berbagai universitas dan di berbagai lembaga pendidikan di seluruh negara, dan sebagian telah menghasilkan ulama-ulama dan pakar-pakar di berbagai bidang dan kancah kehidupan yang telah menjadi pusat-pusat ilmiah tersebut.

39. Syi’ah Ja’fariyah senantiasa menjalin hubungan dengan ulama-ulama dan ahli-ahli fiqih mereka lewat apa yang dinamakan “taqlid” dibidang hukum-hukum. Mereka merujukkan problem-problem fiqihnya kepada para mujtahid, dan mereka beramal dalam seluruh aspek kehidupan mereka sesuai dengan fatwa-fatwa ahli-ahli fiqih mereka. Karena, ahli-ahli fiqih dalam pandangan mereka adalah wakil-wakil Imam Zaman a.s. Oleh karena itu, ulama-ulama dan fuqaha mereka tidak bersandar kepada negara-negara dan pemerintahan-pemerintahan dalam urusan kehidupan dan ekonomi. Mereka mendapatkan kepercayaan yang besar dari para pengikut mazhab yang besar ini.

Perekonomian hauzah-hauzah (pesantren) ilmiah dan pusat pendidikan agama dalam rangka menghasilkan para fuqaha ditanggung dan ditutupi dari khumus dan zakat yang ditunaikan oleh masyarakat kepada para fuqaha, sebagai kewajiban dari sekian kewajiban syariat lainnya, seperti shalat dan puasa.

Dalam masalah kewajiban membayar khumus dari keuntungan usaha, Syi’ah Ja’fariyah memiliki dalil-dalil yang jelas yang termuat dalam sejumlah kitab-kitab shahih dan sunan.[15]

40. Syi’ah Ja’fariyah memandang bahwa termasuk hak umat Islam ialah hidup dibawah naungan pemerintahan-pemerintahan Islam yang member-lakukan huku-hukum sesuai dengan Al-Quran dan hadis, menjaga hal-hak kaum muslimin dan menyelenggarakan hubungan yang adil dan bersih dengan negara-negara lain. Selain itu, Pemerintahan Islam juga berupaya menjaga batas-batasnya dan menjamin kebebasan umat Islam dalam kegiatan budaya, ekonomi, dan politik supaya mereka bisa hidup secara mulia, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah inginkan dalam firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ

Segala kemulyaan hanyalah milik Allah dan Rasulnya dan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Munafiqun [63]:8)

Juga dalam firmannya:

وَلاَ تَهِنُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Janganlah kamu merasa lemah, jangan pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. Ali Imran [3]:139)

Syi’ah Ja'fariyah Imamiyah memandang bahwa Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna yang mengandung program yang sangat tepat mengenai sistem perundang-undangan. Dan ulama Islam harus berkumpul untuk membahas program ini untuk men-jelaskan gambaran yang sempurna tentang undang-undang ini, supaya umat Islam ini keluar dari kebim-bangan dan dari problem yang terus berkepanjangan. Hanya Allah swt. sebagai pembela dan penolong,

إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Bila kalian menolong Allah, Dia akan menolong kalian dan mengokohkan langkah-langkah kalian. (QS. Muhammad [47]:7)

Dalam pandangan Syi’ah Imamiah, ini merupakan paling jelasnya langkah dan rencana di bidang akidah dan syariat atau dikenal juga dengan sebutan Syi’ah Jafariyah.

Saat ini para pengikut Syi’ah Imamiyah hidup berdampingan dengan saudara muslim yang lainya di seluruh negara-negara Islam, dan mereka gigih dalam menjaga dan mempertahankan eksistensi umat Islam dan kemuliaannya. Mereka juga telah siap untuk menyum-bangkan dan mengorbankan jiwa dan harta bendanya di jalan Allah swt.[]



[1] . Lihat Tafsir Thabari, Jami Al-Bayan dan Suyuthi Asy-Syafi’i atau dalam tafsirnya Ad-Dur Al-Mantsur, Alusyi Al-Bagdadi asy-Syafi’i dalam tafsirnya Ruh Al-Ma’ani, sekaitan dengan tafsir ayat tersebut.

[2] . Musnad Ahmad: jilid 1, hal 215.

[3] . Shahih Bukhâri- kitab al- adab: 27.

[4] . Lihat buku Ta’sisu Syi’ah lil ulum Al-Islami, karya Sayyid Hasan Ash-Shadr dan Zari’ah ilaa Tashonif karya Aghâ Buzurg, yang terdiri dari 29 jilid, Kasyfu Zhunuun karya Afandy, Mu’jam lil Muallifiin karya Kuhala, dan A’yanu Syi’ah karya Sayyid Muhsin Al-Amin Amuli dan lain-lainnya.

[5] . Lihat kitab Al-Irsyâd, karya Syeikh Mufid, I’lâmul Warâ bi A’lâinil Huda, karya Thabarsi dan Ensiklopedia Bihâr Al-Anwâr, karya Majlisi, dan Enseklopedia Rasulullah saw. karya Sayid Muhsin Khatami akhir-akhir ini.

[6] . Lihat buku Târikh Al-Qurân, karya Zanjani, al-Tamhid fil Ulumil Qurân, karya Muhammad Hadi Ma’rifat dan sumber-sunber lainnya.

[7] . Lihat Al-Ghadir karya Allamah Amini, yang dinukil dari sumber-sumber Islam di bidang Tafsir dan Sejarah.

[8] . Lihat, Khulafa An-Nabi, karya Al-Haa’iry Al-Bahrani).

[9] . Lihat Yaqut wa Jawâhir , karya Sya’rani Al-Anshori Al-Mishri.

[10] . Lihat shahih Bukhori dan shahih Muslim, dan Sunan Baihaqi, sedangkan pendapat mazhab Maliki, bisa dilihat dari buku Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusdy Al-Qurthubi Al-Maliki dan buku-buku lainnya.

[11] . Lihat kitab-kitab Sunan dan Musnad, juga lihat tafsir Fakhrurazi dalam menafsirkan ayat wudhu.

[12] . Lihat hadis-hadis mut’ah dalam kitab-kitab Shahih, Sunan dan Musnad yang otentik menurut mazhab-mazhab Islam.

[13] . Doa-doa ini ada dalam ensiklopedia dengan judul ensiklopedia doa-doa sempurna, yang diterbitkan akhir-akhir ini. Sebagaimana juga termuat dalam buku-buku doa yang sudah ada di tengah-tengah mereka yang sudah terkenal, seperti; Mafatihul Jinan, Muntakhab Husainiah dll.

[14] . Syifa As-Saqâm, karya Subhi Asyafi’I hal. 107 dan Sunan Ibn Majah jilid 1, hal. 117.

[15] . Lihat buku-buku pembahasan khumus dengan dalil-dalilnya dalam pandangan fuqaha Syi’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar