Senin, 07 Juli 2014

TRAGEDI KARBALA 10 MUHARRAM 61 H (MENGENANG IMAM HUSAIN.SA)



(Assalâmu ‘alal Husayn wa ‘alâ Aliyibnil Husayn wa ‘alâ awlâdil Husayn wa ‘alâ ashhâbil Husayn.) 

Kata-kata bersayap dari Imam Syafi’i:
Apakah anda telah mengetahui bahwa ber-tasyayyu’adalah mazhabku
Aku nyatakan hal itu dan tidak aku batalkan.
Bila cinta kepada keluarga (Nabi) Muhammad dinilai rafdhan.
Maka hendaklah manusia dan jin menyaksikan bahwa aku adalah rafidhy.
Dan syair Imam Syafi’i yang lain:
Wahai Ahl Bait (kelurga) Rasulullah, cinta kepada tuan-tuan adalah
Kewajiban yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkan Nya
Cukuplah keutamaan besar yang menghiasi tuan-tuan
Siapa yang tidak bershalawat untuk tuan-tuan maka tiada shalat baginya.

Pada hari Asyura, 10 Muharram 61 H, terjadilah Tragedi Karbala. Peristiwa Karbala yang menimpa Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib (sa) jauh sebelumnya telah diberitakan oleh malaikat Jibril kepada Rasulullah saw. Ummu Salamah isteri tercinta Rasulullah saw menuturkan: Ketika hendak tidur Rasulullah saw gelisah, ia berbaring kemudian bangun, berbaring dan bangun lagi. Aku bertanya kepadanya: Mengapa engkau gelisah ya Rasulallah? Rasulullah saw menjawab: “Baru saja Jibril datang kepadaku memberitakan bahwa Al-Husein akan terbunuh di Karbala. Ia membawa tanah ini dan simpanlah tanah ini. Jika tanah ini kelak telah berubah warna menjadi merah pertanda Al-Husein telah terbunuh.” Ummu Salamah menyimpan tanah itu.

Al-Husein (sa) mengajak keluarganya dan sahabat-sahabat Nabi saw yang masih hidup saat itu untuk bergabung bersamanya. Sebelum meninggalkan kota Madinah, Al-Husein (sa) pergi berziarah ke pusara kakeknya Rasulullah saw. Di kubur Kakeknya ia membaca doa dan menangis hingga larut malam dan tertidur. Dalam tidurnya ia mimpi Rasulullah saw datang kepadanya, memeluknya dan mencium keningnya. Dalam mimpinya Rasulullah saw berpesan: “Wahai Husein, ayahmu, ibumu dan kakakmu menyampaikan salam padamu, mereka rindu kepadamu ingin segera berjumpa denganmu. Wahai Husein, tidak lama lagi kamu akan menyusulku dengan kesyahidanmu.” Lalu Al-Husein terbangun.

Di kubur kakeknya Al-Husein berjanji dan bertekah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menyampaikan Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Ia mendatangi keluarganya dan mengajak sebagian sahabat-sahabat Nabi saw yang masih hidup saat itu untuk bergabung bersamanya.

Ketika akan meninggalkan kota Madinah menuju ke Irak, Al-Husein pamet kepada Ummu Salamah, ia menangis dan mengantarkannya dengan linangan air mata, ia terkenang saat bersama Rasulullah saw dan teringat akan pesan yang disampaikan kepadanya.

Kini Al-Husein dan rombongannya berangkat menuju Irak. Karena lelahnya perjalanan yang cukup jauh, Al-Husein dan rombongan yang tidak lebih dari 73 orang berhenti di padang Karbala. Rombongan Al-Husein (sa) terdiri dari keluarganya dan sebagian sahabat-sahabat Nabi saw. Mereka memancangkan kemah-kemah di padang Karbala untuk berteduh dari sengatan panas matahari dan istirahat karena lelahnya perjalanan yang cukup jauh.

Deru suara kuda terdengar dari kejauhan. Semakin lama suara itu semakin jelas bahwa suara itu adalah suara deru kuda pasukan Ibnu Ziyad yang jumlahnya ribuan. Rombongan Al-Husein yang jumlahnya tidak lebih dari 73 orang terdiri dari: anak-anak kecil dan wanita dari keluarganya, dan sebagian sahabat-sahabat Nabi saw. Mereka harus berhadapan dengan ribuan pasukan Ibnu Ziyad gubernur pilihan Yazid bin Muawiyah.

Karena jauhnya perjalanan Al-Husein dan rombongannya kehabisan bekal. Mereka dalam keadaan haus dan lapar. Sebagian dari mereka berusaha mengambil air dari sungai Efrat, tapi mereka dihadang oleh pasukan Ibnu Ziyah. Mereka tetap berusaha keras mengambil air untuk dipersembahkan kepada Al-Husein dan keluarganya serta rombongan yang kehausan. Tapi mereka gagal karena diserang oleh anak-anak panah pasukan Ibnu Ziyah, dan mereka berguguran menjadi syuhada’.

10 Muharram 61 H, pasukan Ibnu Ziyad mulai melakukan serangan pada rombongan Al-Husein yang dalam keadaan haus dan lapar. Salah seorang pasukan melancarkan anak panah pada leher anak Al-Husein yang masih bayi dan berada dalam pangkuan ibunya, sehingga mengalirlah darah dari lehernya dan meninggallah bayi yang tak berdosa itu.

Pada sore hari 10 Muharram 61 H, pasukan Al-Husein banyak yang berguguran. Sehingga Al-Husein (sa) tinggallah seorang diri dan beberapa anak-anak dan wanita. Dalam keadaan haus dan lapar di depan pasukan Ibnu Ziyad , Al-Husein (sa) berkata: “Bukalah hati nurani kalian, bukankah aku adalah putera Fatimah dan cucu Rasulullah saw. Pandanglah aku baik-baik, bukankah baju yang aku pakai adalah baju Rasululah saw.”

Tapi sayang seribu sayang karena emeng-emeng hadiah jabatan dan materi dari Ibnu Ziyah dan Yazid bin Muawiyah, kecuali Al-Hurr pasukan Ibnu Ziyad tidak memperdulikan ajakan Al-Husein (sa), mereka menyerang Al- Husein yang tinggal seorang diri. Serangan itu disaksikan oleh Zainab (adiknya), Syaherbanu (isterinya), Ali bin Husein (puteranya), dan rombongan yang masih hidup yang terdiri dari wanita dan anak-anak. Pasukan Ibnu Ziyad melancarkan anak-anak panah pada tubuh Al-Husein, dan darah mengalir dari tubuhnya yang sudah lemah. Akhirnya Al-Husein terjatuh di tengah-tengah mayat para syuhada’ dari pasukannya.

Melihat Al-Husein terjatuh dan tak berdaya, Syimir dari pasukan Ibnu Ziyah turun dari kudanya, menginjak-injakkan kakinya ke dada Al- Husein, lalu menduduki dadanya dan menghunus pedang, kemudian menyembelih leher Al-Husein yang dalam kehausan, sehingga terputuslah lehernya dari tubuhnya. Menyaksikan peristiwa yang tragis ini Zainab dan isterinya serta anak-anak kecil menangis dan menjerit tragis. Tidak hanya itu kekejaman Syimir, ia melemparkan kepala Al-Husein yang berlumuran ke kemah Zainab. Semakin histeris tangisan Zainab dan isterinya menyaksikan kepala Al-Husein yang berlumuran darah berada di dekatnya.

Zainab menangis dan menjerit, jeritannya memecah suasana duka. Ia merintih sambil berkata: Oh… Husein, dahulu aku menyaksikan kakakku Al- Hasan meninggal diracun oleh orang terdekatnya, dan kini aku harus menyaksikan kepergianmu dibantai dan disembelih dalam keadaan haus dan lapar.

Ya Allah, ya Rasullallah, saksikan semua ini. Al-Husein telah meninggalkan kami dibantai di Karbala dalam keadaan haus dan lapar. Dibantai oleh ummatmu yang mengharapkan syafaatmu. Ya Allah, ya Rasulallah Akankah mereka memperoleh syafaatmu sementara mereka menghinakan keluargamu, dan membantai Al-Husein yang paling engkau cintai?

10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan u*** barat, saat itulah tanah Karbala memerah, banjiri darah Al-Husein (sa) dan para syuhada’ Karbala. Bumi menangis, langit dan penghuinya berduka atas kepergian Al-Husein (sa) pejuang kebenaran dan keadilan.

Dari sebagian sumber riwayat menuturkan bahwa sejak kepergian Al- Husein dari Madinah Ummu Salamah selalu memperhatikan tanah yang dititipkan oleh Rasulullah saw, saat Al-Husein terbunuh tanah itu berubah warna menjadi merah, Ummu Salamah menangis, teringat pesan- pesan Rasulullah saw dan terkenang saat-saat bersamanya.

Kini rombongan Al-Husein (sa) yang masih hidup tinggallah: Zainab dan isterinya, Ali putra Al-Husein yang sedang sakit, dan sisa rombongannya yang masih hidup yang terdiri dari anak-anak dan wanita. Mereka diikat rantai dan digiring dalam keadaan haus dan lapar, dari karbala menuju kantor gubernur Ibnu Ziyad yang kemudian mereka digiring ke istana Yazid bin Muawiyah di Damaskus. Dalam keadaan lemah, lapar dan haus, mereka dirantai dan digiring di sepanjang jalan kota Kufah. Mereka disaksikan oleh penduduk Kufah yang berbaris di sepanjang jalan. Mereka menundukkan kepala, malu dengan sorotan mata yang memandangi mereka.

Kini sisa rombongan Al-Husein digiring ke istana Yazid bin Muawiyah. Sebagian pasukan membawa kepala Al-Husein untuk dipersembahkan kepada Yazid. Dengan mempersembahkan kepala Al-Husein dan tawanan wanita dan anak kecil yang sebagian dari mereka adalah cucu dan keturunan Nabi saw, mereka berharap mendapatkan imbalan jabatan dan materi sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Yazid bin Muawiyah. Kini tiba saatnya Yazid, Ibnu Ziyad, para pejabat dan pasukannya berpesta di istana, merayakan kemenangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar