Senin, 14 Juli 2014

Sujud di atas Tanah




Turbah adalah lempengan tanah (atau tanah liat) yang dipadatkan (dikeringkan dan dibekukan) dan biasanya digunakan oleh pengikut mazhab Syiah ahlulbait ketika sujud saat salat. Turbah berasal dari bahasa Arab yaitu turab, yang berarti debu atau lumpur. Bentuknya bermacam-macam; bulat, kubus, segi delapan atau persegi panjang. Beberapa turbah dihiasi ukiran asma Allah swt., ahlulbait, atau bentuk kubah masjid. Terkadang ada orang yang membalikkan turbah (sisi ukiran berada di bawah) agar lebih nyaman di dahi saat sujud.
Beberapa turbah zaman sekarang bisa menampilkan jumlah sujud dan rakaat yang telah dilakukan. Di dalamnya terdapat gerakan mekanik cakram yang memutar kertas bersimbol ketika seseorang sujud. Cakram akan kembali seperti awal ketika salat selesai. Nampaknya turbah ini dibuat untuk membantu orang yang mudah lupa (was-was) dalam jumlah sujud dan rakaat. Sekedar tambahan, ulama seperti Ayatullah Khamenei sudah memberikan fatwa tentang turbah seperti ini, “Jika ia termasuk benda yang sah dijadikan tempat sujud dan tidak bergerak saat meletakkan dan menekan dahi, maka sujudnya tidak terhalang secara syar’i.”

 

Mengapa Sujud di Atas Tanah?

Sujud secara bahasa berarti al-khudû’, yakni tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan sujud dalam salat bermakna meletakkan dahi di atas tanah. Inilah wujud peribadatan dan “penghinaan” seorang makhluk di hadapan Khalik. Sampai-sampai disebutkan dalam riwayat, “Keadaan paling dekat antara seorang hamba kepada Allah adalah ketika sujud.”
Karenanya menurut saya, salat sejatinya bukanlah bacaan surah yang lama atau sengaja diperlama, tapi adalah sujud yang lama. Kepala atau dahi dilambangkan sebagai bagian yang dimuliakan. Padahal hakikatnya manusia hanya diciptakan dari tanah (turâb, ardh) bahkan tanah hitam. Kesombongan manusia itu dihancurkan dengan menaruh lambang kemuliaan (dahi) ke tempat aslinya (tanah) di hadapan Sang Pencipta.

 

Sujud dalam Fikih dan Sejarah

Dalam fikih Syiah ahlulbait, sujud di atas tanah merupakan perintah Rasulullah dan para imam ahlulbait a.s. Dalam Fiqh Al-Imâm Ja’far diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ja’far tentang tempat yang boleh dijadikan tempat sujud. Lalu dijawab, “Tidak boleh sujud kecuali di atas ardh (tanah, bumi) atau yang tumbuh di bumi, kecuali yang dimakan atau dipakai.”
Orang itu bertanya apa sebabnya, kemudian Imam menjawab, “Sujud merupakan ketundukan kepada Allah, maka tidaklah layak dilakukan di atas apa yang boleh dimakan dan dipakai, karena anak-anak dunia adalah hamba dari apa yang mereka makan dan mereka pakai, sedangkan sujud adalah dalam rangka beribadah kepada Allah…” Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad sebagaimana yang juga dikabarkan oleh Jabir bin Abdillah dalam Shahîh Al-Bukhârî:
أخبرنا جابر بن عبد الله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: … جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً
“Dijadikannya tanah (bumi) bagiku sebagai tempat untuk bersujud dan suci.” Artinya tanah bukan saja mensucikan untuk bertayamum tapi juga suci sebagai tempat sujud. Jika seseorang memahami riwayat tersebut bahwa seluruh tanah (bumi) adalah masjid, sementara umat lain mengkhususkan ibadahnya hanya di gereja atau sinagog, juga tidak menyimpang dari makna tersebut karena bumi terdiri dari batuan dan tanah.[*] Karena jika tanah (bumi) itu secara mutlak merupakan tempat sujud bagi orang yang mengerjakan salat, maka lazimnya seluruh tanah itu juga layak untuk dijadikan tempat ibadah.
Jika para ulama fikih Syiah memandang hadis nabi saw. tersebut di atas dan hadis-hadis lainnya dengan penafsiran wajibnya sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh dari tanah tetapi tidak dimakan atau dipakai bagi para pengikutnya, maka hal itu tidak bermasalah bagi pengikut ahlusunah yang lebih memilih untuk sujud di atas sajadah atau karpet dan alas lainnya yang merupakan bahan sintetis.
Tapi bagaimana pun kita bisa melihat bahwa dalam segala kondisi nabi saw. selalu sujud di atas tanah. Pernah ketika terjadi hujan di bulan Ramadan, masjid nabi yang beratapkan pelepah kurma menjadi basah. Abu Said Al-Khudri dalam riwayat Bukhari berkata, “Aku melihat dikening dan hidung Rasulullah saw. terdapat bekas lumpur.”
Dalam kondisi panas, beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdullah Al-Anshari biasanya  akan menggenggam dan membolak-balikkan kerikil agar dingin sebelum digunakan untuk sujud. Sedangkan beberapa sahabat yang lain mengadu kepada Nabi, tapi tidak ditanggapi.
عن خباب بن الأرت قال شكونا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شده الرمضاء في جباهنا وأكفنا فلم يشكنا
Khabab bin Al-Arat berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw. tentang sangat panasnya dahi kami (saat sujud), tapi beliau tidak menanggapi pengaduan kami.” (HR. Al-Baihaqi). Ibnul Atsir mengomentari hadis tersebut dan terkait kata syakwâ:
إنّهم لمّا شكوا إليه ما يجدون من ذلك لم يفسح لهم أن يسجدوا على طرف ثيابهم
“Ketika itu mereka mengadukan kepada nabi (saw.) apa yang mereka rasakan, tapi beliau tidak memperkenankan mereka untuk bersujud di atas ujung baju mereka.” Penjelasan dalam kitab An-Nihâyah tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah saw. tidak mengizinkan para sahabat sujud di atas pakaian (tsiyâb) sekalipun kondisi tanah sangat panas.
Meski demikian ada juga sahabat yang mencari-cari kesempatan untuk sujud di atas kain, tetapi tidak diberi izin oleh Rasulullah saw., sebagaimana juga diriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqî:
عن عياض بن عبد الله القرشي قال رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يسجد على كور عمامته فأوما بيده ارفع عمامتك وأومأ إلى جبهته
Iyad bin Abdullah Al-Quraisyi berkata, “Rasulullah saw melihat seseorang sujud di atas lilitan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya untuk mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.” Jika dipahami bahwa dahi harus mengenai tempat sujud sementara alas sujud terbuat dari kain, misalnya, maka tidak ada bedanya antara membuka atau membiarkan dahi dililit oleh serban. Dapat dipahami bahwa tempat sujud haruslah terbuat dari bahan selain daripada kain serban. Karenanya Rasulullah saw. juga memerintahkan tatrîb, yaitu penaburan debu, sebagaimana terdapat dalam Kanz al-’Ummâl dan Musnad Ahmad:
روى أبو صالح قال: دخلت على أُمّ سلمة، فدخل عليها ابن أخ لها فصلّى في بيتها ركعتين، فلمّا سجد نفخ التراب، فقالت أُمّ سلمة: ابن أخي لا تنفخ، فإنّي سمعت رسول اللّه (صلى الله عليه وآله وسلم) يقول لغلام له يقال له يسار ونفخ: ترّب وجهك للّه
Abu Shalih meriwayatkan: Saya menemui Ummu Salamah lalu seorang anak saudaranya masuk ke rumah. Ia salat dua rakaat di sana. Ketika bersujud, ia meniup at-turâb (di atas tempat sujudnya). Ummu Salamah berkata, “Anak saudaraku, jangan meniupnya! Sungguh saya mendengar Rasulullah saw. berkata kepada seorang budaknya yang bernama Yasar, “Lekatkanlah wajahmu pada tanah karena Allah.” Selain memerintah, Rasulullah saw. juga melarang seseorang untuk membersihkan dengan cara meniup debu atau tanah yang ada di tempat sujud.
Mungkin karena riwayat di atas dan banyak riwayat lainnya sehingga Imam Syafii dalam Al-Umm mengatakan bahwa seseorang harus sujud di atas tanah:
وَلَوْ سَجَدَ عَلَى رَأْسِهِ ، وَلَمْ يُمِسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ لَمْ يَجْزِهِ السُّجُودُ ، وَإِنْ سَجَدَ عَلَى رَأْسِهِ فَمَاسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ الْأَرْضَ أَجْزَأَهُ السُّجُودُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى ، وَلَوْ سَجَدَ عَلَى جَبْهَتِهِ وَدُونَهَا ثَوْبٌ أَوْ غَيْرُهُ لَمْ يَجْزِهِ السُّجُودُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرِيحًا فَيَكُونُ ذَلِكَ عُذْرًا ، وَلَوْ سَجَدَ عَلَيْهَا وَعَلَيْهَا ثَوْبٌ مُتَخَرِّقٌ فَمَاسَّ شَيْئًا مِنْ جَبْهَتِهِ عَلَى الْأَرْضِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ سَاجِدٌ وَشَيْءٌ مِنْ جَبْهَتِهِ عَلَى الْأَرْضِ
“Apabila seseorang sujud dan dahinya sama sekali tidak menyentuh tanah, maka sujudnya dianggap tidak sah. Tetapi jika seseorang sujud dan bagian dahinya menyentuh tanah (al-ardh), maka sujudnya dianggap cukup dan sah, insya Allah Taala. Bila ia sujud dan pada dahinya terdapat kain atau selainnya belumlah dinyatakan sah kecuali karena terdapat luka, karena itu adalah uzur. Jika ia sujud dan pada dahinya terdapat kain yang robek sehingga bagian dari dahinya menyentuh tanah maka sah karena ia sujud dengan bagian dari dahinya menyentuh tanah.” (Al-Umm, 1/114)
Artinya, menurut mazhab Imam Syafii seseorang ketika sujud dahinya harus menyentuh tanah (yang oleh sebagian orang diartikan secara umum dengan “bumi”) dan dibolehkan menggunakan kain hanya ketika di dahinya terdapat luka dan harus menyisakan bagian dahi yang terbuku untuk tetap terkena tanah. Tapi apakah orang Syiah protes ketika teman-teman bermazhab Syafii sujud di atas sajadah yang terbuat dari kain sintetis? Lalu kenapa ada yang protes (bahkan menyebutnya bidah) ketika orang Syiah sujud di atas tanah padahal itu sesuai dengan fikih mereka yang diajarkan ahlulbait? Bukankah sujud di atas permadani atau sajadahlah yang merupakan bidah?
Meski demikian Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk sujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah, jika memang cuaca sangat panas atau sangat dingin. Terkadang digunakanlah tikar dari daun kurma (al-hashîr) atau tikar dari bambu (al-bawârî) dan terkadang karena uzur atau darurat beliau mengizinkan sahabat untuk menarik serbannya. Artinya selama bisa sujud di atas tanah, maka Rasulullah akan melarangnya.

 

Turbah al-Husain

Sebuah blog menyebut Syiah sebagai penyembah berhala. Hal itu karena mereka tidak memahami dengan benar makna “muslim”. Ketika seseorang bersyahadat dan menjadi muslim, maka yang disembah adalah Allah. Sedangkan syirik adalah menyembah selain Allah. Bagaimana mungkin menjadi musyrik dan menyembah berhala padahal dalam salatnya ia bertakbir, tahmid, tahlil, selawat dan seterusnya? Tentu kalian tidak ingin disebut sebagai penyembah berhala karena sujud di atas kain sajadah, ‘kan?
Turbah hanyalah sebuah lempengan tanah tempat orang-orang Syiah “sujud di atasnya” (masjûd ‘alaih) bukan “sujud kepadanya” (masjûd lahu). Lalu mengapa tanah Karbala atau turbatul Husain yang dipilih?
Pertama, yang diwajibkan adalah sujud di atas tanah atau yang tumbuh dari bumi kecuali yang dapat dimakan atau dipakai. Jadi menurut saya, tidak ada kewajiban untuk sujud di atas tanah Karbala dan sah walau bukan di atas tanah Karbala, karena tidak membuat perbedaan hukumnya apa ia tanah Mekah, Madinah, atau lainnya karena ia semua tanah di bumi. Justru yang jelas berdasarkan sejarah dan riwayat, pada masa awal Islam masjid tidak memiliki permadani atau sajadah seperti yang sekarang. Bisa dikatakan mereka semua sujud di atas tanah, debu, atau kerikil bebatuan. Lalu, bukankah tanah Karbala adalah bagian dari tanah di muka bumi?
Kedua, menjadikan tanah Karbala sebagai turbah tidak berarti tanah Madinah dekat pusara Nabi saw. tidak memiliki keutamaan. Karena masing-masing memiliki keutamaannya sendiri. Syiah maupun ahlusunah mencatat ucapan Rasulullah saw. yang menjelaskan mengenai keutamaan tanah Karbala. Jika dikatakan bahwa sujud di atas tanah Karbala adalah bidah, padahal Rasulullah saw. sujud di atas tanah, adakah ia lebih bidah jika sujud di atas permadani?
Tanah Karbala adalah tempat terbunuhnya cucu Nabi dan keluarganya untuk membela Islam sejati yang hampir musnah. Tanah tersebut telah dibanjiri darah suci para syuhada yang berjuang di jalan Allah.  Kaum Syiah akan terus mengingat perjuangan Imam Husain a.s. Bukankah segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah akan memiliki keutamaan? “Kemuliaan suatu tempat terletak pada siapa yang menempatinya,” kata pepatah. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar