Kamis, 17 Juli 2014

Dialog Interfaith; Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Seorang Nasrani

Bismillahirrahmanirrahim. 

Dinukil dari Salman al-Farisi, dikatakan bahwa ketika Rasulullah Saw wafat dan tampuk kepemimpinan berada pada tangan Khalifah Abu Bakar, datang sekelompok kaum Nasrani ke Madinah yang dipimpin oleh seorang tokoh mereka yang pandai tentang teologi dan menguasai (menghafal) Kitab Taurat (Perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru). Tokoh Nasrani itu berkata, “Tunjukkanlah kepadaku orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku.”

 “Bertanyalah, wahai orang Nasrani !” kata Ali bin Abi Thalib. “Demi Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk, engkau tidak bertanya tentang yang lampau dan yang akan datang kecuali aku beritahu kamu tentangnya dari Nabi Muhammad Saw.”

Orang Nasrani itu berkata, “Beritahukan ke­padaku, apakah engkau beriman menurut Allah atau beriman menurut dirimu sendiri?”

Ali menjawab, “Aku beriman me­nurut Allah sebagaimana aku beriman dalam keyakinanku.”

Orang Nasrani berkata, “Puji Tuhan, ini ungkapan orang yang kokoh agamanya dan meyakini kebenaran keyakinannya. Beritahukan kepadaku sekarang tentang bagai­mana kedudukanmu di surga?”

Ali menjawab, “Kedudukanku bersama nabi yang ummi di surga Firdaus yang paling tinggi. Aku tidak bimbang dengan itu dan tidak ragu dengan janji Tuhanku.”

Orang itu kemudian bertanya, “Dengan apa engkau mengetahui janji akan kedudukan yang engkau sebutkan tadi?”

Ali menjawab, “Dengan Kitab yang diturunkan dan kebenaran nabi yang di­utus.”
Orang Nasrani bertanya lagi, “Lalu dengan apa kamu meyakini kebenaran nabimu?” “Dengan tanda-tanda yang menakjubkan dan mukjizat-mukjizat yang jelas!” jawab Ali.

“Inilah cara berargumen,” kata orang Nasrani kagum. “Beritahukan kepadaku tentang Allah, di mana Dia berada sekarang?” lanjutnya.
“Wahai orang Nasrani, sesungguhnya Allah SWT jauh dari redaksi “dimana” dan suci dari tempat. Dia sejak azal (tidak bermula) tidak bertempat dan sampai saat ini seperti itu. Tidak berubah dari satu keadaan ke keadaan lain.”

“Benar dan baik, wahai orang pandai, engkau menjawab secara ringkas tetapi padat,” kata orang Nasrani. “Beritahukan kepadaku tentang Allah SWT, apakah menurutmu Dia dapat di­jangkau dengan indera, sehingga seseorang akan mencari-Nya dengan menggunakan indera atau bagaimana cara mengetahui-Nya, jika tidak mungkin dengan indera ?” lanjutnya penasaran.

“Yang Maharaja dan Maha Berkuasa sangat suci untuk disifati dengan ukuran atau dijangkau oleh indera atau disamakan dengan manusia. Jalan untuk mengenal-Nya adalah melalui ciptaan­ciptaan-Nya yang menakjubkan akal dan mem­beri petunjuk bagi orang-orang yang berpikir,” jelas Ali .

“Engkau benar. Demi Allah itulah yang haq. Banyak orang tersesat dalam kebodohan-kebo­dohan,” tutur orang Nasrani itu. “Sekarang beritahu aku seperti yang dikatakan oleh Nabi­mu tentang al-Masih, bahwa dia (al-Masih) adalah makhluk, dari mana dia Muhammad dapat membuktikannya? Dia menafikan ketuhanan al-Masih dan mene­tapkan kekurangannya (karena Tuhan tidak mempunyai kekurangan sama sekali), padahal kamu tahu bahwa banyak dari kaum beragama yang meyakini tentang al-Masih sebagai tu­han?” tanyanya penuh selidik.

“Nabi kita Muhammad Saw membuktikan­nya dengan takdir yang harus dia hadapi dengan perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain dan dengan bertambah-berkurang yang tidak lepas darinya. Aku tidak mengingkari kena­biannya dan tidak mengeluarkannya dari ke­maksuman, kesempurnaan, dan bantuan (dari Tuhan). Telah disebutkan oleh Allah SWT bahwa dia seperti Adam yang diciptakan dari tanah kemudian dikatakan padanya, “Jadilah” maka jadi.”

“Engkau benar, demi Allah yang mengutus al-Masih. 
Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah dun kamu adalah washi Rasulullah saw serta orang yang paling berhak menduduki tempatnya.” Maka orang-orang yang ikut bersamanya masuk Islam juga. [www.wisdoms4all.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar