“Sebaik-baik wanita di alam semesta ada empat, yaitu Asiyah istri Fir’aun, Maryam putri Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad.” (HR Bukhari & Muslim)
PROLOG
Gelar putri-putrian sepertinya sudah bukan sesuatu yang “aneh” lagi
saat ini, dari yang kecil-kecilan sampai tingkat international. Di
tingkat International saja ada dua versi yang “bersaing”: Miss Universe
dan Miss World. Jangan tanya apa bedanya, soalnya asli awak ngga tahu!
Dan jangan tanya pula apa kriterianya untuk mendapatkan gelar itu.
Tetapi konon kabarnya, para wanita itu terpilih karena mereka “cantik”
dan “cerdas”. Apa kriteria cantik dan cerdas? Wallahu’alam, itu relative
sekali, tergantung selera siapa yang lagi jadi juri.
Lepas dari segala macam kontroversi yang sering mengiringi acara
miss-miss-an begini, ada empat wanita yang sebenarnya paling berhak
menyandang gelar Miss Universe, atau wanita paling hueebatt sejagad raya
ini. Mereka bahkan pantas untuk menyadang gelar itu tidak hanya untuk
jangka waktu setahun, tapi untuk selamanya, sampai pasca kiamat
sekalipun. Hebatnya lagi, bukan sekedar juri yang memilih mereka, tapi
Yang Di Atas sana yang menobatkannya. Jadi, siapa para Miss Universe
(mungkin tepatnya Misses Universe) Forever ini?
ASIYAH
Entah kenapa cerita tentang tokoh hebat satu ini relatif kurang
“disosialisasikan”, jadi mungkin tak terlalu mengejutkan seandainya
ternyata tidak banyak orang yang kenal siapa Asiyah (bukan Aisyah).
Sayang sekali sebenarnya, karena sebenarnya dia adalah wanita hebat
dunia akherat.
Di dunia, Asiyah adalah istri salah satu raja yang paling berkuasa,
kaya dan perkasa sepanjang sejarah manusia: Fir’aun. Dia juga ibu angkat
yang sangat pengasih dari salah seorang Nabi besar: Musa AS. Dalam
ukuran “duniawi” tidak ada yang perlu membantah “kemuliaannya”. Tetapi
kemuliaan duniawinya ini tidak lantas membuatnya lupa diri.
Di tengah gelimang harta dan rizky duniawi lainnya, Asiyah tetaplah
seorang wanita dengan hati yang lembut tapi teguh. Hati lembut yang
mampu menangkap getaran “kebenaran Ilahi” yang alhamdulilah
mengantarkannya sebagai salah satu orang pertama yang beriman kepada
Tuhannya Musa dan Harun. Dan hatinya yang teguh membuat keimanannya tak
tergores sedikitpun walaupun dia harus tinggal di tengah-tengah pusat
kemaksiatan dan pengingkaran kepada Allah, bahkan menjadi pendamping
hidup orang yang dikenal sebagai pembangkang Allah terkeras sepanjang
masa.
Entah berapa kali Asiyah harus memendam sakit hati dan kejengkelannya tiap kali melihat polah Fir’aun menantang dan menghina Tuhannya. Mungkin sama jengkelnya dengan kita terhadap publikasi kartun-kartun yang mencemooh Rasulullah SAW, lagak “tak bersalah” si penerbitnya, dan tingkah para pendukungnya yang di antaranya mengatakan agar kartun itu diterbitkan saja tiap hari selama seminggu supaya umat Islam jadi “terbiasa”. Bedanya, saat ini kita masih bisa mengekspresikan kemarahan kita, sementara Asiyah harus menyembunyikannya karena mengikuti anjuran Musa yang mengkhawatirkan keselamatan ibu angkat yang disayanginya.
Memang bukan hal gampang menjadi “orang suci di sarang penyamun”
macam ini. Di samping harus siap “makan hati” terus-terusan, Asiyah pun
harus melalui hari-hari penuh perjuangan untuk tetap konsisten walaupun
begitu banyak “godaan” di sekitarnya. Coba kalau kita ingat, berapa
banyak orang yang kita tahutelah “berubah” karena lingkungan. Bahkan
kadang kita pun merasakan sendiri betapa sulitnya untuk tetap
“konsisten” sendirian terhadap nilai-nilai yang kita anut pada saat kita
hidup di tengah masyarakat yang menganut nilai yang berbeda.
Kalau saja bukan karena cinta Asiyah yang begitu besar kepada
Tuhannya, mungkin pertahanannya akan runtuh. Kenyataannya, ikatan
emosional yang begitu kuat kepada Allah lah yang membuat dia bertahan,
bahkan pada saat tersulit dalam hidupnya, yaitu menjelang akhir
hayatnya, ketika dia disiksa dengan siksaan yang tak terbayangkan
kejamnya oleh suaminya sendiri!
Hari penyiksaan itu terjadi ketika akhirnya Asiyah mendeklarasikan
dengan lantang keimanannya kepada Allah di depan suaminya. Deklarasi
penuh emosi ini terjadi setelah jiwa Asiyah begitu terguncang
menyaksikan pembantaian atas Masyitah, juru sisir istana, beserta suami
dan dua anak perempuannya yang masih kecil akibat penolakan mereka untuk
mengakui Fir’aun sebagai tuhan.
“Kuperingatkan kau wahai Fir’aun dan kunyatakan bahwa Tuhanku, Sang
Pencipta, Robb-ku, Allahku; dan Tuhanmu juga, Robb-mu, dan Allahmu; dan
Tuhan Masyitah dan anak-anak itu; dan Tuhan langit dan bumi; adalah
Allah yang satu, yang tak seorangpun sanggup menyamaiNya. Dia tak
memiliki tandingan!!”
Harta, tahta, dan keselamatan nyawa adalah kenikmatan duniawi yang
begitu sering dikejar-kejar manusia, bahkan dengan cara haram sekalipun.
Sebagai istri Fir’aun, Asiyah memiliki semua itu dengan berlimpah. Tapi
saat itu, dalam kemarahannya, dia seakan telah melemparkan semua itu ke
muka Fir’aun.
Akibatnya, di atas lempengan batu yang sebelumnya dipakai untuk
membantai keluarga Masyitah jugalah Asiyah akhirnya diikat dan ditindih
dengan sebuah lempengan batu tipis yang di atasnya dinyalakan api.
Lempengan batu tipis itu berubah menjadi semacam setrika besar yang
ditindihkan di atas dada sang Ratu Mulia ini, yang perlahan-lahan
membakar tubuhnya.
Waktu berjalan perlahan mengantarkan Asiyah mendekati kematiannya
dengan cara yang sangat menyakitkan. Tapi segala siksaan keji yang
menyakiti tubuh dan mengalirkan darahnya, maupun paksaan Fir’aun agar
istrinya mengakuinya sebagai tuhan, tak bisa mengurangi sedikitpun cinta
sang istri kepada Tuhannya.
“Api di atasku mulai membakar dan menghanguskan tubuhku, tapi api
cinta yang sempurna dan tak terhingga kepada Allah menyala-nyala dengan
lebih hebat di dalam tubuh ini.”
Dan pada detik-detik akhir hidupnya, dari bibir wanita mulia ini
terucap sebuah doa dan pengharapan kepada Rabb yang begitu dicintainya:
“Ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisiMu di surga…”
Allah telah menyaksikan perjuangan dan pengorbanan total wanita ini,
dan Dia juga memerintahkan para malaikat untuk menjadi saksi atas
ketulusan cinta Asiyah kepada Tuhannya. Dan ketika Asiyah mulai
memejamkan mata menjemput ajalnya, Allah memerintahkan Jibril untuk
menemuinya dan memperlihatkan kepadanya rumah yang telah disediakan
untuk wanita agung ini di surga. Dan Asiyah pun akhirnya wafat dengan
membawa kemenangan atas seorang tiran yang telah gagal memaksanya
bertekuk lutut dan menghianati cinta sejatinya kepada Rabb-nya.
Sebenarnya, ada beberapa versi yang agak berbeda tentang siksaan apa
yang harus ditanggung Aisyah pada akhir hidupnya. Sebagian menyatakan
bahwa dia digantung. Sebagian lagi menyatakan bahwa dia diikat dan
dicambuki sampai mati. Namun pada intinya, apapun siksaan yang telah
dialaminya, itu tetap sebuah ujian yang sangat berat bagi manusia
manapun juga. Dan “keberhasilan” Asiyah melalui ujian ini menunjukkan
kepada kita apa arti “jatuh cinta” kepada Khalik yang sebenarnya. Tidak
heran apabila nama Asiyah adalah salah satu dari sedikit nama yang
“dimuliakan” Allah dalam Al Qur’an sebagai contoh “ideal” orang yang
beriman:
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman, ketika ia berkata, Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah
rumah disisi-Mu dalam surga, dan selamatkan aku dari Fir’aun dan
perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang zalim.” – QS At Tahrim:
11
MARYAM
“Suci sampai akhir hayat” itulah Maryam, wanita yang telah disucikan
Allah, dilebihkan kedudukannya di atas seluruh wanita pada masa itu,
dan dipilih olehNya untuk melahirkan seorang Nabi besar dari rahimnya
melalui cara yang luar biasa.
Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala wanita di seluruh alam (pada masa itu). QS Ali Imran (3): 42
Ada beberapa wanita mulia yang disinggung-singgung dalam Al Qur’an, namun Maryam lah satu-satunya wanita yang nama panggilannya diabadikan dalam AlQur’an. Ada banyak rasul yang disebut Allah di dalam Al Qur’an, tapi Isa ASlah satu-satunya rasul yang setiap kali namanya disebut hampir selalu diikuti oleh nama orang tuanya. Allah tidak menyebut Muhammad ibn Abdullah, Yahya ibn Zakaria, atau Yusuf ibn Ya’qub dalam Al Qur’an, tapi Dia berkali-kali menyebut Isa ibn Maryam. Betapa Allah memuliakan wanita ini! But why can she be so special before God?
Untuk bisa memahami itu, kita harus mencoba melihat diri kita sendiri
terlebih dulu. Kita, paling tidak saya pribadi, terus terang saja
terkadang masih ada sedikit perasaan berat ketika harus mengerjakan
beberapa ibadah, seperti sholat malam, puasa, bahkan terkadang sholat
fardlu sekalipun! Astaghfirullah…. Kalau saja bukan karena ada rasa
takut kepada Yang Maha Kuasa atau rindu akan ridha dan syafaatNya di
akherat, mungkin sudah keteteran aja ibadah-ibadah itu. Na’udzubillahi
mindzaliik…..
Perasaan-perasaan semacam itu sebenarnya bisa dijadikan bukti empirik
betapa kuatnya godaan duniawi yang kita temui sehari-hari, dan betapa
hal itu bisa mengalihkan konsentrasi kita pada hakekat hidup kita di
dunia ini: mengumpulkan bekal yang (semoga) pantas untuk kita tukar
dengan ridha dan ampunan Allah di akherat kelak.
Kalau kita tidak tahan banting atau takut pada sesuatu yang jauh
lebih kuat dan besar dari seluruh isi bumi dan langit ini, mungkin hidup
kita akan dipenuhi pengabaian ibadah kepadaNya. Karena itu, sebenarnya
hari-hari yang kita lalui ini adalah hari-hari perjuangan mengendalikan
nafsu duniawi agar tidak lalai pada keselamatan kita sendiri di akherat
nanti; dan Maryam adalah seorang wanita yang selalu menang dalam
perjuangan tersebut.
Sejak kecil hidup bagi Maryam adalah untuk mengabdi sepenuhnya kepada
Tuhannya. Sepenuhnya, utuh, bulat-bulat. Ibaratnya, setiap tarikan
nafasnya dia lakukan dalam keadaan beribadah dan tunduk kepada Allah.
Tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari Tuhannya, bahkan
ketika dia mendapat ujian-ujian berat dariNya, seperti ketika harus
hamil dan melahirkan tanpa seorang suami! Pelecehan masyarakat terhadap
kesuciannya karena peristiwa tersebut adalah sebuah ujian yang begitu
berat bagi seorang wanita yang keseriusannya dalam menjaga kesucian
sulit dicari tandingannya.
Begitu juga ketika dia harus mendampingi perjuangan sulit anaknya,
Isa AS. Mungkin kita bisa merasakan sendiri bagaimana kita seakan ikut
sakit ketika anak kesayangan kita jatuh dan berdarah, atau ketika mereka
meneteskan air mata karena ejekan atau penolakan teman-temannya. Jadi
bisa dibayangkan betapa perihnya Maryam ketika melihat buah hatinya
dimusuhi, ditolak, diejek, bahkan disakiti karena perjuangannya. Namun
karena kesadarannya bahwa semua ini adalah demi Tuhannya yang
dicintainya lebih dari apapun, ketundukannya kepada Allah tak tergores
sedikitpun oleh ujian-ujian itu.
Mencapai derajat kekhusyukan dan ketundukan Maryam sama sekali bukan
sesuatu yang gampang. Coba kita hitung berapa kali dalam sehari
perhatian kita teralih dari Tuhan kita, bahkan pada saat mengerjakan
sholat sekalipun! Atau berapa kali kita mengabaikan perintahNya atau
laranganNya dengan berbagai alasan dan justifikasi? Mungkin tak
terhitung lagi jumlahnya. Jadi ketika kita merasakan sendiri betapa
sulitnya menjadi sekhusyuk dan setunduk Maryam, dan betapa Allah
mencintai dan memuliakannya karena ketundukannya itu, apakah aneh jika
Maryam dinobatkan menjadi salah satu Wanita Terhebat dan Termulia
se-Jagad Raya ini?
KHADIJAH
Sebagai istri, saya pribadi sering merasa “malu” tiap kali berkaca
pada Khadijah. Kontribusi dan pengabdian saya terhadap suami sama sekali
tidak bisa dibandingkan dengan apa yang telah diabdikan Khadijah
terhadap suaminya. Tetapi yang lebih memalukan, seringkali tuntutan saya
terhadap suami jauh melebihi harapan-harapan Khadijah terhadap
suaminya. She served the best without expecting too much in return!
Satu-satunya “pamrih” yang diinginkannya adalah cinta Tuhannya dan
Utusannya. Kelihatannya macam slogan yang gampang diucapkan ya? Tapi
dijamin tidak gampang untuk menjalankannya. Try to stand on Khadijah’s
shoes to know how difficult it is.
Marilah kita bayangkan mulai dari contoh yang paling mudah dulu.
Seandainya kita seorang “konglomerat” yang menikah dengan seorang
penjual kelontong di pasar, siapkah kita meninggalkan gaya hidup “borju”
kita untuk menjalani kehidupan sederhana seorang istri penjual
kelontong?
Atau contoh lain, mudahkah bagi kita menahan diri untuk tidak
uring-uringan seandainya suami sering pergi berhari-hari untuk mengejar
“idealisme”nya yang mungkin masih sulit kita pahami, dan meninggalkan
kita sendirian mengurus anak dan membersihkan rumah?
Atau… mudahkah pula bagi kita untuk mengorbankan kesuksesan yang
telah kita bangun dengan susah payah demi tugas suami yang mungkin tidak
menawarkan “imbalan” yang memadai? It’s hard, apalagi jika kita merasa
bahwa selama ini “karir” dan penghasilan kita jauh melebihi suami.
Khadijah adalah seorang pengusaha wanita yang sangat sukses dan
terhormat di kalangan kaum Quraishy dengan kemampuan membaca pasar dan
mengelola asset yang hebat. Walaupun dia masih tetap kaya pada masa-masa
awal kehidupannya sebagai istri seorang pedagang kecil, dia rela untuk
menjalani cara hidup yang sangat sederhana karena Muhammad SAW,
suaminya, tidak ingin keluarganya hidup berlebihan pada saat banyak
orang lain yang masih kekurangan. Tidak ada keluhan yang terucap dari
bibirnya. Dia meyakini kemuliaan prinsip suaminya dan rela mengikutinya,
walaupun dia harus meninggalkan semua kenyamanan yang pernah menghiasi
kehidupannya sebelum itu.
Tak pula keluhan terucap ketika dia harus hidup bersama seorang suami
yang sering pergi menyendiri ke Jabal Nur selama berhari-hari,
meninggalkannya sendirian mengurusi anak-anaknya. Jangankan
uring-uringan, Khadijah bahkan rela untuk menyiapkan makanan secara
teratur dan mengantarkannya sendiri ke Jabal Nur! Jabal Nur adalah
sebuah bukit batu cadas berpasir yang sangat sulit dan berbahaya untuk
didaki; dan Khadijah telah mendakinya berulang kali sambil membawa
makanan agar suaminya tidak kelaparan! Sepenuh hati dia berusaha
“meringankan” beban suaminya yang saat itu sedang berusaha menemukan
jawaban atas kegalauan spiritual dan kerinduannya yang dalam terhadap
“Sesuatu” yang menjadi sumber dari segala kehidupan ini.
Tak terhitung juga berapa kekayaan Khadijah yang dia abdikan demi
perjuangan suaminya menegakkan kalimat “laa ilaaha illallaah”. Sebagai
istri seorang keturunan Hasyim, Khadijah bahkan kehilangan “segalanya”
ketika kaum kafir Quraishy melakukan boikot kepada bani Hasyim dan bani
Muthalib selama tiga tahun. Kekayaannya yang tersisa dia gunakan untuk
membeli makanan secara diam-diam bagi para pengikut Rasulullah yang
harus kelaparan karena mempertahankan iman mereka.
Walaupun dirinya seorang pengusaha, Khadijah tak menghitung
pengorbanannya sebagai sebuah kerugian besar, karena dia yakin bahwa dia
sedang melakukan jual-beli yang sangat menguntungkan dengan Sang Maha
Kaya. Dia rela menukar semua kekayaan dan kesuksesannya dengan ridha
Tuhannya.
Khadijah tidak hanya mengorbankan harta dan kesuksesannya saja. Jihad
Muhammad SAW dihiasi dengan penolakan, penganiayaan, caci-maki, bahkan
ancaman pembunuhan. Dan Khadijah tak pernah menjauh dari sisi suaminya
dalam menapaki jalan terjal itu meski keselamatannya sendiri dan
keluarganya menjadi taruhannya. Walaupun dia ikut menanggung “teror”
mental maupun fisik dari musuh Muhammad, Khadijah pantang menampakkan
kekuatiran dan ketakutan di wajahnya. Baginya, kegalauan di wajah
bertentangan dengan tugasnya sebagai cahaya ketentraman bagi suaminya.
Lantas, apakah mengherankan kalau Muhammad SAW begitu mencintai dan
menghormati istrinya ini. Beliau tak menikahi wanita lain selama bersama
Khadijah. Sayangnya, hal ini sering “dilupakan” oleh para pengkritik
kehidupan poligami Rasulullah.
Muhammad SAW pun begitu terpukul ketika “belahan jiwanya” ini wafat
hanya beberapa saat setelah boikot Quraishy berakhir, pada tahun yang
kemudian dikenal sebagai tahun ‘Aamul Huzni, tahun kesedihan Rasulullah
SAW. Tampaknya, kelaparan dan beban psikologis selama masa boikot telah
menggerogoti kesehatan wanita agung ini. Muhammad SAW mengurus sendiri
jenazah Kesayangannya ini, dan mengantarkannya ke pembaringan
terakhirnya di Mekkah dengan sebuah kalimat perpisahan: “Sebaik-baik
wanita penghuni surga adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti
Khuwailid”.
Ketika telah menikah dengan istri-istrinya yang lain sepeninggal
Khadijah pun, tidak jarang Rasulullah SAW masih diliputi kenangan akan
Khadijah yang terkadang terlontar dalam bentuk pujian-pujian. Dan hal
ini sempat menimbulkan kecemburuan Aisyah: “Alangkah banyak yang kau
ingat tentang si pipi merah itu, padahal engkau telah mendapatkan
gantinya yang lebih baik dari dia.”
Wajah Muhammad SAW berubah merah padam mendengar protes itu. Dan
biasanya hanya pada saat menerima wahyu saja wajah beliau akan menjadi
semerah itu. Lalu beliau pun menjawab:
“Demi Allah, Allah belum menggantikannya dengan yang lebih baik dari
dia. Dia telah beriman kepadaku ketika semua orang ingkar padaku, dia
membenarkanku ketika orang-orang mendustakan, dia memberikan semua
hartanya ketika orang-orang tak mau memberiku apa-apa, dan melaluinya
Allah mengaruniakanku keturunan yang tidak diberikan oleh istri-istriku
yang lain.” (HR Ahmad)
Khadijah ternyata tidak hanya menjadi istri yang paling dicintai
Muhammad SAW. Sang Maha Agung dan Malaikat Jibril pun mencintai wanita
mulia ini. Bahkan, melalui Jibril Allah telah menitipkan salamNya kepada
Khadijah, Subhanallah!
“Wahai Rasulullah, inilah Khadijah, ia akan datang kepadamu dengan
membawa tempat yang berisi makanan, lauk dan minuman. Apabila dia datang
kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan dariku.” (HR
Bukhari & Muslim, dari Abu Hurairah)
Cinta Allah kepada wanita suci ini bahkan diwujudkanNya pula dengan
sebuah rumah permata yang disediakan untuk Khadijah dalam surgaNya.
“Aku (Muhammad) diperintahkan untuk menyampaikan kabar gembira kepada
Khadijah tentang sebuah rumah di surga dari permata dimana di dalamnya
tiada keributan dan kepayahan.” (HR Ahmad, Abu Ya’la, ath-Thabrani, dari
Abdullah bin Ja’far)
Betapa beruntungnya Khadijah mendapatkan cinta, salam, dan rumah
permata di surga dari Tuhannya. Namun “keberuntungan” Khadijah ini bukan
didapatnya dengan cuma-cuma; dia memperolehnya melalui perjuangan berat
yang dilakukannya dengan ikhlas sampai akhir hayatnya. Hanya wanita
hebat saja yang pantas diberi salam oleh Tuhannya.
FATIMAH
Andaikan kita adalah putri kesayangan seorang pemimpin nomer satu
sebuah bangsa besar, kira-kira kehidupan seperti apa yang akan kita
jalani? Mungkin bermacam bayangan terlintas di benak kita, tapi bisa
jadi tak banyak yang membayangkan kehidupan seperti yang pernah dijalani
Fatimah Az-Zahra RA, putri kesayangan seorang pemimpin besar yang
menempati urutan pertama tokoh paling berpengaruh di dunia sepanjang
sejarah manusia.
Sejak kecil, Putri Kesayangan ini telah akrab dengan kelaparan yang harus dijalaninya demi cinta dan ketaatannya kepada Tuhannya dan ayahnya. Ketika Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot dan dikucilkan oleh kaum Quraishy, mereka harus melalui hari-harinya selama tiga tahun dalam kelaparan. Diriwayatkan bahwa naluri keibuan Khadijah begitu perih melihat putri kecilnya kelaparan, “Kasihan engkau anakku, dalam usia begini muda engkau sudah harus merasakan penderitaan seberat ini.” Namun, tak disangka, si kecil menjawab, “Aku tidak apa-apa Bu, justru kami lah yang kuatir akan keadaan ibu.” Kalimat mengagumkan ini meluncur dari bibir mungil gadis cilik berusia lima tahun.
Ketika mulai dewasa pun “peruntungan materialnya” tidak berbeda. Fatimah dinikahkan dengan seorang pemuda miskin yang hanya bisa memberikan baju besinya sebagai mas kawin. Hanya saja, suaminya ini dikenal sebagai salah satu hamba Allah yang paling luas ilmunya, paling mula memeluk Islam, dan paling tinggi derajatnya di hadapanNya, bahkan telah dijamin masuk surga lewat jalur cepat sebagaimana istrinya. Fatimah juga telah mengenal Ali, suaminya, sejak kanak-kanak karena mereka tumbuh bersama dalam asuhan Muhammad dan Khadijah.
Kehidupan Fatimah sebagai anak pembesar memang tergolong “unik”. Dia tak mempunyai pembantu karena memang tak sanggup membayarnya. Dia menumbuk gandum sendiri tiap hari sampai tangannya lecet dan bajunya lusuh karenanya. Ali yang tidak tega melihat “penderitaan” istrinya menyuruh Fatimah menemui ayahnya untuk meminta seorang pembantu. Tapi Muhammad SAW, yang tidak ingin melihat ada anggota keluarganya hidup berlebih selama masih ada orang lain yang kekurangan, tidak mengabulkannya. Sebagai gantinya, ayahnya mengajarkan doa kepadanya agar dia dikuatkan dalam menghadapi hidup ini.
Ketika dia sakit Rasulullah menjenguk, “Apa yang kau rasakan anakku?” Putrinya menjawab, “Sakit ayah… dan aku juga merasa lapar karena tak ada makanan untuk dimakan.” Rasul menangis mendengarnya dan membesarkan hati putrinya, “Puaskah engkau anakku menjadi pemuka seluruh wanita di alam ini?”
Ketika ada seorang pengembara miskin mendatangi Rasul untuk meminta
sedekah, Rasul menyuruhnya meminta kepada Fatimah karena beliau tidak
punya apa-apa lagi saat itu untuk disedekahkan. Fatimah sebenarnya juga
tak memiliki apa-apa untuk disedekahkan, sebelum akhirnya dia teringat
pada kalungnya dan lantas memberikannya begitu saja kepada si pengembara
sebagai sedekah.
Nampaknya Allah begitu ridha padha keikhlasan Fatimah, sehingga akhirnya kalung itu bisa kembali kepadanya setelah Abdurrahman bin Auf membelinya dari si pengembara dan memberikannya kepada Rasul beserta seorang budak, dan Rasul lantas memberikan kembali kalung itu ke Fatimah beserta budak pemberian Abdurrahman. Fatimah menerima kembali kalungnya dan membebaskan budak itu walaupun sebenarnya dia sangat membutuhkan seorang pembantu. Buah dari kedermawanan dan keikhlasan putri miskin ini telah menolong seorang pengembara miskin, membebaskan budak, dan mengembalikan kalung satu-satunya kepadanya.
Apakah Fatimah membenci dan berontak kepada ayahnya karena merasa telah dijerumuskan dalam kehidupan sulit ini? Tidak sama sekali! Sebaliknya, cintanya begitu besar kepada ayahnya karena dia sangat meyakini kebenaran dan kemuliaan prinsip ayahnya. Dialah putri yang dengan menangis dan penuh kasih membersihkan kotoran dari kepala ayahnya akibat lemparan benda najis musuh-musuhnya. Dia juga yang bersama ayahnya membersihkan kotoran-kotoran najis yang dilemparkan ke rumah mereka.
Fatimah pula yang menurut Aisyah RA paling menyerupai ayahnya dan paling dicintai ayahnya. Dia adalah putri yang menangis begitu pedih ketika menyadari malaikat maut telah mendatangi ayahnya, namun tersenyum bahagia ketika ayahnya membisikkan ke telinganya bahwa dialah anggota keluarganya yang pertama kali akan “menyusulnya.” Dialah salah satu wanita yang telah dinobatkan sebagai sebaik-baik wanita di seluruh jagad raya bersama ibundanya, Khadijah, Maryam, dan Asiyah…
Bisa jadi kehidupan Fatimah ini (dan juga ayahnya) dianggap sebagai
sebuah kekonyolan oleh mereka yang memandang bahwa hidup di dunia adalah
kehidupan yang sebenarnya. Dia memiliki banyak kesempatan untuk hidup
lebih enak, tapi dia tak mengambilnya. Namun, mereka yang tahu bahwa
kehidupan di dunia bukan titik akhir dari kehidupan ini akan kagum pada
cara hidup Fatimah yang begitu luar biasa, dan bagaimana dia akhirnya
mendapatkan ridha dan cinta dari Sang Pemilik Kehidupan ini karenanya.
EPILOG
Wanita-wanita mulia ini memiliki “kecantikan” yang hakiki, karena
wajah mereka mampu membuat orang-orang di sekitarnya merasa begitu
nyaman dan tentram. Mereka juga memiliki “kecerdasan” yang hakiki,
karena mereka tahu pasti bagaimana cara menyelamatkan diri dari siksa
pedih “kehidupan” yang sebenarnya nanti, dan mereka berhasil mengikuti
cara itu dengan konsisten. Karena itu, merekalah para wanita yang
sebenarnya paling berhak menyandang predikat Miss
Universe Forever
karena kecantikan dan kecerdasan hakiki yang mereka miliki.
Sebenarnya mereka pulalah yang paling pantas untuk kita jadikan model
ideal seorang wanita. Tapi ironisnya, entah kenapa saat ini mungkin
justru wanita-wanita seperti inilah yang sering mengundang “keheranan”
orang karena sikap mereka yang dinilai “ketinggalan jaman”, “fanatik”,
“ngga nge-trend”, “ngga fun”, “berpikiran picik”, “bego”, atau “menyiksa
diri sendiri.” Tapi apapun pendapat orang, itu tak akan sedikitpun
melukai kemuliaan wanita-wanita macam ini di hadapan Sang Pemilik Alam.
“Sebaik-baik wanita di alam semesta ada empat, yaitu Asiyah istri
Fir’aun, Maryam putri Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti
Muhammad.” (HR Bukhari & Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar