Hari Lahir
Imam Ali Ar-Ridha as. lahir pada 11 Dzul-Qo’dah 148 H di Madinah.
Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kazim as., dan ibunya seorang wanita
mukmin nan saleh, bernama Najmah. Imam as. menghabiskan masa
kanak-kanaknya di sisi sang ayah.
Imam Musa as. berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha.
Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim, penj.), tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as. lalu beliau (Imam Musa) berkata, “Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku”.
Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku”.
Demikian pula salah seorang sahabatnya pernah bertanya tentang Imam
sepeninggalnya, Imam Musa as. memberi isyarat kepada anaknya Ali
Ar-Ridha sambil berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku”.
Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as.
berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya,
Ali Ar-Ridha as.
Budi Pekerti Yang Agung
Para Imam Ahlul Bait as. adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah swt. untuk
membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling
unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia.
Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abal Hasan
Ar-Ridha as. mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga
tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya,
dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu
membantunya.
“Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak
pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa,
karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau
menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga
pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah
melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah
kau percaya”.
Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke
Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau
mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk
bersama. Orang itu lalu berkata, ”Wahai putra Rasulullah, apakah engkau
mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?”.
“Sesungguhnya Allah swt. satu, manusia lahir dari satu bapak dan satu
ibu, mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan”, demikian jawab Imam as.
Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih
mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abal Hasan (panggilan Imam
Ar-Ridha)!”.
Imam menjawab, ”Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”.
Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia”.
Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu, sebab
orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah.
Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, “Kami ciptakan kalian
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling
bertakwa”.
Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as. berbincang-bincang dengan
masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba
masuk seorang warga Khurasan dan berkata, “Salam atasmu wahai putra
Rasulullah, aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para
datukmu, aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah
hidupku, tak satupun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku
sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku
telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan
kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak”.
Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as. berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”.
Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai
mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke
kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu
sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”.
Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini dua ratus Dinar,
pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan
hartamu atas nama kami”.
Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.
Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya,
“Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu wahai putra
Rasulullah?”
Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang
yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat
baik dengan sembunyi-sembunyi akan memenuhi 70 kali haji, dan orang
yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang
sembunyi dalam melakukannya akan diampuni'”.
Jangan Merasa Bangga!
Ahmad Bizanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali
surat menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui
kebenaran kedudukan beliau sebagai imam.
Bizanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini:
“Imam Ar-Ridha as. memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan
keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk
dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu ‘Isya, kami melaksanakan
shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam.
Aku menjawab, ”Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian”.
Beliau berkata kepadaku, ”Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah”.
Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, ”Sungguh aku
telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang
lain, aku telah tertipu oleh setan”.
Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku.
Kepadaku beliau menuturkan, “Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as.
menengok Sa’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak
bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Wahai Sa’sa’ah, janganlah
engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku
menjengukmu”.
Seakan-akan Imam membaca apa yang terlindas dalam pikiran Bizanthi.
Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib
as. bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.
Nasihat untuk Saudara
Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan
pemberontakan di kota Basrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah,
sehingga dia digelari dengan Sang Api.
Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah
pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun
akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.
Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as. diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti
khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as.
sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas
harta benda rakyat tanpa hak.
Kepada saudaranya Imam as. berkata, “Duhai Zaid, apa yang membuat
engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok?! Apakah kau
tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as. telah
disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari
api neraka?! Celakalah kau Zaid! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul
saw. dari perkataan itu bukanlah aku, bukan pula kau, akan tetapi
Hasan dan Husain.
“Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan
didapati kecuali ketaatan kepada Allah swt. Apakah kau mengira akan
masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah?! Kalau begitu, kau
lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu Musa bin Ja’far as.!”.
Zaid berkata,”Bukankah aku saudaramu?!”.
Imam menjawab, “Ya, kau saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as. memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih’.
“Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh’.
“Demi Allah wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya”.
Di Majelis Ma’mun
Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh madzhab Islam,
lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha
as. Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan
soal-soal mereka.
Imam as. bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermanaHassan
Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka
agama dan tokoh madzhab itu?”.
Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu”.
Imam berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?”.
“Tentu”, jawab Naufal.
Imam berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab
Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap
penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur,
dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah”.
Imam Ali Ar-Ridha as. menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke
istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun
dimulai.
Jatsliq berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang
menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan
juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak
mempercayai kenabiannya”.
Imam Ar-Ridha as. berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?”.
“Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq.
Lalu Imam Ali Ar-Ridha as. membacakan beberapa ayat Injil yang di
dalamnya Nabi Isa as. mengabarkan kedatangan nabi setelahnya,
sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi
Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.
Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih,
aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang
sepertimu”.
Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.
Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia
bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam
lainnya.
Ketika masuk waktu zuhur, Imam as. bangkit untuk melaksanakan
shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai
dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap kiblat
dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.
Perjalanan ke Moro
Tak seorangpun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah
Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as. menjadi penggantinya kelak.
Ketika Imam as. tinggal di Madinah Al- Munawwarah, tiba-tiba datang
perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Moro.
Imam as. menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota
Basrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qum yang
mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu,
Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu
ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah”.
Di Naisyabur
Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.
Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as. dijemput oleh masyarakat
di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar
berdiri paling depan.
Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam,
sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam
meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw., sampai-sampai
di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan
berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami
hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu”.
Imam as. berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far mengatakan,
“Aku mendengar Ayahku Ja’far bin Muhammad mengatakan, “Aku mendengar
ayahku Muhammad bin Ali mengatakan, “Aku mendengar ayahku Ali bin Husain
mengatakan, “Aku mendengar ayahku Husain bin ‘Ali mengatakan, “Aku
mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Aku mendengar Jibril berkata, “Aku mendengar
Allah berfirman, “Kalimat La Ilaha illallah (tidak ada tuhan selain
Allah) adalah bentengku, barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku,
niscaya ia terbebas dari azabku”.
Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.
Imam Ali Ar-Ridha as. meninggalkan Neisyabur pada waktu pagi. Di
tengah perjalanan masuk waktu zuhur, Imam as. meminta air untuk
berwudhu, akan tetapi para pengikutnya sulit mendapatkan air.
Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu
bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu
masih mengalir.
Imam Ar-Ridha as. dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau
menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu.
Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan
masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta
untuk dibuatkan periuk.
Imam as. masuk ke rumah Hamid bin Qahthaba Thaie dan masuk ke qubah
yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan
itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, ”Ini adalah tanahku, dan di
sinilah aku akan dikuburkan, Allah akan menjadikannya tempat ziarah
bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib
baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafa’at kami Ahlul Bait”.
Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih 500 kali.
Di Moro
Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as. di Moro. Ma’mun berusaha menampakkan
rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta
penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah.
Akan tetapi, beliau menolaknya.
Imam Ali Ar-Ridha as. tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh
Ma’mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran
haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun
tahta?!
Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan
kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dia menetapkan kewajiban mentaati Imam
sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.
Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan
ancaman, akhirnya Imam Ridha as. menerima untuk dijadikan penggantinya
kelak dengan syarat, bahwa Ma’mun tidak ikut campur dalam urusan-urusan
pemerintahan.
Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma’mun
membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang
Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang
Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as.).
Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan
Imam Ar-Ridha as. dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan
putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.
Shalat Ied
Imam Ali Ar-Ridha as. dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5
Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal,
yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan
Imam Ar-Ridha as. untuk menjadi imam Shalat Ied.
Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.
Imam as. menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan Shalat Ied
sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. dan Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib as.
Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.
Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as. keluar.
Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.
Imam Ali Ar-Ridha as. mandi dan memakai pakaian dan serban putih
sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung
lainnya di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang
tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para
pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama
mereka tanpa alas kaki.
Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as. mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.
Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta
komandannya melihat Imam dan bersama kelompok besar berjalan di samping
kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu
melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as.
dengan kaki telanjang.
Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir
sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar
dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.
Berkali-kali masyarakat menghadiri Shalat Ied yang dilaksanakan
dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir.
Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat
Islam yang dibawa oleh Nabi saw. dan kini dihidupkan kembali oleh
cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as.
Mata-mata yang mengintai pergerakan Imam dan masyarakat, segera
melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun. Dia malah kuatir terhadap
dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk
melaksanakan Shalat Ied dan menyampaikan khutbah.
Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as. yang
masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara
lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan wahai putra Rasulullah.
Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”.
Imam as. kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka
telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan
kerendahan hati ayah dan kakeknya.
Tujuan Ma’mun
Tak seorangpun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam
politik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam
Ali Ar-Ridha as. sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada
maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:
- Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as. sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.
- Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.
- Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.
Tentunya, Imam as. mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha
menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam
diskusi dengan para pemuka agama, Shalat Ied, dan syarat beliau atas
Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.
Da’bal Al-Khuza’i
Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang
tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk
menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa
memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan
mereka.
Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam
mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan
tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Da’bal Al-Khuza’i.
Sejarah mencatat pertemuan Da’bal dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu
Shlat Al-Harawi meriwayatkan, “Da’bal menjumpai Imam Ar-Ridha as. di
Moro dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan
aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada
seseorang sebelum engkau mendengarkannya’.
Imam as. menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih lalu
mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair
Da’bal ialah:
Kediaman-kediaman manusia suci
kini telah sunyi dari pengunjung
Rumah wahyu tidak lagi
dituruni kabar-kabar langit
Pusara di Kufah dan
yang lainnya di Thaibah (Baqi’),
Pula yang di Fakh (Karbala)
senantiasa tercurah salawatku
Dan pusara di Baghdad,
milik jiwa yang suci
Tercurahkan rahmat Sang Pengasih
dalam ruang-ruang kedamaian.
Imam lalu menyambutnya,
Pusara di Thusi betapa besar
Dera nestapa yang menimpanya
Da’bal dengan penuh keheranan bertanya, “Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?”.
“Itulah kuburku wahai Da’bal!,” jawab Imam as.
Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan
penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlul Bait. Imam as.
menangis, air matanya berderai menghangatkan pipinya.
Imam memberikan 100 dinar sebagai hadiah kepada Da’bal. Namun, ia
merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk
mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang
ditenun sebagai tambahan dari uang 100 dinar.
Da’bal memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya
dihadang oleh segerombolan perampok.Seluruh harta benda mereka dirampas.
Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan
satu bait puisi:
Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.
Di tangan mereka harta rampasan dari emas
Mendengar bait itu, Da’bal bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”
“Ini puisi Da’bal”, jawabnya.
“Akulah Da’bal”, kata Da’bal memperkenalkan diri.
Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang
bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.
Da’bal dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qum. Di
sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu
Dinar, namun Da’bal menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok
pemuda dari luar kota Qum menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian
Imam untuk tabarruk dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Da’bal pun merelakannya.
Ketika sampai di rumahnya, Da’bal mendapati istrinya menderita
sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, dari satu tabib ke tabib
yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya
kamu berobat, karena istrimu akan menderita kebutaan”.
Da’bal merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam,
kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga
esok harinya. Tatkala istri Da’bal terjaga, ia tidak merasakan sakit
sedikitpun berkat karamah Imam Ali Ar-Ridha as.
Hari Kesyahidan
Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha
as. dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari
kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk
membunuh beliau.
Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu
mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun,
karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan
orang-orang Alawiyah.
Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai
khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan
racun ganas di sekitar anggur.
Imam as. meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.
Imam Ali Ar-Ridha as. syahid pada tahun 203 H dan dimakamkan di kota Thusi (Masyhad-Iran).
Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat
dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia
pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as. dan berjalan tanpa
alas kaki sambil menangis. []
Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha as.
- “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah swt.”
- “Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi”.
- “Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri”.
- “Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya”.
- “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya”.
Riwayat Singkat Imam Ali Ar-Ridha as.
Nama : Ali
Gelar : Ridha
Panggilan : Abu Hasan
Ayah : Musa Al-Kazim as.
Ibu : Najmah
Kelahiran : Madinah, 11 Dzul Qo’dah 148 H
Wafat : 203 H
Makam : Thus, Masyhad-Iran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar