Almarhum Gus Dur yang sebagai ulama besar sekaligus
Ketua Umum NU semasa hidupnya pernah mengatakan bahwa NU adalah golongan
Syi’ah yang minus imamah
Menurut Sumber : Majalah Berita Mingguan GATRA Edisi : 25
November 1995 ( No.2/II ) bahwa Kiai Bashori mengatakan pernah mendengar
pidato Gus Dur di Bangil, Jawa Timur, menyebut Ayatullah Khomeini
sebagai waliyullah atau wali terbesar abad ini. Padahal, menurut
pendapat ahlusunah waljamaah, jelas bahwa Syiah itu menyimpang dari
Islam. Maka Kiai Bashori bertanya, “Bagaimana sih sebenarnya akidah
sampeyan tentang Syiah ini?” . Menurut Effendy Choiri, yang
dikenal sebagai pendukung Gus Dur, jawaban Gus Dur sebagai berikut: dari
segi akidah, memang beda antara Syiah dan Sunni. Saya melihat Khomeini
itu waliyullah bukan dalam konteks akidah, melainkan dalam konteks
sosial. Khomeini adalah satu-satunya tokoh Islam yang berhasil
menegakkan keadilan, memberantas kezaliman, dan lain-lain. Jadi soal
akidah kita tetap beda dengan Syiah.
Dan baru-baru ini Ketua Umum NU Said Aqil Siroj juga mengakui bahwa
NU banyak kemiripan dan sampai membela mati-matian Syi’ah di Indonesia
Syiah sangat menghormati GusDur, namun wahabi semacam Ustadz Abu
Bakar Ba’asyir malah menuduh Gus Dur telah murtad, menurut Ba’asyir:
“Jadi, mengenai mister Dur, menurut keyakinan saya Mr Dur ini murtad ”.
Pernyataan
itu terlontar, saat ustad Abu Bakar Ba’asyir, berkali-kali di tanya
oleh jemaah pengajian mengenai pengikut Gus Dur yang begitu
mengkultuskannya. Dan ia pun menolak memanggil Abdurrahman Wahid dengan
“Gus” karena baginya sebutan itu:
Maaf, saya tidak memanggil Gus, karena panggilan Gus itu hanya digunakan untuk anak kyai mulia di Jawa Timur”, kata ustad Abu. Ustad Abu mengatakan,
Ba’asyir berani mempertanggung jawabkan pernyataannya ini, ia pun
menantang tokoh-tokoh NU untuk berdiskusi, bahkan ia pun berani
bermubahalah
Menurut Ba’asyir, Gus Dur itu Murtad
Maktabah Alawiyyin Syiah Imamiyah 12 Indonesia, tahun 1379 H
Dari kiri Ali Baqir al-Musawi, Doktor Muhammad Sa’id
Thayyib, Sayyid Hasyim as-Salmân, almarhûm Sayyid Muhammad Alawi
al-Maliki, Doktor Sâmi dan Amin al-Aththâs.
Habib Ali Al Habsyi Kwitang, habib Ali Al Atthas Bungur, dan Syeikh Mudzaffar Ulama Syiah berdo’a bersama
Habib Ali Al Habsyi Kwitang, habib Ali Al Atthas Bungur, Ulama Syiah Syeikh Mudzaffar, Habib Salim Bin Jindan
Ulama Syiah Syeikh Mudzaffar bersama Habib Salim Bin Jindan
Perselisihan antara Sunni (Ahlus Sunnah) dan Syi’i (Syiah) di Bangil Pasuruan sesungguhnya telah berlangsung lama. Insiden bentrok di pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam ) Bangil beberapa waktu lalu, 15 Februari 2011, adalah akumulasi dari perselisihan yang telah mengakar sejak awal tahun sembilan puluhan.
Bermula dari ditemukannya surat rahasia Habib Hussein al-Habsyi
–-pendiri YAPI-– yang ditujukan kepada seseorang di Iran pada tahun
1993. Pihak YAPI tentunya kaget dengan terpublikasinya surat kepada
seorang Syi’ah Iran itu. Sebab, surat itu berisi pernyataan Habib
Hussein al-Habsyi, bahwa ia membuat kedok menyembunyikan ke-Syi’ah-annya
sebagai setrategi dakwah. Padahal sebelumnya ia dikenal sebagai ulama’
Sunni yang masyhur di kota Bangil.
Inilah sebagian isi terjemahan surat yang ditulis berbahasa Arab tersebut:
“Saya ucapkan terima kasih kepada tuan atas usulan yang benar
terhadap saya dan sudah lama menjadi pemikiran saya. Yaitu sejak
kemenangan Imam atas Syi’ah. Walaupun saya tangguhkan hal itu, namun
saya tidak ragu sedikitpun tentang kebenaran Ahlul Bait dan bukan karena
takut kepada orang-orang atau jika saya tinggalkan taqiyah maka bukan
supaya dipuji orang-orang. Sama sekali tidak! Akan tetapi saya sekarang
mempertimbangkan situasi disekitar saya. Fanatisme Sunni secara umum
masih kuat. Untuk mendekatkan mereka (kaum Sunni), saya ingin nampak
dengan membuka kedok, kemudian membela serangan ulama mereka yang
Nawasib (anti Syi’ah) mereka akan mengatakan: Syi’i membela Syi’ah. Saya
telah berhasil merangkul sejumlah ulama mereka yang lumayan banyaknya,
sehingga mereka memahami jutaan madzhab Ahlul Bait atas lainnya. Saya
anggap ini sebagai kemajuan dalam langkah-langkah perjuangan kita”.
Majalah AULA – majalah milik Nahdlatul Ulama– pada edisi November 1993 pernah menurunkan berita tentang Syi’ah Bangil dan memuat terjemahan surat itu.
Surat ini juga sempat menjadi berita heboh di Pasuruan. Sebab selama
ini, Habib Hussein al-Habsyi dikenal masyarakat Pasuruan yang mayoritas
Sunni sebagai ulama dari kalangan habaib yang mumpuni. Sebelum itu,
pengajiannya di Masjid Agung Bangil dipenuhi jama’ah yang menganut Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
Terungkapnya surat rahasia tersebut membuat masyarakat Bangil
berbelok arah. Banyak para asatidz dan santri kemudian keluar dari
pesantren YAPI. Sejak itu konflik dalam skala kecil sering terjadi di
kota Bangil dan sekitarnya. Hingga pada tahun 2007 masyarakat Bangil dan
sekitarnya melakukan demo besar setelah shalat Jum’at untuk menolak
paham Syi’ah.
Menurut pengakuan seorang warga Bangil, penganut Syi’ah bahkan sudah
tidak segan lagi melakukan aktifitas dan pengajian dengan isi doktrin
Syi’ah.
Masyarakat Sunni Bangil tentu tidak asal menolak. Beberapa ulama
sebenarnya telah mengingatkan mengenai keberadaan paham Syi’ah di
propinsi yang mayoritas berbasis Nahdliyyin ini. Di harian Surabaya
Post, 27 April 1985, yang sebagaian isinya dimuat lagi oleh majalah AULA tahun 1996, KH. As’ad Syamsul Arifin (almarhum) cukup lugas mengomentari dakwah Syi’ah
Syiah dan NU mirip
.
Almarhum Gus Dur[1]
dulu pernah mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah,
Syiah itu NU plus Imamah. Bukan tanpa alasan statemen itu dilontarkan,
memang NU dan Syiah secara budaya memiliki banyak kesamaan
.
Di Indonesia pendakwah ajaran Islam tak dapat dipastikan apakah
Sunni atau Syiah yang datang terlebih dahulu, sebagaimana madzhab
leluhur para habib di Hadramaut yang masih diperdebatkan apakah Sunni,
Syiah atau bahkan membuat madzhab sendiri. Karena itulah budaya,
simbol-simbol Syiah melekat kuat dengan budaya Sunni di Indonesia.
Kecintaan akan keluarga Nabi saw melekat dengan erat, di antaranya;
pujian, tawasulan pada para imam Syiah termaktub dalam syair-syair,
tarian, dll; hikayat dan cerita kepahlawanan keluarga Nabi saw;
tradisi-tradisi yang mirip dengan budaya Syiah, seperti tabot, tahlil
arwah hari ke-n, rabo wekasan, primbon, larangan berhajat di bulan suro;
istilah-istilah keagamaan, dsb seperti syuro, kenduri, bahkan penamaan
hal-hal berbau (maaf) seks pun dengan nama keluarga nabi, seperti
tongkat Ali atau rumput Fatimah (padahal kalau menyesuaikan nama aslinya
seharusnya terjemahnya adalah tangan Maryam). [2]
.
NU sebagai salah satu mainstream Sunni di Indonesia menghormati,
mengagungkan dan mentaati keturunan Nabi saw, demikian halnya dengan
Syiah, bahkan jika mereka berbuat salah pun mereka tetap menaati dan
tunduk karena takut kualat, dan sebagainya. Ingat skandal habib pemimpin
majelis terbesar kedua di Jakarta?. NU mengenang dan membacakan
manaqib para leluhur guru, kyai-kyai mereka dan mengadakan haul
kewafatan mereka. Begitu juga dengan Syiah. Dalam mengatasi ayat-ayat
mutasyabihat berkenaan dengan Tuhan, kedua golongan ini sama-sama
menakwilkan sesuai dengan posisi Tuhan, bukan memakai arti lahiriah ayat
tersebut
.
Jika dalam NU ada saudara mereka yang meninggal, mereka
mendoakannya dalam acara tersendiri, tahlilan. Begitu juga dengan Syiah.
NU mengajarkan kebolehan tawasul dengan orang-orang ‘suci’ mereka,
begitu pula dengan Syiah. NU menganggap orang-orang suci mereka tetap
hidup meski sudah meninggal dan menziarahi kuburan mereka untuk
bertawasul dan bertabarruk. NU mengenal tabaruk dengan benda-benda
peninggalan atau pemberian orang ‘suci’ sama halnya dengan Syiah.
Poin-poin terakhir di atas itulah yang membuat golongan muslim kecil
imporan naik darah lantas mengkafir-musyrikan dan siap-siap menghunuskan
pisau untuk mengalirkan darah penganut NU dan Syiah untuk taqarub
kepada Allah.
.
Dua golongan ini, NU dan Syiah memang memiliki banyak kesamaan.
Kedua-keduanya sudah dicap sesat dan kafir oleh kelompok Islam kecil
lainnya. Tak jarang untuk mengadu domba dan mempertajam perseteruan
kedua kelompok ini dan, Syiah dan Sunni, ada oknum yang mengaburkan,
mengganti bahkan menghilangkan redaksi-redaksi dalam kitab-kitab rujukan
Sunni-Syiah[3].
Masalah yang seringkali dibentrokkan dengan golongan Sunni adalah
imamah Ali dan 11 keturunannya, tahrif al-Quran, doktrin keadilan
sahabat nabi, nikah mut’ah, taqiyah, dll.
.
Keimamahan ahli bayt merupakan salah satu rukun dalam Syiah. Namun
bukan berarti orang yang tidak meyakini dan mengikutinya kafir.
Begitulah yang dikatakan para imam Syiah. Imam Abu Ja’far, Muhammad
Al-Baqir as, berkata, seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A’yan:
“Agama Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan.
Yakni yang dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah
(aliran). Atas dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu
berlangsung pengalihan harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan
hubungan pernikahan. Demikian pula pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan
haji. Dengan semua itu mereka keluar dari kekufuran dan dimasukkan ke
dalam keimanan.”
.
Mengenai tahrif al-Quran, umat Islam sepakat bahwa hal ini
merupakan masalah besar. Siapapun yang meyakini bahwa al-Quran telah
berubah, baik kurang atau ditambah, maka dihukumi kafir. Sayangnya,
pengeritik dan pencela Syiah tidak melihat langsung kondisi sebenarnya
di Iran, melihat langsung al-Quran-quran yang tersebar seantero Iran
yang sama dengan yang dibawa umat Islam lainnya. Masih ingat dengan
“Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik Hafal dan Paham Al-Quran” yang best
seller di Indonesia, Masih sama kan dengan al-Quran yang dibaca dan
dihafal kelompok Sunni?. Adapun riwayat-riwayat hadits, sahabat atau
ulama yang mengatakan adanya tahrif al-Quran sebenarnya juga bertebaran
tak hanya di kitab-kitab Syiah saja tapi juga ada di kitab-kitab Sunni.
Itupun ada yang belum dipastikan sahih riwayatnya atau tidak dan juga
tidak menjustifikasi si empunya kitab sebagai penganut tahrif, bahkan
mungkin ia menolak mentah-mentah.[4]
.
Jika ada oknum di suatu golongan yang meyakini tahrif, maka itu
tidak menegaskan semua golongan itu meyakini tahrif. Baik Sunni maupun
Syiah mempunyai oknum yang meyakini adanya tahrif tersebut. Kalau dalam
Syiah penganut tahrif al-Quran disebut kelompok Akhbari sedangkan
mayoritas syi’ah adalah ushuli yang anti tahrif. Adapun pendukung tahrif
di Sunni, pernahkan anda membaca cerita Ibnu Syanbudz dan pengikutnya,
ulama besar Sunni ahli al-Quran? [5]
.
Adapun masalah sahabat, yang perlu dipertanyakan adalah apakah
meyakini semua sahabat Nabi saw itu udul adalah bagian dari iman atau
tidak. Jika iya, dan mereka yang mencela, mengkritik dan melaknat
sahabat adalah kafir. Maka bagaimana dengan para sahabat itu sendiri
yang saling mencela melaknat bahkan membunuh sahabat lainnya. Apa mereka
kafir? Jika anda mempelajari sejarah Islam maka akan anda temukan
banyak riwayat valid seperti itu di hampir semua kitab-kitab sejarah
umat Islam, baik Sunni maupun Syiah. Jika menunjukkan dan mengungkapkan
kejelekan dan keburukan sahabat merupakan dosa besar, maka hampir semua
pengarang kitab hadits dan sejarah termasuk orang yang berdosa besar.
Maka tak heran jika ada ulama besar hadits yang menganjurkan untuk
menutupi hal-hal tersebut untuk menjaga doktrin sahabat itu wajib adil.[6]
.
Dengan dasar konsep semua sahabat udul itu pula semua peristiwa
hitam dan kelam perseteruan sahabat ditafsirkan dan dijelaskan.
Terkadang kejelekan yang dilakukan oleh para sahabat ditutupi secara
halus. Jika ada riwayat yang menyebutkan nama sahabat yang berbuat
buruk, maka diganti dengan fulan, si a, dll. Jika ada perbuatan atau
perkataan buruk sahabat maka ditulis kadza, sesuatu, dll.
.
Fitnah buruk lain yang disematkan pada Syiah adalah Syiah
mengkafirkan semua sahabat, kecuali 3 orang. Jika Syiah mengkafirkan
semua sahabat, lantas siapa yang membantu Ali dalam perang melawan
Aisyah, Thalhah, Zubair, madzhab Khawarij, dan Muawiyah. Mau dikemanakan
para sahabat nabi yang mati demi membela Islam dan keluarga Nabi saw?
Bagi Syiah sahabat Nabi saw ada yang baik dan ada juga yang buruk.
Mereka yang buruk tidak perlu diikuti. Syiah tidak sekedar menuduh jelek
seorang sahabat tapi mempunyai bukti valid atas keburukan sahabat
tersebut.
.
Syiah pembohong, pendusta karena Syiah menganut doktrin taqiyah.
Begitulah yang sering dilontarkan oleh pembenci Syiah. Demikian lekatnya
doktrin taqiyah pada golongan Syiah dan tuduhan jeleknya sampai-sampai
ada guyonan tentang taqiyah golongan Syiah di dunia maya.[7]
.
Tapi, bagaimana kalau anda ditempatkan pada posisi Syiah. Anda akan
dibunuh jika mengungkapkan keyakinan anda yang sebenarnya, apa yang
akan anda lakukan? Begitulah awal mula taqiyah sebenarnya. Begitulah
tindakan Ammar bin Yasir menghadapi siksaan kaum Quraisy. Begitulah
tindakan penganut Syiah selama kurang lebih seabad di masa kerajaan
Umayyah. Mereka dibatasi gerakannya, diburu, dan dibunuh bila ketahuan
mengikuti jejak Ahli Bait. Bahkan Hasan al-Basri pun dalam meriwayatkan
hadis dari Ali as, tidak menyebutkan namanya dalam periwayatan karena
kondisi waktu itu yang tidak memungkinkan. Jika demikian apa anda setuju
taqiyah?
.
Anda menyamakan mut’ah dengan zina, maka anda salah besar. Ibnu
Abbas sampai buta mata dan wafat pun tidak pernah melarang mut’ah atau
mencabut pendapatnya tersebut. Karena itulah murid-murid Ibnu Abbas
meneruskan pendapatnya. Di antara mereka adalah Ibnu Juraij, Said bin
Jubair, Atha’, Mujahid, bahkan ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa
Imam Malik membolehkan nikah Mut’ah. Jika Syiah meyakini mut’ah masih
diperbolehkan, apakah anda akan memprotes? Toh, menurut Syiah mut’ah
tetap diperbolehkan Nabi saw dan yang melarang adalah Umar di masa
kekhalifahannya dan riwayat tersebut ada di kitab-kitab golongan Sunni
dan Syiah.[8]
.
Semua poin-poin di atas, baik tuduhan Sunni atau bantahan Syiah
terus saja diulang-ulang sepanjang sejarah Islam, namun semuanya hanya
sekedar tulisan tanpa ada upaya untuk menjaga kedamaian ukhuwah
islamiyah seakan-akan ada pihak-pihak luar dan dalam yang sengaja
menjaga kestabilan perpecahan umat muslim. Akhirnya semua itu berpulang
ke dalam diri anda. seorang hakim harus mendengarkan dua pihak yang
bersengketa baru memutuskan masalahnya, bukan langsung justifikasi tanpa
bertabayun terlebih dahulu. Bukan sekedar cukup menjadi juru dakwah,
pemimpin majelis dengan jutaan pengikut, atau tukang khutbah mingguan
untuk dapat menjustifikasi sekelompok orang menjadi sesat, kafir dan
musyrik, diperlukan sikap yang arif, objektif, ilmiah dan berlaku adil
dalam menanggapi saudara sesama muslim yang berbeda pandangan dengan
kita.
.
“Tidaklah seseorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan
kefasikan, dan tidak pula melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan
kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh
ternyata tidak demikian”. Wa Allah a’laam.
Salam damai,
.
[1]
Dibanding dengan kakeknya, Gus Dur begitu dekat dengan golongan Syiah.
Ketika terjadi revolusi Iran, Gus Dur mengatakan “Khumayni waliyullah
terbesar abad ini” yang menimbulkan kontroversi di kalangan NU, bahkan
dalam sebuah diskusi Gus Dur juga mempersilakan warga NU untuk masuk ke
madzhab Syi’ah. Sedang K.H. Hasyim Asy’ari ‘menyindir’ Syiah dalam
Muqadimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama menyebutkan “Sampaikan secara
terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar
bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku di
caci maki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang
siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat
malaikat dan semua orang.”
Bahkan beliau juga melarang santri-santrinya membaca kitab-kitab
Syiah, seperti Naylul Authar, Subulus Salam. Perbedaan pandangan
tersebut merupakan sesuatu yang galib dalam dunia keilmuan. Imam Ja’far
al-Sadiq as mempunyai murid Imam Hanafi yang membuat madzhab sendiri,
Imam Malik juga mempunyai murid Imam Syafii, yang mempunyai pendapat
berbeda dengan gurunya, bahkan konon gara-gara perbedaan dengan gurunya
tersebut Imam Syafi’i meninggal dipukul oleh pengikut Maliki. Said Aqil
Siradj yang lulusan pendidikan Saudi pun menjadi pembela Syiah, padahal
Saudi secara politik dan budaya menganut faham Wahabi yang jelas-jelas
menolak bahkan mengkafirkan Syiah. Pendapat KH. Ahmad Dahlan juga
berbeda dengan pendapat majelis tarjih Muhammadiyah sesudahnya, beliau
memakai qunut subuh, tarawih 20 rakaat, mengucap usholi dalam niat
shalat, dll
.
[2]
Bahwa upacara peringatan orang mati/tahlil pada hari ke-3, ke-7, ke-40,
ke-100, dan ke-1000, termasuk khaul, adalah tradisi khas yang
jelas-jelas terpengaruh faham Syiah. Dalam tahlil dimulai dengan bacaan
al-Fatihah kepada Nabi saw dan roh-roh si mati. Amalan ini menjadi
tradisi penganut Syiah dari zaman ke zaman. Dalam tahlil juga dibacakan
ayat 33 dari surah al-‘Ahzab yang diyakini oleh golongan Syiah sebagai
bukti keturunan Ali dan Fatimah adalah maksum. Demikian juga dengan
perayaan 1 dan 10 Syuro dengan penanda bubur Syuro, tradisi Rebo Wekasan
atau Arba’a Akhir di bulan Safar, tradisi Nisfu Sya’ban, larangan
berhajat pada bulan Syuro, pembacaan kasidah-kasidah yang memuji Nabi
Muhammad Saw dan ahl al-bait, dan wirid-wirid yang diamalkan menunjukkan
keterkaitan tersebut. Bahkan istilah kenduri pun, jelas menunjuk kepada
pengaruh Syiah karena dipungut dari bahasa Persia: Kanduri, yakni
upacara makan-makan di Persia untuk memperingati Fatimah Az-Zahro’
.
[3]
Di antara kitab yang terbukti ditahrif adalah Nahj al-Balaghah yang
diterbitkan oleh Muhammad Abduh Mesir, kitab-kitab al-Khumayni, seperti
Hukumah Islam, Kasyful Asrar yang diterjemahkan menyimpang dari bahasa
Persia ke Inggris/Arab. Pemalsuan kitab Kasyful Asrar dibongkar oleh Dr.
Ibrahim Dasuki Syata, pengajar bahasa dan sastra dari Universitas
Kairo. Pemalsuan kitab Hukumah Islam diduga dilakukan penerbit buku
milik CIA ke dalam bahasa Inggris
.
[4]
Riwayat-riwayat tahrif al-Quran, baik dari kalangan sahabat maupun
ulama besar, beredar di kitab-kitab Sunni dan Syiah. Di antara yang
berpendapat al-Quran berubah adalah Imam Malik, beliau berkata tentang
sebab gugurnya basmalah pada pembukaan surah Barâ’ah, “Sesungguhnya
ketika bagian awalnya gugur/hilang maka gugur pulalah basmalahnya. Dan
telah tetap bahwa ia sebenarnya menandingi surah al-Baqarah (dalam
panjangnya)”
.
[5]
Ibn Anbari dan al-Qurthubi menutupi identitas tokoh ini dalam kitabnya.
Namun al-Khatib al-Baghdadi dan Abu Syamah menyebut jelas tokoh besar
Sunni ini. Nama lengkapnya Abu al Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Ayyub al
Muqri’/pakar qira’at, yang dikenal dengan nama Ibnu Syanbûdz/Syannabûdz
al-Baghdâdi (w.328 H). Ia banyak belajar dan menimba ilmu qira’at dari
banyak pakar di berbagai kota besar Islam. Ia telah berkeliling ke
hampir seluruh penjuru negeri Islam untuk menimba ilmu dari para
masyâikh, dan ahli qira’at.
.
Ia sezaman dan satu thabaqah dengan Ibnu Mujahid (yang membatasi
qira’at hanya pada 7 qira’at saja), tetapi ia lebih luas ilmu dan
pengetahuannya, khususnya tentang qira’at dan sumber-sumbernya, dan ia
lebih banyak guru dan masyâikhnya, hanya saja Ibnu Majahid lebih
berkedudukan di sisi penguasa saat itu. Banyak kalangan ulama qira’at
belajar darinya. Abu ‘Amr ad Dâni dan lainnya mengandalkan sanad qira’at
melalui jalurnya. Ibnu Syannabûdz adalah tsiqah/terpercaya, seorang
yang shaleh, konsisten dalam menjalankan agama dan pakar dalam disiplin
ilmu qira’at. Ia meremehkan Ibnu Mujahid yang tidak pernah melancong ke
berbagai negeri untuk menimba ilmu qira’at. Apabila ada seorang murid
datang untuk belajar darinya, ia menanyainya terlebih dahulu, apakah ia
pernah belajar dari Ibnu Mujahid?
.
Jika pernah maka ia tidak akan mau mengajarinya. Ibnu Mujahid
menyimpan dendam kepadanya, dan menfitnahnya kepada al wazîr/penguasa
saat itu yang bernama Ibnu Muqlah. Ibnu Syannabûdz diadili pengguasa di
hadapan para ulama dan ahli fikih, di antaranya Ibnu Mujahid atas
qira’atnya yang dinilai menyimpang, setelah terjadi perdebatan seru
dengan mereka. Ibnu Muqlah memintanya untuk menghentikan kebiasaannya
membaca qira’at yang syâdzdzah, tetapi ia bersikeras mempertahankannya,
dan berbicara keras kepadanya dan kepada Ibnu Mujahid serta al Qadhi
yang dikatakannya sebagai kurang luas pengetahuan mereka berdua,
sehingga Ibnu Muqlah menderanya dengan beberapa cambukan di punggungnya
yang memaksanya mengakui kesalahannya dan bersedia menghentikan bacaan
syâdzdzah-nya.
.
Ketika Ibnu Muqlah menderanya, Ibnu Syannabûdz mendoakannya agar
Allah memotong tangannya dan mencerai-beraikan urusannya. Tidak lama
kemudian, setelah tiga tahun, tepatnya pada pertengahan bulan Syawal
tahun 326 H, doa itu diperkenankan Allah dan Ibnu Muqlah pun dipotong
tangannya oleh atasannya dan dipenjarakan serta dipersulit kehidupannya.
Ia hidup terhina dan mati dalam sel tahanan pada tahun 328 H, tahun
yang sama dengan tahun wafatnya Ibnu Syannabûdz. Sebagaimana Ibnu
Mujahid juga mati setahun setelah mengadili Ibnu Syannabûdz
.
[6] Al-Dzahabi
berkata, “Omongan sesama teman jika terbukti dilontarkan dengan
dorongan hawa nafsu atau fanatisme maka ia tidak perlu dihiraukan. Ia
harus ditutup dan tidak diriwayatkan, sebagaimana telah ditetapkan bahwa
harus menutup-nutupi persengketaan yang terjadi antara para sahabat ra. Dan kita senantiasa melewati hal itu dalam kitab-kitab induk dan juz-juz akan tetapi kebanyakan
darinya adalah terputus sanadnya dan dha’if dan sebagian lainnya palsu.
Dan ia yang ada di tangan kita dan di tangan para ulama kita. Semua itu
harus dilipat dan disembunyikan bahkan harus dimusnahkan. Dan
harus diramaikan kecintaan kepada para sahabat dan mendo’akan agar
mereka diridhai (Allah), dan merahasiakan hal itu (bukti-bukti
persengketaan mereka itu) dari kaum awam dan individu ulama adalah
sebuah kawajiban. Dan mungkin diizinkan bagi sebagian orang ulama yang
obyektif dan jauh dari hawa nafsu untuk mempelajarinya secara rahasia
dengan syarat ia memintakan ampunan bagi mereka (para sahabat) seperti
diajarkan Allah
.
[7] Kisah Laporan “Spy” Wahabi Tentang Iran.
Pada suatu hari, agen wahabi mengutus seorang untuk “spy” semua gerak-geri orang syiah, terutama di Iran, maka diutuslah seorang agen A untuk memulai misi ke Iran. Setelah tiga bulan lamanya sang agen kembali untuk melaporkan hasil mata-matanya.
Pada suatu hari, agen wahabi mengutus seorang untuk “spy” semua gerak-geri orang syiah, terutama di Iran, maka diutuslah seorang agen A untuk memulai misi ke Iran. Setelah tiga bulan lamanya sang agen kembali untuk melaporkan hasil mata-matanya.
.
[8]
Quraisy Shihab memandang bahwa 1. Para ulama berbeda pendapat mengenai
apakah benar Nabi saw pernah mengharamkan nikah mut’ah itu; 2. Larangan
Umar bin Khattab terhadap nikah mut’ah bukan pengharaman suatu syariat,
tetapi demi menjaga kemaslahatan umat kala itu. 3. Pendapat yang
kompromistis ialah pendapat Syekh Muhammad Thahir bin Asyur, mufti
Tunisia yang mengatakan bahwa Nabi SAW dua kali mengizinkan nikah mut’ah
dan dua kali melarangnya. Larangan ini bukan pembatalan, tetapi
penyesuaian dengan kondisi, kebutuhan yang mendesak atau darurat. Maka
nikah mut’ah itu hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, seperti
bepergian jauh atau perang dan tidak membawa istri.
Kairo
.
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menimba ilmu di Universitas Al-Azhar pada tahun 1964-1966. Banyak kesan dan cerita menarik tentang Gus Dur selama di Mesir ini sehingga sampai sekarang ia menjadi icon kebanggaan bagi mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Al-Azhar khususnya, warga NU (Nahdliyyin).
“Ketokohan Gus Dur dan pada masa lalunya di Azhar mampu menjadi sumber inspirasi mahasiswa,” kata M. Jauharul Afif, anggota LDNU Mesir saat memberikan keterangan seusai acara peringatan 40 hari atas meninggalnya Gus Dur di Sekretariat PCINU Mesir, Selasa (9/2) malam.
Selama belajar di Al-Azhar tersebut, Gus Dur tinggal di asrama Bu’uts. Gus Dur sekalipun hanya dua tahun berada di Mesir, namun bagi banyak orang, ia adalah seorang yang berani mempraktikkan semboyan bahwa mencari ilmu tidak cukup di bangku kuliah saja.
Hal ini terbukti bahwa selama Gus Dur belajar di Mesir banyak menghabiskan waktuya di perpustakaan untuk membaca buku dan mendalami segala disiplin ilmu. Hal ini juga pernah diutarakan oleh Ir H Iqbal Sullam, Wasekjen PBNU pada sambutannya setahun yang lalu ketika beliau melakukan kunjungan ke Mesir.
Peringatan 40 hari Gus Dur itu diisi dengan pembacaan surah Yasin dan Tahlil yang dalam hal ini dipimpin oleh Itho’ Athoillah, mahasiswa Al-Azhar asal Tebuireng Jombang dan do’a dipimpin oleh H Subhan Malik, mahasiswa asal Tambak Beras Jombang.
Selain acara tersebut, juga dilaksanakan shalat ghaib atas meninggalnya KH Ahamad Hafidz Ahmad, pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, putra dari KH Ahmad Bisri yang juga masih sepupu Gus Dur.
Selain PCINU Mesir, Ikatan Alumni Tebuireng yang berada di Mesir pada malam sebelumnya juga melaksanakan kegiatan yang sama bertempat di sekretariat Tebuireng Center (TC) dan mengundang seluruh anggota alumni almamater pesantren berbasis NU yang berada di Mesir.
Sebagian sikap dan pemikiran Gus Dur mendapat apresiasi dari beberapa ulama Syiah Indonesia.
“Gus Dur selalu menganjurkan kebaikan kepada kelompok minoritas, termasuk kita yang berpegang pada madzhab Ahlul Bait, Syiah. Kita merasa dibela Gus Dur dari beberapa kelompok yang akan membubarkan Syiah. Gus Dur juga selalu mengatakan bahwa Syiah itu adalah NU plus imamah dan NU itu adalah Syiah minus imamah. Bahkan beliau orang yang pertama di Indonesia yang bukan Syiah yang menggelar peringatan Asyura di Ciganjur,” kata salah seorang ulama Syiah Indonesia, Hasan Dalil
.
Namun satu hal yang menarik dari Gus Dur, kata Hasan Dalil, tidak pernah marah dan tersinggung jika dikritik. Hasan Dalil pun punya kesan pribadi dengan Gus Dur.
“Kita ulama Syiah datang pada beliau. Saya sebutkan pada beliau di kalangan atas elit dan intelektual, sudah memahami madzhab Ahlul Bait dan menghormati Ayatullah Imam Khomaini. Namun di kalangan sebagian NU di bawah ada yang masih berlaku keras pada kelompok Syiah. Saya contohkan peristiwa di Bangil. Ternyata Gus Dur langsung menelpon ulama NU Bangil dan memerintahkan untuk menjaga kelompok syiah dan mencegah segala bentuk kekerasan. Ini luar biasa,” kata Hasan Dalil
ajaran NU bukan mirif lagi dengan Syi'ah rafidhah sama persis
BalasHapusinnovation Islam he..he...dholallah.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus