Shallallahu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah
Shallallahu ‘alaika ya Mazlum bi Karbala
Shallallahu ‘alaika ya Syahid bi Karbala
Salam sejahtera bagimu ya Aba ‘Abdillah al-Husain bin ‘Ali (as.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Rasulullah (saw.)
Salam sejahtera bagimu wahai putra Fatimah az-Zahra. (as.) baca selengkapnya
Pertama-tama marilah kita dengar beberapa sabda Nabi Muhammad saw.
tentang Husain “Husainun minni wa ana min Husaini. Ahabballah man ahabba
Husaina. Husain sibthun minal asbath. “
(Husain adalah bagian dari diriku, dan aku adalah bagian dari diri
Husain. Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husain, dan Husain
adalah cucu istimewa dari cucu-cucuku”.
Hadis lain, “Innal Hasana wal Husain Sayyida syababi Ahlil Jannah”, Sungguh Hasan dan Husain adalah dua pemuka pemuda sorga.
Ibnu Hajar mencatat dalam kitabnya at-Tahzib riwayat Ummu Salamah,:
“Suatu hari Hasan dan Husain sedang bermain di rumahku, di hadapan
datuknya Rasulullah saw. Tidak lama berselang, malaekat Jibril datang.
Dia berkata sambil menunjuk ke arah Husain, “ya Muhammad, kelak ummatmu
akan membunuh putramu ini. Mendengar itu Nabi kemudian menangis.
Dipanggilnya Husain dan dipeluknya erat-erat ke dadanya. Kemudian Nabi
memanggilku, kata Ummu Salamah, dan memberiku sebongkah tanah. Setelah
mencium bongkahan tanah itu, Nabi berkata, “ya Ummu Salamah, di tanah
ini ada bau Karbun wa Bala’. Kelak apabila ia berubah menjadi darah,
ketahuilah bahwa di saat itu putraku ini syahid bermandikan darah.’
Lima puluh tahun setelah wafat baginda Rasulullah saw, tepatnya
tanggal10 Muharram tahun 61 Hijriah, tragedi Karbala yang diucapkan oleh
Nabi tersebut menjadi kenyataan. la bermula dari keengganan Husain as.
untuk memberikan bai’at kepada Yazid bin Mu’awiyah sepeninggal ayahnya.
Kepada al-Walid, gubernur Madinah, Imam Husain berkata, ” Ayyuhal
Amir! Kami adalah Keluarga Nabi, Tambang Risalah, Tempat Kunjungan para
malaekat, dan pusat rahmat Illahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan
mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik,
peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan
melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan
memberinya bai’at…”
Ketika Husain didesak oleh orang-orang Mu.awiyah, terutama oleh
Marwan bin Hakam, seorang yang dikatakan oleh Nabi sebagai al-la’in
ibnul la’in, dengan nada yang tinggi Husain berkata, “Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un… Apabila bai’at ini diberikan kepada Yazid, itu
berarti pengkhianatan kepada agama Islam. Bagaimana mungkin ummat ini
akan dibiarkan dipimpin oleh orang seperti Yazid.” Husain kemudian
berkata: ‘Wahai musuh Allah! Enyahlah engkau dariku. Kami adalah
keluarga Rasulullah. Kebenaran ada pada kami. Dan al-haq pasti keluar
dari lisan kami. Kudengar sendiri N abi bersabda, “Hak Khilafah adalah
haram bagi keluarga Abu Sufyan dan bagi at- Thulaqa. ibnut Thalaqa.,
(yakni anak keturunan para tawanan Makkah kalian lihat Mu’awiyah berada
di atas mimbarku, maka tikamlah perutnya. Demi Allah penduduk kota
Madinah telah melihat Mu’awiyah duduk di atas minbar datukku, dan mereka
tidak melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Nabinya. Itulah
kenapa akhimya mereka ditimpakan oleh Allah bencana anaknya Yazid,
Zadahullah fin nari ‘adzaban, (semoga Allah lebih menimpakan adzab yang
pedih kepadanya di api neraka).
Suasana mencekam di kota Madinatur Rasul karena ancaman Yazid atas
nyawa Husain menyebabkan Husain berpikir untuk pergi ke kota Mekah.
Sebelum pergi, Husain as. berkunjung ke pusara datuknya di tengah malam
gulita, sambil berkata:
Assalamu ‘alaika ya Rasulallah!
Anal Husain ibnu Fathimah. Ana Farkhuka
wabnu Farkhika…
Salam sejahtera kepadamu wahai Rasulallah Aku adalah Husain putranya
Fatimah. Aku adalah anakmu dan anak dari putrimu. Aku adalah cucumu yang
kautinggalkan kepada ummatmu. Saksikanlah wahai Nabi Allah bahwa mereka
telah menghinaku dan mengabaikan hak-hakku serta tidak memeliharaku.
Inilah keluhanku kepadamu hingga kelak aku berjumpa denganmu…”
Kemudian Husain berdiri shalat, ruku’ dan sujud sepanjang malarnnya
di samping pusara kekasihnya Rasulullah saw. Usai shalat Husain berdo’a:
Allahumma! Inna hadza qabru nabiyyika Muhammad… YaAllah! Ini adalah
pusara Nabi-Mu Muhammad, sementara aku adalah putra dari putrinya
Muhammad. Engkau Mahatahu derita yang apa kini datang kepadaku.
Allahumma ya Allah! Sungguh aku cinta pada yang ma’ruf dan benci pada
yang munkar. Aku bermohon kepada-Mu ya Dzal Jalali wal Ikram, demi
pusara ini dan demi penghuninya, agar Kau pilihkan untukku sesuatu yang
di dalarnnya Kau redha padaku.””
Menjelang subuh, Husain kemudian meletakkan kepalanya ke pusara
datuknya. Di sana kemudian ia sejenak tertidur. Dalam tidur itu ia
melihat datuknya datang dengan serombongan malaekat kepadanya.
Dipeluknya Husain erat-erat ke dadanya. Diciumnya antara kedua matanya.
Kemudian Nabi berkata, “Wahai putraku Husain! Sepertinya sebentar lagi
kau akan terbunuh dan tersembelih di sebuah tempat dan bumi karbun wa
bala’. Di sana kau dikepung oleh sekumpulan orang dari ummatku, dalam
keadaan kau haus dan tidak diberi air minum. Tapi mereka masih
mengharapkan syafaatku di hari kiamat. Demi Allah, kelak aku tidak akan
memberi mereka syafaat di hari kiamat…”
Setelah kunjungan terakhir ke pusara Rasulullah saw., Husain kemudian
berangkat ke kota Mekah bersama seluruh anggota keluarganya. Syaikh
Mufid meriwayatkan, di saat Husain meninggalkan kota Mekah, Husain
membaca ayat yang ada dalam surah al-Qashas (28) ayat 21, “fa kharaja
minha khaifan yataraqqabu, qala rabbi najjini minal qaumidz dzalimin…”
(Maka (Musa) keluar dari (kota) itu dengan ketakutan seraya berhati
hati. Dia berkata, “ya Tuhanku, selamatkan aku dari kaum yang zalim.)
Husain tiba di kota Mekah pada tangga13 Sya’ban tahun 60 H. Di sana
beliau dan keluarganya menetap sepanjang bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal
dan Dzulkaidah.
Sepanjang empat bulan itu Husain berjumpa dengan sebagian dari
sahabat-sahabat Rasul yang masih hidup tak terkecuali Ibnu ‘Abbas, Ibnu
Umar, Ibnu Zubair dan sebagainya. Kepada mereka Husain sampaikan niatnya
untuk tidak memberikan bai’at sedikitpun kepada Yazid, meskipun untuk
itu ia akan berhadapan dengan kekerasan. Ketika sebagian dari mereka
menasehati Husain untuk berdamai saja dengan Yazid, Husain malah
menjawab, “Apakah aku akan berikan bai’at kepada Yazid dan berdamai
dengannya, sementara Nabi saw. telah berkata sesuatu yang jelas
tentangnya dan tentang ayahnya.”
Ibnu Umar mendesak Husain agar pulang saja ke kota Madinah untuk
menghindari pertumpahan darah. ‘fidak perlu Husain memberikan bai’at,
tapi juga jangan menentang Yazid. Sebab wajah semulia Husain tidak layak
ditumpahkan dan mandi bersimbahkan darah di hadapan Yazid al-mal’un.
Tapi Husain menjawab ajakan Ibnu Umar dengan kata-katanya yang terkenal:
. “Ya Ibnu Umar! Mereka tidak akan membiarkan aku begitu saja. Mereka
akan tetap memaksaku membai’atnya atau membunuhku. Dengarkan baik-baik
wahai hamba Allah! Di antara sebab mengapa dunia ini sangat hina di sisi
Allah adalah sebuah tragedi dimana kepala Nabi Yahya bin Zakaria
dipenggal oleh kaurnnya dan kemudian ia dijadikan sebagai hadiah yang
diberikan kepada pemimpin mereka yang zalim. Padahal kepala itu
berbicara kepada mereka dan menyempurnakan hujahnya di hadapan mereka
semua. Wahai hamba Allah! Jangan engkau lari dari membelaku. Ingatlah
aku di saat-saat shalatmu. Demi Allah yang telah membangkitkan datukku
Muhammad sebagai Nabi yang bashiran wa nadzira, seandainya ayahmu Umar
bin Khattab hidup di zaman ini, niscaya dia akan membelaku seperti dia
membela datukku. Wahai putra Umar! Apabila engkau tidak bersedia keluar
bersamaku dan berat bagimu ikut bersamaku, maka itu kumaafkan. Namun
jangan lupa untuk mendoakan aku setelah shalat-shalatmu. Jauhi mereka
dan jangan kau berikan bai’at kepada mereka sampailah segala perkara
menjadi jelas.”
Selama Husain berada di Mekah, ratusan bahkan ribuan surat datang
kepadanya dari arah Kufah, Bashrah dan sekitarnya memintanya segera
datang ke sana untuk dijadikan sebagai Imam mereka dalam menumbangkan
kezaliman Yazid.
“Innahu laisa ‘alaina Imam. Fa aqbil la’allaha an yajma ‘ana bika
‘alal haq”, (Kami tidak punya Imam. Datanglah ke mari. Mudah-mudahan
Allah akan menyatukan kami denganmu di atas jalan kebenaran)” Begitu
yang mereka tulis kepada Imam Husain.
Pada tanggal delapan Dzulhijjah tahun 60 H. Husain meninggalkan kota
suci Mekah menuju Irak. Malam sebelumnya ia sempat berjumpa dengan
saudaranya Muhammad bin al-Hanafiah. Saudaranya ini mengusulkan kepada
Husain agar pergi saja ke tempat lain yang lebih amman, ke Yaman
misalnya. Namun Husain meminta waktu untuk memikirkannya. Pada pagi
harinya ketika ia berjumpa kembali dengan Husain, Muhammad al-Hanafiah
menuntut janji jawaban Husain. Husain kemudian berkata, “Wahai
saudaraku! Setelah kita berpisah tadi malam, aku berjumpa dengan datukku
Muhammad saw. Katanya, “ya Husain ukhruj, fainnallaha qad syaa an
yaraka qatilan” (ya Husain! Keluarlah, sebab Allah telah menghendaki
melihatmu terbunuh (di jalan-Nya). “Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un…” Gumam Hanafiah.
Hari kesepuluh dari bulan Muharram tahun 61 Hijriah, adalah hari yang
paling menyedihkan bagi keluarga Nabi saw. Betapa tidak. Di hari itu
pasukan Husain yang berjumlah lebih kurang 78 orang telah dihadang oleh
tak kurangdari 30,000 pasukan yang berkuda dan bersenjata lengkap untuk
siap membantainya dan menawan putra-putrinya.Di
sisi lain, air sungai Furat yang terbentang panjang dan menghidupi
makhluk-makhluk padang Karbala, hatta anjing sekalipun, pada hari itu
diharamkan bagi putra- putri Nabi yang suci ini.
Sejak pagi Asyura Imam Husain berupaya menyadarkan mereka untuk tidak
memerangi keluarga Nabi ini. Dia berusaha maksimal untuk menghentikan
petumpahan darah yang akan berakibat fatal bagi kehidupan mereka
setelahnya. Sampai-sampai Husain berteriak lantang, “
“Ayyuhan nas! Dengarlah kata-kataku, dan jangan kalian terburu-buru
ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana
kalian berhak untuk mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri
kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi
kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku.
Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian, dan putra washinya,
orang pertama yang beriman kepada Nabi-Nya? Bukankah Hamzah, penghulu
para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar, yang memiliki
dua sayap di syurga kelak adalah pamanku? Bukankah kalian pernah
mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa dua putra ini
adalah pemuka pemuda syurga?”
Kata-kata Husain tidak banyak mengusik hati mereka yang telah beku.
Tapi Husain terus berupaya maksimal untuk menyentuh hari nurani mereka.
Sampai beliau berkata secara emosional,
“Ayyuhan Nas, ama min mughitsin yughitsu ‘anna…, apakah masih ada
orang yang mau membela kami keluarga Rasul. Apakah masih ada orang yang
mau menolong kami sebagai keluarga Rasul? Apakah salah kami? Apakah dosa
anak-anak dan wanita kami sehingga kalian haramkan mereka dari air
Furat itu?
Kata-kata Husain terakhir tiba-tiba mengusik perasaan al-Hur bin
Yazid ar-Riyahi, salah seorang dari pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad.
Sejenak ia mundur dan mencari tempat yang tepat, akhirnya ia menyebat
kudanya untuk bergabung bersama Husain. Al-Hur dengan suara yang penuh
sesal berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah masih ada kesempatan
bagiku untuk bertaubat? Kumohon maafmu ya Husain, karena telah
menakut-nakuti hati para kekasih Allah dan putra-putri Nabi Allah”
“Na’am. Taballahu ‘alaika. Semoga Allah menerima taubatmu ya Hur. Kata
Husain, “Anta hurrun kama waladatka ummuka hurra. Khawatir
sahabat-sahabat lain menyusul Hur, tiba-tiba Umar bin Sa’ad, pimpinan
pasukan musuh melesatkan anak panahnya ke arah Husain sebagai tanda
dimulainya perang. Sambil berteriak Umar berkata: “Saksikan di hadapan
Amir bahwa aku adalah orang pertama yang melemparkan anak panahnya
kepada Husain.” Dan berikutnya ribuan anak panah dilesatkan ke arah
Husain, keluarganya dan sahabat- sahabatnya.
Peperangan yang tidak seimbangpun berkobar. Sahabat Husain satu demi satu maju dan kemudian gugur, disusul pula oleh keluargnya. Orang pertama adalah putranya yang bemama Ali al-Akbar, seorang anak remaja yang mempunyai wajah yang betul-betul mirip dengan wajah datuknya Rasulullah saw.
Melihat putranya ini Husain terisak menangis. Dipeluknya erat-erat
putra kesayangannya ini. Sambil mengangkat janggutnya yang telah
memutih, Husain berdo’a, “ya Allah, saksikanlah betapa tega dan kejamnya
kaum ini. Muncul di hadapan mereka seorang yang mempunyai wajah, sifat
dan kata-kata yang sangat mirip dengan Rasul-Mu Muhammad. Bahkan ketika
kami rindu kepada Rasul-Mu, kami akan memandangi wajah anak ini. Ya
Allah, haramkan bagi mereka keberkahan perut bumi ini. Porak- porandakan
mereka. Mereka telah mengundang kami dan berjanji untuk membela kami,
tiba-tiba mereka jugalah yang memusuhi kami dan memerangi kami.”
Ali al-Akbar maju ke medan perang dengan sangat tangkas sehingga
mengingatkan orang akan keperkasaan datuknya Ali bin Abi Thalib as.
Riwayat berkata, setelah lebih dari seratus orang tewas di tangannya,
Ali kembali ke kemah ayahnya dengan luka-luka yang cukup banyak. Dia
berkata, “Ya abatah, (duhai ayahanda yang mulia), haus, haus. Rasa haus
benar-benar telah mencekikku sehingga terasa benar beratnya besi
ini.Adakah sedikit air yang bisa memberiku sedikit tenaga?’
Husain memeluk erat putra kesayangannya ini. Sebentar kemudian dia
julurkan lidahnya yang suci ke mulut anaknya yang suci. “Demi Allah,
lidah Husain sendiri lebih kering dari ranting-ranting yang kering
hadapan yang ada di padang Karbala.” Husain berkata, “Sebentar lagi kau
pasti akan berjumpa dengan datukmu Muhammad yang tengah menunggumu
dengan segelas air dari telaga al-kautsar. Bersabarlah wahai putraku,
bersabarlah…”
Ali al-Akbar kembali ke medan perang. Gerak- geriknya diperhatikan
oleh ayahnya yang sudah mulai tua itu. Tak lama berselang, tiba-tiba
Husain menyaksikan bagaimana anak yang masih muda ini ditikam oleh
musuh-musuhnya dari berbagai arah. Ada yang memukul kepalanya, menusuk
dadanya, menikam perutnya, bahkan ada yang melemparkan anak panahnya
sehingga jatuh persis ke lehemya. Ali al-Akbar sempat berteriak
memanggil-manggil ayahnya,” ya abatah (duhai ayah)’alaika minnis salam.
Kini kusaksikan datukku Rasulullah saw, mengucapkan salam kepadamu dan
memintamu agar segera datang menemuinya…” Husain mendatangi putranya ini
sambil mengibas-ngibaskan pedangnya ke setiap orang yang
menghalanginya. Husain memeluk wajah Akbar yang bersimbahkan darah suci.
Husain berkata, “qatalallahu qauman qataluka ya bunayya…, semoga Allah
membunuh suatu kaum yang telah membunuhmu wahau putraku. Alangkah
beraninya mereka terhadap Allah; dan alangkah nekatnya mereka menganiaya
keluarga Rasulullah Sungguh, wahai putraku, apalah artinya dunia ini
bagiku setelah kepergianmu…”
Kini giliran Husain, tapi sebelum itu dia minta dibawakan bayinya Ali
ar-Radhi’. Maksud Husain adalah ingin mencium dan memeluk sebagai
pertemuan terakhirnya. Sambil memegang bayi yang tak berdosa ini, Husain
terus berteriak:
Apakah masih ada orang bertauhid yang masih takut kepada Allah. Apakah masih ada orang yang mau
menolong kami. Apakah masih ada orang yang mau membela keluarga Rasulullah.
Tengah Husain memeluk dan ingin mengecup anak yang suci ini,
tiba-tiba Harmalah bin Kahil melesatkan anak panahnya ke arah leher Ali
ar-Radhi’. Demi Allah, anak panah itu menembus lehemya.
Pekikan suara Ali ar-Radhi’ sangat menyayat hati. Husain
menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tak percaya betapa kejamnya
manusia-manusia durjana itu.
Kini Husain benar-benar sendirian. Seluruh keluarga dan sahabatnya gugur syahid satu persatu di hadapannya. Dia berdiri sendirian di kemahnya yang semakin kosong. la bergumam menyebut-nyebut kebesaran Asma’ Allah. Sekali- sekali Husain melihat kemah putri-putrinya, kemudian ia menatap kembali lautan musuh yang tengah menanti untuk menyergapnya. Akhimya Husein melangkahkan kakinya mendatangi kemah wanita untuk melihat putri-putri Fatimah az-Zahra’ as. Suara Husain kini tidak lagi lantang. Air matanya sudah terkuras habis. Dadanya sesak menahan napas panjang. Kerongkongannya kering dan panas. Dengan suaranya yang parau dan terbata- bata, dia memanggil satu persatu putri-putri Fatimah az-Zahra':
” Assalamu alaiki ya Sakinah! Terimalah salamku wahai Sakinah.” ”
Assalamu alaiki ya Fatimah! Terimalah salamku wahai Fatimah:’ ” Assalamu
Alaiki ya Zainab! Terimalah salamku wahai Zainab.” ” Assalamu Alaiki ya
Ummu Kalthum! Terimalah salamku wahai Ummu Kalthum.”
Sakinah yang kecil memeluk erat tubuh ayahnya yang kini kesendirian itu.
“Ya abatah. Ayah! Apakah salammu ini pertanda bahwa kau akan pergi
meninggalkan kami? Apakah ini pertanda perpisahanmu dengan kami?” Husain
merangkul putrinya yang mungil ini sambil berbisik:
” Wahai putriku Sakinah! Apakah mungkin maut tidak menjemput orang
yang tidak ada pembela dan kesendirian ini. Bersabarlah putriku! Usaplah
air matamu. Bersabarlah, kau akan lebih banyak lagi menangis setelah
kematianku. Tolong jangan kau bakar hati ini sebelum ruhku meninggalkan
badan ini. Kelak setelah aku gugur, menangislah putriku dan
menangislah!” Husein memeluk satu persatu putri-putrinya yang tidak
berdosa. Juga adik-adik wanitanya yang bersamanya di Karbala, Zainab dan
Ummu Kaltsum. Kemudian dia datang memeluk Ali Zainal Abidin yang sedang
berbaring lantaran sakit keras. Mas’udi dalam kitabnya Ithbat
al-Washiyyah meriwayatkan, Husain kemudian berwasiat kepada putranya
yang sedang sakit ini al-Ism al-A’zam dan peninggalan-peninggalan waris
para Nabi. Kemudian Husain juga menyampaikan bahwa ia telah menitipkan
ilmu-ilmu, kitab-kitab, mushaf-mushaf dan senjata warisan kepada Ummu
Salamah r.a.
Usai pamit dengan keluarganya tercinta, Husain kemudian menunggang
kudanya yang membawanya berhadapan dengan musuh-musuhnya yang berjumlah
lebih dari tiga puluh ribu serdadu. Husain masih berupaya untuk
menyadarkan mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Husain masih
tetap ingin meyempumakan hujjahnya kepada orang- orang yang sepertinya
sudah ditutupkan oleh Allah hatinya. Tapi hati mereka tak bergeming.
Tiba-tiba Umar bin Sa’ ad berteriak:
“Celaka kalian! Tahukah kalian dengan siapa kalian berperang? Inilah
putra singa orang-orang Arab. Inilah putra Ali bin Abi Thalib. Serang
dia dari berbagai sisi.”
Perintah Umar bin Sa’ ad kemudian diikuti dengan lemparan empat ribu anak panah yang dilesatkan
untuk menembak Husain.
Dengan gagahnya Husain tetap berdiri kokoh, walaupun sebagian anak
panah mengenai badannya yang mulia. “Kalian mengancamku dengan maut;
kalian menakut-nakuti aku dengan anak panah. Demi Allah mati adalah
lebih mulia ketimbang harus tunduk pada kezaliman. Syahid di jalan Allah
lebih mulia ketimbang tunduk pada kehinaan. Husain berkata:
Mati lebih utama ketimbang melakukan keaiban dan lebih utama daripada
masuk ke dalam api neraka akulah Husain putra Ali tidak pemah mundur
dalam membela kebenaran. Kukan pertahankan keluarga ayahku. Kukan
teruskan berjalan di atas agama sang Nabi.
Peperangan yang tak seimbang antara Husain dengan pasukan Umar bin
Sa’ ad sudah tak terelakkan lagi. Tidak sedikit dari kalangan pasukan
Ibnu Sa’ ad yang tewas di tangan Husain.
Dalam keadaan letih dan haus yang amat sangat, Husain kemudian duduk
ingin sejenak beristirahat. Riwayat berkata, tiba-tiba Abul Hatuf
membidikkan panahnya yang kemudian jatuh persis mengenai dahinya Husain.
Dengan tangannya yang mulai putranya lemah, Husain berupaya mencabut
anak panah itu perlahan-lahan. Dahi Husain yang sering digunakannya
untuk bersimpuh sujud di hadapan al- Khaliq, kini menyemprotkan darah
suci dan segar tentang pada pasir Karbala. Wajah Husain berubah merah.
Janggutnya yang putih kemilau kini bermandikan darahnya yang segar.
Husain berkata:
Ya Allah! Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambaMu yang durhaka ini
terhadapku.
Ya Allah, hancurkan mereka, habisi mereka, dan jangan Kausisakan
satupun dari mereka di atas muka bumi ini, dan jangan juga Kauampuni
mereka.
Husain kemudian berdiri lagi meneruskan perlawanannya sampai kemudian
dia merasa keletihan lagi. Sejenak ia beristirahat, tiba-tiba sebuah
batu besar dilemparkan ke arah dahinya dan persis mengenai lukanya.
Darahnya yang suci kini lebih banyak mengalir membasahi seluruh
tubuhnya. Husain meringis kesakitan. Luka-luka yang mengenai tubuhnya
membuatnya tak berdaya. Imam Husain kemudian mengangkat tangannya untuk
mengambil ujung bajunya guna mengusap darah yang mengalir di dahinya.
Tiba-tiba sebatang anak panah beracun yang bermata tiga dibidikkan
persis ke arah dadanya. Dada Husain luka. Jantung Husain robek. Anak
panah tembus sampai ke belakang Husain. Husain menundukkan kepalanya
sambil memegahg-megang dadanya yang memancurkan darah segar Nabi yang
mulia. Dengan suara yang terbatah-batah Husain berdo’ a:
Dengan Asma’ Allah
dengan bantuan Allah
dan di atas agama Rasulullah
Ilahi, Engkau Mahatahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra NabiMu yang masih ada di atas muka bumi ini.
Husain kemudian mencabut anak panah itu dari belakangnya, yang
kemudian memuntahkan darah segar nan suci. Perawi berkata, Husain
kemudian menampung darah-darahnya itu dengan kedua tangannya, lalu
dilemparkan ke arah langit. Demi Allah! Tidak setetespun dari darah itu
kemudian kembali ke bumi.
Kemudian Husain menampung lagi darah yang masih mengalir deras dengan
kedua tangannya. Kemudian ia usap-usapkan ke wajahnya, janggutnya, dan
tubuhnya sambil berkata:
Seperti inilah aku akan bertemu dengan datukku Rasulullah saw dalam
keadaan badan ini bersimbah darah Kelak akan kukatakan kepadanya bahwa
yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan. Melihat Husain tergeletak lemah,
Umar bin Sa’ ad berteriak, “Turun kalian dan penggallehemya…” Maka
turunlah sebagian makhluk-makhluk durjana itu untuk menghina Husain.
sebagian memukuli amamah atau sorban Husain sampai kepalanya luka;
sebagian menusukkan pedangnya ke perut Husain; sebagian yang lain
menyabetkan pedangnya ke punggung Husain. sedemikian buruk perlakuan
mereka kepada Husain yang sudah jatuh lemah itu, sampai Imam Baqir as.
berkata, “Hatta kepada anjingpun, mereka dilarang memperlakukannya
seumpama itu. Husain telah ditusuk dengan pedang, dipukul dengan tombak,
dilempar dengan batu, dipukul dengan kayu dan tongkat; bahkan dinjak-
injak dengan kuda…”
Tidak sekedar itu. Jiwa iblis Umar bin Sa’ ad masih belum puas.
Dendam Ibnu Ziyad terhadap Husain masih belum tuntas. Meskipun Husain
kini telah tergeletak layu bersimbah darah, dalam keadaan badan nyaris
tidak lagi bemyawa, mereka kobarkan api permusuhan sedalam-dalamnya
terhadap Husain.
Umar bin Sa’ad memerintahkan orangnya untuk turun menghabisi Husain.
Shimir dan Sinan bin Anas turun dari kudanya. Melihat mereka Husain
masih terengah-engah meminta air. “Sungguh, aku haus, aku Husain haus!”
Kata Husain. Syimir kemudian menendang dengan sepatunya yang keras.
Dengan suaranya yang keras dia berkata, “Wahai putra Abu Turab! Bukankah
engkau berkata bahwa ayahmu akan memberi air di telaga al-kautsar
kepada orang yang dicintainya. Mintalah dari ayahmu…!” Syimir kemudian
duduk di dada Husain. Dia pegang janggut Husain yang sudah bermandikan
darah. Dengan senyum Husain berkata kepada Syimir, “Apakah engkau tidak
kenal aku dan akan membunuhku?” Syimir menjawab, “Ya, Aku mengenalmu
dengan baik. Ibumu Fatimah az-Zahra'; ayahmu Ali al-Murtadha, dan
datukmu Muhammad al-Mustafa, pembelamu adalah Allah Ta’ala. Aku tidak
perduli semua itu…”
Dalam sebuah riwayat, Syimir berusaha memenggal leher Husain dari
arah depan. Namun dia gagal. Kemudian dia membalik Husain dengan sangat
kasar dan menebaskan pedangnya dari arah belakang Husain…” setiap kali
urat leher Husain terpotong, Husain berteriak, “Wa abatah, wa ummah, wa
jaddah, wa ‘aliyyah (duhai ayah, duhai ibu az- Zahra’, duhai datukku
Mustafa dan duha ayahku Ali…”
Riwayat berikutnya kemudian berkata,
“Mereka kemudian turun beramai-ramai dari kudanya untuk merampas
setiap barang yang ada di tubuh Husain yang mulia. Bahar bin Ka’ab
melucuti celana Husain; Akhnas bin Marthad menarik sorban. Husain; Aswad
bin Khalid merampas sandal Husain; Umar bin Sa’ ad mengambil baju
perang Husain; Jami’ bin al-Khalq merebut pedang Husain. Yang lebih
tragis lagi, Bajdal bin Sulaim mengambil cincin Husain. Kata perawi,
semula Bajdal mencoba keras menarik-narik cincin Husain. Tapi dia tidak
berhasil. Kemudian dia mengambil jalan pintas. Dihunuskan pedangnya ke
arah jari-jari Husain, dan … karena sepotong cincin, ia potong jari
Husain.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar