Versi
yang agak ringkas dari tulisan ini dipublikasi harian Radar Banten pada 6 Agustus 2014
“Ilmu adalah landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam (derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta memperkokoh keyakinan” (Dipetik dari kitab “Shahifah as Shadiqiyyah” Imam Ja’far as Shadiq As). “Jika karena bukan dua tahun, niscaya Nu’man celaka,” demikian suatu ketika Abu Hanifah berkata saat ingin menggambarkan jasa gurunya di mana ia telah belajar selama dua tahun kepada sang guru yang ia maksud, yang tak lain adalah Imam Ja’far as Shadiq RA. Dan seperti telah kita ketahui, Nu’man adalah nama asli Abu Hanifah, sang pendiri mazhab Hanafi.
Sementara itu, keluasan ilmu, pemahaman, dan pengetahuan Imam Jafar as Sadiq membuat banyak orang berduyun datang kepada beliau untuk mendapatkan cahaya ilmunya, yang seakan mewarisi samudra ilmunya Sayyidina Ali dan Nabi SAW, dua leluhur beliau. Cahaya ilmu yang dimiliki oleh Imam Jafar as Shadiq, tak hanya ilmu keagamaan namun juga menguasai fisika, kimia, matematika, dan ilmu pengobatan. Imam Jafar al Shadiq adalah putra tertua Imam Muhamad al Baqir yang merupakan ahlul bait Nabi Muhammad. Nama pendeknya adalah Ja’far, namun kemudian ia dikenal pula dengan sebutan al Shadiq dan Abu Abdallah, yang kemudian beliau lebih sering dipanggil dengan sebutan Imam Jafar al Shadiq. Beliau lahir di Madinah, pada Senin, 17 Rabiul Awwal 83 H atau 20 April 702 M. Baik tanggal, hari dan bulan kelahiran Ja’far al Shadiq sama dengan masa kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ibunya adalah Ummu Farwah yang biasa dipanggil Fatimah, putri dari al Qassim putra Muhammad bin Abu Bakar. Dengan demikian, Umm Farwah ini merupakan keturunan sahabat Nabi Muhammad, yaitu Abu Bakar Siddik.
Pada saat kelahiran Imam Ja’far al Shadiq ini, ayahnya, Imam Muhammad al Baqir berusia 26 tahun dan kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad bin Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah masih hidup. Hingga umur 12 tahun, Imam Ja’far al Shadiq mendapatkan tempaan ilmu ketuhanan dari kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin as Sajjad. Setelah itu, hingga berumur 31 tahun ia mendapatkan bimbingan dari ayahnya sendiri, Imam Muhammad al Baqir yang mengajarkannya ilmu hadits. Untuk ilmu hadis ini, beliau memiliki dua sumber pengetahuan yaitu dari ayahnya melalui Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah dan kakek ibunya al Qassim bin Muhammad bin Abu Bakar Siddik. Kemudian beliau memperluas ilmu pengetahuan haditsnya dengan berguru pada ulama lainnya yaitu Urwa, Aata, Nafi, dan Zuhri. Dua Sufyan yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan ibn Uyayna. Di kemudian hari, Imam Malik pendiri mazhab Maliki, Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi, dan al Qattan banyak meriwayatkan hadis melalui dari beliau, demikian pula dengan ulama lainnya. Beliau juga dikenal sebagai mufasir Al-Qur'an, ahli hukum Islam, dan mujtahid terbesar Islam di Madinah.
Dengan keluasan ilmu agamanya dan ilmu non-agamanya tersebut, tak heran jika banyak kalangan yang belajar dari Jafar al Shadiq seperti Abu Hanifah yang telah disebut, yang adalah pendiri mazhab Hanafi itu, yang menimba ilmu darinya selama dua tahun tersebut menyatakan bahwa Imam Ja’far al Shadiq memiliki ketinggian ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Demikian pula dengan Imam Malik bin Anas yang merupakan pendiri mazhab Maliki. Tak ayal lagi, jika dikatakan bahwa Imam Ja’far al Shadiq telah melahirkan ribuan ulama hadits dan sarjana agama, bahkan merupakan guru dari sejumlah ilmuwan dan saintis muslim.
Jihad Intelektual Sang Mahaguru
Jika dilihat dan ditelaah secara cermat, sebagaimana para ulama dan sejarawan muslim mencatatnya, semisal at Thabari dan as Suyuthi, keadaan masyarakat pada masa Imam Jafar as Shadiq sudah sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw. Sebut saja maraknya aliran-aliran yang mulai menciptakan ajaran-ajaran mereka sendiri seperti mu’tazilah, zandaqah, ekstrimisme dan lain-lain yang membuat perbedaan dalam Islam semakin mencolok. Hal ini terjadi lantaran perbuatan para pemimpin Bani Umayyah maupun Abbasiyah yang berusaha memisahkan Umat Islam dari Ahlulbait Muhammad al Mustafa. Ya, di tangan penguasa itu agama hanya dijadikan alat propaganda demi melanggengkan kekuasaan mereka semata. Mereka menyewa ulama yang hubbud-dunya untuk menyebarkan politik-politik kotor mereka. Hal ini dapat dilihat dalam penyelewengan-penyelewengan dalam Islam, dari penyelewengan tafsir al Qur’an hingga sejarah Nabi Saw (Lihat Ja’far Shadiq Sang Mahaguru, Al-Huda ICC Jakarta 2008).
Penyelewengan Terhadap Tafsir al Qur’an
Para penguasa Bani Umayyah menggunakan kisah-kisah Israiliyat (khayalan-khayalan) untuk menafsirkan ayat-ayat al Qur’an. Seperti yang diriwayatkan bahwa Muawwiyah berkata kepada Ka’ab, “kamu berpendapat bahwa Zulkarnain mengikat kudanya pada bintang-bintang?” Ka’ab menjawab: jika kamu berkata demikian maka sesungguhnya Allah telah berfirman ‘dan kami telah memberikan kepadanya sebab (untuk mencapai) segala sesuatu”. Maksudnya ialah Ka’ab meyakini kalau Zulkarnain mengikat kudanya pada bintang-bintang. Sungguh akal akan menolak hal ini. Walaupun apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, akan tetapi ini tidak membuat Allah akan bertindak seenaknya, karena hal itu berarti Allah telah berbuat dzalim terhadap hambaNya. Dan mustahil Allah berbuat dzolim
Penyelewengan Terhadap Hadits Nabi Saw
Diriwayatkan
dalam Shahih Tirmidzi bahwa Nabi Muhammad Saw berdo’a untuk
Muawwiyah bin Abu Sufyan “Ya Allah, jadikanlah ia sebagai orang yang
memberi petunjuk dan tempat memberi petunjuk serta berilah petunjuk dengannya”.
Di sini kita dapat melihat sendiri, dengan mudahnya perkataan suci Nabi Saw
dibuat-buat seenaknya oleh para penguasa demi kepentingan politik semata.
Pantaskah Nabi Saw mendoakan seorang pembunuh washi-nya (penerima dan pengemban
wasiatnya)? Mendoakan pembunuh cucunya.yaitu Al Hasan (Imam Hasan)? Pantaskan
Nabi Saw mendoakan orang yang menancapkan al Qur’an keujung tombak?
Penyelewengan Terhadap Sejarah Kehidupan Rasul Saw
Hadits palsu lainnya menyebutkan bahwa Nabi Saw menggendong Aisyah di atas pundak beliau untuk melihat permainan akrobatik orang-orang Sudan dan pipi beliau menempel di pipi Aisyah. Atau hadits palsu yang mengatakan bahwa Nabi Saw mencintai istri anak angkatnya setelah beliau merangsang melihatnya. Di sini pun masih sama, di mana hanya demi kekuasaan duniawi semata, Bani Umayyah rela memutar-balikkan fakta. Pantaskah Nabi Saw yang dipuji oleh Allah Swt karena keluhuran akhlaknya melakukan perbuatan nista tersebut? Sekali lagi, kita akan berkata tidak! Hanya Setan-lah yang merasuk ke tubuh Dinasti Umayyah yang berani mengatakan hal ini. Dengan adanya penyelewengan-penyelewengan di atas, membuat umat Islam yang telah kehilangan seorang Rasul terbaik semakin terperosok ke dalam jurang kebodohan dan kehancuran. Akibatnya muncullah ajaran-ajaran yang telah keluar dari ajaran Rasul Saw seperti berikut:
Al Jabr (Pemaksaan Atau Fatalisme)
Pandangan ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia adalah perbuatan Allah, manusia tak memiliki ikhtiar, sebut saja boneka yang dipermainkan sesuka hati oleh pemiliknya. Dalil mereka adalah al Qur’an Surah al Iinsan ayat 30 dan al-An’am ayat 125 dan sebagainya. Pelopor pemikiran ini adalah para penguasa Bani Umayyah. Dengan penyimpangan ini, masyarakat akan yakin bahwa yang dilakukan Bani Umayyah adalah kehendak Allah. Sehingga masyarakat tidak berhak menentang mereka. Dan karenanya masyarakat seakan-akan hanya bisa menerima segala perbuatan jahat Bani Umayyah yang mengatasnamakan ‘kehendak Tuhan’. Betapa licik dinasti Umayyah, menggunakan agama untuk menetapkan kezaliman. Dan politik ini berjalan lancar, sehingga banyak umat Islam yang menganut ajaran ini pada masa Imam Ja’far Shadiq RA.
Zandaqah (Ateisme)
Pemikiran ini muncul pada masa Imam Ja’far Shadiq RA akibat atau konsekuensi dari adanya pandapat Al Jabr (fatalisme) yang telah disebutkan itu, di mana karenanya muncullah ajaran Zindiq (anti Tuhan) sebagai penolakan pandangan Jabr yang mengatasnamakan ‘kehendak Tuhan’. Ajaran ini muncul juga dikarenakan oleh kezaliman Bani Umayyah dalam segala lini kehidupan. Dan tentu saja hal ini sangat berperan dalam memisahkan masyarakat dari Ahlulbait Muhammad Almustafa yang merupakan pusaka suci Nabi Saw. Sebagai contoh, tersebutlah Ja’d bin Dirham, seorang ekstrim kufur, pembuat bid’ah yang mendedikasikan hidupnya dalam zandaqah (gerakan atheisme) serta memdengungkan ajaran dan doktrin ateis radikal (tidak meyakini adanya Tuhan). Dia menunjukkan kedangkalan akalnya secara demonstratif, seperti memasukkan tanah dan air dalam sebuah botol, kemudian beberapa saat terdapat cacing dalam botol yang semula diisi dengan tanah dan air tersebut. Kemudian dia berkata kepada para sahabatnya “Aku telah menciptakannya, karena aku adalah sebab keberadaannya”. Imam Ja’far as Shadiq ketika mendengar berita ini dan membantahnya dengan bukti rasional, beliau berkata “Jika dia (Ja’d) yang menciptakannya maka tanyakan kepadanya berapa jumlahnya? Berapa yang jantan dan yang betina? Berapa beratnya masing-masing? Mintalah kepadanya untuk mengubahnya menjadi bentuk yang lain!”. Jika kita melihat uraian di atas, maka dengan sangat jelas kita dapat melihat betapa melencengnya umat Islam dari ajaran Allah yang sebenarnya.
Kondisi Politik Pada Masa Imam Ja’far As Shadiq RA
Sebagaimana dicatat para muhaddits, fukoha, mufassir, dan para sejarawan muslim, Imam Ja’far as Shadiq RA memiliki dua fase dalam kepemimpinan beliau. Pertama, fase runtuhnya Dinasti Umayyah hingga kehancurannya (114-132 H). Kedua, fase kekuasaan Dinasti Abbasiyah sampai beliau wafat (132-148 H), dan kondisi politik pada masa Imam Ja’far as Shadiq RA tidak terlalu berbeda dengan situasi pada masa ayah beliau, Imam Muhammad al Baqir. Hisyam bin Abdul Malik yang membunuh Imam Muhammad al Baqir RA (ayah Imam Ja’far as Shadiq) masih tetap berkuasa dan penerapan politiknya pun masih sama dengan masa ayahnya. Sistem politik penguasa pada masa itu dibangun dengan dasar barbarisme dan despotisme, sehingga para pecinta Ahlulbait Muhammad Almustafa harus rela tertindas, dihina bahkan dibunuh secara tragis. Bahkan bukan hanya para pecinta keluarga Nabi Saw saja, para kaum fakir nan miskin yang tidak mengenal Ahlulbait pun juga disiksa dan dibunuh.
Hal itu dapat dilihat dalam diri Zaid bin Ali bin Husain RA. Di sini, Zaid bin Ali RA menggambarkan betapa biadabnya para penguasa pada masa itu sehingga menciptakan tragedi dahsyat pada ummat. Jabir bin Yazid Ju’fi meriwayatkan ungkapan Zaid bin Ali ra saat dia bertemu “Wahai Jabir, aku tak bisa tinggal diam sementara kitabullah dilanggar dan perilaku mereka (penguasa) seperti Setan. Aku menyaksikan Hisyam dan seorang lelaki menghina Rasulullah Saw. Aku berkata kepada si penghina itu ‘celakalah kamu hai kafir! Seandainya aku bisa pasti kucabut nyawamu dan segera kuhempaskan ke neraka’, kemudian Hisyam berkata kepadaku, ‘santai saja, duduklah bersama kami hai Zaid’ ‘demi Allah, seandainya tidak ada orang lain selain aku dan Yahya putraku, niscaya sudah aku hajar dia hingga mati”. Lantas bagaimana akhir nasib Zaid Bin Ali ra ini? Beliau ditangkap dan dibunuh, kemudian jasadnya disalib didaerah Kisanah, Kufah (Irak saat ini) pada tahun 121 H.
Yah, dikarenakan mengadopsi gaya barbar dan despotik, rezim Umayyah akhirnya runtuh setelah sekian lama merongrong Islam dari dalam. Situasi politik pada masa itu sangat bergejolak setelah syahidnya Zaid bin Ali RA. Dan dikarenakan para penguasa lebih memfokuskan diri dalam menjaga kekuasaannya dari tangan para pemberontak, ini mengakibatkan melonggarnya tekanan terhadap Imam Ja’far as Shadiq RA dan kesempatan berharga ini pun akhirnya digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Imam Ja’far as Shadiq RA. Dengan melihat kondisi yang sedemikian rusak ini, tentu hal yang sangat sulit untuk menegakkan kembali kebenaran. Maka sekarang mari kita lihat sikap apa yang diambil sang mahaguru ini, guru dari ribuan ulama, mufassir, muhaddits, dan fukoha ini.
Sikap Bijak Sang Mahaguru
Setelah kita mencermati sekelumit gambaran tentang kondisi pemikiran maupun politik pada masa Imam Ja’far as Shadiq RA tersebut, maka telah menceritakan kepada kita betapa rumit situasi pada masa itu dan risalah imamah yang dipegangnya yang tak henti-hentinya mengalami ancaman. Bani Umayyah telah sekian lama memisahkan umat Islam dari Islam. Budaya jahiliyah pun kembali menjamur di bumi Islam. Begitu juga pemikiran-pemikiran Barat (Hellenisme) mulai mengotori kesucian aqidah yang dibangun oleh Rasul Saw al Mustafa, keluarga serta para sahabatnya yang setia. Tak hanya kerusakan akidah, kerusakan sosial pun tak bisa lagi dihindarkan. Ketika itu, harta umat Islam dihambur-hamburkan oleh penguasa dan korupsi pun marak terjadi. Maka sudah barang tentu Imam Ja’far as Shadiq RA tidak hanya berdiam diri menyaksikan keadaan itu. Imam Ja’far as Shadiq RA pun menganggap perlu adanya pemahaman masyarakat terhadap Islam yang murni setelah Islam Muhammadi telah dipisah dari umat Muhammad oleh Bani Umayyah.
Meskipun demikian, Imam Ja’far as Shadiq RA tidak memilih ‘angkat senjata’ alias perang fisik sebagai cara untuk melawan para dictator yang despotic tersebut. Sikapnya yang efektif dan jenius ini menjadi cemerlang di tengah semaraknya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam dan pembaharuan. Beliau menata kembali sendi-sendi Islam yang sebelumnya koyak karena politik dan pemerintahan yang despotik. Beliau pun mengemas dakwahnya tidak dengan perlawanan fisik, namun tetap seperti semula yang telah dibangun oleh ayahnya (Imam Muhammad al Baqir RA), yaitu dengan jalan mencetak generasi tercerahkan di bawah risalah Ahlulbait Muhammad Rasulullah al Mustafa Saw. Sistem dan metode dakwah beliau ini pun sangat tepat, sebab jika beliau tidak mencerahkan umat Islam dengan risalah Muhammad Saw, tentulah Islam yang dikenal adalah Islam Umawiyah yang menyimpang dan yang penuh dengan penindasan dan kebohongan, bukan Islam Muhammadi yang penuh dengan cinta dan kasih sayang. Dan bila diringkas secara ijmali atau secara global, ada dua macam penyimpangan besar pada masa Imam Ja’far as Shadiq RA ini.
Pertama, penyimpangan politik para aparatur pemerintah. Kedua, penyimpangan aqidah, pemikiran serta akhlak. Sedangkan prinsip yang dipegang oleh Imam Ja’far as Shadiq RA untuk melakukan reformasi universal ialah: Pertama, bersikap terbuka kepada kelompok-kelompok ummat yang memiliki peranan politik secara pemikiran dan gerakan. Atau dengan kata lain semakin menyiarkan akademi Ahlulbait Rasulullah al Mustafa setelah sekian lama dikaburkan oleh penguasa pada masa itu. Ini adalah prinsip umum Imam Ja’far as Shadiq RA. Kedua, mencetak generasi cerdas yang kelak menjadi ulama yang berpemikiran modern dan memiliki pemahaman utuh tentang Islam. Di mana yang kedua ini merupakan prinsip khusus Imam Ja’far as Shadiq RA.
Mewariskan Intelektualisme
Berkat perjuangan Imam Ja’far as Shadiq RA itulah kaum Muslim atau ummat Islam kemudian menguasai dengan baik ilmu pengobatan, astronomi, kimia, fisika, dan matematika. Filsafat, logika, dan ilmu lainnya diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Persia. Selain adanya perkembangan saintifik dan kultural atau kebudayaan selama hidup Imam Ja’far Shadiq RA, juga terdapat gerakan dalam berbagai bidang. Seperti telah dipaparkan, kejadian dan kondisi politik, ekonomi, dan sosial di jaman beliau hidup dan berjuang itu memerlukan pemecahan yang sesuai dengan hukum Islam. Hasilnya adalah muncul dan lahirnya pandangan dan lembaga pemikiran, juga para sarjana atau pun para ulama yang secara aktif terlibat dalam mencoba menemukan jawaban yang benar untuk menjawab permasalahan-permasalahan Islam dan ummat atau masyarakat.
Dengan keadaan seperti itulah, alias dengan aktivitas dan perjuangan kultural dan saintifik Imam Jafar Shadiq RA tersebutlah, beliau berjuang, hidup dan memiliki tanggung jawab yang besar sebagai seorang mahaguru dalam domain kultural sekaligus dalam domain agama. Seluruh hidup beliau diisi dan dijalani dengan mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Hingga ia memiliki kedudukan yang sangat kuat dan memiliki nama yang amat harum sampai saat ini di kalangan masyarakat Islam, sebagai sosok sang mahaguru yang ketika hidupnya tak tergiur kekuasaan yang beberapa kali ditawarkan kepada beliau untuk menggoda dan membujuk beliau. Salam sejahtera atas-mu wahai Imam Ja’far as Shadiq RA! (Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar