Dengan menganalisa sejarah di sepanjang abad yang berbeda-beda, kita
melihat peremehan terhadap masalah hak-hak kemanusiaan dan sosial serta
kezaliman yang terjadi terhadap perempuan. Bahkan sebelum munculnya
revolusi Industri di Eropa, perempuan belum memiliki hak sosial dan
politik yang berarti.
Bukan hanya itu, para pemuka agama Kristen di Eropa pun
menjustifikasi ketidakadilan terhadap perempuan ini dengan alasan-alsan
teologis. Namun di abad-abad terakhir, muncullah kebangkitan pembelaan
hak-hak perempuan dan dimulailah era baru.
Kebangkitan-kebangkitan yang muncul akibat dua perang dunia dan
kemudian muncullah kelahiran gerakan baru di sekitar tahun tujuh
puluhan. Pergerakan perempuan tersebut lebih di kenal denga gerakan
feminisme.
Feminisme lahir dalam berbagai macam pandangan seperti adanya
kezaliman terhadap perempuan (dalam segala bidang) yang biasa dijadikan
sebagai tolok ukur bangkitnya gerakan feminisme. Namun penjelasan mereka
tentang sebab terjadinya kezaliman dan langkah-langkah solusi, serta
ide-ide yang mereka kemukakan berbeda-beda.
Para pemikir Feminis berkeyakinan dunia akan adil jika perempuan
bangkit untuk mengambil hak-hak mereka. Meskipun mereka mengemukakan
argumentasi secara ilmiah, namun sering tejadi kesalahan persepsi yang
menyebabkan penyelewengan pemahaman.
Walaupun perempuan Islam di jamin oleh argumentasi teologis dan
rasional untuk memperoleh hak-hak mereka di berbagai macam bidang
kemasyarakatan seperti sosial, politik, budaya dan lain sebagainya, akan
tetapi mereka memang dituntut untuk lebih memperhatikan masalah rumah
tangga dan keluarga, sehingga seringkali secara alamiah terjadi
pembatasan ruang gerak dan aktifitas mereka di ruang publik. Untuk itu
para perempuan Islam pun mencoba mencari jalan keluarnya.
Permasalahan hak-hak perempuan terkadang pula menyebabkan pembenaran
di berbagai macam segi tanpa melihat kultur dan agama. Sehingga
terkadang banyak dikhawatirkan oleh ulama. Hal yang sering disayangkan
adalah penentangan para pembela hak perempuan terhadap ulama yang
berupaya menempatkan hak-hak perempuan dalam lingkup budaya dan etika
agama.
Perlu diingat bahwa kehadiran para perempuan di berbagai bidang
kemasyarakatan menjadi hal penentu, paling tidak pembahasan masalah
perempuan memiliki tempat bagi seluruh masyarakat. Lebih dari itu,
problem ini sudah mendunia bukan masalah yang lokal sifatnya. Salah satu
hasil dari revolusi Islam adalah mampu mendobrak pandangan baru tentang
perempuan, hak-hak dan peranannya dalam masyarakat sesuai dengan
kebutuhan zaman dan kemajuan dalam kemasyarakatan.
Pemikiran dan pandangan mengenai hak-hak perempuan lebih tampak
ketika revolusi Iran digaungkan dan Imam Khomeinilah pemimpin yang
menjadi pelopor itu semua.
Pada 24 Aban 1357 HS tahun Iran (1979 M), salah satu koresponden
Jerman bertemu dan mewancarai Imam. Di bertanya, “Kami mendengar kalau
Mazhab Ahlul Bait (baca: Syiah) menolak pola yang tidak sesuai dengan
pola keberagamaan ?”
Imam menjawab, “Mazhab Ahlul Bait adalah aliran revolusioner dan
penerus agama Muhammad saww, begitu pula pengikutnya yang selalu menjadi
bahan (obyek) teror para pengecut dan penjajah. Mazhab Ahlul Bait bukan
hanya tidak menolak peranan perempuan dalam bidang-bidang kehidupan
bahkan dalam kehidupan sosial politik selalu memposisikan perempuan pada
tempat yang tinggi. Kami menerima kemajuan Barat tapi tidak untuk
kejahatan yang mereka sendiri teriakkan untuk itu”.
Imam dalam cuplikan wasiatnya mengatakan penghalang perempuan untuk
tampil bersumber dari rencana jahat musuh dan teman-teman yang tidak
memahami hukum Islam dan Qur’an, dan menambahkan, pula dari
cerita-cerita bohong yang di munculkan oleh musuh untuk kepentingannya
dan sampai ketangan orang-orang yang bodoh dan sebagian pelajar agama
yang tidak mendapatkan informasi tentang itu.
Hak-Hak Kemanusiaan perempuan
perempuan harus memiliki hak-hak kemanusiawian yang sesuai dengan
realitasnya. Terkadang hak yang didapat oleh laki-laki tak bisa didapat
oleh perempuan atau terkadang bisa diraih tapi dalam bentuk yang tidak
sempurna atau hanya sebagian saja. Hal ini sama dengan intimidasi hak
dan bertentangan dengan kemanusiaan serta hukum Tuhan.
Imam di dalam hal “persamaan” antara pria dan perempuan mengatakan:
“Islam memiliki pandangan khusus terhadap perempuan. Islam pertama
muncul di jazirah Arab dimana perempuan pada masa itu seperti barang
dagangan dan perbedaan status yang sangan jauh dengan lelaki. Akan
tetapi Islam datang untuk menghapus itu semua dan Islam datang untuk
“menyamakan” mereka dengan laki-laki. Beliau menambahkan pula,
“perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menentukan masa
depannya dan kami ingin perempuan sampai pada kedudukan yang tinggi dan
perempuan harus mampu untuk itu”
Pada wawancara surat kabar Belanda dalam menjawab pertanyaan koresponden
“Apa hak-hak perempuan di dalam Negara Islam?”
Imam mengatakan:
“Dari sisi hak kemanusiaan (sisi insaniyyah nya) tidak ada beda
antara hak lelaki dan perempuan, karena dua-duanya adalah manusia dan
mereka memiliki hak dalam menentukan masa depannya masing-masing. Dan
sebagian hal yang berbeda dari mereka tidak ada hubungan dengan sisi
kemanusiaannya.”
“Berusahalah dalam meraih ilmu dan ketaqwaan, karena ilmu adalah
milik bersama tanpa pengecualian. Sekarang para perempuan menjadi
partner dalam belajar atau hal lainnya di dalam semua bidang ilmu
pengetahuan begitu pula industri.”
“Apakah perempuan bisa sampai pada tahap ijtihad? Dan apa peranan perempuan di dalam negara Islam?”
Beliau menjawab:
“Ada kemungkinan perempuan sampai pada tahap ijtihad tapi tidak bisa
menjadi marja’ taqlid untuk orang lain. Di dalam aturan Islam perempuan
memiliki hak yang sama dengan lelaki seperti hak belajar, mengajar,
bekerja, kepemilikan, hak memilih, hak dipilih, sehingga di setiap
bidang, dimana lelaki memiliki hak untuk itu perempuan pun memilikinya.
“perempuan pula memiliki hak berpolitik dan inilah tugas mereka.
Seluruh perempuan dan laki-laki harus masuk dalam masalah sosial,
politik bahkan harus menjadi pemantau perkembangan politik yang ada, dan
tidak hanya itu mereka pula di tuntut untuk menyumbangkan ide-ide
mereka”
“Sekarang perempuan harus melaksanakan tugas sosial dan agama mereka
dan menjaga kehormatan umum dan di bawah kehormatan tersebut mereka
melakukan urusan sosial dan politiknya.”
“perempuan di dalam urusan sosial politiknya harus menjadi partner
para lelaki, dengan syarat menjaga hal-hal yang telah di atur dalam
Islam”.
Pandangan Imam tentang Karir dan Pekerjaan:
“Provokasi jahat sedemikian rupa menyalahartikan kebebasan perempuan
sehingga mereka menyangka Islam datang hanya memerintahkan perempuan
diam dirumah saja”
“Kenapa kita mesti menentang kalau perempuan belajar? Kenapa kita
mesti menentang kalau perempuan bekerja? Apakah perempuan tidak mampu
melakukan pekerjaan kenegaraan?”
“Seluruh aktifitasnya ada di dalam ikhtiyar mereka, mereka bebas menentukan masa depannya”[1]
Menjadi jelaslah bahwa Islam menempatkan perempuan dalam kedudukan
yang tinggi sama dengan laki-laki. Dari sisi insaniyyah-nya perempuan
dan laki-laki adalah sama, tidak ada penghalang dikarenakan perbedaannya
dalam meraih kedudukan yang tinggi disi Allah. Di dalam Islam kita
telah mengenal Sayyidah Fatimah Azzahra (putri Rasulullah) yang membela
dan mendampingi perjuangan Ayahnya, Sayyidah Maryam yang dengan
kelembutannya menjaga sang kekasih Allah, Isa Almasih, pula Sayyidah
Asiah (istri Firaun) yang dengan kesabarannya bisa terjaga dari pengaruh
buruk Firaun. [oleh: Khairi Fitrian Jamalullail]
Notes:
[1] Ucapan-ucapan Imam Khomaini diambil dari Majalah Payam Khonewodeh No: 52 Halaman 14 Urdibhest 1384 Hs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar