Kajian
tentang Syi’ah di Indonesia, telah dilakukan oleh sejumlah ahli dan
pengamat sejarah, sebagian besar diantaranya berkesimpulan bahwa
orang-orang Persia -yang pernah tinggal di Gujarat- yang berpaham
Syiahlah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.
Bahkan
dikatakan Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di
nusantara. M Yunus Jamil dalam bukunya Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh
(1968) menulis kerajaan Islam yang pertama berdiri di Nusantara adalah
Kerajaan Peureulak (Perlak) yang didirikan pada 225H/845M. Pendiri
kerajaan ini adalah para pelaut-pedagang Muslim asal Persia, Arab dan
Gujarat dan mengangkat seorang Sayyid Maulana ‘Abd al-Aziz Syah,
keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik Syi’ah, sebagai
sultan Perlak.
Agus
Sunyoto, staf Lembaga Penerangan dan Laboratorium Islam (LPII) Surabaya
yang dipimpin Dr Saleh Jufri, seperti dilaporkan Majalah Prospek (10
Nopember 1991), melalui penelitiannya menyimpulkan, bahwa Syaikh ‘Abd
al-Ra’uf Al-Sinkli, salah seorang ulama besar nusantara asal Aceh pada
abad ke-17, adalah pengikut dan penggubah sastra Syi’ah. Ia pun setelah
melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur,
berkesimpulan bahwa dari segi fisik dan arsitekturnya itu adalah
kuburan-kuburan orang Syi’ah.
Bahkan
Agus Sunyoto lewat bukti-bukti sejarah, berspekulasi, sebagian besar
dari Walisongo adalah ulama Syi’ah. Dengan tegas ia menulis, Syekh
Maulana Malik Ibrahim, guru dari semua sunan wali songo adalah Syiah
Mazhab Syafi’i
Dalam
masyarakat NU, pengaruh Syi’ah pun cukup kuat di dalammya, Dr Said Agil
Siraj, Wakil Katib Syuriah PBNU secara terang mengatakan, “Harus diakui,
pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca
Barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU misalnya,
jelas berasal dari tradisi Syi’ah”.
KH Abdurrahman Wahid bahkan pernah mengatakan bahwa Nahdatul Ulama secara kultural adalah Syi’ah. Ada beberapa shalawat khas Syi’ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi’ah. Tradisi itu lahir di Indonesia dalam bentuk mazhab Syafi’i padahal sangat berbeda dengan mazhab Syafi’i yang dijalankan di negara-negara lain.
Kiai
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut bahwa salah satu pengaruh
tradisi Syiah dalam corak keislaman di Indonesia adalah praktik
nyanyian (biasa disebut juga pujian) menjelang salat yang biasa
dipraktikkan di kalangan warga nahdliyyin (NU). Nyanyian itu berisi
pujian untuk “ahl al-bait” atau keluarga Nabi, istilah yang sangat
populer di kalangan Syiah.
Bunyi
nyanyian itu ialah: Li khamsatun uthfi biha, harra al-waba’ al-hathimah,
al-Mushthafa wa al-Murtadla, wa ibnahuma wa al-Fathimah. Terjemahannya:
Aku memiliki lima “jimat” untuk memadamkan epidemi yang mengancam;
mereka adalah al-Musthafa (yakni Nabi Muhammad), al-Murtadla (yakni Ali
ibn Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi), kedua putra Ali (yakni Hasan
dan Husein), dan Fatimah (isteri Ali). Gus Dur menyebut gejala ini
sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan
dari segi akidah.
Ritus-ritus
Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di Jogjakarta dan
Ponorogo adalah ritus teologi Syiah yang datang dari Gujarat-Persia.
Doktor Muhammad Zafar Iqbal dalam bukunya, Kafilah Budaya meruntut
berbagai fakta tentang adanya pengaruh-pengaruh tradisi Syiah dan Iran
di tanah air terutama bagi masyarakat Minangkabau yang masih terjaga
sampai kini.
Perguruan
Tinggi pertama di Aceh bernama Universitas Syiah Kuala, menunjukkan
fakta lainnya. Universitas yang disingkat Unsyiah yang diresmikan
berdirinya oleh Presiden Soekarno tahun 1959 menunjukkan bahwa idiom
Syiah telah sangat dikenal masyarakat.
Karena
kuatnya unsur-unsur Syiah dalam corak keislaman di Indonesia inilah,
hubungan antara Sunni dan Syiah, sejak dahulu, berlangsung dengan cukup
bersahabat. Pada saat Gus Dur memimpin ormas Islam terbesar di
Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU), sejak 1984-1999, hubungan antara
kalangan NU dan Syiah juga cukup bersahabat.
Namun yang
patut di sesalkan adalah adanya sebagian besar kalangan salafi di
Indonesia yang menampakkan antipati yang mendalam terhadap kelompok
Syiah. Kelompok ini yang sangat dipengaruhi oleh doktrin Wahabisme dan
sekarang juga tumbuh menjamur di beberapa kota, terutama di Jakarta.
Bagi mereka, Syiah dianggap sebagai kelompok yang sudah keluar dari
Islam. Dan terus menyebarkan fitnah di tengah masyarakat awam dan
menciptakan perselisihan antara umat islam.
Source: Abna.ir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar