Hari Lahir
Pada hari kesepuluh bulan Rajab tahun 195 H, Imam Muhammad Al-Jawad
as. dilahirkan. Ayah beliau adalah Imam Ali Ar-Ridha as. Dan ibu beliau
bernama Khaizran, berasal dari bangsa Maria Qibtiah, istri Rasulullah
saw.
Imam Muhammad as. memiliki banyak gelar. Gelar yang paling masyhur adalah At-Taqi dan Al-Jawad.
Saudari Imam Ridha as., Hakimah mengisahkan, “Pada malam kelahiran
Imam Al-Jawad, saudaraku (Imam Ridha) memintaku untuk berada di sisi
istrinya. Ia melahirkan seorang bayi dengan selamat. Ketika lahir, bayi
itu menatap ke langit dan bersaksi atas keesaan Allah dan kerasulan
Muhammad. Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera
pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata,
“Wahai ukhti, Jangan engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi”.
Kelahiran ini merupakan karunia Ilahi dan berita gembira bagi
pengikut Ahlul Bait as. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran,
keraguan, kebimbangan, dan kecemasan mereka.
Nauf Ali menceritakan, “Ketika Imam Ali Ar-Ridha as. melakukan
perjalanan ke Khurasan, aku berkata kepadanya, ‘Apakah Anda tidak
memiliki perintah untuk aku kerjakan?’. Beliau berkata, ‘Ikutilah anakku
setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau
hadapi”.
Imam Ridha as. berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, “Tidak
perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku, ajukan pertanyaanmu kepada
anak kecil ini yang kelak akan menjadi Imam setelahku”.
Tatkala beberapa orang sahabat Imam Ar-Ridha menunjukkan keheranan
dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi
Imam umat, beliau mengatakan, “Allah telah mengangkat Isa sebagai nabi
ketika beliau bahkan lebih muda dari Abu Ja’far (Imam Jawad). Usia
seseorang tidak terlibat dalam urusan Nubuwwah dan Imamah“.
Imam kesembilan umat ini, Muhammad Al-Jawad as. menerima tanggung
jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau
berkata, “Ali bin Ja’far, paman Imam Jawad di Madinah, adalah seorang
yang memiliki pengaruh yang besar. Warga kota di sana menaruh rasa
hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid,
orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang
masalah-masalah yang mereka hadapi.
Suatu hari, Imam Muhammad Al-Jawad as. memasuki masjid tersebut. Ali
bin Ja’far yang sudah tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya
dan mencium tangan Imam as. lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata,
“Paman, duduklah!” Sang paman berkata padanya, “Bagaimana mungkin aku
dapat duduk selagi kau masih berdiri?”
Ketika Ali bin Ja’far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka
menegurnya dan berkata, “Anda adalah orang tua dan paman anak ini.
Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya?”
Ali Ja’far menjawab, “Diamlah, kedudukan Imamah (kepemimpinan Ilahi)
merupakan sebuah kedudukan yang telah digariskan oleh Allah. Allah tidak
memandang orang tua ini (Abu Ja’far, penj.) akan mampu
mengemban Imamah atas umat. Namun, Dia Mahatahu bahwa anak ini layak
dengan kedudukan itu. Maka itu, kalian harus mentaati perintahnya”.
Akhlak Imam Al-Jawad as.
Ketika ayahandanya wafat, Imam Muhammad Al-Jawad as. masih belia. Namun begitu, beliau sungguh memiliki kepribadian yang matang dan sempurna, yang mendesak setiap orang untuk menumpahkan rasa hormat di hadapannya.
Selang beberapa hari setelah wafatnya Imam Ali Ar-Ridha, Khalifah
Ma’mun pergi berburu bersama pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia
memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu.
Melihat Ma’mun datang, mereka segera bubar dan lari menjauh, hanya
seorang anak yang tidak beranjak dari tempat mainnya.
Ma’mun dan pasukannya berhenti lalu memandangi anak tersebut. Ia
bertanya terheran-heran, “Hai bocah, mengapa kau tidak lari seperti
anak-anak itu?”
Anak itu menjawab, “Jalan ini tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi
penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun
sehingga aku harus takut padamu. Aku pikir Anda tidak akan mengganggu
seseorang. Dan Anda tidak akan mengejar orang yang tak bersalah. Maka
itu, aku tidak lari darimu”.
Ma’mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya, “Siapakah namamu?”
“Muhammad bin Ali Ar-Ridha”, jawab anak itu.
Ma’mun segera mengungkapkan duka citanya atas wafatnya ayah anak itu.
Setelah itu, ia melanjutkan pemburuan bersama para pengawalnya.
Surat Sang Ayah
Imam Ali Ar-Ridha as. senantiasa memperlakukan putranya dengan penuh
hormat dan selalu memperhatikan pendidikannya. Bizanti berkata, “Suatu
hari, Imam Ridha as. menulis surat kepada putranya, Muhammad Al-Jawad,
di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
“Wahai putraku! Aku mendengar bahwa para pelayan khalifah tidak
memperkenankan orang orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar
menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.
“Ketahuilah, mereka (para pelayan khalifah) itu tidak ingin
kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini, aku
perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga
mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi, bawalah uang
bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang
tertimpa kesulitan dan dan membutuhkan pertolonganmu.
“Pikirkanlah orang orang yang mendapat kesulitan hidup, bantulah
mereka dengan baik. Janganlah lupa untuk senantiasa bersikap murah dan
merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan”.
Keluasan Ilmu Imam Al-Jawad as.
Setelah berhasil meracun Imam Ali Ar-Ridha as., Ma’mun berusaha keras
untuk menunjukkan bahwa kematian beliau adalah sebuah kejadian yang
wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur keculasan dan kebusukannya
tercium oleh orang-orang ‘Alawiyun (keturunan Imam Ali as.) dan kaum
Syi’ah.
Mereka mengetahui bahwa Ma’mun telah melakukan sebuah tindak
kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridha. Oleh karena itu,
beragam protes, kecaman, kerusuhan dan pemberontakan terjadi di berbagai
sudut kota. Ma’mun berupaya memadamkan api pemberontakan itu. Ia
membawa putra Imam Ar-Ridha itu, Imam Muhammad Al-Jawad as. dari
Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya sendiri, Ummul
Fadhl.
Orang-orang Abbasiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma’mun
itu, namun Ma’mun tetap bersikeras pada keputusannya. Mereka
mendebatnya, “Dia (Imam Al-Jawad as.) itu masih kecil, belum mengerti
agama, bersabarlah supaya belajar agama terlebih dahulu”.
Ma’mun tangkas menjawab, “Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian
menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan
sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku. Kalian dapat mengujinya
jika kalian mau”.
Orang-orang Abbasiyah mendekati Yahya bin Aktsam, sang hakim agung,
dan memintanya agar menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam
Muhammad Al-Jawad as. di hadapan majelis resmi Ma’mun. Yahya mengabulkan
permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma’mun dan menyampaikan kesediaan
Yahya. Ma’mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbasiyah bersama Yahya
bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh
orang-orang terhormat, bangsawan dan para pejabat pemerintahan.
Kemudian, datanglah Imam Muhammad Al-Jawad as. ke majelis itu.
Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan
beliau. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma’mun
yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini, karena ia berpikir
Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ma’mun berkata kepada Imam as., “Yahya bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. “
“Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan”, jawab Imam as.
Yahya mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam, “Apa pendapatmu
tentang orang yang mengenakan pakaian Ihram dan berziarah ke Ka’bah,
pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang
di sana?”
Imam Al-Jawad as. bersabda, “Wahai Yahya, kau telah menanyakan sebuah
masalah yang masih begitu global. Mana yang sebenarnya ingin kau
tanyakan; apakah orang itu berada di dalam Tanah Haram atau di luar?
Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak?
Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia
itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah pelaku perbuatan itu
menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada
malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali
atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang buruan itu
sejenis burung atau bukan? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?
Pernikahan
Yahya kebingungan sekaligus kagum tatkala Imam as. mengurai masalah
itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbesit tanda kekalahan dan
kegagalan. Mulutnya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan
dan kekaguman kepada Imam Al-Jawad as. setelah menyaksikan keluasan dan
kedalaman ilmu beliau.
Akhirnya, Ma’mun mengumumkan acara akad pernikahan putrinya dengan
Imam Al-Jawad di majelis itu juga. Imam as. bangkit lalu menyampaikan
khutbah nikah. Mas kawin yang beliau berikan senilai mas kawin Siti
Fatimah Az-Zahra as. dan pesta pernikahan pun berlangsung sebegitu
meriahnya.
Maksud di Balik Pernikahan
Sesungguhnya Ma’mun menyimpan maksud-maksud tertentu di balik
keputusannya menikahkan putrinya dengan Imam Al-Jawad as. Di antaranya:
- Menepis kecaman dan tuduhan orang-orang sekaitan pembunuhannya terhadap Imam Ali Ar-Ridha as. dan merebut kembali hati masyarakat.
- Agar putrinya dapat mengawasi dan memantau Imam Al-Jawad as. sedekat mungkin.
- Membujuk Imam as. agar menetap di kota Baghdad yang kehidupannya dipenuhi oleh kemewahan dan kesenangan duniawi.
Kembali ke Madinah
Imam Muhammad Al-Jawad as. telah mengambil keputusan bulat untuk
segera kembali ke Madinah. Maksud tersebut beliau lakukan dengan cara
berangkat ke Makkah dan menunaikan Haji di sana.
Masyarakat pun ramai mengantarkan Imam sampai di jalan yang mengarah
ke kota Kufah. Di sana, Imam as. singgah di sebuah masjid. ketika waktu
shalat telah tiba, Imam as. berwudhu di halaman masjid di bawah pohon
Nabk. Sungguh Allah swt. telah memberkahi pohon itu sehingga berbuah
dengan buah-buah yang manis. Warga Baghdad senantiasa mengenang
keberkahan Imam as. pada pohon itu.
Beberapa Surat dan Masalah
- Ada seorang lelaki dari Bani Hanifah yang menyertai Imam Al-Jawad as. dalam perjalanan hajinya. Saat duduk bersama di depan hidangan, ia berkata kepada Imam as., “Jiwaku adalah tebusanmu, sesungguhnya wali kotaku adalah pecintamu Ahlul Bait, ia amat percaya padamu. Dan sekarang ini aku harus membayar pajak kepadanya. Bisakah kau menuliskan surat untuknya agar ia berbelas kasih kepadaku?”
Imam berkata, “Tapi, aku tak mengenalnya”.
Lelaki itu membalas, “Dia sungguh pecintamu, dan suratmu akan dapat berguna bagiku”.
Lalu Imam as. mengambil secarik kertas dan menulis, “Bismillahirrahmaninrrahim,
pembawa suratku ini adalah seorang lelaki yang telah mengenalkanmu
sebagai manusia mulia. Dan tidak ada perbuatan yang berguna bagimu
kecuali kebaikan yang terdapat di dalamnya, maka berbuatbaiklah kepada
saudara-saudaramu!”.
Lelaki itu menyerahkan surat tersebut kepada wali kota Neisyabur. Ia
menyambutnya, bahkan menciumnya dan melekatkannya di kedua matanya. Lalu
berkata kepada lelaki, “Apa keperluanmu?”
“Ada pajakmu yang aku tanggung”, begitu keluhnya. Mendengar itu, wali
kota memerintahkan agar kewajiban pajaknya dihapuskan, dan mengatakan,
“Kau tidak usah membayar pajak selagi kau hidup”.
- Datang sepucuk surat kepada Imam Al-Jawad as. dari seorang lelaki yang hendak bermusyawarah dengan beliau berkenaan dengan pernikahan anak-anak perempuannya.
Imam as. menulis balasan untuknya, “Aku telah mengerti apa-apa yang
kau paparkan mengenai anak-anak perempuanmu, dan bahwasanya kau tidak
menemukan lelaki yang mirip denganmu, namun janganlah terlalu menantikan
demikian itu, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya, karena Rasulullah
saw. telah bersabda, ‘Jika datang kepadamu seseorang yang kamu sukai
akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu), bila kamu
tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar”.
Nasib Ma’mun
Warga Mesir bangkit melakukan pemberontakan. Segera Khalifah Ma’mun
mempimpin pasukan besar dan memadamkan api pemberontakan itu. Dari
sana, ia bertolak ke kawasan Romawi. Maka, terjadilah peperangan yang
dahsyat yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin.
Dalam perjalanannya kembali dari peperangan, Ma’mun melewati
“Riqqoh”. Tempat itu terasa sejuk dan tenang dengan mata air yang
mengalir. Maka, ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di sana.
Di Riqqoh, Ma’mun jatuh sakit. Tak lama kemudian, ia mati dan dikuburkan di tempat itu juga.
Kesyahidan Imam Al-Jawad as.
Setelah kematian Ma’mun, saudaranya yang bernama Mu’tasim menduduki
kekhalifahan. Dia di kenal sebagai orang yang kejam, jahat dan
berperangai buruk.
Pertama yang dilakukan Mu’tasim ialah memanggil Imam Al-Jawad as.
dari Madinah untuk kembali ke Baghdad. Setelah itu, mulailah dia
merencanakan persengkongkolan dengan Ja’far, anak Ma’mun. Dia mendesak
Ja’far agar membujuk saudara perempuannya Ummu Fadhl supaya meracun
suaminya sendiri, Imam Al-Jawad as.
Ummu Fadhl pun menyanggupi. Maka, ia bubuhkan racun ganas di dalam
anggur, seakan-akan ia telah belajar dari ayahnya sendiri yang telah
membunuh Imam Ali Ar-Ridha as. dengan cara yang sama.
Demikian kesyahidan Imam Muhammad Al-Jawad as, pada hari selasa 6
Dzulhijjah 220 H, pada usianya yang masih muda, 25 tahun. Jasad beliau
yang suci nan kudus dimakamkan di pemakaman Quraisy (kota Kadzimein
sekarang) di samping makam datuknya Imam Musa Al-Kadzim as. Pusara kedua
Imam merupakan salah satu tempat ziarah kaum muslimin yang datang dari
penjuru dunia. []
Mutiara Hadis Imam Al-Jawad as.
“Kehormatan seorang mukmin ialah ketakbergantungannya pada orang lain”.
- “Seorang mukmin senantiasa membutuhkan tiga perkara: taufiq dari Allah, penasehat dari dalam dirinya, dan menyambut setiap orang yang menasehatinya”.
- “Hari Keadilan itu lebih mengerikan bagi orang zalim daripada hari perlakuan zalim terhadap orang teraniaya”.
- “Neraca kesempurnaan harga diri seseorang ialah meninggalkan apa saja yang tidak membuat dirinya indah”.
- “Kematian manusia karena dosa-dosanya itu lebih banyak ketimbang kematiannya karena ajalnya, dan hidupnya seseorang karena kebajikannya itu lebih banyak daripada hidupnya dengan (takdir) umurnya”.
Riwayat Singkat Imam Al-Jawad as.
Nama : Muhammad
Gelar : Taqi dan Jawad
Panggilan : Abu Ja’far
Ayah : Imam Ali Ar-Ridha as.
Ibu : Khaizran
Kelahiran : Tahun 195 Hijriah
Masa Imamah : 17 Tahun
Kesyahidan :Tahun 220 H
Makam : Kota Kadzimain, Irak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar