Imam Mahdi As Lahir pada 15 Sya’ban 255 H. Kelahiran beliau sungguh
menghidupkan harapan di dalam jiwa-jiwa kaum tertindas di dunia. Ayah
Imam as. adalah Imam Hasan Al-Askari as. dan ibunya bernama Nargis,
seorang wanita suci keturunan salah satu Hawariyyun (sahabat setia) Nabi
Isa as., yaitu Sam’un Ash-Shafa.
Imam Mahdi as. adalah Imam terakhir Ahlul Bait as. Secara khusus,
sang datuk Rasulullah saw. telah memberitakan kehadirannya dalam
sejumlah hadis-hadis yang mutawatir, bahwa “Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah disesaki oleh kezaliman”.
Beliau dikenal dengan panggilan Abul Qosim, dan gelar mulia
“Al-Mahdi”. Dengan demikian, beliau membawa nama sekaligus panggilan
junjungan kita Muhammad saw., sebagaimana beliau pun membawa risalah
agamanya, Islam.
Para penguasa zalim menjadi begitu awas dan senantiasa mengintai
kelahiran Imam Mahdi as, sehingga mereka berupaya menggagalkannya.
Persis dengan apa yang telah dilakukan Fir’aun; mengawasi setiap ibu
yang hamil dan bayi yang lahir. Namun, mereka tidak sadar bahwa
Fir’aun, meskipun mengerahkan segenap kekuatan raksasa yang dimilikinya
sampai membunuh secara massal bayi-bayi yang baru lahir, usahanya itu
gagal total.
Mu’tamid, Khalifah Abbasiyah –yang merupakan Fir’aun pada masanya–
pun ingin melakukan hal yang sama. Ia pun mencoba mengikuti langkah
Fir’aun berusaha mencegah kemunculan Sang Pembela Kebenaran yang akan
merongrong kekuasaannya. Ia seketat mungkin mengawasi rumah Imam Hasan
Al-Askari as.
Ketika Imam Hasan as. diracun, beliau dibawa dalam keadaan lemah dari
penjara ke rumahnya. Mu’tamid menugaskan lima orang pengawal pergi
menyertai Imam untuk mewaspadai dan berjaga-jaga di sekeliling rumah
Imam jika ada peristiwa yang terjadi di rumah itu. Tidak hanya mengutus
mata-mata, ia juga mengirim beberapa bidan ke rumah Imam untuk menjaga
dan membantu proses kelahiran istri Imam as.
Kota Samarra berubah menjadi kota duka atas kematian Imam Hasan
Al-Askari. Orang-orang menutup tempat kerja mereka untuk melayat ke
rumah Imam. Penduduk kota itu mengusung jenazah suci Imam dengan tangan
mereka sendiri dalam upacara penguburan yang kudus, agung dan akbar.
Khalifah Abbasiyah sangat gusar dan kesal atas kerumunan massa yang
datang melayat Imam. Ia berusaha keras untuk menutupi kejahatannya dan
mengumumkan bahwa kematian Imam merupakan sebuah kejadian yang wajar dan
alamiah.
Mu’tamid mengutus saudaranya untuk menghadiri upacara pemakaman dan
bersaksi bahwa tidak ada yang membunuh Imam. Di sisi lain, ia
membagi-bagikan harta peninggalan Imam untuk menunjukkan bahwa Imam
tidak meninggalkan anak yang dapat menunaikan shalat jenazah dan menjadi
pewaris sah atas harta peninggalan beliau.
Namun, betapapun usaha untuk menutupi cahaya kebenaran, kehendak
Allahlah yang tetap berlaku. Ketika Imam Al-Askari as. dibunuh, putra
beliau berusia lima tahun. Ia mencapai kedudukan Imam pada usia lima
tahun, seperti Nabi Isa yang diangkat sebagai nabi ketika ia masih dalam
buaian.
Ketika mereka meletakkan jenazah suci Imam Al-Askari as., saudara
beliau -yang bukan orang baik-baik- hendak memimpin shalat jenazah.
Namun putra beliau Imam Al-Mahdi ajf. –yang masih belia- mendorongnya
ke samping dan beliau sendiri maju ke depan memimpin shalat jenazah
tersebut. Setelah selesai shalat jenazah, beliau menghilang dari
pandangan mata.
Orang-orang Syiah telah melihat Imam Al-Mahdi di kediaman sang ayah,
Imam Hasan Al-Askari yang saat itu masih hidup. Di kediaman itu pula
mereka mendengarkan nasihat beliau tentang anaknya kepada mereka.
Setelah syahadah Imam Hasan as., mereka tetap berhubungan dengan Imam
Al-Mahdi hingga beberapa waktu lamanya.
Keadaan ketika Imam Al-Mahdi Lahir
Hakimah, bibi Imam berkata, “Aku pergi ke rumah anak saudaraku, pada
hari Kamis bulan Sya’ban. Ketika aku ingin mengucapkan selamat tinggal
kepada mereka, Imam berkata, ‘Wahai bibi, tinggallah malam ini bersama
kami karena putra kami akan segera lahir’.
“Aku sangat bergembira dan berbahagia mendengarkan kabar itu dan
pergi menjumpai Nargis (Ibunda Imam Al-Mahdi) namun aku tidak menemukan
tanda-tanda kehamilan pada diri beliau. Aku terkejut dan bergumam,
‘Tidak melihat tanda-tanda kelahiran bayi padanya’.
“Pada saat-saat itu, Imam datang padaku dan berkata, “Duhai bibi,
jangan bersedih, Nargis seperti ibunda Nabi Musa as., dan si bayi
seperti Musa yang lahir secara tersembunyi dan tanpa tanda-tanda apa pun
yang menyertai kelahirannya. Temuilah Nargis, dia akan segera
melahirkan pada subuh hari’.
“Aku berbahagia menemani Nargis, sambil mengamati apa yang dikatakan
oleh Imam bahwa tanda-tanda kelahiran Nargis muncul sebelum matahari
terbit di ufuk timur. Seberkas cahaya membentang antara diriku dan dia
sehingga aku tidak dapat melihat Nargis lagi. Aku ketakutan dan keluar
dari bilik itu untuk menjumpai Imam dan melaporkan apa yang telah
terjadi. Beliau tersenyum dan berkata, ‘Kembalilah, beberapa saat lagi
engkau akan melihatnya’.
“Aku kembali ke kamar dan melihat seorang bayi baru lahir dan tengah
melakukan sujud lalu ia mengangkat tangannya ke angkasa, berdzikir dan
memuji Allah dengan segala kepemurahan-Nya, kebesaran-Nya dan
keesaan-Nya”.
Keadaan Ibunda Nargis
Salah seorang budak Imam Hadi as., Bishr Al-Anshari menukilkan sebuah kisah sehubungan dengan kejadian itu:
“Suatu hari, Imam Hadi as. memanggilku dan berkata padaku, ‘Aku ingin
memberikan sebuah pekerjaan untukmu, pekerjaan ini akan menjadi sesuatu
yang sangat berharga untukmu’. Beliau memberikan sebuah surat disertai
dengan seikat kantong yang berisi dua ratus emas Dinar. Beliau berkata,
‘Ambillah kantong ini dan pergi ke Baghdad, nantikan kapal yang akan
berlabuh besoknya di sana di sungai Furat (Eufrat). Di dalamnya terdapat
banyak budak-budak yang dibawa untuk diperjualbelikan. Kebanyakan
pembeli dan penjual itu berasal dari Bani Abbas dan beberapa pemuda dari
suku bangsa yang lain.
“Di atas kapal itu, ada seorang wanita yang, ketika ia diminta untuk
menampakkan dirinya, enggan memenuhi permintaan itu. Salah seorang
pemuda maju ke depan dan berkata kepada tuannya, “Aku siap membeli
wanita itu dengan harga dua ratus emas Dinar”. Tetapi si wanita itu
tidak setuju dengan tawaran pemuda itu. Lalu tuannya berkata, “Kamu
tidak ada pilihan lain kecuali harus dijual, kamu harus terima tawaran
pemuda itu”. Tapi ia menukas, “Tunggu sebentar! Pembeliku akan segera
datang”. Lalu kau maju ke depan berikan surat itu kepadanya, katakan
“Jika wanita ini berhasrat kepada orang yang mengirim surat ini, aku
akan membelinya”. Setelah membaca surat yang disodorkan padanya, wanita
itu merasa senang lalu kau bayar dengan uang ini, serahkan pada tuannya
dan bawa wanita itu kemari’.
Bishr berkata, “Aku kerjakan apa yang diperintahkan Imam kepadaku,
aku beli wanita itu dari tuannya. Dalam perjalanan, ia menceritakan
kepadaku sebuah cerita yang mengejutkan. Katanya,
“Aku adalah putri Raja
Romawi. Datukku adalah sahabat dekat Nabi Isa. Ayahku menginginkan agar
aku menikah dengan keponakannya.
“Suatu hari, ia mengadakan sebuah pertemuan akbar di istana dan
meminta kemenakannya duduk bersanding denganku di singgasana. Seluruh
bangsawan Nasrani dan para pengawal kerajaan berkumpul untuk menikahkan
aku dengannya.
“Tiba-tiba istana berguncang, yang membuat segala sesuatunya
berserakan hingga saudara sepupuku itu terjatuh dari singgasana. Meski
begitu, mereka tetap bersikeras untuk menikahkanku dengannya. Mereka
kembali mengadakan pertemuan itu, namun kejadian yang sama juga kembali
terjadi. Para bangsawan Nasrani menganggapnya sebagai sebuah tanda
buruk. Mereka segera meninggalkan istana.
“Pada malam yang sama, aku tertidur dalam keadaan sedih dan pilu. Aku
bermimpi seorang pria dengan cahaya yang memancar dari tubuhnya, datang
ke istana. Beberapa orang berkata bahwa pria itu adalah Nabi Isa, dan
yang lainnya berkata bahwa pria itu adalah Rasulullah saw. Rasulullah
saw. berhadapan dengan Nabi Isa as, beliau berkata, ‘Aku meminang cucumu
untuk cucuku’.
“Nabi Isa as. sangat gembira dengan pinangan itu. Beliau menerima pinangan Rasulullah saw.
“Aku bangkit dari tempat tidurku dan tidak mengungkapkan perihal
mimpi itu kepada siapa pun. Hingga suatu hari, aku jatuh sakit dan
ayahku memanggil seluruh tabib untuk memeriksa keadaanku. Namun tidak
satu pun dari mereka yang dapat menyembuhkan sakitku.
“Aku memohon kepada ayahku untuk membebaskan orang-orang muslim yang
ada dalam penjara ketika itu. Ia mengabulkan permohonanku. Ia
membebaskan tawanan-tawanan muslim. Segera setelah itu aku pun sembuh
dari sakitku.
“Pada malam yang sama, aku sekali lagi melihat dua orang wanita yang
penuh dengan cahaya. Mereka berkata bahwa wanita itu adalah ibunda Nabi
Allah Isa as. dan Fatimah putri Rasulullah saw. Fatimah maju ke depan
dan berkata kepadaku, ‘Jika engkau ingin menjadi istri putraku, engkau
harus menjadi muslim’. Dalam mimpi malam itu, Aku menerima Islam melalui
tangannya. Lalu ia membawaku menjumpai anaknya Imam Hasan Al-Askari.
“Cintanya menawan hatiku dengan kuat, dan seluruh badanku lemas siang
dan malam. Sampai pada suatu malam, aku melihat Imam Hasan Al-Askari
dalam mimpi. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana aku dapat menjadi
istrimu?’ Beliau berkata, ‘Ayahmu dalam waktu dekat ini akan mengirim
serdadunya untuk berperang melawan serdadu muslim, dan engkau akan
berada di barisan belakang serdadu itu. Serdadu muslim akan memenangkan
perang itu dan engkau akan di tahan sebagai tawanan perang lalu dibawa
ke Baghdad untuk dijual. Engkau akan dibawa ke Baghdad dengan kapal yang
melintasi sungai Furat. Kapal itu akan berlabuh di sungai itu dan
mereka akan membawamu keluar dari kapal itu untuk dijual’. Para pembeli
akan datang untuk membelimu. Namun, tunggulah sampai seseorang (utusan)
datang untuk membelimu. Ia akan datang dengan membawa surat dari ayahku.
Dialah yang akan menjadi pembelimu dan membawamu pergi’.
“Aku terjaga dari mimpi dan merasa gembira. setelah beberapa waktu
berlalu, apa yang diceritakan oleh Imam Hasan Al-Askari dalam mimpi itu
terjadi.
“Wahai Bishr! Hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang tahu akan
kisah ini dan mengenali aku. Berhati-hatilah, jangan engkau ceritakan
kisah ini kepada siapapun. Simpanlah kisah ini untukmu saja”.
Bishr berkata, “Ketika Nargis menukilkan kisah itu kepadaku, terasa
gemetar sekujur tubuhku. Sejak saat itu, aku menghormatinya dan
menemaninya seakan-akan aku ini adalah budaknya. Aku membawa beliau ke
hadirat tuanku Imam Hadi as.”
Imam Hadi as. bertanya kepada wanita itu, bagaimana kisahmu sampai
memeluk Islam? Dia menjawab, “Anda bertanya sesuatu yang Anda lebih
tahu ketimbang aku.”
Beliau lalu berkata, “Berita gembira untukmu tentang seorang anak
yang akan memenuhi alam semesta ini dengan keadilan dan hukum, seorang
anak yang dinanti-nantikan oleh seluruh umat manusia”.
Kemudian beliau memalingkan wajahnya ke saudarinya Hakimah, “Wahai ukhti!
Inilah wanita yang kau nanti-nantikan selama ini. Bawalah ia bersamamu
dan ajarkan Islam kepadanya”. Hakimah memeluknya erat dan ia membawanya
pergi dengan penuh hormat.
Periode Kehidupan Imam Al-Mahdi ajf.
Periode kehidupan Imam Muhammad Al-Mahdi ajf. dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Pra-Imamah
Yaitu sejak lahir hingga syahadah ayahanda beliau, Imam Hasan Al-Askari as. Periode ini berlangsung selama lima tahun.
Selama periode ini, Imam Hasan as. senantiasa menjaga putranya ini
sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat melihatnya kecuali sebagian
sahabat-sahabat dan orang-orang yang dekat dengan beliau.
Penjagaan ketat ini beliau lakukan lantaran kuatir terhadap
penyusupan orang-orang Abbasiyah dan mata-mata mereka yang begitu ketat
mengawasi kediaman beliau.
2. Kegaiban Kecil (Ghaibah Sughra)
Yang dimulai pada waktu beliau berusia enam tahun dan terus berlanjut
hingga usia tujuh puluh enam tahun. Selama periode ini, aparat
pemerintahan dan agen-agennya tidak dapat bertemu dengan beliau. Akan
tetapi, sahabat-sahabat beliau tetap memiliki kesempatan untuk bertemu
dengan beliau dan meminta jalan keluar atas masalah-masalah yang mereka
hadapi.
Selama masa Kegaiban Kecil ini, ada empat orang yang menjadi sahabat
khusus Imam Al-Mahdi ajf., sekaligus menjadi perantara antara Imam dan
pengikutnya. Mereka membawa dan mengirim surat atau pun uang dari umat
dan menyampaikannya kepada Imam as., juga sebaliknya menyampaikan
jawaban Imam kepada mereka.
Empat sahabat Imam Mahdi as. itu adalah:
- Utsman bin Sa’id
- Muhammad bin Utsman
- Husain bin Rouh
- Ali bin Muhammad Sumari
Periode ini berakhir dengan wafatnya sahabat keempat Imam pada 329 H.
Sebelum wafatnya, beliau telah menyatakan berakhirnya keperantaraan dan
kedutaan. Dengan begitu, Imam Al-Mahdi ajf. segera memasuki periode
baru dalam hidupnya, yaitu Kegaiban Besar.
3. Kegaiban Besar (Ghaibah Kubra)
Sepanjang periode ini – yang entah sampai kapan, hanya Allah swt.
Yang Mahatahu- Imam Muhammad Al-Mahdi ajf. menghadiri perhelatan dan
acara perkumpulan yang diadakan oleh pengikut beliau. Beliau hadir tanpa
diketahui oleh seorang pun.
Tidak ada satu orang pun yang mengenali beliau. Mereka menganggapnya
sebagai orang asing. Setelah Imam meninggalkan tempat itu, dengan
melihat tanda-tanda yang ada, barulah mereka sadar bahwa Imam telah
datang ke tempat mereka.
Masa Penantian
Imam Al-Mahdi ajf. tidak menunjukkan dirinya kepada fuqaha (ulama
dan pakar hukum Islam) yang handal dalam memecahkan masalah-masalah
keagamaan yang mereka hadapi dan masyarakat Islam selama kegaiban
beliau. Namun demikian, mereka menyediakan lahan dalam rangka
menyongsong revolusi yang akan dicetuskan oleh Imam Maksum ini.
Orang-orang di masa kini, menantikan kedatangannya. Penantian ini
tidak berarti hanya duduk tanpa ada usaha yang berarti sama sekali,
pasif, acuh tak acuh, tidak berusaha, dan tidak berupaya membuka jalan
bagi kemunculan Imam ajf. Sebaliknya, orang yang menanti adalah
orang yang penuh pengharapan, berusaha, bekerja, bergerak, sadar dan
giat, memiliki keyakinan yang teguh pada Imam Al-Mahdi, sehingga ia
melempangkan jalan bagi kemunculan dan kedatangan beliau.
Seorang penanti sejati persis ibarat pendaki gunung, yang menantikan
waktu untuk menaklukkan puncak gunung dan berjuang untuk mencapai puncak
yang ditujunya. Ia senantiasa siap-sedia untuk melakukan apa saja yang diperlukan demi menginjakkan kaki di atas puncak. Tak pelak lagi, ia
harus memiliki perencanaan yang matang untuk mencapai puncak kesuksesan
dan sadar, bahwa duduk diam berpangku tangan tidak akan membawanya
kepada tujuan.
Dengan demikian, penantian berarti pergerakan, usaha, upaya, pikiran
yang teguh, berkarya dan mencipta untuk kemaslahatan umat manusia. Jika
prinsip dasar ini tidak tertanam secara baik dalam masyarakat, umat
manusia akan beku, putus asa dan kecewa, serta tidak lagi berpandangan
optimistis dalam menatap masa depan yang gemilang.
Prinsip Penantian (Intidzarul Faraj) dalam Islam adalah
sebuah prinsip yang tidak dapat dipisahkan dari agama yang memberikan
kabar gembira tentang masa depan yang gemilang dan pelaksanaan segenap
keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ia
membina dirinya untuk mewujudkan cita-cita luhur ini sebegitu rupa
sehingga ia mampu memerangi dan menghilangkan kegelapan, menyingkirkan para sufi gadungan dan kaum yang bersikap permusuhan terhadap Imam Mahdi ajf.
Dengan kekuatan pergerakannya yang tak terbendung itu, seorang muslim
akan menciptakan sebuah lingkungan yang siap membentuk pemerintahan
tunggal alam semesta. Sehingga, ketika tiba masa kemunculan
insan yang telah diciptakan Allah swt. dengan pesona kepribadian yang
luhur ini, seluruh maksud dan tujuan Islam akan menjadi kenyataan, Insya Allah. Dialah Imam Mahdi ajf.
Mukjizat Imam Mahdi as.
Dari sekian mukjizat Imam Mahdi ajf., di sini kita akan menyimak dua mukizat saja.
1. Lolos dari Kejaran Penguasa
Syeikh Thusi menukil riwayat dari seseorang yang bernama Rashiq, yang
merupakan antek dari Khalifah Abbasiyah, Mu’tazid. “Suatu hari Mu’tazid
memanggilku dan berkata, “Aku telah dengar kabar bahwa di kediaman
Hasan Al-Askari ada seorang anak. Ia menemaniku beserta dua orang
anteknya yang lain, ia berkata, ‘Bergegaslah pergi ke Samarra dan
geledah rumah Hasan Al-Askari. Jika engkau temukan seorang anak muda di
sana, bunuh dan bawa kepalanya kemari’.
“Kami pun bergegas menuju ke Samarra. Kami tiba di depan pintu Imam
Hasan Al-Askari tanpa menjumpai sedikit pun rintangan di jalan. Kami
melihat seorang budak sedang duduk di depan pintu. Kami masuk ke rumah
tanpa lagi peduli pada si budak itu. Di sebuah sudut rumah yang indah
itu, terdapat sebuah kamar yang menarik perhatian kami. Kami singkap
tirai yang menghalangi , kami temukan sebuah kamar besar yang penuh
dengan air dan di kamar itu ada sebuah karpet yang menghampar dan
seorang anak muda sedang sibuk mengerjakan salat.
Salah seorang dari utusan Khalifah itu mencoba memasuki kamar itu,
namun dengan seketika ia tenggelam. Kami berusaha dengan susah payah
untuk menyelamatkannya. Si utusan itu pingsan akibat ulahnya itu.
“Utusan yang lainnya juga mencoba memasuki kamar itu, dan seperti
utusan yang pertama, ia pun tenggelam dalam air itu. Kami
menyeretnya keluar. Ia juga jatuh pingsang. Beberapa saat berlalu, kedua
utusan itu siuman. Dalam keadaan gemetar karena takut, kami menunggangi
kuda dan beranjak meninggalkan rumah itu menuju istana Khalifah.
“Kami menemui Khalifah Mu’tazid pada tengah malam. Ia dengan sengaja
berjaga-jaga dan sedang menantikan kedatangan kami. Kami ceritakan kisah
yang baru saja kami alami, ia pun ikut ketakutan sebagaimana kami. Ia
berkata, ‘Tidak seorang pun yang boleh tahu kejadian ini. Simpan
baik-baik rahasia ini dan jangan katakan kepada siapa pun. Jika saja aku
tahu bahwa kalian membocorkan rahasia ini kepada orang lain, aku tidak
akan segan-segan untuk membunuh kalian’.
Hingga akhir hayatnya, Mu’tazid tidak sedikit pun memiliki keberanian untuk bercerita perihal kejadian itu.
2. Jumlah Uang dalam Kantong
Ali bin Sinan bercerita, “Sekelompok orang dari Qum dengan membawa
sejumlah uang bergerak menuju Samarra untuk menjumpai Imam Hasan
Al-Askari. Setibanya di sana, mereka baru tahu bahwa Imam Hasan
Al-Askari telah wafat. Mereka tetap tidak percaya dan mulai berpikir
tentang apa yang seharusnya dilakukan.
“Hingga beberapa waktu, mereka diperkenalkan dengan seseorang yang
bernama Ja’far saudara Imam Hasan Al-Askari as. Ketika mereka
menjelaskan maksud kedatangannya, Ja’far berkata, ‘Serahkan uang yang
kalian bawa itu kepadaku, karena akulah pengganti Imam Hasan’. Mereka
berkata, ‘Kami harus menanyakan kepada Imam jumlah uang yang kami bawa
dan pemilik dari setiap kantong uang itu’.
“Cara demikian itu pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, Ja’far
merasa malu dan berkata, ‘Kalian berdusta kalau saudaraku biasa
menanyakan hal-hal seperti itu. Karena apa yang kalian tanyakan itu
hanya dapat diketahui oleh Allah swt, Sang Mahatahu, Sang Mahahadir di
setiap tempat. Tidak satu pun orang yang dapat mengetahui hal itu
selain-Nya’.
“Kafilah dari Qum itu tetap bersikeras dengan sikap mereka, sehingga
membuat Ja’far mengadukan mereka kepada Khalifah. Khalifah memanggil
mereka dan memerintahkan untuk menyerahkan uang itu kepada Ja’far.
Mereka memohon kepada Khalifah, ‘Uang ini bukan milik kami. Uang itu
adalah simpanan umat. Kami tidak punya pilihan lain kecuali menyerahkan
uang ini kepada seseorang yang menjadi pengganti Imam Hasan as., dan
jika tidak, kami akan mengembalikan uang ini kepada pemiliknya’.
“Khalifah menerima permohonan mereka dan membiarkan mereka pergi.
Ketika kafilah Qom itu memutuskan untuk meninggalkan kota, seorang
pemuda datang mendekat dan berkata, ‘Imam memanggil kalian semua untuk
berjumpa dengan beliau’.
“Mendengar undangan itu, mereka sangat bersuka cita dan mengikuti
pemuda itu menuju rumah Imam Hasan Al-Askari. Sesampainya di sana,
kafilah itu menjumpai seorang pemuda, tanda-tanda dan aura Imamah nampak
dari wajahnya. Mereka mengulangi pertanyaan sebagaimana yang telah
dilontarkan kepada Ja’far.
Imam tersenyum dan berkata, “Duduklah, aku dapat memberi tahu kepada
kalian tentang isi setiap kantung ini berikut pemiliknya. Lalu, Imam
menyebutkan satu persatu pemilik kantong uang itu dan jumlahnya.
“Kami sangat bergembira melihat kenyataan bahwa kami telah menemukan
siapa yang selama ini kami cari. Kami mengambil kantong uang itu dan
menyerahkannya kepada Imam as.
“Perjumpaan dengan Imam as. adalah sebuah kesempatan emas untuk
menanyakan masalah-masalah yang kami hadapi. Kami pun mengutarakan
permasalahan-permasalahan dan dijawab oleh beliau dengan gamblang.
Beliau memerintahkan kepada kami untuk tidak lagi membawa uang kepada
beliau, dan meminta untuk menyerahkannya kepada wakil yang akan ditunjuk
oleh beliau. Dan bila kami memiliki pertanyaan, kami mengirimnya kepada
beliau dan beliau mengirim jawaban pertanyaan itu.
“Kami pun pamit dari beliau. Kami bersyukur kepada Allah swt. atas
nikmat dan anugerah yang besar ini; dapat berjumpa dengan beliau”.
Orang-orang Yang Bertemu Imam
Walaupun Imam Muhammad Al-Mahdi ajf. tidak menunjukkan diri beliau kepada siapa pun secara langsung dalam masa Ghaib Kubra ini, namun mereka yang memiliki jiwa yang suci dan bertakwa, sewaktu-waktu dapat berjumpa dan berbicara dengan beliau.
Di sini kami akan sebutkan beberapa kejadian yang menceritakan perjumpaan mereka dengan Sang Imam ajf. Mereka itu antara lain:
1. Ismail bin Hirqili Syamsuddin
Syamsuddin bercerita, “Pernah ayahku berkisah tentang kakinya yang
terluka dan kemudian terobati. Ketika masih muda, Ayahku menderita luka
dan infeksi pada bagian pahanya. Luka itu sungguh membuatnya tidak
berdaya.
“Suatu hari ia berkunjung kepada salah seorang sahabatnya, Sayyid
Raziuddin Thaus di Hilla, Irak. Sahabat itu membantunya dengan
mengumpulkan para tabib untuk memeriksa dan mengobati luka infeksi itu.
Akan tetapi, setelah para tabib itu memeriksa luka itu, mereka
memberikan jawaban negatif. Mereka berkesimpulan bahwa paha yang
terinfeksi karena luka itu harus segera di operasi, resiko yang dapat
terjadi adalah paha ayahku itu diamputasi atau ia akan mati.
“Tahun berikutnya, Sayyid yang baik hati itu, mengajak ayahku pergi
ke Baghdad dan membawa beliau untuk diperiksa oleh para tabib di kota
itu. Jawaban mereka atas pemeriksaan itu sama dengan jawaban tabib
sebelumnya.
“Sedih, kecewa, kecil hati menyelimuti perasaan ayahku ketika itu. Ia
datang berziarah ke Haram Imam Al-Askari as. di Samarra. Di Haram itu,
beliau bermalam dan bertawassul untuk meminta pertolongan kepada Imam
Zaman ajf.
“Tatkala fajar menyingsing, ia pergi ke arah Sungai Dajla untuk
membasuh pakaiannya sekaligus mandi, lalu kembali berziarah ke Haram
Imam Al-Askari. Ayahku mengatakan, ‘Pada perjalananku kembali menuju
Haram Imam Al-Askari, aku berjumpa dengan dua orang penunggang kuda.
Semula, aku pikir mereka itu adalah orang-orang dari suku Badui.
‘Mereka memberikan salam kepadaku. Salah seorang dari mereka berkata,
“Mari mendekat kepadaku”. Karena aku telah membersihkan pakaianku, aku
tidak mendekat kepada mereka. Aku lihat orang-orang Badui Arab itu
kotor. Aku khawatir bajuku yang masih basah itu akan ternodai oleh
tangan mereka.
‘Selagi aku masih berpikir tentang mereka, tiba-tiba ia menarikku
untuk mendekat padanya. Ia menempelkan tangannya pada lukaku yang
membuatku mengerang kesakitan. Setelah beberapa saat, ia mengangkat
tangannya dari pahaku yang terluka itu seraya berkata, “Ismail, sekarang
engkau telah sembuh. Janganlah engkau bersedih dan berkeluh kesah
lagi”.
‘Aku terkejut betapa orang itu memanggil namaku. Ia pergi
meninggalkan aku yang masih termangu dan sibuk dengan pikiranku sendiri.
‘Aku yakinkan diriku bahwa orang itu adalah Imam Al-Mahdi ajf. Aku
membuntuti beliau dan memohon padanya untuk berhenti. Tiba-tiba ia
berbalik dan berkata kepadaku, “Ismail pulanglah”.
‘Aku tidak menghiraukan perkataannya itu. Aku tetap berlari
mengejarnya. Orang yang beserta beliau dalam perjalanan itu turut
berbicara, “Wahai Ismail pulanglah. Apakah engkau tidak merasa malu
mengabaikan perintah Imam Mahdi?”
‘Mendengar perkataan orang tersebut, dugaanku benar, bahwa beliau adalah Imam Mahdi dan Sang Pelindung Umat.
‘Aku pun berhenti dan menatap beliau pergi, selang beberapa saat kemudian mereka telah menjauh dan menghilang dari pandanganku’.
Syamsuddin menuturkan, “Sejak hari itu ayahku menjadi lebih sering ke
Samarra. Namun sayang, beliau tidak melihat Imam lagi hingga akhir
hayat beliau dengan asa dan kerinduan untuk bersua lagi dengan Imam
Mahdi ajf.
2. Sayyid Muhammad Jabal Amili
Sayyid Muhammad Jabal Amili menuturkan perjalanannya kepada seorang
sahabatnya. Ia berkata, “Setahun aku dalam perjalanan ke Masyhad. Karena
tidak memiliki uang yang cukup, aku menjadi sangat kesusahan.
“Hingga pada suatu waktu, sebuah karavan bergerak. Namun karena aku
tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan, aku pergi
berziarah ke Haram (pusara) Imam Ridha di Masyhad dan mengadukan
kesulitanku kepada beliau. Dengan perut kosong menahan lapar, aku tetap
mengejar kafilah itu. Sebab, jika aku berdiam diri di kampungku pada
musim dingin, aku akan mati kedinginan.
“Aku berusaha berlari mengejar kafilah itu, tetapi aku justru
kehilangan arah. Aku tersesat jalan dan mendapati diriku di tengah
padang sahara yang panas membakar. Karena rasa lapar, aku sama sekali
tidak lagi kuasa menggerakkan badanku. Aku berusaha mencari
tumbuh-tumbuhan sahara dan rerumputan gurun pasir untuk mengganjal
perutku yang kosong, namun aku sama sekali tidak dapat menggerakkan
badanku, apalagi untuk menemukannya.
“Hingga malam pun tiba dan kegelapan menyelimuti padang sahara.
Raungan binatang buas, dengungan hewan-hewan padang pasir membuatku
tercekam rasa takut. Aku menjerit menangis dan pasrah menanti maut yang
sebentar lagi akan datang menjemputku.
“Tidak lama setelah bulan menampakkan dirinya dan suara bising
kawanan hewan-hewan sahara itu berhenti, tiba-tiba aku menangkap
bayangan sebuah bukit kecil, tumpukan bukit pasir. Aku berusaha
mengangkat kaki menuju tempat itu. Aku melihat ada sumur di sana. Aku
menimba air dari sumur itu untuk melepaskan dahagaku dan mengambil air
wudhu untuk mengerjakan shalat. Namun aku tak lagi berdaya, sama sekali.
Aku tidak memiliki tenaga sedikit pun untuk bergerak karena menahan
rasa lapar. Aku merangkak ke tempat itu untuk tidur dan pasrah
menantikan ajalku.
“Tiba-tiba, aku melihat seseorang datang menunggang kuda, bergerak
ke arahku. Aku berpikir, orang ini barangkali salah seorang dari kawanan
rampok padang pasir. Aku tidak memiliki sesuatu apapun sehingga ia akan
membunuhku dan membebaskanku dari rasa lapar.
“Ketika orang itu tiba di dekatku, ia menyampaikan salam kepadaku.
Aku menjawab salamnya itu. Dan dengan salamnya itu tertepislah dugaanku.
Ternyata, ia bukanlah dari kawanan rampok padang pasir.
“Ia bertanya, ‘Apa yang sedang kau cari?’
“Aku berusaha menjawab pertanyaan itu dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki, aku berkata bahwa Aku lapar dan tersesat jalan.
“Ia berkata, ‘Engkau memiliki buah melon di sampingmu, mengapa engkau tidak memakannya?’
“Aku yang tadinya mencari kesana-kemari sesuatu yang dapat aku makan,
berpikir bahwa ia sedang bercanda. Aku berkata padanya, ‘Anda jangan
bergurau. Tinggalkanlah aku sendirian menanti ajal kan tiba’.
“Ia berkata, ‘Aku tidak bercanda. Lihat apa yang di sampingmu!’.
“Kulihat, ada tiga buah melon tergeletak di sebelahku.
“Ia berkata, ‘Makanlah satu dari buah melon itu dan sisanya engkau
simpan sebagai bekal perjalananmu dan tempuhlah jalan ini (Orang itu
menunjukkan jalan kepadanya, penj.). Menjelang matahari
tenggelam, engkau akan sampai di sebuah kemah, merekalah yang akan
menuntun jalan untukmu sampai pada kafilah yang engkau ingin susul’.
“Setelah berkata-kata, orang itu pun menghilang. Seketika aku mengerti bahwa orang itu adalah Imam Mahdi ajf.
“Sesuai dengan petunjuknya, aku makan satu dari buah melon itu. Aku
merasa sedikit pulih dan kuat untuk melanjutkan perjalanan. Pada hari
berikutnya, aku makan lagi satu dari buah melon itu dan kembali
melanjutkan perjalanan.
“Sebagaimana yang beliau katakan, sebelum Maghrib aku berhasil tiba
di kemah yang dimaksudkan oleh beliau. Orang-orang yang berada di kemah
itu mengajakku masuk ke dalam dan mereka menjamuku dengan ramah.
Setelah itu, mereka menunjukkan jalan kepadaku untuk dapat menyusul
kafilah”.
Mungkinkah Berusia Sepanjang Itu?
Pada dasarnya, ilmu pengetahuan –seperti dalam Fisiologi- menegaskan
ihwal raga manusia yang tersusun dari miliaran sel. Dengan berlalunya
waktu, sel-sel tersebut menjadi tua, usang, lalu punah, digantikan oleh
sel-sel yang lebih muda. Demikianlah bagaimana daur kehidupan berputar.
Sesuatu yang menjadikan manusia menjadi usang, menghentikan sel-sel
itu dari aktifitasnya, dan dapat membawa kematian kepada manusia adalah
bakteri dan virus yang berbahaya yang menerobos masuk ke dalam raga
manusia dengan berbagai cara dan menyerang sel-sel aktif itu lalu
membinasakannya.
Ilmu Kedokteran (pencegahan dan pengobatan penyakit) merupakan bukti
yang kuat, bahwa jika manusia menguasai ilmu pengetahuan dengan
sempurna, mengenal dengan baik keadaan tubuhnya dan zat-zat yang
berbahaya, merawat kesehatannya dan teliti dalam memilih makanan, maka
hidupnya di dunia ini akan berlangsung lama. Ia tidak akan segera
mengalami ketuaan.
Dari pandangan para ilmuwan, mereka telah mampu memperpanjang
kehidupan beberapa hewan melalui beberapa eksperimen. Dengan cara
seperti ini dan berkat manfaat ilmu pengetahuan yang semakin menyebar
dan menerapkan pola dan aturan kesahatan yang ketat, manusia dapat hidup
lebih lama hingga beberapa abad.
Seorang ilmuwan telah sekian tahun berusaha mencari dan menyingkap
tirai ilmu pengetahuan, untuk sekedar mengenal sekelumit dari
rahasianya. Akan tetapi, Imam Mahdi ajf. menerima anugerah seluruh
khazanah ilmu pengetahuan itu. Dengan anugerah Ilahi itulah beliau tidak
kesulitan untuk melintasi jalan-jalan yang ditempuh oleh para ilmuwan
tersebut.
Dengan cara seperti ini, tidak akan menjadi mustahil -dari sudut
pandang ilmu pengetahuan- bahwa Imam Mahdi ajf. dengan keluasan ilmu
yang diberikan Allah swt. kepadanya, dapat menjalani hidupnya untuk
ratusan tahun dengan tetap sehat dan muda. Ketuaan dan kerentaan tidak
berlaku padanya.
Di sisi lain, usia panjang Imam Mahdi tidak begitu ajaib daripada
dipadamkannya api Namrud oleh Nabi Ibrahim as., dibelahnya sungai Nil
oleh Nabi Musa as. dan diubahnya beberapa orang menjadi ular. Semua itu
menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah swt.
Berkenaan dengan masalah ini, Al-Qur’an dan sejarah umat manusia
memberikan teladan dan contoh beberapa nabi yang berusia panjang
termasuk orang-orang biasa. Sebagai contoh, Nabi Nuh as. yang telah
hidup selama 950 tahun, atau Lukman as. yang telah hidup selama 400
tahun.
Demikian juga Bukht Nashr mampu hidup selama 1507 tahun, Nabi
Sulaiman selama 712 tahun, dan Raja India, Firoze Rai selama 537 tahun.
Fakta-fakta yang tersebut di atas tadi merupakan bukti bahwa lamanya
hidup seseorang di dunia tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Dan ini bisa saja terjadi di setiap zaman.
Bagaimana Imam Al-Mahdi Mengungguli Kekuatan Dunia?
Ketika para pemikir dan orang-orang pintar dunia sibuk dalam
perlombaan senjata-senjata pemusnah massal, tampaknya tidak ada
tanda-tanda perdamaian. Dunia ini tetap saja membara dengan peperangan
dan ketidakadilan. Kutub-kutub kekuatan dunia terus berambisi untuk
meluaskan kekuasaan dan wilayahnya melalui campur tangan perang.
Dengan keadaan dan kondisi yang menguatirkan dan mengenaskan ini,
kerusakan semakin merejalela dalam kehidupan umat manusia, dan dosa
serta kejahatan terus meluas.
Dalam keadaan seperti ini, medan penyambutan sebuah pemerintahan yang
adil dan bebas dari perang serta agresi akan menjadi kenyataan. Seluruh
bangsa-bangsa akan merasa jenuh dan muak dengan kezaliman pemerintahan
mereka yang hanya memikirkan pengembangan kejahatan dan ketidakadilan
yang membuat dunia runtuh. Persis sebagaimana kemunculan
bintang cerlang Islam di daerah Hijaz, pun demikian setelah lima abad
dalam kubangan tirani Jahiliyyah, adalah sebuah medan yang patut
dipersiapkan untuk menyambut kemunculan Nabi Islam Muhammad saw.
Masyarakat yang teraniaya bersiap-siap menerima Islam dan panggilan Tauhid Allah serta Keadilan Nabi saw. Sekelompok manusia menerima Islam sebagai panji pergerakan mereka.
Jika kita amati revolusi-revolusi yang meletus di seluruh dunia, kita
temukan bahwa keberhasilan para pemimpin mengusung sebuah revolusi
adalah landasanguna mewujudkan medan dalam sebuah masyarakat yang
menumbuhkan kekecewaan dan kebencian besar mereka terhadap para
penguasa zalim akibat pemerintahan mereka yang tidak adil. Medan semacam ini akan mengantarkan para pemimpin sampai kepada tampuk kekuasaan.
Berdasarkan keyakinan itu, revolusi Imam Mahdi akan terlaksana
secara alami, yang seiring dengan munculnya medan yang siap dan memadai
di tengah masyarakat. Karena, revolusi agung Imam Mahdi akan bersifat
global dan tidak terbatas pada suatu tempat. Oleh karena itu, seluruh
masyarakat dunia harus bersedia untuk menyongsong revolusi agung itu di
tengah keadaan mereka saat itu sesuai dengan apa yang disingkapkan oleh
Rasulullah saw., “Kekejaman, kedurjanaan dan pengrusakan akan merajalela di seluruh dunia”.
Tekanan yang hebat dari pemerintahan zalim akan membuat bangsa-bangsa
menjadi hulu ledak yang besar, sehingga mereka akan saling bahu-membahu
menghadapinya. Dan masyarakat yang selama ini diperlakukan secara tidak
adil dan tidak beradab akan memenuhi panggilan nurani mereka. Ibarat
buah yang matang di pohonnya, akan jatuh ke tanah hanya dengan sedikit
goyangan.
Dalam kondisi seperti ini, seluruh kekuatan dunia, betapapun mereka
dilengkapi dengan persenjataan militer yang canggih, tidak akan dapat
membendung dan menghentikan kebangkitan dan revolusi agung ini, meskipun
dengan cara pembantaian massal.
Pada saat dunia menghadapi kekalahan dan kelesuan jiwa, mereka membutuhkan seorang pemimpin yang luar biasa. Yaitu
seorang pemimpin yang lengkap dengan pengetahuan, kesadaran sejarah,
mengenal seluruh tingkat kebudayaan manusia dengan baik, dan bergaul
aktif secara langsung, serta sanggup mengamati secara cermat akan
perubahan-perubahan sejarah dan seluruh kejahatan-kejahatan di masa
lampau.
Dialah yang menjadi hujjah dan penegak amanah Ilahi yang menyerukan
janji keadilan dan kemanusiaan di bumi, menghimpun orang-orang yang
tertindas di seluruh dunia untuk meruntuhkan pemerintahan-pemerintahan
penindas. Daripada meluangkan tenaga demi pemusnahan dan penghancuran
satu sama lainnya, mereka menggalang persatuan secara menata, sehingga
mendapatkan tenaga dan sumber-sumbernya demi kemakmuran dan
kesejahteraan satu sama lainnya.
Dialah Imam Muhammad A-mahdi ajf. yang akan mewujudkan sebuah dunia
yang bebas dari rasa takut, cemas dan memenuhinya dengan berkat dan
rahmat. []
Riwayat Singkat Imam Al-Mahdi as.
Nama : Muhammad
Gelar : Al-Hadi, Al-Mahdi dan Al-Qoim
Julukan : Abul Qosim
Ayah : Imam Hasan Al-Askari as.
Ibu : Nargis Khatun
Kelahiran : Samarra, 256 Hijriah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar