Dalam khotbah ini Imam Ali As Menggambarkan Penciptaan Bumi dan Langit serta Kelahiran Nabi Adam As
Segala puji bagi Allah yang nilai-Nya tak dapat diuraikan
oleh para pembicara, yang nikmat-nikmat-Nya tak terhitung oleh para
penghitung, yang hak-hak-Nya (atas ketaatan) tak dapat dipenuhi oleh
orang-orang yang berusaha menaati-Nya; orang yang tinggi kemampuan
akalnya tak dapat menilai, dan penyelam pengertian tak dapat
mencapai-Nya; la yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah
diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan
tak ada jangka waktu ditentukan. la mengadakan ciptaan dengan
kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi
yang goyah dengan batu.
Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan
makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan
pembenaran-Nya ialah mempercayai Keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan
Keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan Kesucian-Nya
ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa
(sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan
setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat
itu. Maka barangsiapa melekatkan suatu sifat kepada Allah (berarti) ia
mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia
memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, mengakui
bagian-bagian bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian bagi-Nya
(berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia
menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui
batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya
(berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.
Barangsiapa mengatakan “dalam apa la berada”, (berarti) ia
berpendapat bahwa la bertempat, dan barangsiapa mengatakan “di atas apa
la berada” maka ia beranggapan bahwa la tidak berada di atas sesuatu
lainnya.
la Maujud tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada.
la ada tetapi bukan dari sesuatu yang tak ada. la bersama segala
sesuatu tetapi tidak dalam kedekatan fisik. la berbeda dari segala
sesuatu tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. la berbuat tetapi tanpa
konotasi gerakan dan alat. la melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya
yang dilihat. la hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu
yang dengannya la mungkin bersekutu atau yang mungkin la akan kehilangan
karena ketiadaannya.
Tentang Penciptaan Alam
la memulai penciptaan dan memulainya secara paling awal,
tanpa mengalami pemikiran, tanpa menggunakan suatu eksperimen, tanpa
melakukan suatu gerakan, dan tanpa mengalami kerisauan. la memberikan
waktunya pada segala sesuatu, mengumpulkan variasi-variasinya,
memberikan kepadanya sifat-sifatnya, dan menetapkan corak wajahnya
dengan mengetahuinya sebelum menciptakannya, menyadari sepenuhnya
batas-batasnya dan kesudahannya, dan menilai kecenderungan dan
kerumitannya.
Ketika Yang Mahakuasa menciptakan lowongan-lowongan
atmosfer, mengembangkan ruang angkasa dan lapisan-lapisan angin, la
mengalirkan ke dalamnya air yang ombak-ombaknya membadai dan yang
gelombang-gelombangnya saling melompati. la memuatnya pada angin yang
kencang dan badai yang mematahkan, memerintahkannya untuk mencurahkannya
kembali (sebagai hujan), memberikan kepada angin kendali atas kekuatan
hujan, dan memperkenalkannya dengan batasan-batasannya. Angin meniup di
bawahnya sementara air mengalir dengan garang atasnya.
Kemudian Yang Mahakuasa menciptakan angin dan membuat
gerakannya mandul, mengekalkan posisinya, mengintensifkan gerakannya dan
menyebarkannya menjauh dan meluas. Kemudian la memerintahkan angin itu
membangkitkan air yang dalam dan mengintensifkan gelombang laut. Maka
angin mengocoknya sebagaimana mengocok dadih dan mendorongnya dengan
sengit ke angkasa dengan melemparkan posisi depannya di belakang, dan
yang berdiam pada yang terus mengalir, sampai permukaannya terangkat dan
permukaannya penuh dengan buih. Kemudian Yang Mahakuasa mengangkat buih
ke angin yang terbuka dan cakrawala yang luas dan membuat darinya
ketujuh langit dan menjadikan yang lebih rendah sebagai gelombang yang
berdiam dan yang di atas sebagai atap yang melindungi dan suatu bangunan
tinggi tanpa tiang untuk menopang atau paku untuk menyatukannya.
Kemudian la menghiasinya dengan bintang-bintang dan cahaya meteor dan
menggantungkan padanya matahari dan bulan yang bercahaya di bawah langit
yang beredar, langit yang bergerak dan cakrawala yang berputar.
Tentang Penciptaan Malaikat
Kemudian la menciptakan rongga-rongga di antara
langit-langit yang tinggi dan mengisinya dengan segala golongan
malaikat-Nya. Sebagian dari mereka dalam bersujud dan tidak bangkit
berlutut. Yang lain-lainnya dalam posisi berlutut dan tidak berdiri.
Sebagian dari mereka dalam keadaan berbaris dan tidak meninggalkan
posisinya. Yang lain-lainnya sedang memuji Allah tanpa menjadi lelah.
Tidurnya mata atau tergelincirnya akal, atau kelelahan tubuh atau
kelupaan tidak menimpa mereka.
Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pembawa
risalah-Nya yang terpercaya, yang merupakan lidah-lidah berbicara untuk
para nabi-Nya, dan mereka ini yang membawa kesana kemari
perintah-perintah dan suruhan-Nya. Di antara mereka ada para pelindung
makhluk-makhluk-Nya dan pengawal pintu surga. Di antara mereka ada yang
langkah-langkahnya tetap di bumi tetapi lehernya menjulang ke langit,
anggota badan mereka keluar dari segala sisi, bahu mereka sesuai dengan
tiang-tiang ‘Arsy Ilahi, mata mereka tertunduk di hadapannya, mereka
membentangkan sayap-sayapnya dan mereka membuat di antara sesama mereka
dan semua yang selainnya tirai kehormatan dan layar kekuasaan. Mereka
tidak memikirkan Pencipta mereka melalui khayal, tidak memberikan
kepada-Nya sifat-sifat makhluk, tidak membataskan-Nya dalam suatu tempat
kediaman dan tidak menunjuk kepada-Nya melalui gambaran.
Gambaran tentang Penciptaan Adam
Allah mengumpulkan lempung tanah yang keras, lembut, manis
dan asam, yang dicelupkan-Nya ke dalam air dan mengadoninya dengan uap
lembab sampai itu menjadi rekat. Darinya ia membuat patung dengan
lekukan-lekukan, persendian, anggota dan bagian-bagian. la memadukannya
sampai ia mengering untuk waktu tertentu dan jangka waktu yang
diketahui. Kemudian la meniupkan ke dalamnya Ruh-Nya sehingga ia
mengambilpola manusia dengan pikiran yang mengaturnya, kecerdasan yang
digunakannya, anggota badan yang melayaninya, organ-organ yang merigubah
posisinya, kebijaksanaan yang membedakan antara yang benar dan salah,
rasa dan bau, warna dan jenis. la adalah suatu campuran antara lempung
berbagai warna, bahan-bahan rekat, yang berlawanan, yang aneka ragam dan
sifat-sifat yang berbeda seperti panas, dingin, lembut dan keras.
Kemudian Allah menyuruh kepada malaikat untuk memenuhi
janji-Nya dengan mereka dan memenuhi janji menaati perintah-Nya kepada
mereka dengan pengakuan kepada-Nya melalui sujud kepada-Nya dan tunduk
kepada kedudukannya yang mulia. Maka Allah berfirman, “Tunduklah kamu
kepada Adam!” Maka mereka pun tunduk kecuali iblis.” (QS. 2:34; 7:11;
17:61; 18:50; 20:116). Kesombongan mencegah dia dan keburukan
mengalahkannya. Maka ia membangga-banggakan penciptaannya sendiri (yang)
dari api dan bersikap menghina ciptaan dari lempung. Maka Allah
memberikan waktu kepadanya agar ia sepenuhnya patut menerima
kemurkaan-Nya, dan melengkapi ujian (pada manusia) dan untuk memenuhi
janji (yang telah diberikan-Nya kepada iblis). Maka la berkata,
“Sesungguhnya engkau telah diberi waktu sampai pada hari yang
diketahui.” (QS. 15:37-38; 38:81) Setelah itu Allah menempatkan Adam di
suatu rumah di mana la membuat kehidupannya senang dan kediamannya aman,
dan la memperingatkannya supaya berhati-hati terhadap iblis dan
musuhnya. Lalu musuhnya (iblis) merasa iri atas tinggalnya di surga dan
hubungan-hubungannya dengan yang bajik. Maka ia pun mengubah
keyakinannya menjadi goyah, dan tekadnya menjadi lemah. Dengan demikian
ia mengubah kebahagiaan Adam menjadi ketakutan, dan martabatnya menjadi
sesal dan malu. Kemudian Allah memberikan kepada Adam kesempatan untuk
bertaubat, mengajarkan kepadanya kata-kata dari Rahmat-Nya, menjanjikan
kepadanya untuk kembali ke surga-Nya dan mengirimkannya ke tempat
percobaan dan perkembangbiakan keturunan.
Allah Memilih Para Nabi-Nya
Dari antara keturunannya, Allah Yang Mahasuci memilih
nabi-nabi dan mengambil janjinya untuk wahyu-Nya dan untuk menyampaikan
risalah-Nya sebagai amanat mereka. Dalam perjalanan waktu, banyak orang
menyelewengkan amanat Allah dan mengabaikan kedudukan-Nya, dan
mengambil serikat bersama-Nya. Iblis memalingkan mereka dari
mengenal-Nya dan menjauhkan mereka dari menyembah kepada-Nya. Kemudian
Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan serangkaian nabi-Nya kepada mereka
agar mereka memenuhi janji-janji penciptaan-Nya, untuk mengingatkan
kepada mereka nikmat-nikmat-Nya, untuk berhujah kepada mereka dengan
tablig, untuk membukakan di hadapan mereka kebajikan-kebajikan dan
kebijaksa-naan yang tersembunyi, dan menunjukkan kepada mereka
tanda-tanda Kemahakuasaan-Nya, yakni langit yang ditinggikan di atas
mereka, bumi yang ditempatkan di bawah mereka, rezeki yang memelihara
mereka, ajal yang mematikan mereka, sakit yang menuakan mereka, dan
kejadian susul-menyusul yang menimpa mereka.
Allah Yang Mahasuci tak pernah membiarkan hamba-Nya tanpa
nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada
mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu
tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah
yang mendustainya. Di antara mereka ada pendahulu yang akan menyebutkan
nama yang akan menyusul atau pengikut yang telah dikenalkan oleh
pendahulunya.
Pengutusan Muhammad SAWW
Secara demikian zaman-zaman berlalu dan waktu terus
bergulir, ayah pergi sementara putra-putra mereka menggantikannya,
sampai Allah mengutus Muhammad SAWW sebagai rasul-Nya, dalam memenuhi
janji-Nya dan untuk melengkapi Kenabian-Nya. Janji-Nya telah diambil
dari para nabi, tabiat karaktemya termasyhur dan kelahirannya mulia.
Manusia bumi pada saat itu terbagi dalam berbagai kelompok, tujuan
mereka terpisah dan jalan-jalan mereka beraneka. Mereka menyerupakan
Allah dengan ciptaan-Nya atau menggeser nama-nama-Nya atau berpaling
kepada yang selain Dia.
Melalui Muhammad SAWW, Allah memandu mereka keluar dari
kesalahan, dan dengan usahanya la membawa mereka keluar dari kejahilan.
Kemudian Allah memilih Muhammad SAWW dan keturunannya, untuk
menemui-Nya, memilihnya untuk kedekatan kepada-Nya sendiri, memandangnya
terlalu mulia untuk tinggal di dunia ini, dan memutuskan untuk
mengeluarkannya dari tempat percobaan ini. la menariknya kepada Diri-Nya
sendiri dengan kemuliaan. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada
beliau dan keluarganya.
Al Quran dan Sunah
Tetapi Nabi meninggalkan di antara Anda sesuatu yang sama
sebagaimana yang ditinggalkan nabi-nabi lain di antara umat mereka,
karena nabi-nabi tidak meninggalkan mereka dalam kegelapan tanpa jalan
yang terang dan panji yang tegak, yakni Kitab dari Pencipta Anda yang
menjelaskan yang halal dan haram, perintah-perintah dan
keutamaan-keutamaannya, yang menasakh dan yang dinasakh, hal-halnya yang
halal dan yang wajib, hal-halnya yang khusus dan umum, pelajaran dan
amsalnya, yang panjang dan singkatnya, yang jelas dan samamya,
mendetailkan singkatan-singkatannya dan menjelaskan yang samamya.
Di dalamnya ada beberapa ayat yang pengetahuan tentangnya diwajibkan,[i] dan yang lain-lainnya yang ketidaktahuan manusia tentangnya dibolehkan. la juga mengandung apa yang nampak sebagai wajib menurut Kitab[ii](2)
tetapi nasakhnya disuguhkan oleh sunah Nabi atau apa yang nampak
sebagai wajib menurut sunah Nabi tetapi Kitab membolehkan orang tidak
mengikutinya. Atau ada yang wajib pada suatu waktu tertentu tetapi tidak
sesudahnya. Larangan-larangannya juga berbeda. Ada yang berat, yang
mengenainya ada ancaman api (neraka), dan yang lainnya ringan, yang
untuk itu terdapat harapan keampunan. Ada pula yang dalam ukuran kecil
dapat diterima (bagi Allah) tetapi dapat membesar (bila diteruskan).
Dalam Khotbah yang Sama, tentang Haji
Allah telah mewajibkan Anda berhaji ke Rumah Suci-Nya yang
merupakan kiblat bagi manusia yang pergi kepadanya sebagaimana hewan
liar atau merpati pergi ke sumber air. Allah Yang Mahasuci menjadikannya
pertanda atas ketundukan mereka di hadapan Keagungan-Nya dan pengakuan
mereka akan Kemuliaan-Nya. la memilih dari antara ciptaan-Nya
orang-orang yang ketika mendengar seruan-Nya menyambutnya dan
mem-benarkan sabda-Nya. Mereka berdiri pada posisi para nabi-Nya dan
menyerupai para malaikat-Nya yang mengelilingi Mahligai-Nya untuk
mendapatkan segala manfaat dari melaksanakan pengabdian kepada-Nya dan
bergegas untuk (mendapatkan) keampunan yang telah dijanjikan-Nya. Allah
Yang Mahasuci menjadikannya sebagai syiar bagi Islam dan objek
penghormatan bagi orang-orang yang berpaling ke situ. la mewajibkan
hajinya dan meletakkan klaimnya yang untuk itu la menuntut tanggung
jawab Anda untuk melaksanakannya. Dan Allah Yang Mahasuci berfirman,
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah
Baitulldh yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk
bagi semua manusia. ” (QS. 3:96) •
[i] “Pangkal agama (din) adalah makrifat tentang Dia.” Makna din ialah ketaatan, dan makna populeraya tatanan.
Baik dalam makna harfiah, ataupun populer, apabila pikiran kosong dari
konsepsi Ketuhanan, tak akan ada masalah ketaatan, tidak ada pula urusan
dengan mengikuti suatu aturan. Karena, bila tidak ada tujuan maka tidak
ada alasan untuk menuju ke sana; bila tidak ada tujuan yang diharap,
tidak akan ada usaha untuk mencapainya. Bagaimanapun, ketika fitrah dan
naluri manusia mendekatkannya kepada Yang Mahatinggi, dan rasa taat
serta penyerahan merendahkannya di hadapan Tuhan, ia merasa terikat
dengan batasan-batasan tertentu, berlawanan dengan kebebasan
semena-mena. Batasan-batasan inilah din, yang titik mulanya ialah
pengetahuan tentang Allah serta pengakuan atas Wujud-Nya.
Setelah menunjukkan hakikat makrifat atau pengetahuan
tentang Allah, Amirul Mukminin menggambarkan pokok-pokok dan
syarat-syaratnya. la menganggap bahwa tahap-tahap pengetahuan yang
umumnya dianggap sebagai titik pendekatan tertinggi tidaklah mencukupi.
la mengatakan bahwa tahap pertamanya ialah dengan fitrah kerinduan
kepada yang gaib dan bimbingan hati nurani, atau dengan mendengar dari
para penganut agama, terbentuklah dalam pikiran suatu citra tentang
Wujud Gaib yang dikenal sebagai Allah. Gambaran ini sesungguhnya adalah
pendahulu dari kewajiban berpikir dan merenung serta mencari
pengetahuan tentang Dia. Tetapi, orang yang senang bermalas-malas, atau
dalam tekanan lingkungannya, tidak melakukan pencarian ini, sehingga
walaupun ada tercipta citra semacam itu, citra itu tidak sampai beroleh
kesaksian. Dalam hal ini mereka tidak mendapatkan pengetahuan, dan
karena mereka tidak sampai pada tahap panyaksian dan pembuktian atas
pembentukan citra itu maka pelanggaran mereka itu patut dimintai
pertanggungan jawab. Tetapi, orang yang digerakkan oleh kekuatan citra
ini maju lebih jauh dan memandang perlu berpikir dan merenungkannya.
Dengan jalan ini ia sampai ke tahap berikut dalam mencapai
pengetahuan Ilahi, yakni mencari Yang Maha Pencipta melalui aneka ragam
penciptaan dan makhluk, karena setiap gambar merupakan pandu yang kuat
menuju kepada penggambarnya, dan setiap akibat merupakan hasil tindakan
dari penyebabnya. Apabila ia melemparkan pandangan ke sekitarnya, ia
tidak mendapatkan suatu apa pun yang menjadi ada tanpa tindakan si
pembuat; ia tak dapat memperoleh suatu jejak langkah tanpa pejalan yang
meninggalkan jejak, tiada pula bangunan tanpa pem-bangun. Bagaimana ia
dapat memahami bahwa langit biru ini, dengan matahari dan bulan di
cakrawala, bumi dengan kelimpahan rumputan dan bunga-bungaan dapat
menjadi ada tanpa perbuatan Pencipta. Oleh karena itu, setelah mengamati
segala yang ada di dunia dan sistem teratur dari seluruh penciptaan,
orang tak dapat menyimpulkan lain kecuali bahwa ada Pencipta atas
keanekaragaman dan keberadaan dunia; ini tak mungkin terjadi dari tak
ada, tak ada keberadaan muncul dari ketiadaan. Al Quranul Karim
menunjukkan penalaran ini,
“Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. 14:10)
Tetapi, tahap ini pun tak akan cukup, apabila bukti-bukti
adanya Allah ini dicemari oleh kepercayaan akan ketuhanan sesuatu yang
lain.
Tahap ketiga, keberadaan-Nya diakui bersama kepercayaan
akan Keesaan-Nya, Tauhid. Tanpa ini maka kesaksian akan adanya Allah tak
mungkin sempuma; karena, apabila ada kepercayaan akan adanya banyak
tuhan, maka la tidak akan Esa, padahal la Esa. Nalarnya, bila ada lebih
dari satu tuhan maka akan timbul pertanyaan apakah salah satu darinya,
atau mereka semua bersama-sama menciptakan semua ciptaan ini. Apabila
salah satu darinya yang menciptakannya maka harus ada sebab yang
membedakannya dari yang lain; kalau tidak, ia akan mendapatkan kedudukan
istimewa tanpa alasan, yang tak dapat diterima akal. Apabila semua
telah menciptakannya secara bersama-sama maka posisinya hanya mempunyai
dua bentuk: ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa pertolongan dari yang
lain, atau ia tidak memerlukan bantuan mereka.
Kasus pertama berarti ia tidak mampu dan memerlukan bantuan
pihak lain, sedang kemungkinan kedua berarti bahwa ada beberapa pelaku
bersama dari suatu tindakan tunggal, dan kepalsuan tentang keduanya
telah ditunjukkan. Apabila kita anggap semua tuhan itu melaksanakan
penciptaan dengan saling membagi di antara sesamanya maka dalam hal ini
tidak semua ciptaan akan mempunyai hubungan dengan pencipta itu, karena
setiap makhluk hanya mempunyai hubungan dengan penciptanya sendiri,
padahal setiap makhluk harus mempunyai hubungan yang satu dan sama
kepada semua pencipta itu. Sebab, semua ciptaan harus mempunyai
hubungan yang satu dan sama kepada semua pencipta itu, karena semua
ciptaan, dalam kemampuannya untuk menerima pengaruh, dan semua pencipta,
dalam kemampuannya untuk menghasilkan pengaruh, harus sama. Singkatnya,
tidak ada jalan kecuali mengakui-Nya sebagai Esa; karena, bila ada
banyak pencipta maka tidak akan ada apa pun lainnya, kehancuran pasti
menimpa bumi, langit dan segala sesuatu dalam penciptaan. Allah SWT
telah mengungkapkan argumen ini dalam kata-kata berikut:
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak-binasa …. (QS. 21:22)
Tahap keempat ialah bahwa Allah harus bebas dari segala
cacat dan kekurangan, dan kosong dari jasad, bentuk, gambaran, kesamaan,
kedudukan tempat dan waktu, gerak, diam, ketidakmampuan dan
ketidaktahuan. Tak mungkin ada kekurangan atau cacat pada Wujud yang
sempurna itu, tiada pula yang dapat disamakan dengan Dia, karena sifat
cacat itu menurunkan Wujud dari posisi tinggi Pencipta ke posisi rendah
ciptaan. Itulah sebabnya maka Keesaan dan Kesucian Allah dari segala
kekurangan adalah sama pentingnya.
“Katakanlah: ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah
Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan
tiada pula diperanakkan. dan tidak ada seorang pun yang setara dangan
Dia.'” (QS. 112:1-4)
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Mahahalus lagi
Mahatahu.” (QS. 6:103)
“Makajanganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah.
Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.
16:74)
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 42:11) .
Tahap kelima penyempurnaan pengetahuan tentang Dia ialah
sifat-sifat itu harus tidak dilekatkan kepada-Nya dari luar, supaya
tidak ada kegandaan dalam Keesaan-Nya, dan bila kita menyimpang dari
konotasinya yang semestinya tentang Keesaan, kita mungkin jatuh ke dalam
jebakan satu dalam tiga dan tiga dalam satu; karena Wujud-Nya bukanlah
suatu kombinasi hakikat dan bentuk maka sifat-sifat itu tak dapat
melekat pada-Nya seperti bau dalam bunga atau cahaya pada bintang. la
adalah sumber segala sifat dan tidak memerlukan perantara untuk
perwujudan Sifat-sifat-Nya yang sempuma. la dinamakan Maha Mengetahui
karena tanda-tanda pengetahuan-Nya nyata. la dinamakan Mahakuasa karena
setiap partikel menunjukkan Kemahakuasaan dan kegiatan-Nya, dan bila
pada-Nya disifatkan Kemampuan untuk mendengarkan atau melihat, hal itu
disebabkan kepaduan antara seluruh penciptaan dan pengurusannya tidak
dapat dilakukan tanpa mendengar atau melihat; tetapi adanya sifat-sifat
ini pada-Nya tidak dapat dipandang sama dengan yang ada pada ciptaan,
yakni tidaklah la baru dapat mengetahui setelah la beroleh pengetahuan,
atau baru berkuasa setelah tenaga masuk ke dalam anggota-Nya, karena
mengambil sifat sebagai terpisah dari Wujud-Nya akan mengandung makna
ganda, dan di mana ada kegandaan maka keesaan menghilang. Itulah
sebabnya Amirul Mukminin menolak ide sifat-sifat sebagai tambahan kepada
Wujud-Nya; ia mengajukan Keesaan (Tauhid) dalam maknanya yang
sesungguhnya, dan tidak mengizinkan Tauhid dinodai dengan kemajmukan.
Hal ini tidak berarti bahwa sifat-sifat sama sekali tak
dapat diatributkan kepada-Nya, karena ini akan memberikan dukungan
kepada orang-orang yang meraba-raba di jurang gelap negativisme,
sekalipun setiap penjuru dan sudut di seluruh eksistensi melimpah dengan
sifat-sifat-Nya dan setiap zarah ciptaan menyaksikan bahwa la mempunyai
pengetahuan, la berkuasa, la mendengar, la melihat. la memelihara dan
mengizinkan pertumbuhan dengan rahmat-Nya. Maksudnya ialah bahwa bagi
Dia tak ada sesuatu yang dapat disarankan sebagai tambahan kepada-nya,
karena diri-Nya meliputi sifat-sifat, dan sifat-sifat-Nya bermakna
diri-Nya meliputi sifat-sifat. Marilah kita pelajari tema ini dalam
kata-kata Imam Ja’far ibn Muhammad ash-Shadiq (as) dengan
membandingkannya dengan keimanan akan Keesaan yang ditempuh oleh
paham-paham lain, kemudian menilai siapakah pembela konsep Tauhid yang
sesungguhnya.
Imam Ja’far Shadiq mengatakan,
“Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi sejak semula telah
mempunyai penge-tahuan sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu
untuk diketahui, (mempunyai) penglihatan sebagai Diri-Nya, sekalipun
tidak ada sesuatu untuk dilihat, (mempunyai) pendengaran sebagai
Diri-Nya, sekalipun tiada sesuatu untuk didengar, mempunyai kekuasaan
sebagai Diri-Nya, sekalipun tidak ada sesuatu di bawah kekuasaan-Nya.
Ketika la menciptakan benda-benda dan obyek pengetahuan menjadi nyata,
pengetahuan-Nya menjadi berhubungan dengan yang diketahui, pendengaran
dengan yang didengar, penglihatan dengan yang dilihat, dan kekuasaan
dengan objek-objeknya.” (Syeikh Shaduq, at-Tauhid, hal. 139)
Para imam Ahlulbait sepaham dalam kepercayaan ini, tetapi
kalangan mayoritas telah menempuh jalan berbeda dengan menciptakan
gagasan pembedaan antara Diri-Nya dan Sifat-sifat-Nya. Asy-Syahristani
menulis dalam bukunya Kitab al-Milal wa an-Nihal,
“Menurut Abul Hasan Al-Asy’ari, Allah mengetahui melalui
(sifat) tahu, Kuasa melalui kegiatan, berbicara melalui bicara,
mendengar melalui pendengaran, dan melihat melalui penglihatan.”
Apabila kita memandang sifat-sifat berbeda dan Diri-Nya
secara ini, maka akan ada dua alternatif: sifat-sifat itu sudah ada
pada-Nya sejak semula atau sifat-sifat itu terjadi kemudian. Apabila
sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula, kita terpaksa mengakui
objek-objek itu kekal sejauh sifat-sifat itu, yang semuanya bersaham
dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi “Mahasuci Allah dari apa yang
merekapersekutuan”. (QS. 9:31) Apabila kita menganggap bahwa sifat-sifat
itu baru terjadi kemudian maka, di samping menundukkan-Nya pada
perubahan-perubahan itu, akan berarti pula bahwa sebelum mendapatkan
sifat-sifat itu la tidak tahu, tidak kuasa, tidak mendengar, dan tidak
melihat, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.
[ii]
Tentang Al Quran, Amirul Mukminin berkata bahwa ia mengandung uraian
tentang perbuatan-perbuatan yang halal dan yang haram, seperti firman
Allah:
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ….” (QS. 2:275)
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring.
Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa) ….” (QS. 4:103)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang ter-dapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyatd bagimu.”
(QS. 2:168)
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu
itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal kepada Tuhannya.dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.'” (QS. 18:110)
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,
sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. 2:44)
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. 2:275)
Ia menjelaskan perbuatan-perbuatan yang wajib dan sunah, seperti:
“Apabilah kamu telah menyelesaikan shalat (takut), ingatlah
akan Allah di waktu kamu berdiri, duduk atau berbaring, dan bilamana
kamu merasa aman (dari musuh) maka dirikanlah shalat (sebagaimana
biasa).” (QS. 4:103)
Di sini shalat (mengingat Allah) adalah wajib, sementara
bentuk-bentuk lainnya dalam mengingat Allah adalah sunnah. Ia mengandung
ayat-ayat yang nāsikh dan mansūkh, seperti masa iddah setelah kematian
suami “empat bulan sepuluh hari”, (QS. 2:234) atau yang mansūkh seperti
“hingga setahun lamanya tanpa disuruh pindah (dari rumah)”, (QS. 2:240)
yang menunjukkan bahwa masa iddah itu harus setahun.
Di tempat-tempat tertentu ia menghalalkan yang haram,
seperti, “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja
berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(QS. 5:3)
la mengandung perintah-perintah yang khusus dan umum.
Khusus ialah perin-tah di mana kata itu menunjukkan keumuman tetapi
maknanya terbatas, seperti, “Aku telah melebihkan kamu (Bam Isra’il)
atas seisi dunia.” (QS. 2:47) Di sini kata dial- ‘alamin (seisi dunia)
terbatas pada masa tertentu itu, walaupun kata itu umum dalam makna
harfiahnya.
Perintah-perintah yang umum ialah perintah yang luas dalam
pengertiannya, seperti, “‘Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS. 4:32)
la mengandung pelajaran dan gambaran, seperti:
“Allah menghukum di dunia ini dan yang akan datang, dan di situ terdapat pelajaran.” (QS. 79:25-26)
“Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia.” (QS. 78:25)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya)”. (QS. 79:26)
“Perkataan yang baik dan pemberian maaflebih baik daripada
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun”. (QS. 2:263)
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan
Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman):
“Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah
selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa.” (QS. 2:63)
Maka Kamijadikan yang demikian itu peringatan bagi
orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:66)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS. 3:5)
Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik
bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak
menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah,
niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. 47:21)
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa danjanganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
(QS. 4:19)
Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang
Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan
kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan
hati.” (QS. 2:139)
Terdapat pelajaran di dalamnya bagi orang yang bertakwa kepada Allah.” (QS. 3:138)
Ayat yang berisi gambaran misalnya, “Misal orang-orang yang
menafkahkan harta bendanya di jalan Allah adalah ibarat sebutir benih
yang menumbuhkan lima butir yang masing-masing butir mengandung seratus
butir,” (QS. 2:261)
la mengandung ayat-ayat yang khāsh dan ‘ām. ‘Ām ialah ayat
yang tidak mengandung batasan tentang spesifikasi, seperti, “Ingatlah
ketika Musa mengatakan kepada kaumnya, ‘Allah memerintahkan kamu untuk
menyembelih seekor sapi betina.'” (QS. 2:67)
Ayat yang khāsh ialah ayat di mana penujukannya terbatas,
seperti, “bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah
dipakai untuk membajak tanah maupun mengairi tanaman”. (QS. 2:71)
Ada ayat muhkamāt dan mutasyābihāt di dalamnya. Ayat
muhkamāt ialah ayat yang tidak ada kerumitan di dalamnya, seperti,
“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu,” (QS. 33:27) sedang
ayat mutasyābihāt ialah yang pengertiannya mengandung komplikasi,
seperti, “Yang Rahman yang bersemayam di ‘arsy” (QS. 20:5), yang arti
lahiriahnya memberi kesan seakan-akan Allah secara jasmani duduk di
singgasana padahal maksudnya ialah untuk menekankan wewenang dan
kekuasaan-Nya.
Di dalamnya ada perintah-perintah singkat, seperti,
“Dirikanlah shalat,” (QS. 17:78) dan yang mengandung makna yang
mendalam, seperti ayat-ayat yang mengatakan, “Dan tiadalah yang
mengetahui takwilnya selain Allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya.” (QS. 3:7)
Kemudian Amirul Mukminin meluaskan tema ini dalam gaya lain
dengan mengatakan bahwa ada beberapa hal di dalamnya yang wajib
diketahui, seperti, “Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan selain
Allah.” (QS. 47:19), dan ada lain-lain yang tidak perlu diketahui,
seperti “alif lām mīm” (QS. 2:1) dan sebagainya.
la juga mengandung perintah-perintah yang telah
diulang-ulang oleh sunah Nabi, seperti, “Tentang perempuan-perempuan
kamu yang berbuat zina, ambillah empat saksi laki-laki dan, apabila
empat saksi itu datang, kurunglah perempuan itu hingga ajal mengakhiri
hidupnya.” (QS. 4:15) Hukuman ini berlaku di masa dini Islam, tetapi
kemudian diganti dengan rajam dalam hal wanita bersuami.
Di dalamnya ada beberapa perintah yang menasakh perbuatan
Nabi, seperti, “Hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram” (QS. 2:149) yang
dengan itu perintah untuk berkiblat ke Baitul Maqdis dinasakh.
la juga mengandung perintah-perintah yang hanya wajib pada
masa waktu tertentu, yang sesudahnya perintah itu berakhir, seperti,
“Apabila seruan untuk shalat dilakukan pada hari Jumat, maka bergegaslah
kamu mengingat Allah.” (QS. 62:9) la juga menunjukkan derajat-derajat
larangan seperti pembagian dosa dalam yang ringan dan yang berat—yang
ringan seperti “katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk merendahkan
matanya” (QS. 24:30), dan yang berat seperti “barangsiapa membunuh
seorang mukmin dengan sengaja maka imbalannya ialah tinggal di neraka
selama-lamanya “. (QS. 4:39) la juga berisi perintah-perintah di mana
sedikit pelaksanaannya sudah cukup, tetapi ada kesempatan untuk
pelaksanaan lebih jauh, seperti, “Bacalah Al Quran sebanyak yang dapat
kamu lakukan dengan mudah. ” (QS. 73:20)
Katakanlah kapada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka mena-han pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetaui apa
yang mereka perbuat.” (QS. 24:30)
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut
berperang) yang tidak mempunyui uzur dengan orang-orang yang berjihad di
jalan Allah dengan harta mereka danjiwanya. Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang
yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan
pahala yang baik (surgu) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (QS. 4:95)
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu
bacalah apa yang mudah (bagi-mu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang \ang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang
yang lain lagi yung berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berikanlah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu
perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperolehnyu di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. 73:20)
Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS. 26:9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar