Sabtu, 30 Agustus 2014

Kesaksian Nabi Saw dan Para Sahabat Nabi terhadap ‘Ali dan Ahlulbaitnya



Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah tentang keluasan ilmu ‘Ali dari kitab Fadhâ’il, karya Ibnu aI-Maghazali asy-Syafi’i dengan sanadnya dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Nabi Saw bersabda, ‘Ketika aku berada di hadapan Tuhanku, Dia berbicara kepadaku dan aku bermunajat kepada-Nya. (Ketahuilah’) Setiap ilmu yang aku ketahui, pasti aku ajarkannya kepada ‘Ali, ia adalah pintu ilmuku.”[1]

AI-Khawarizimi al-Hanafi juga meriwayatkan hadis tersebut.

Hadis tersebut juga diriwayatkan di dalam Yanâbi’ul Mawaddah’ dari al-Hamdani asy-Syafi’i dalam kitabnya Mawaddatul Qurbâ, dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah Saw sesungguhnya ia bersabda, “Ilmu itu dibagi dalam sepuluh bagian, ‘Ali diberi sembilan bagian, dan ia adalah orang yang paling tahu di antara manusia dalam bagian yang kesepuluh itu.”[2]

Dalam kitab yang sama, Al-Qunduzi juga meriwayatkan dengan sanad dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi Saw sesungguhnya ia bersabda kepada Ummu Salamah, “Wahai Ummu Salamah, ‘Ali ini, dagingnya berasal dari dagingku dan darahnya berasal dari darahku, dan ia kedudukannya di sisiku seperti kedudukan Harun  di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku. Wahai Ummu Salamah, dengarkanlah dan saksikanlah ‘Ali ini adalah Amirul Mukminin dan pemimpim kaum Muslim. Ia ini (‘Ali) adalah gudang ilmuku, ia adalah pintuku yang aku didatangi darinya, ia adalah saudaraku di dunia dan akhirat, dan ia bersamaku di tempat yang paling tinggi (di dalam surga). “[3]

Hadis semacam ini juga diriwayatkan oleh aI-Hamuyini asy-­Syafi’i dalam kitabnya Farâ’idus Simthain, al-Kanji asy-Syafi’i dalam kitabnya Kifâyatuth Thâlib, al-Khawarizimi alk-Hanafi dalam kitabnya al-Manâqib dalam bab ketujuh tentang keluasan khazanah ilmu ‘Ali As, dan bahwa ia orang yang paling mengetahui masalah hukum di antara para sahabat Rasulullah Saw.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari al-Khawarizmi dari Jabir al-Anshari Ra yang meriwayatkan hadis yang panjang dari Rasulullah Saw tentang manaqib ‘Ali As, di antaranya ia bersabda, “Dan engkau (wahai ‘AIi) adalah pintu ilmuku.”

Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili juga meriwayatkan hadis Rasulullah Saw dalam Syarah-nya terhadap kitab Nahjul Balâghah, ” ‘Ali adalah perbendaharaan iImuku. “

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah  al-Hamdani asy-Syafi’i dalam kitabnya Mawaddatul Qurbâ, dari Abu Dzar al-Ghifari Ra, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Ali adalah pintu ilmuku dan yang menjelaskan kepada umatku tentang apa yang atasnya aku diutus sepeninggalku. Mencintainya adalah tanda keimanan, membencinya adalah tanda kemunafikan, dan memandangnya adalah tanda kasih sayang.” [4]

Kemudian ia berkata, “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Na’im,” dan ia juga meriwayatkannya pada halaman 235 dari Abu ­Darda’ yang berkata bahwa, “Rasulullah Saw. bersabda, “Ali adalah pintu ilmuku.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dari kitab Mawaddatul Qurbâ, karya aI-Hamdani asy-Syafi’i, dari ‘Umar bin al­-Khaththab, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw ketika mengikat persaudaraan di antara para sahabatnya, ia bersabda, Ini ‘Ali adalah saudaraku …dan ia adalah orang yang mewarisi ilmuku.”

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan dari kitab Fadhâ’ilush Shahabah, karya as-Sam’iini, dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-­Khudri bahwa Nabi Saw bersabda tentang keutamaan ‘Ali, “Dan ia (‘AIi) adalah orang yang paling bersabar di kakangan orang-orang Islam, paling banyak ilmunya di antara mereka, dan paling dahulu memeuk Islam di antara mereka. “

Hadis semisal ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abil Hadid dalam syarahnya atas kitab Nahjul Balâghah, al-Muhibb ath-Thabari di dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dari Ahmad, dan al-Khawarizimi dalam al-Manâqib  dalam sebuah hadis yang panjang.

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkannya dalam bab ke­54 dari kitab al-Manâqib dengan sanadnya dari Jabir al-Anshari dalam sebuah hadis dari Nabi Saw yang di dalamnya disebutkan para Imam Ahlulbait berikut nama-nama mereka, di antaranya Jabir berkata kepada Imam Muhammad al-Baqir As, “Wahai maulana (tuanku), sesungguhnya kakekmu, Rasulullah Saw, bersabda kepadaku, “Jika engkau bertemu dengannya (Imam Muhammad al-Baqir), sampaikanlah salamku kepadanya.”

Kemudian Jabir berkata kepada Imam Muhammad al-Baqir, “Sesungguhnya ia telah mengabarkan kepadaku, sesungguhnya kalian adalah mam-imam yang membawa petunjuk dari Ahlulbaitnya sepeninggalnya. Kalian adalah orang yang paling arif di antara manusia ketika masih kanak-kanak, dan yang paling pandai di antara mereka pada waktu dewasa. Dan ia juga bersabda, “Janganlah kalian mengajari mereka karena mereka itu lebih pandai daripada kalian.”

Al-Khawarizmi meriwayatkan dalam kitabnya al-Manâqib dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Kami pernah berada di rumah Nabi Saw, lalu kami bertanya kepadanya tentang ilmu ‘Ali. Kemudian, ia bersabda, “Hikmah itu dibagi dalam sepuluh bagian, ‘Ali diberi sembilan bagian darinya, sedangkan orang-orang diberikan satu bagian.”

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan hadis itu dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-14, dari kitab al-Manâqib, karya Ibnu al-Maghazali, dari kitab Mawaddatul Qurbâ, dari kitab al-Firdaus, dan juga dari kitab Hilyatûl Auliyâ.

Kamaluddin asy-Syafi’i juga meriwayatkan hadis itu dalam Mathâlibus Sa’ul, dan al-Khawarizmi juga meriwayatkan dalam kitabnya al-Manâqib dengan sanadnya dari Salman Ra dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Umatku yang paling pandai adalah ‘Ali.”

Ia juga meriwayatkannya dari at-Tirmidzi dalam Syarhir Risâlah al-Mausûmah bi Fathi/ Mubin, dan al-Hamuyini meriwayatkannya dalam Farâ’idus Simthain, dalam bab ke-18, dari Salman dari Nabi Saw bahwa ia bersabda, “Umatku yang paling pandai sesudahku adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”

Al-Khawarizmi juga meriwayatkan dalam kitabnya al-­Manaqib dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-Khudri dan Salman, keduanya berkata, “Nabi Saw bersabda, ‘Sesungguhnya umatku yang paling tahu masalah hukum adalah ‘Ali bin Abi Thdlib.”

Al-Hamuyini meriwayatkan dalam Farâ’idus Simthain, dan al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan darinya dalam kitabnya Yanâbi’u/ Mawaddah dengan sanadnya dari Salamah bin Kuhail, ia berkata, “Nabi Saw bersabda, ‘Aku adalah kota hikmah, sedangkan ‘Ali adalah pintunya. ‘”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Muhibb ath-Thabari dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dan Abu Thalhah asy-Syafi’i dalam Mathâlibus Sa‘ul dari kitab Mashâbihul Baghawî. 

Al-Muhibb Ath-Thabari meriwayatkan dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dari Nabi Saw, ia bersabda, “Barangsiapa ingin melihat Adam dalam i!munya. Nuh dalam pemahamannya, Ibrahim dalam kesabarannya, Yahya bin Zakariyya di dalam kezuhudannya, dan Musa dalam kekuatannya maka hendaklah ia melihat ‘Ali bin Abi Thalib.”

Al-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan hadis itu dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah, dari kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Shahihul Baihâqi, dan Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili dalan syarahnya (ulasan) pada kitab Nahjul Balâghah dari Nabi Saw bahwa ia  bersabda, “Barang siapa ingin melihat Adam dalam ilmunya, Nuh dalam tekadnya,  Ibrahim dalam kesabarannya, Musa dalam kecerdasannya dan Isa dalam kezuhudannya,  maka hendaklah ia melihat ‘Ali bin Abi Thalib.

Al-Hamuyini asy-Syiifi’i meriwayatkan dalam Farâ’idhus Simthain, al-Khawarizmi dan Ibnu al-Maghazili dalam Manâqib-nya, Kamaluddin asy-Syafi’i dalam Mathâlibus Sa’ul, dari al-­Baihaqi, Ibnush Shibagh al-Maliki dalam al-Fûshulul Muhimmah,  Abu Na’im dalam Hilyatul Auliyâ, al-Kanji asy-Syafi’i dalam Kifâyatuth Thâlib, al-Khawarizmi dalam Maqtalul Husain, dan Ibnu Mardawaih dalam Manâqib-nya dari Anas bahwa Nabi Saw bersabda kepada ‘Ali di rumah Ummu Habibah, “Sesungguhnya engkau penyampai risalahku sepeninggalku, menyampaikan dariku, memperdengarkan kepada orang-orang suaraku,  dan mengajarkan kepada orang-orang Kitabullah apa-apa yang mereka tidak ketahui.”

Aku katakan, hal ini adalah sebagian kecil dari hadis-hadis Nabi Saw yang menunjukkan keutamaan ilmu Amirul Mukminin ‘Ali dan Ahlulbaitnya yang diberkati daripada orang lain, dimana mereka telah dijadikan oleh Allah Swt sebagai perbendaharaan ilmu-Nya dan orang-orang kepercayaan-Nya atas hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kesaksian Rasulullah Saw, orang yang dipercaya dalam ucapannya, dan apa yang diucapkannya tidak menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.

Selain itu, hadis-hadis tentang keluasan ilmu Amirul Mukiminin ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbaitnya tersebut sesungguhnya diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah (tepercaya), yang telah terbukti kesahihannya, dari kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Di samping itu, masih banyak lagi hadis tentang keluasan ilmu ‘Ali dan Ahli Baitnya yang mulia yang diriwayatkan oleh para ulama Syi’ah, silakan Anda merujuk pada kitab-kitab mereka, niscaya Anda akan terpuaskan.

Kesaksian Abu Bakar[5]

AI-Imam al-Bahrani meriwayatkan di dalam Ghâyatul Marâm” dari at-Tirmidzi, ia termasuk tokoh besar ulama Ahlus Sunnah, ia berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Copotlah aku (dari jabatan khalifab) karena sesungguhnya ‘Ali lebih berhak daripadaku di dalam urusan (kekhalifaban) ini.”[6]

At-Tirmidzi berkata, “Dalam riwayat disebutkan bahwa ash-­Shiddiq (Abu Bakar) berkata tiga kali, “Copotlah aku (dari jabatan khalifah) karena sesungguhnya aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian, sedangkan ‘Ali berada di tengah-tengah kalian.”

Kemudian at-Tirmidzi berkata, “Sesungguhnya ia (Abu Bakar) berkata yang demikian itu karena ia mengetahui secara benar dan pasti tentang keadaan ‘Ali dan kedudukannya serta lebih berhaknya ia di dalam urusan kekhalifahan.”

Kesaksian ‘Umar

Ibnu Abil Hadid al-Mu’tazili meriwayatkan dalam syarahnya atas kitab Nahjul Balâghah dari ‘Umar bin AI-Khaththab bahwa ia berkata, “Demi Allah, seandainya bukan karena ia-yakni ‘Ali, niscaya tidak akan berdiri kukuh tiang Islam. Ia (‘ Ali) adalah orang yang paling mengetahui tentang masalah hukum di kalangan umat ini, orang yang paling dahulu memeluk Islam, dan orang yang paling utama.”

Ibnu Abil Hadid juga meriwayatkan dalam kitab yang sarna dan juga al-Khawarizmi al-Hanafi meriwayatkan dalam Manâqib-nya dari Ibnu ‘ Abbas bahwa ia berkata, “Aku mendengar ‘Umar berkata, ketika itu dalam rumahnya terdapat sekelompok orang yang sedang membicarakan tentang orang-orang yang paling dahulu memeluk Islam, ‘Adapun ‘AIi, maka aku mendengar Rasulullah Saw bersabda tentang tiga hal. Aku sangat berharap, seandainya aku bisa mendapatkan salah satu dari ketiga hal tersebut, niscaya hal itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya. Ketika itu, aku, Abu ‘Ubaidah, Abu Bakar, dan sekelompok di antara sahabat beliau, tiba-tiba Nabi Saw menepuk pundak ‘Ali seraya bersabda,
“Wahai ‘Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman di kalangan kaum Mukmin, orang Islam pertama yang memeluk agama Islam di antara kaum Muslimin, dan kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa.”

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan di dalam Musnad-nya dan al-Hakim di dalam Mustadrak-nya dari ‘Umar bin al-Khaththab bahwa ia berkata, “Sungguh, telah diberikan kepada ‘Ali bin Abi Thalib tiga hal, seandainya aku diberikan salah satunya dari ketiga hal tersebut, niscaya lebih aku sukai daripada (aku mendapatkan) sekawanan unta merah (harta yang paling berharga di kalangan bangsa Arab). Yaitu, Istrinya, Fatimah binti Rasulillah; bertempat tinggal di Masjid, diperbolehkan baginya apa yang diperbolehkan bagi Rasulullah Saw; dan diserahkannya kepadanya bendera pada waktu Perang Khaibar.”

Ibnu Hajar menyebutkan dalam kitabnya ash-Shawâ’iqul Muhriqah dalam pasal yang di dalarnnya disebutkan pujian para sahabat Nabi Saw kepada ‘Ali, ia berkata, “Ibnu Sa’ad meriwayatkan­ dalarn kitabnya ath- Thabaqât- dengan sanad dari Abu Hurairah, ia berkata, “Umar bin AI-Khaththab berkata, “Ali adalah orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum.”[7]
Al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam Dzakhâ’irul ‘Uqbâ’ dari ‘Umar bin AI-Khaththab, ia berkata, “Orang yang paling mengetahui di antara kami tentang masalah hukum adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”[8]

As-Suyuthi meriwayatkan dalam kitabnya Târikhul Khulafâ, dalam bab tentang keutamaan-keutamaan ‘Ali As, ia berkata, “Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari ‘Ali bahwasanya dia pemah ditanya, “Mengapa engkau orang yang paling banyak meriwayatkan hadis di kalangan sahabat Rasulullah Saw?”

‘Ali As menjawab, “Sesungguhnya jika aku menanyakan sesuatu kepada Rasulullah Saw, ia memberitahukannya kepadaku. Dan jika aku diam, ialah yang memberitahukannya kepadaku.” [9]
Kemudian As-Suyuthi berkata, “AI-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, ‘Kami biasa berkata bahwa penduduk Madinah yang paling mengetahui tentang masalah hukum adalah ‘Ali.”

Ia berkata, ‘Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Umar bin aI-­Khaththab berlindung kepada Allah dari masalah yang sulit, yang dalamnya tidak ada Abul Hasan (‘ Ali).”

Aku katakan, sesungguhnya berlindungnya ‘Umar kepada Allah dari masalah yang sulit, yang di dalamnya tidak ada Abul Hasan (‘ Ali) diriwayatkan oleh banyak ulama terkemuka dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana telah disebutkan sebelum ini.

Kesaksian A’isyah

Al-Hamuyini asy-Syafi’i meriwayatkan dalam kitabnya Farâ’idhus Simthain  bahwa ‘Aisyah berkata tentang ‘Ali As, “Ia adalah yang paling mengetahui tentang Sunnah.” Disebutkan dalarn riwayat al-Khawarizmi dari ‘A’isyah, ia berkata, “Ia (‘ Ali) adalah orang yang paling mengetahui tentang Sunnah.”

Al-Muhibb ath-Thabari meriwayatkan dalam kitabnya Dzakâd’irul  ‘Uqbâ ucapan ‘A’isyah tentang ‘Ali, “Adapun ia (‘Ali), maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Sunnah.”

Kesaksian ‘A’isyah tersebut tentang Amirul Mukminin ‘Ali As bahwa ia adalah orang yang paling mengetahui tentang Sunnah juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitabnya aI-Isti’âb, Ibnu Hajar dalam kitabnya ash-Shawâ’iqul Muhriqah, al-Muhibb ath-­Thabari dalam kitabnya yang lain, yaitu ar-Riyâdhun Nadhrah, dan al-Khawarizmi dalam kitabnya al-Manâqib.

Dan al-Qunduzi al-Hanati meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari ‘A’ isyah bahwa ia berkata tentang ‘Ali, “Itulah sebaik-baik manusia, tidak ada yang meragukannya kecuali orang kafir.”

Kesaksian ‘Abdullah bin ‘Abbas

Al-Qunduzi al-Hanafi rneriwayatkan kesaksian Ibnu ‘Abbas tentang ‘Ali As dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Fashlul Khithâb, “Sesungguhnya al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf (bacaan). Pada setiap hurufnya terdapat ilmu lahir (zhâhir) dan ilmu batin, dan sesungguhnya ‘Ali rnenguasai iImu lahir dan batin.”[10]

Ia juga meriwayatkan dalam kitabnya yang sarna Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab ad-Durrul Manzhûm, karya al-Halabi asy-Syafi’i dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwa ia berkata, “Telah diberikan kepada Imam’ Ali As sembilan persepuluh bagian ilmu, dan sesungguhnya ia orang yang paling pandai dalam sepersepuluh bagian yang lain.”[11]

AI-Qunduzi al-Hanafi juga meriwayatkan ucapan ‘Abdullah bin’ Abbas semacam itu di dalam al-Isti’âb, ar-Riyâdhun Nadhrah, dan Mathâlibus Sa’ul.

Ia juga meriwayatkan dari kitab Syarhul Fathul Mubin seperti itu, di antaranya ia berkata, “Dahulu para sahabat Nabi Saw merujuk kepadanya-yakni kepada ‘AIi dalam hukum-hukum al-­Quran dan mengambil darinya fatwa-fatwa, sebagaimana ucapan ‘Umar pada beberapa kesempatan, “Seandainya tidak ada’ AIi, pasti binasalah ‘Umar.”

Al-Muhibb ath-Thabari juga meriwayatkan ucapan Ibnu ‘Abbas tersebut dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ.

Ibnu Abil Hadid AI-Mu’tazili meriwayatkan di dalam Syarh  Nahjûl Balâghah dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia pemah ditanya, “Bagaimana perbandingan ilmumu dengan iImu anak pamanmu ‘AIi?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Seperti setetes air hujan di samudra yang luas.”

Dan juga disebutkan dalam kitab Syifâ’ush Shudûr, karya an-Naqqas, yang diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata, “Sesungguhnya ‘Ali mengetahui iImu yang diajarkan kepadanya dari Rasulullah, dan Rasulullah Saw diajarkan ilmu dari Allah. Oleh karena itu, iImu Nabi berasal dari ilmu Allah, sedangkan iImu ‘Ali berasal dari iImu Nabi, dan iImuku berasal dari iImu ‘Ali. IImu para sahabat Muhammad dibandingkan dengan iImu ‘Ali adalah seperti setetes air di hadapan tujuh samudra.”

AI-Qunduzi juga meriwayatkan hal itu dalam kitabnya Yandâi’ul Mawaddah, bab ke-14, dari al-Kalbi dari Ibnu ‘Abbas.

AI-Muhibb ath- Thabari meriwayatkan dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia pemah ditanya tentang ‘Ali, maka ia menjawab, “Semoga Allah mencurahkan rahmat-­Nya kepada Abul Hasan (‘Ali). Demi Allah, ia adalah panji petunjuk, tempat perlindungan orang-orang bertakwa, puncak gunung yang paling menjulang, tempat yang dituju, orang yang paling dermawan, puncak ilmu pengetahuan manusia, cahaya yang menyinari di dalam kegelapan, penyeru pada tujuan yang agung, dan orang yang berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat (al-‘urwatul wutsqâ). Ia adalah orang yang paling mulia yang bermunajat (kepada Tuhannya) sesudah Muhammad al-Mushthafa, orang yang ikut shalat dengan menghadap dua kiblat, ayah dari dua orang cucu Nabi Saw (al-Hasan dan aI-Husain), dan istrinya (Fatimah) adalah sebaik-baik wanita. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang mengunggulinya. Aku belum pemah melihat orang yang sepertinya dan belum pernah pula aku melihat orang yang menyamainya.”

Kesaksian ‘Abdullah bin Mas’ud

AI-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Mawaddatul Qurbâ, karya al-­Hamdani asy-Syafi’i dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa ia berkata, “Aku telah membaca tujuh puluh surah (al-Quran) dari lisan Rasulullah Saw, dan aku telah membaca sisanya dari orang yang paling pandai di kalangan umat ini setelah Nabinya Saw, ‘Ali bin Abi Thalib.”[12]

Riwayat ini juga disampaikan oleh AI-Khawarizmi al-Hanafi dan juga diriwayatkan oleh al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Farâ’idus Simthain, karya al-­Hamuyini asy-Syafi’i, dengan sanad dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Al-Quran ini telah diturunkan di dalam tujuh huruf (bacaan), di dalamnya ada ilmu lahir dan ilmu batin, dan sesungguhnya pada ‘Ali terdapat ilmu al-Quran, baik lahir maupun batin.”[13]

AI-Qunduzi al-Hanafi juga menyebutkan riwayat tersebut dari kitab Fashlul Khitâb dari Ibnu Mas’ud.

AI-Karajiki meriwayatkan dalam Kanzul ‘Ummâl dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Hikmah itu dibagi dalam sepuluh bagian; ‘Ali As diberi sembilan bagian, sedangkan orang-orang diberikan satu bagian, dan ‘Ali adalah orang yang paling pandai di dalam satu bagian tersebut.”
Disebutkan di dalam kitab al-Isti’âb dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Orang yang paling mengetahui tentang fara’idh (ilmu waris) di kalangan penduduk Madinah adalah ‘Ali bin Abi Thalib.”

Kesaksian ath-Thâghiyah (Orang yang Zalim) Mu’awiyah

Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Mu’awiyah bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mencurahkan ilmu yang banyak kepada ‘Ali.” Ia juga berkata, “Umar jika mengalami kesulitan, ia bertanya kepadanya, yakni kepada ‘Ali.”
Al-Muhibb ath-Thabari juga menyebutkan riwayat itu dalam kitabnya Dzakhâ’irul ‘Uqbâ dengan sedikit perbedaan dalam redaksinya dan al-Hamuyini juga meriwayatkan dalam kitabnya Farâ ‘idus Simthain, jilid 1, bab ke-68.

Ibn Abil Hadid meriwayatkan dalam Syarh Nahjul Balâghah dari Mihfan ibnu Abi Mihfan adh-Dhabbi ketika ia berkata kepada Mu’awiyah, “Aku mendatangimu dari tempat seseorang yang paling kikir (yang ia maksud adalah ‘Ali).”

Lalu, Mu’awiyah berkata kepadanya, “Celaka engkau, bagaimana engkau dapat berkata bahwa sesungguhnya ia (‘ Ali) adalah orang yang paling kikir? Padahal ia adalah orang yang seandainya memiliki sebuah rumah dari emas dan sebuah rumah dari
jerami, niscaya ia akan menafkahkan rumahnya yang dari emas sebelum menafkahkan rumahnya yang dari jerami.

Ia adalah orang yang menyapu baitul mal dan mengerjakan shalat di dalamnya. Ia adalah orang yang berkata, ‘Hai emas dan perak, perdayakanlah orang selainku! Dan ia adalah orang yang tidak meninggalkan warisan, padahal seluruh isi dunia ada di tangannya, kecuali yang ada di Syam.”

Kesaksian Dhirar di Hadapan ath-Thâghiyyah Mu’awiyah

Ibnu ash-Shibagh al-Maliki meriwayatkan dalam kitabnya al-­Fushulul Muhimmah, Ibnu al-Jauzi dalam Tadzkiratul Khawwâsh, dan selain keduanya dari kalangan para penulis sejarah bahwa Dhirar bin Dhamrah pemah mendatangi Mu’awiyah. Lalu Mu’awiyah berkata Dhirar, “Ceritakanlah kepadaku tentang ‘Ali!”

Dhirar berkata, “Maafkanlah aku.  Aku tidak dapat menceritakannya kepadamu.”
Mu’awiyah berkata, “Tidak, engkau harus menceritakannya kepadaku.”

Maka, Dhirar berkata, “Baiklah aku akan menceritakannya kepadamu karena engkau telah memaksaku. Demi Allah, sesungguhnya ia (‘Ali) adalah orang yang berpandangan jauh, kuat kepribadiannya, fasih dalam berbicara, adil dalam memutuskan hukum, dan sumber ilmu pengetahuan. Ucapannya memancarkan hikmah. Ia menjauhi dunia dan keindahannya, menyukai kegelapan malam (untuk beribadah dan bermunajat kepada Tuhannya). Ia banyak menangis dan panjang pikirannya, ia suka membolak-balikkan telapak tangannya dan berbicara pada dirinya. Ia lebih menyukai pakaian yang kasar dan makanan yang keras.Ia sederhana dalam penampilan, seperti layaknya seseorang di antara kami. Tidak ada pertanyaan kami yang tidak terjawab olehnya, dan jika kami mengundangnya, ia pasti datang.

Kami, demi Allah, walaupun kami sangat akrab dengannya dan ia pun sangat dekat kepada kami, tetapi kami hampir tidak pemah berbicara kepadanya karena kewibawaannya yang agung. Jika tersenyum, maka gigi-giginya seperti mutiara yang tersusun rapi. Ia memuliakan ulama dan mencintai kaum fakir miskin. Di sisinya, orang yang kuat tidak dapat berbuat semena-mena, sedangkan orang yang lemah tidak akan berputus asa dari keadilannya.

Aku bersaksi kepada Allah, sungguh pada suatu waktu, ketika malam sudah sunyi dan gelap gulita, ia memegangi janggutnya sambil berjalan mondar-mandir. Ia menangis tersedu-sedu, seperti tangisan orang yang sedang dirundung malang. Seakan-akan aku mendengarnya ia berkata, ‘Hai dunia, perdayakanlab orang lain selain diriku! Apakab engkau menolakku atau rindu kepadaku? Jauh, jauh. Sungguh, aku telah menalakmu dengan tiga kali talak, yang membuat aku tidak akan dapat  rujuk lagi kepadamu. Umurmu pendek, kehidupanmu hina, dan bahayamu besar. Ah, ah. Alangkah sedikitnya bekal, jauhnya perjalanan, dan gelapnya jalan.”

Kemudian, Mu’awiyab menangis tersedu-sedu hingga air matanya membasahi janggutnya. Orang-orang yang hadir di majelis itu pun semuanya ikut menangis.

Kemudian Mu’awiyah berkata, “Semoga Allah merahmati Abul Hasan (‘Ali). Memang, demi Allah, ia seperti yang engkau katakan.” Lalu ia berkata, “Bagaimana kesedihanmu terhadapnya wahai Dhirar?”
Dhirar menjawab, “Seperti kesedihan seorang perempuan yang anaknya disembelih di pangkuannya. Tidak akan pernah berhenti tangisannya dan tidak akan pernah reda kesedihannya.”

Kesaksian ‘Amru bin ‘Ash

Para penulis sejarah dan manâqib, di antaranya: al-­Khawarizmi al-Hanafi dalam Manâqib-nya, menyebutkan bahwa Mu’awiyah menulis surat kepada ‘Amru bin’ Ash, yang isinya adalah bujukan agar ‘Amru bin’ Ash mau bergabung bersamanya dalam memerangi Imam’ Ali As. Kemudian, ‘Amru bin’ Ash membalas secara panjang lebar surat Mu’awiyah tersebut, yang di dalamnya ia menyebutkan keutamaan-keutamaan ‘Ali. Di antaranya, ia berkata, “Adapun seruanmu kepadaku untuk melepaskan tali ikatan Islam dari leherku, menceburkan diri di dalam kesesatan bersamamu, pertolonganku kepadamu di dalam kebatilan, dan menghunus pedang di wajah ‘Ali, sedangkan ia (‘ Ali) adalah saudara Rasulullah Saw, washiyy-nya, yang mewarisi ilmunya, yang membayarkan utangnya, dan yang melaksanakan janjinya.

Kemudian ‘Amr” bin’ Ash menyebutkan sabda-sabda Rasulullah Saw tentang ‘Ali As, seperti sabda Nabi Saw di Ghadir Khum,
“Ketahuilah’ Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka ‘Ali adalah maulanya (pemimpinnya) juga. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya. Musuhilah orang yang memusuhinya. Belalah orang yang membelanya. Dan telantarkanlah orang yang menelantarkannya.”
Sabda Nabi Saw, “Ya Allah. Datangkanlah kepadaku makhluk-Mu yang paling Engkau cintai agar ia makan bersamaku daging burung ini.” Lalu, datanglah ‘Ali, kemudian makan bersama Nabi Saw.

Sabdanya, “Ali adalah imam orang-orang yang berbakti dan yang memerangi orang-orang yang durhaka. Allah akan menolong orang yang menolongnya dan menelantarkan orang yang menelantarkannya.”

Sabdanya “‘Ali adalah pemimpin kalian sepeninggalku.”

Sabdanya, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka yang sangat berharga (tsaqalain) kepada kalian,  yaitu Kitabullâh dan Itrahti (keturunanku).”

Dan sabdanya, “Aku adalah kota ilmu sedangkan ‘Ali adalah pintunya.”
Kemudian ‘Amru bin ‘Ash menyebutkan kepada Mu’awiyah beberapa ayat al-Quran yang diturunkan berkenaan dengan ‘Ali. Di antaranya:
Firman Allah Swt,
..”Mereka menunaikan nazar…” (Qs. al-Insan [76]:7)
Firman Allah Swt,
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah,  Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat (sedekah) sementara mereka sedang melakukan ruku’.” (Qs. al-Maidah [5]:55)
Dan firman Allah Swt.,
“Katakanlah, “Aku tidak, meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (Qs. asy-Syura [42]:23)
Kemudian ‘Amru bin’ Ash juga mel)yebutkan sdbda Nabi Saw. kepada ‘AIi, “Apakah engkau tidak rela bahwa kedudukanmu di sisiku, seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Berdamai denganmu sama dengan berdamai denganku dan berperang denganmu sama dengan berperang denganku. Wahai ‘Ali barangsiapa mencintaimu, berarti ia mencintaiku; dan barang siapa membencimu, berarti dia membenciku. Barangsiapa mencitaimu, Allah akan memaslukkannya ke surga, dan barangsiapa membencimu, Allah akan menjebloskannya ke dalam neraka.”

Kemudian ‘Amru bin ‘Ash berkata kepada Mu’awiyah, “Dan suratmu wahai Mu’iiwiyah, yang ini adalah jawabannya, tidaklah dapat memperdayakan orang yang mempunyai akal dan agama.”
Perhatikanlah pemyataan orang yang licik lagi penipu ini, ‘Amru bin’ Ash, dan pengakuannya atas kebenaran yang dirampas, walaupun demikian ia tetap bersikeras di dalam kebatilan dan keluar dari imam zamannya, Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As, karena kerakusannya terhadap dunia.

Kesaksian Mu ‘awiyah Ats- Tsani, (Kedua)

AI-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari Ibnu al-Jauzi, dari al-Qadhi Abi Ya’la dalam kitabnya, ia berkata setelah menyebutkan perbuatan­-perbuatan keji yang dilakukan oleh Yazid, “Sesungguhnya Mu’awiyah bin Yazid ketika tampuk kekuasaan berpindah ke tangannya, ia naik ke mimbar, lalu ia berpidato, ‘Sesungguhnya kekhalifahan ini adalah tali Allah Ta’ala, dan sesungguhnya kakekku, Mu’awiyah, telah bersengketa dalam urusan ini (kekhalifahan) dengan pemangkunya yang sah dan orang yang lebih berhak daripadanya, yaitu ‘Ali bin Abi Thalib.” [14]

Ad-Damiri meriwayatkan di dalam  Hayâtul Hayawân, ia berkata, “Sesungguhnya Mu’awiyah bin Yazid berpidato di atas mimbar di hadapan penduduk Syam, ia berkata, “Ketahuilah! Sesungguhnya kakekku, Mu’awiyah, telah bersengketa di dalam urusan ini (kekhalifahan) dengan orang yang lebih berhak daripadanya (‘Ali bin Abi Thalib As) dan daripada selainnya karena kekerabatannya kepada Rasulullah Saw dan keagungan keutamaannya serta orang yang paling dahulu memeluk Islam. Ia adalah tokoh Muhajirin yang paling besar kedudukannya, paling berani, dan paling banyak ilmunya.”

Dia adalah orang yang pertama kali beriman, paling mulia kedudukan, dan paling dahulu persahabatannya (dengan Rasulullah Saw). Ia adalah anak paman Rasulullah Saw, menantunya, dan saudaranya. Rasulullah Saw telah mengawinkannya dengan putrinya, Fathimah, dan menjadikannya sebagai suaminya. Dia adalah ayah dari kedua cucu Rasulullah Saw, pemuka pemuda ahli surga (al-Hasan dan al-Husain) dan dia adalah orang yang paling utama di kalangan umat.
AI-Khawarizmi juga menyebutkan riwayat yang semacam itu dalam kitabnya.

Kesaksian ‘Umar bin ‘Abdul’ Aziz

Ibnu al-Jauzi al-Hanafi menyebutkan dalam Tadzkiratul Khawâsh  dari  ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bahwa ia berkata, “Sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun dari kalangan umat ini sesudah Rasulullah Saw yang lebih zuhud daripada ‘Ali bin Abi Thalib…”

Ibnu Abil Hadid AI-Mu’tazili meriwayatkan di dalam syarahnya pada kitab Nahjul Balâghah tentang persidangan yang terkenal yang terjadi di persidangan ‘Umar bin’ Abdul’ Aziz. Ketika itu, ada seorang laki-laki yang bersumpah dengan sumpah talak terhadap istrinya bahwa ‘Ali As adalah orang yang paling baik dan orang yang paling utama di kalangan umat ini sesudah Nabinya Saw. Kemudian ayah si istri tersebut menyatakan bahwa ia (putrinya) telah jatuh talaknya dari suaminya tersebut. Kemudian, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengumpulkan orang-orang dari Bani Hasyim dan Bani Umayyah, lalu dia memaparkan kepada mereka masalah tersebut.

Saat itu, ada seorang dari Bani Hasyim dari keluarga ‘Aqil yang berdiri, dia berkata, “Sumpah laki-laki tersebut benar dan tidak jatuh talak terhadap istrinya itu.” Kemudian ia berhujah dengan hadis Nabi Saw bahwa ‘Ali adalah orang yang paling utama di kalangan umat ini.
Kemudian, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Engkau benar wahai ‘Aqil.”

Kesaksian Abu Ja’far al-Manshur

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul  Mawaddah, bab 65, dari kitab Fashlul Khithâb, karya Muhammad Khawiijah al-Bukhiiri, ketika menyebutkan manakib Imam Ja’far ash-Shadiq As dan setelah menyampaikan sanjungan dan pujian yang tinggi kepadanya serta menyifatkannya dengan ilmu yang berlimpah, ia berkata, “Pemah pada suatu malam, Abu Ja’far al-Manshur memanggil pembantunya seraya berkata,  “Hadapkanlah kepadaku Ja’far ash-­Shadiq sehingga aku dapat membunuhnya.!”

Muhammad Khawajah berkata, “Aku berkata, ia (Imam Ja’far ash-Shadiq As) adalah seorang laki-laki yang telah berpaling dari dunia dan menghadapkan dirinya untuk menyembah Tuhannya, maka ia tidak membahayakanmu.”

Al-Manshur berkata, “Sesungguhnya kamu berkata tentang keimamannya. Demi Allah, sesungguhnya ia imammu, imamku, dan imam seluruh makhluk, sedangkan kekuasaan itu membinasakan. Hadapkanlah ia kepadaku.”

Kemudian disebutkan dalam sebuah riwayat tentang kekeramatan yang agung yang terjadi pada diri Imam Ja’far ash-Shiidiq As.

Aku katakan, perhatikanlah dengan saksama penguasa yang zalim tersebut, Abu Ja’far al-Manshur, bagaimana Allah menjadikannya mengucapkan perkataan yang benar melalui lisannya sehingga ia mengakui keimaman al-Imam Ja’far ash-Shadiq As atas semua makhluk dari sisi Allah. Akan tetapi, setelah itu ia segera membunuhnya dengan meracuninya, kemudian ia menangisinya begitu mendengar kabar kewafatannya. Akan tetapi, dengan segera pula ia menulis surat kepada gubemumya di Madinah untuk membunuh orang yang mendapatkan wasiat (melanjutkan keimamannya) dari Imam Ja’far ash-Shadiq As.

Al-Khawarizmi meriwayatkan dalarn kitabnya al-Manâqib dari Sulaiman bin Mihran dari al-Manshur bahwa ia menceritakan kepadanya kekeramatan-kekeramatan ‘Ali, Fatimah, al-­Hasan, dan al-Husain ‘alaihimus salam dalam sebuah hadis yang sangat panjang. Pada akhir hadis itu dikatakan, Sulaiman berkata kepada al-Manshur,  “Apakah Anda menjamin keamanan saya?”
Al-Manshur berkata, “Ya, saya jamin keamanan kamu.” Sulaiman berkata, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang membunuh mereka itu (‘Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain ‘alaihimus salam)?”
Al-Mansur menjawab, “Ia pasti akan masuk ke dalam neraka, aku sarna sekali tidak meragukan hal itu.”

Sulaiman berkata, “Lalu bagaimana menurutmu tentang orang yang membunuh anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka?”
Al-Mansur menundukkan kepalanya, kemudian dia berkata, “Wahai Sulaiman, kekuasaan itu membinasakan.”

Kesaksian Harun ar-Rasyid

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah dari kitab Fashlul Khithâb, karya Muhammad Khawiijah al-Bukhari, tentang manâqib Ahlulbait ‘alaihimus salam, yang disebutkannya satu demi satu, dan keutamaan-keutamaan mereka yang banyak serta ilmu mereka yang melimpah. Di antaranya disebutkan manâqib Imam Musa al-Kazhim As setelah menyebutkan ilmu Imam Musa al-Kazhim As, kesabarannya, keutamaannya, dan ke­wara‘-annya serta kekeramatannya, al-Qunduzi berkata, “Al-Ma’mun meriwayatkan dari ayahnya, Harun ar-Rasyid, bahwa ia berkata kepada anak-anaknya tentang Musa al-­Kazhim, ‘Orang ini adalah imam manusia, hujah Allah atas makhluk-­Nya, dan khalifah-Nya atas hamba-hamba-Nya.  Aku adalah imam orang banyak secara lahiriah, dengan penguasaan, dan pemaksaan, sedangkan ia (Imam Musa al-Kazhim As), demi Allah, lebih berhak terhadap posisi Rasulullah Saw daripada aku dan daripada semua makhluk. Dan demi Allah, seandainya ia menentangku dalam urusan ini (kekhalifahan), niscaya aku akan membunuhnya karena sesungguhnya kekuasaan itu membinasakan.”[15]

Disebutkan di dalam bab yang sama, Harun ar-Rasyid berkata kepada al-Ma’mun “Wahai anakku, ini adalah orang yang mewarisi ilmu para nabi, ia ini adalah Musa bin Ja’far. Jika engkau menginginkan ilmu yang benar, engkau akan mendapatkannya pada orang ini (Musa bin Ja’far).”

Aku katakan, demi Allah ini adalah pengakuan yang terang­terangan dari seorang penguasa yang zalim tentang hak orang-orang yang diwasiatkan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, yaitu para Imam Ahlulbait.

Akan tetapi sangat disayangkan, orang yang mengakui hak imam, justru telah memenjarakannya berkali-kali dan berkali-kali pula menaruh raeun pada makanannya. Akhirnya, ia (Harun ar-Rasyid) memerintahkan As-Sanadi bin Syahik untuk membunuh Imam Musa al-Kazhim dengan racun, lalu ia pun melaksanakan perintah tersebut dengan membunuhnya dalam penjara, sebagaimana disebutkan oleh para sejarawan dari Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Pembunuhan yang disengaja terhadap Sang Imam ini, apalagi ia adalah hujah Allah atas makhluk-Nya, mewajibkan ar-Rasyid untuk kekal di dalam neraka jahanam.

Kesaksian al-Ma’mun

Al-Qunduzi al-Hanafi meriwayatkan dalam kitabnya Yanâbi’ul Mawaddah  surat al-Ma’mun yang ditujukannya kepada orang-orang dari Bani’ Abbasiyah, yaitu ketika mereka berupaya untuk membatalkan keputusannya mengangkat Imam’ Ali ar-Ridha sebagai putra mahkotanya. Dalam surat yang panjang lebar itu, al-Ma’mun menyebutkan keutamaan-keutamaan ‘Ali bin Abl Thalib As, di antaranya ia berkata,

“Ia (‘Ali bin Abl Thiilib a,s.) adalah orang yang paling mengetahui tentang agama Allah; ia adalah orang yang telah diangkat sebagai pemimpin (oleh Rasulullah Saw) di Ghadir Khum; ia adalah ‘diri’ Rasulullah Saw pada hari mubahalah (dengan kaum Nasrani Najran); dan Allah telah menghimpun untuknya manâqib dan ayat-ayat yang berisi pujian terhadapnya.

Kemudian, kami (Bani’ Abbasiyah) dan anak keturunan ‘Ali As dahulunya merupakan satu tangan sehingga Allah menakdirkan urusan ini (kekuasaan) kepada kami. Lalu kami mempersulit kepada mereka (anak keturunan ‘Ali As) dan kami telah membunuh mereka lebih banyak daripada pembunuhan yang dilakukan oleh Bani Umayyah terhadap mereka.”

Kesaksian Abu Hanifah

Diriwayatkan dari kitab Manâqib Ali bin Abi Thâlib dalam biografi Imam Ja’far ash-Shadiq As dari Musnad Abi Hanifah disebutkan, “Al-Hasan bin Ziyad berkat,a, “Aku mendengar Abu Hanifah ketika ia ditanya tentang siapakah orang yang paling faqih yang pernah engkau lihat?”
Abu Hanifah menjawab, Ja’far bin Muhammad. Ketika ia (Ja’far bin Muhammad) dihadapkan kepadanya, al-Manshur mengutus seseorang menemuiku dengan pesan, ‘Wahai Abu Hanifah, sesungguhnya orang-orang telah diuji dengan Ja’far bin Muhammad, siapkanlah untuku masalah-masalah yang sulit! Lalu aku pun mempersiapkan empat puluh masalah, kemudian aku mengirimkannya kepada Abu Ja’far (al-Manshur), yang ketika itu sedang berada di Hirah.

Kemudian, aku mendatanginya, lalu aku memasuki majelisnya. Saat itu, aku melihat Ja’far (ash-Shadiq) duduk di sebelah kanannya, lalu ketika aku melihatnya, masuk ke dalam hatiku kewibawaan pada diri Ja’far (ash-Shadiq), yang tidak aku aku rasakan ketika aku melihat Abu Ja’far (al-Manshur). Lalu aku memberi salam kepadanya (Abu Ja’far AI-Manshur), kemudian ia memberi isyarat kepadaku, lalu aku pun duduk. Kemudian dia (al-Manshur) menoleh kepadaku seraya berkata, “Kemukakanlah masalah-masalahmu kepada Abu ‘Abdilah (Imam Ja’far Ash-Shadiq As)!”
Lalu, aku pun mengemukakan kepadanya masalah-masalahku satu per satu, ia pun menjawab masalahku. Ia (Imam Ja’far ash-­Shadiq As) berkata, “Kalian berpendapat demikian, sedangkan penduduk Madinah berpendapat demikian, dan kami berpendapat demikian…”
Demikianlah, kata Abu Hanifah, sehingga aku mengemukakan kepadanya empat puluh masalah yang aku hadapi dan tidak ada satu pun yang tidak terjawab olehnya.

Kemudian Abu Hanifah berkata, “Bukankah orang yang paling alim adalah yang paling mengetahui perbedaan orang-orang?”
Kesaksian Abu Hanifah ini juga diriwayatkan dengan sedikit perbedaan dalam teksnya, namun tidak mengubah maknanya, dari Jâmi’ Masânid Abi Hanifah, karya Qadhil Qudha al-Khawarizmi.

Kesaksian Malik bin Anas

Juga diriwayatkan dari kitab Manâqib Ali Abi Thâlib dalam biografi Imam Ja’far ash-Shadiq As bahwa Imam Malik bin Anas berkata, “Tidak pemah terlihat oleh mata, tidak pemah terdengar oleh telinga, dan tidak pula terlintas dalam hati manusia bahwa ada orang yang lebih utama daripada Ja’far ash-Shadiq, dalam hal keutamaan, ilmu, ibadah, dan ke-wara’-an.”

Kesaksian Ahmad bin Hanbal

Muhammad bin asy-Syafi’i bin Thalhah asy-Syafi’i meriwayatkan dalam kitabnya Mathâlibus Sa’ul dari Ahmad bin Hanbal bahwa ia berkata, “Tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat Rasulullah Saw, yang diriwayatkan berkenaan dengan keutamaan yang lebih banyak daripada ‘Ali. “

Kesaksian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i

Banyak ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang meriwayatkan dalam kitab-kitab karangan mereka bahwa Imam asy-Syafi’i pemah ditanya tentang Imam ‘Ali bin Abi Thalib, kemudiaan ia menjawab, “Apa yang harus aku katakan tentang seorang laki-laki yang musuh-musuhnya mengingkari keutamaannya karena kedengkian dan ketamakan mereka, sedangkan orang-orang yang mencintainya menyembunyikan keutamaannya karena ketakutan mereka. Akan tetapi, keutamaannya tersebar luas di antara kedua kelompok itu, yang meliputi barat dan timur.”

Berikut ini beberapa bait syait Imam Asy-Syiifi’i tentang keutamaan ‘Ali As dan Ahlulbaitnya, di antaranya yang disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Shawâ’iq-nya, ia berkata, “Berkata Imam as-­Syafi’i dalam pujiannya terhadap Ahlulbait Rasulullah Saw:
Wahai Ahli Bait Rasulullah, kecintaan terhadap kalian adalah suatu kewajiban dari Allah
Dalam Al-Quran yang diturunkan-Nya
Cukuplah keagungan yang besar bagi kalian bahwa barangsiapa yang tidak bershalawat kepada kalian, maka shalatnya tidak sah.
Di antaranya yang disebutkan oleh Ibnu ash-Shibagh al-Maliki dalam kitabnya al-Fushûlul Muhimmah bahwa Imam asy-Syafi’i berkata dalam salah satu bait syaimya, di antaranya:
Jika mencintai keluarga Muhammad dituduh sebagai Syi ‘ah, maka saksikanlah jin dan manusia bahwa sesungguhnya aku ini adalah Syi’ah.
Imam asy-Syafi’i juga berkata,
Seandainya al-Murtadha (‘Ali) menampakkan kedudukannya,
 niscaya orang-orang akan merebahkan diri seraya sujud kepadanya.
Dan asy-Syafi ‘i meninggal, sedangkan ia tidak tahu,
‘Ali Tuhannya ataukah Allah Tuhannya.
Imam asy-Syafi’!juga berkata,
Sampai mana aku dikecam, dan sampai kapan pula
Aku dicela karena kecintaanku kepada pemuda ini (‘Ali)?
Apakah Fatimah dinikahkan dengan orang selain ‘Ali?
Dan apakah ada  orang yang sepertinya?

Dan masih banyak lagi syair-syair yang dilantunkan oleh Imam asy-Syafi’i yang secara tegas menyebutkan keutamaan dan keagungan ‘Ali dan Ahlulbaitnya daripada orang-orang selain mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam kitab-kitab karangan mereka.[16]

Hal ini adalah sebagian kesaksian dari para tokoh besar umat manusia dan pemimpin mereka dalam hal keutamaan sosok pribadi agung ini (Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As), yang tidak ada yang mengunggulinya kecuali Muhammad Saw, dan tidak ada seorang pun yang akan dapat menyamainya.

Sekiranya kami tidak mencukupkan diri dengan apa yang telah kami sebutkan perihal kesaksian-kesaksian ini dari para tokoh besar dan cendekiawan umat, lalu kami terus berupaya menggali semua kesaksian mereka tentang Imam’ Ali As, niscaya kami akan memenuhi berjilid­-jilid besar buku tentang keagungan Amirul Mukminin ‘Ali As dan Ahlulbaitnya yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan kesalahan. Bahkan, kami pun tetap tidak akan mampu menyebutkan semua riwayat yang menyebutkan tentang keagungan mereka.

Akan tetapi, sesungguhnya riwayat dan kesaksian para tokoh besar dan ulama-ulama kenamaan itu yang telah kami sebutkan itu telah mencukupi bagi orang yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikan. []

[1] . Lihat,  Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-14.
[2] .  Idem, bab ke-59.
[3] . Hadis ini diperkuat oleh hadis Nabi Saw yang lain, yaitu sabdanya. “Aku adalah kota iImu, dan Ali adalah gerbangnya.”
[4] . Lihat,  Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-56, hal. 254.
[5] .  Ketika aku sedang menulis buku ini, aku mendapatkan dua risalah yang sangat bagus.  Salah satunya ditulis oleh Samahatul ‘Allamah al-Kabir al-Hujjah Asy-Syahir al-Mujahid as-Sayyid ‘Ali Naqi al-Haidari yang datang ke Baghdad (dan tinggal di sana). Risalah tersebut dinamakannya Madzhabu Ahlilbait. Yang kedua adalah karangan Samahatul ‘Allamah al-H!ujjah asy-Syarif al-Muhaqqiq al-Mujahid as-Sayyid al-­’Abbas al-Husaini al-Kasyani yang datang ke Karbala al-Muqaddasah (dan menetap di sana), Risalah tersebut dinamakannya asy-Syi’ah wal ‘Itrah ath-Thahirah. Aku sangat terkesan dan kagum terhadap kedua risalah tersebut karena keindahan susunan kalimatnya. Dalam kedua risalah tersebut. dipaparkan kesaksian-kesaksian tokoh-tokoh besar umat dan para pemimpin mereka tentang Ahlulbait,  yaitu ketinggian ilmu mereka, keutamaan mereka, dan lebih berhaknya mereka dalarn urusan kekhalifahan daripada selainnya. Di sini, aku telah mengutipkan apa yang rnemudahkan bagiku dari kedua kitab yang agung tersebut, yang sesuai dengan topik pernbahasan kita, persis apa yang tertulis dalam kedua kitab tersebut. Semoga Allah Swt. membalas amal kebaikan kedua sayid yang agung ini. Sayid aI-Haidari dan Sayid al-Kasyani, dengan sebaik-baik balasan.
[6]. Lihat, aI-Imam al-Bahrani,  Ghâyatul Marâm, bab ke-53.  
[7] . Lihat, Ibnu Hajar, ash-Shawâ’iqul Muhriqah, hal. 78.
[8] . Lihat, al-Muhibb ath-Thabari, Dzakhâ’irul ‘Uqbâ’, jilid 2, hal. 98.
[9] . Lihat, Târikhul Khulafâ, jilid 1, hal. 66
[10] . Lihat, al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-65.
[11] . Idem.,
[12] . Lihat, al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-56.
[13] . Idem., bab ke-14.
[14]. Lihat, AI-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, Bab ke-60
[15] . Lihat, Al-Qunduzi al-Hanafi, Yanâbi’ul Mawaddah, bab ke-62.
[16] . Wahai kaum Muslim, semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kalian. Sesungguhnya aku menasihatkan kepada kalian dengan nasihat yang tulus karena Allah Swt semata sebagaimana sabda Rasulullah Saw, ‘Agama tu nasihat.’ Lalu, seorang Muslim yang bijaksana sudah sepatutnya jika diajukan kepadanya suatu nasihat. niscaya ia akan menerimanya, walaupun nasihat itu berasal dari orang yang tidak sepaham dengannya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., ‘Ambillah nasihat walaupun dan mulut orang-orang kafir!’ Apalagj di antara sesama Muslim di antara kita. Kami adalah saudara kalian seagama dan kita disatukan oreh kalimat “La ilaha iIIallah Muhammadur Rasulullah” (tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah), kita semua juga mengerjakan semua yang diperintahkan oleh syariat. seperti: shalat. puasa, hajj, dan mengeluarkan zakat. Sesungguhnya kesaksian imam-imam ka!ian yang empat tentang keutamaan Amirul Mukminin ‘Ali dan Ahlulbaitnya yang telah disucikan dan diberkati oleh Allah Swt, menunjukkan secara jelas bahwa mereka itu (Ali dan Ahllbaitnya) lebih layak untuk diikuti daripada se!ain mereka. Lalu, apa yang merugikan kalian wahai kaum Muslim seandainya ka1ian mengikuti mazhab Ahlulbait yang bersumber dari Rasulu!lah Saw? Seandainya mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, asy-Syafi’i, dan Hanbali) itu selamat, maka mazhab Ahlulbait. mazhab yang benar ini, tentu lebih seJamat. Semoga salam sejahtera senantiasa dicurahkan kepada orang-orang yang mau mengikuti petunjuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar