Rabu, 06 Agustus 2014

Refleksi Haul Guru Tua (Al-Alimul Allamah Alhabib sayyid Idrus Bin Salim Al-djufrie)

 
 
(Al-Alimul Allamah Alhabib sayyid Idrus Bin Salim Al-djufrie)
 
Kata haul diambil dari bahasa Arab hala-yahulu-haul yang berarti setahun, atau masa yang sudah mencapai satu tahun. Seiring berkembangnya waktu, kata haul biasa digunakan sebagai istilah ritual kegiatan yang berskala tahunan, ataupun memperingati hari wafat atau meninggalnya seseorang yang kita sayangi dan juga orang yang kita hormati (guru, orang tua, ulama, para shalihin, atau waliyullah ).

Bagi warga (Abna’) Alkhairaat, setiap tahun setelah hari raya Iedul Fitri, tepatnya 12 Syawwal, ribuan umat Islam dari berbagai daerah di kawasan Indonesia timur dan sebagian barat berduyun-duyun datang ke Palu, Sulawesi Tengah. Tujuannya, menghadiri acara haul (peringatan wafatnya) tokoh dan tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua Al-Alimul ‘Allamah Habib Idrus bin Salim Al Djufri. Di sanalah, penebar Islam asal Hadramaut yang menghabiskan separuh usianya di Indonesia itu, dimakamkan.

Al-Alimul ‘Allamah Habib Idrus bin Salim Al Djufri atau dikalangan abnaul khairaat dikenal dengan sebutan GURU TUA adalah pendiri Alkhairaat yang lahir di Taris, Hadramaut, Yaman Selatan pada 14 Sya'ban 1319 Hijriah atau 18 Maret 1891 Miladiah.

Guru Tua, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan, anak kedua dari pasangan Sayed Salim bin Alawy --seorang mufti di Hadramaut-- dengan Andi Syarifah Nur-- putri keturunan seorang raja di Sulawesi Selatan, yang bergelar Arung Matowa Wajo-- ini sarat dengan pengetahuan keagamaan.

Sejak muda, Guru Tua dikenal memiliki wawasan yang luas dan sudah menghafal Alquran. Beliau juga ahli di bidang Fikih.

Karena terjadi pergolakan politik di negaranya ketika itu, akhirnya ia dibuang oleh Inggris dan disuruh meninggalkan Yaman Selatan. Karena kerinduannya pada daerah ibunya, akhirnya Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memilih ke Batavia (Jakarta). 

Di Batavia-lah, pertama kali Habib Idrus bin Salim Al-Jufri memainkan perannya. Sejak saat itu, aktivitasnya pun terbilang cukup padat. Ia berpindah dari satu mimbar ke mimbar lainnya untuk mengajarkan agama kepada umat ketika itu. Tahun 1926, menjadi tahun penuh kesibukan Sang Guru Tua.

Dari situ pula, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berkenalan dan menjadi teman diskusi dengan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy'ari, di Jombang, Jawa Timur. Keduanya kerap kali terlibat dalam pembicaraan, bahkan perdebatan sekitar masalah agama, hingga upaya meningkatkan kualitas umat Islam melalui jalur pendidikan di pesantren.

Tidak hanya itu. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, melanjutkan lagi dakwah ke Solo, Jawa Tengah dan ia dipercaya membina madrasah Al-Rabithah Al-Alawiyah Cabang Solo. Selain sebagai pengajar, ia juga ditunjuk sebagai kepala sekolah tersebut. (Kini, lembaga pendidikan Al-Rabithah Al-Alawiyah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro).

Habib Sagaf bin Muhammad bin Salim Al-Jufri, cucu Habib Idrus bin Salim Al-Jufrie--Ketua Utama Alkhairaat, mengatakan, saat itu, di Jawa sudah sangat banyak ulama dan habaib. Akhirnya, tahun 1929, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kemudian memilih mengajarkan agama di kawasan timur Indonesia. Ia memulai perjalanan ke Ternate, Maluku Utara. Beberapa saat mengajar di daerah kesultanan Islam itu, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri kemudian memilih melanjutkan perjalanan lagi ke Donggala, Sulawesi Tengah.

Di Donggala ketika itu, masyarakat masih hidup dalam kepercayaan animisme dan dinamisme. Habib Idrus bin Salim Al-Jufri berpikir, ia harus mengajak umat di Donggala untuk memeluk Islam. Akhirnya, ia mendekati para tokoh masyarakat setempat, sampai akhirnya menikah dengan putri Donggala dari keturunan raja setempat. "Beberapa saat kemudian, Guru Tua menyampaikan keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam," kata Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Tengah ini. 

Gagasan itu disambut positif para tokoh masyarakat. Maka berdirilah sebuah madrasah yang diberi nama Alkhairaat. Madrasah Alkhairaat yang pertama ini diresmikan pada 14 Muharram 1349 atau 1930 miladiyah. Dari situlah, cikal bakal berdirinya ribuan madrasah dan sekolah Alkhairaat di kawasan Timur Indonesia. 

Data dari Pengurus Besar Alkhairaat menyebutkan, saat ini telah berdiri 1.816 madrasah dan sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) serta Universitas Alkhairaat. "Semuanya tersebar dari Palu hingga Papua, dan pusatnya berada di Palu" kata Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri. 

Kini, Habib Idrus bin Salim Al-Jufri telah tiada. Beliau telah wafat pada hari Senin 12 Syawal 1389 Hijriyah atau 22 Desember 1969. Sang Guru Tua hanya bisa meninggalkan karya besar yang tak bergerak bernama Yayasan Pendidikan Islam Alkhairaat dan karya bergerak, yaitu ratusan ribu santri dan alumni Alkhairaat. "Suatu ketika beliau ditanya soal karya berupa buku, beliau hanya menjawab, karya ku adalah Alkhairaat dan murid-muridku yang selalu mengajarkan agama kepada umat," kata Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.

Ulama besar itu telah telah lama meninggalkan kita. Akan tetapi, sebenarnya ia tidak benar-benar meninggalkan kita. Nama besar dan wasiatnya yang ”abadi”, akan selalu menemani kita. Itulah sebabnya, tidaklah berlebihan kalau Guru Tua disebut sebagai anugerah dari Tuhan untuk kita Abna’ Alkhairaat khususnya dan umat Islam umumnya, Pada momentum haul ini, mari kita bersama-sama berdoa, Semoga Allah SWT memberi tempat yang mulia kepadanya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar